Beberapa saat kemudian. Caroline menatap melongo pada pemandangan yang terhampar di hadapannya.
“You’re crazy!“ Caroline membuka suaranya setelah keheningan tercipta selama kurang lebih satu menit, tatapannya terlempar pada sosok tinggi tegap di sampingnya.
Wanita itu memicing saat sebuah tebakan yang entah benar atau salah mampir di kepalanya.
“Ayo. “ Nicholas menggenggam tangan Caroline dan mengajaknya menghampiri sebuah benda terbang yang memanjakan mata dengan desainnya.
“Hai, kau mau membawaku ke mana Nicholas? Jangan macam-macam ya!” peringat Caroline dangan langkah terseok karena berusaha mengikuti langkah lebar Nicholas yang menyeretnya.
Caroline menghela nafas lalu membuangnya kasar, langkahnya berhenti dengan sengaja.
"C'mon Caroline, kita tidak punya banyak waktu." desis Nicholas tepat beberapa meter di depannya.
"Sebenarnya kita mau ke mana?"
"Kau akan mendapat jawabannya setelah sampai."
"Aku tanya, kita mau KEMANA?" tekan Caroline bertanya, menghiraukan jawaban Nicholas yang tidak memuaskan.
Nicholas tampak menggeram dan kemudian tanpa di sangka dengan tiba-tiba pria itu menarik Caroline kemudian memanggulnya di pundak membuat sang empu badan memekik terkejut.
"Nic. Kau gila! Apa yang kau lakukan?!" pekik Caroline meronta.
"Cerewet, menurut saja. " desis Nicholas sembil berjalan mendekati Jat pribadinya yang tampak berdiri kokoh. Sedangkan Caroline memajukan bibirnya merasa kesal dengan ucapan Nicholas dan menghadiahi sebuah pukulan di punggung lelaki yang tengah memanggulnya itu.
Di dalam Jet, Nicholas langsung mendudukkan Caroline di sofa yang memanjang sampai ke pembatas kabinet.
"Kita akan ke Italia. "
Dan infomasi itu sukses membuat Caroline melotot.
"I... Italia. " ulang Caroline tak percaya, "... Kau gila. Kenapa aku harus ke sana?!" pekik Caroline tak percaya.
Nicholas hanya tersenyum tipis dan memilih tidak menjawab.
"Tidak, tidak, aku mau keluar. " Saat Caroline baru beranjak tubuhnya malah kembali tertarik kebelakang dan menabrak d**a bidang Nicholas.
"Lepaskan Nicholas, aku mau pulang!”
Nicholas menghiraukan pekikan Caroline, lelaki itu malah dengan gerakan tegas dan kuat membawa Caroline agar tertunduk di sofa pesawat.
Nicholas mengangkat alisnya, lalu berkata "Pulang ke mana? Wanita yang sering kau sebut bibi sudah mengusirmu dari rumahmu sendiri."
Caroline terbelalak.
"Bagaimana kau bisa tahu?"
Nicholas tersenyum tipis. "Aku tahu semua yang melibatkan dirimu, Caroline. Aku pun sangat tahu kalau selama seminggu ini kau merasa tidak nyaman di kediaman Nasya."
Caroline melotot mendengar itu. "Jadi kau selama ini—" Caroline menggeleng. "Mengawasi ku?!" ucapnya tidak percaya.
Nicholas terkekeh pelan. “Bisa di bilang seperti itu, bahkan sendari awal aku telah mengawasimu.” akunya blak-blakan dengan seringai tipisnya.
"Dan perlu kau tahu, bahaya akan selalu mendatangimu mulai saat ini."
"Maksudnya?" otak Caroline mendadak loading.
"Aku sudah memberitahumu jawaban dari kalimatku ini." sahut Nicholas menatap wanita di hadapannya itu.
terdiam sesaat sampai akhirnya wanita itu mendengus. "Okey aku paham, tapi sepertinya kau melupakan sesuatu tuan," smirk tipis Caroline menghiasi wajahnya yang perlahan mendekat pada wajah Nicholas. "... bahaya itu karena kehadiranmu, namun it's oke. Aku malah senang karena bisa bertemu denganmu dan terima kasih karena selalu menjadi pahlawan di kala aku dalam bahaya."
Cup
Satu kecupan mampir di rahang tegas lelaki itu yang seketika mengundang senyuman miring akan tindakan wanitanya itu.
Ah wanitanya? Sudah pantaskah Ia mengklime status itu.
“Oke. Aku juga akan berterima kasih bila kau bersedia menolongku!” ucap Nicholas setelahnya. "Aku membutuhkan bantuanmu Caroline."
Caroline menaikan kedua alisnya.
"Bantuan apa? " sampai kemudian otak cantiknya bisa mencerna—well, kenapa dia mendadak di ajak ke negara Italia .
"Oh, jadi kau membawaku ke Italia karena ada maunya, hm?" tebaknya tepat sasaran.
