"Ya, ada apa?'' tanya Nicholas pada seseorang di seberang telepon.
"Tuan polisi datang!"
Damnit!
Nicholas mengumpat. Ada tamu tidak di undang datang dan akan sangat menjengkelkan jika orang-orang itu mengobrak abrik kediamannya.
"Tangani mereka dan jangan sampai masuk, aku akan segera ke sana!''
Dan sambungan pun terputus, Nicholas kemudian menyalakan mobilnya.
Beberapa menit kemudian. Sesampainya di tempat tujuan, Nicholas melihat beberapa orang berkerumun di mansionnya. Lelaki itu kemudian keluar dari mobilnya dan mulai melangkah dengan percaya diri sebagai Anthony Frenzy.
"Selamat sore semuanya." Nicholas tersenyum pada para polisi itu. Dan kemudian tatapannya bertubrukan dengan salah seorang polisi laki-laki-Jack.
"Maaf sebelumnya, saya ingin bertanya soal penembakan seminggu yang lalu, tuan Anthony. Kami sudah mencari-cari anda dari beberapa hari yang lalu tapi anda susah sekali untuk ditemui." jelas Jack dengan tatapan tajamnya.
***
Beberapa menit kemudian.
Nicholas memasuki mansionnya setelah tiga puluh menit mengobrol dengan para pengganggu dan haus berita itu.
"Bagaimana dengan identitasku?'' tanya Nicholas dengan diikuti Rolan di belakangnya.
"Aman tuan."
Nicholas mengangguk mengerti. "Akhirnya aku harus turun tangan dengan identitas palsu."
"Ohya tuan. Tuan Regan dari black brown meminta akhir pekan bertemu untuk pertukaran." kata Rolan yang diangguki Nicholas.
"Akhir pekan. Oke tepat kan jam satu siang. Kalau tidak, tidak usah ada pertemuan!'' Nicholas berkata dengan memerintah mutlak dan tidak bisa di protes.
Lelaki itu memang terkesan arogan dan semaunya dan sayangnya dalam kelakuannya itu tidak ada yang berani membantah.
***
"Dokter bagaimana keadaan anak saya?" tanya Rachel saat kedua matanya yang memar dan membengkak melihat Dokter keluar dari ruangan putrinya.
''Syukur tidak ada luka serius selain sedikit jahitan di kening putri ibu, mungkin saat sadar nanti anak ibu akan mengalami pusing hebat tapi seiring waktu semua akan membaik, dan rajinlah mengonsumsi obat yang sudah diresepkan, agar bisa sembuh seperti sedia kala." jelas Dokter panjang lebar.
Rachel mau pun Caroline menghela napas lega saat mendengar penuturan Dokter dan kemudian mengangguk mengiyakan ucapan sang Dokter.
"Boleh saya melihat anak saya?" tanya Rachel kemudian.
Dokter tersenyum. "Tentu saja."
"Kalau begitu saya pergi dulu," pamit sang Dokter.
Rachel mengangguk mempersilahkan. "Terima kasih, Dokter."
Dokter itu pun mengangguk lalu mulai melangkah pergi meninggalkan Rachel dan Caroline. Setelah itu Rachel melangkahkan kakinya memasuki ruangan putrinya dengan Caroline yang berjalan mengikut di belakang.
Tatapan pertama Rachel yang dilihat adalah Raquel yang terbaring lemah di ranjang pasien dengan balutan luka di kepala mungilnya membuat Rachel tak mampu menahan tangisnya.
Pasti sakit sekali jahitannya. Pedih batinnya menatap sedih putrinya yang terbaring tak berdaya di ranjang pasien.
"Cepat sadar sayang, kami menunggumu," bisik Rachel mengecup sayang dahi sang Putri.
"Rachel," suara berat seorang pria yang tak lain Xavier terdengar, pria itu berdiri bersama dengan Alardo di sebelahnya.
Xavier melangkah mendekati sisi kanan ranjang Raquel dan berhadapan langsung dengan Rachel yang berada di sisi kiri ranjang. Mereka saling bertatapan sesaat sampai kemudian Xavier menurunkannya pandangannya pada Raquel. Pria itu kemudian mencondongkan tubuhnya dan dengan penuh sayang mengecup dahi sang Putri.