"Bisa di bilang seperti itu. "
"Bantuan apa? Berbahaya, aku tak mau!" ucap Caroline cepat sembari menggelengkan kepalanya di akhir kalimat.
"Beberapa jam yang lalu kau bilang akan tetap membantu meski berbahaya."
Caroline mendengus . "Aku mengaur, siapa orang bodoh yang mau berada di posisi bahaya, tidak ada. Aku mau turun!"
"Tapi pesawatnya dari lima detik yang lalu sudah landas. " Nicholas dengan santainya. Seringainya tampak jelas menghiasi wajah tampannya.
"Hah?!" kedua bola mata Caroline melotot, dan sepertinya benar ucapan pria itu karena wanita itu bisa merasakan tubuhnya melayang di ketinggian.
"Kau—" Caroline melotot pada Nicholas yang malah tersenyum miring. Caroline kemudian mengalihkan arah kepalanya menatap keluar jendela pesawat. Dan tanpa di ketahui sebuah senyuman yang berusaha di tahan terbit di kedua sudut bibir Caroline. Bertanda wanita itu hanya main-main dengan penolakannya tadi.
"Kau milikku, dan tidak akan pernah aku lepaskan. Caroline. " bisik Nicholas dengan tiba-tiba tepat di samping telinga Caroline, membuat jantung sang empu berdetak tak karuan.
Caroline mencoba menormalkan tubuhnya, menoleh pada Nicholas dan berkata. "Atas kehendak siapa aku milikmu, aku belum menerima lamaran dadakanmu." katanya so jual mahal.
Nicholas mengangkat alisnya. "Benarkah?”
"Aku milikmu? Bukan, aku hanya milik orang tuaku dan tentu saja calon suamiku kelak. "
Nicholas semakin menyeringai."Yea... dan calon suamimu itu ada di sampingmu sekarang, Caroline William. "
Caroline mengulum senyumannya mendengar ucapan Nicholas. "Kau?”
“Tentu saja!”
***
Sedangkan di London, Inggris.
Seorang wanita paruh baya meringis kesakitan saat seorang wanita seumuran dengannya menjambak rambutnya kasar.
"Kau benar-benar membuatku muak, Allin. " desis wanita bernama Elina itu sambil menepis tangan wanita bernama Allin yang langsung melotot tidak suka.
"Aku bahkah lebih muak melihatmu, bitch." desisnya tak kalah tajam.
"b***h? Tidak salah kau mengatakan itu padaku, seharusnya kau berkaca, siapa jalang kurang ajar tak tahu diri di sini!" ucap Elina sarkastis.
Allin yang mendengarnya murka. Wajahnya pun tampak memerah karena emosi.
Dan apa salah Elina mengatakan itu, Allin memang jalang tak tahu diri karena telah merebut suaminya. Membuatnya hancur berkeping-keping. Apa lagi Ia harus rela kehilangan buah hatinya.
Dengan segala cara Elina sudah mencari keberadaan satu anak kembarnya tapi tetap saja hasilnya nol persen. dia tak bisa menemukan buah hatinya.
Sedangkan suaminya setelah peristiwa kalem itu malah menikahi wanita ular ini, dan pria yang turut membantunya dari pencobaan kabur saat itu harus rela berkorban nyawa demi keselamatannya.
Dengan raut wajah mengerikan Allin mendekati Elina yang otomatis melangkah mundur.
PLAK
Elina meringis, tangannya menyentuh pipinya yang baru saja tertampar dengan sangat keras.
"APA HAH?! apa perlu juga aku mencokel matamu Elina!" Bentak Allin membalas tak kalah tajam tatapan elang Elina yang terus menghunasnya.
Tangan Elina melayang berniat menampar balik Allin, tapi sayang tangannya malah terapung di udara. Elina menoleh dan melihat suaminya, Albert yang terlihat masih gagah dan tampan di usianya yang sudah berkepala lima.
"Apa-apaan kau?!" tepis Elina kasar tangan Albert.
"Hahah... Bahkan Albert saja melidungku—Aww Kau!" perkataan Allin terpotong dengan ringisan kala Albert dengan tiba-tiba melayangkan tangan kasarnya pada pipinya hingga menimbulkan bekas merah.
"Mom!" Suara seorang wanita lain terdengar—bernama Carlotte.
Wanita muda itu mendekati ibunya dan memeluknya. "Mom, are you oke?"
Elina tersenyum mengangguk.
"Mom ingin ke kamar, temani ya." kata Elina pada putrinya yang terlahir lima menit terlebih dulu dari kembarannya yang sampai saat ini hilang.
"Tentu saja. " jawab Carlotte.
Saat akan pergi tangan Elina lebih dulu di tahan Albert.
"Elina." Lirih Albert.
Elina menggeleng seolah menyampaikan pesan penolakan, tangan kanannya menepis kasar tangan besar yang menahan pergelangan tangan kirinya lalu pergi bersama putrinya, meninggalkan sang suami dan madunya itu.