Cepat sadar sayang, Papa sudah di sini bersama Raquel. Batin Xavier.
Rachel terharu melihat apa yang dilakukan Xavier-sangat tulus sekali di matanya dan Rachel berpikir ulang dan yakin dirinya tidak akan melarang Xavier dekat dengan Raquel karena bagaimana pun juga mereka sedarah, terlebih berpisah untuk waktu yang lama. Meski luka lama yang diperbuat Xavier tak mudah dilupakan dan dimaafkan. Tapi Rachel tidak egois dengan memisahkan mereka, dia sadar Putrinya itu menginginkan sosok ayah kandung.
Sedangkan Caroline yang melihat pemandangan di depannya ikut terharu. Melihat pria yang bernama Xavier alias papa ponakan kecilnya itu mencium lembut kening Raquel yang di perban dengan sayang.
***
Dua hari kemudian.
Caroline terlihat tengah berada di sebuah ruangan yang berada di dalam sebuah gedung tua yang tampak elegant. Wanita itu terlihat mengendap-endap di balik tembok yang hanya bisa menutupi sebagian tubuhnya.
Kedua mata tajamnya dengan waspada memindai beberapa orang di hadapan matanya yang fokusnya hanya kepada dua orang yang tengah duduk berhadapan tampak tengah membicarakan sesuatu yang penting dengan di kawal beberapa anak buah yang Caroline liat ada lebih dari sepuluh yang tengah berjaga.
Well, sebenarnya tugas ini milik Rachel, tapi berhubungan di kondisi yang tak tepat dan tugas tak bisa ditelantarkan, akhirnya Rachel memintanya menggantikan tugas bukan tanpa alasan, karena Caroline juga bisa melakukannya termasuk memata-matai seperti sekarang karena memang dulu dia pernah menjadi salah satu anggota kepolisian. Tapi dalam satu alasan kuat dia harus rela melepaskan pekerjaan itu tapi semenjak dia keluar pun Caroline masih tetap ikut membantu dalam tugas kepolisian.
''Itu," Mata Caroline menyipit pada sebuah barang kecil kotak ia lihat diserahkan dari si pria tua berambut cepak pada pria paruh baya bertopi hitam.
Itu barang haram! Batin Caroline terbelalak saat melihat si pria berambut cepak menyerahkan sebuah benda putih kecil persegi dan Caroline semakin terbelalak saat si pria satu yang memakai topi menyerahkan sebuah senjata.
''Jack,"
''Kenapa dan apa ini Caroline?" Suara dari seberang earpiece terdengar menyahut.
Dia Jake yang ikut melakukan tugas, karena memang tugas ini bertim.
''Aku tidak yakin, tapi bentuknya sama." Kata Caroline.
"Apa yang kau lihat?''
"Itu,"
Krek
Caroline merutuk saat tanpa sengaja menginjak sebuah benda kecil yang menimbulkan suara.
"Siapa itu?"
Teriakan salah satu anak buah orang itu terdengar keras, membuat Caroline panik tapi naasnya salah satu dari mereka melihatnya. Tanpa pikir panjang Caroline langsung mengambil langkah seribu untuk kabur dari mereka.
"Hai. Jangan lari."
"Tangkap wanita itu!"
Caroline terus berlari tanpa menghiraukan orang-orang yang mengejar dan meneriakinya.
"Hai ada apa, kenapa napasmu memburu dan terdengar panik?!"
"Aku ketahuan. Aku dikejar Jack!" Pekik Caroline panik di antara larinya.
''s**t! Lari Caroline jangan sampai tertangkap."
Mendengar itu Caroline semakin mengencangkan larinya, sekali-kali menoleh kebelakang untuk melihat keadaan dan untungnya orang-orang itu sudah tidak terlihat, tapi suara yang meneriakinya terus terdengar membuat Caroline yakin dirinya belum lah lolos. Saat tepat menginjak batas sebuah tembok, tangannya tiba-tiba tertarik ke samping-Memasuki ruangan gelap.
"Akhh—Eummm!!" Caroline yang terkejut respek berteriak yang langsung di bekap oleh si penarik.
"Kemana wanita itu?"
"Cari wanita itu sampai dapat!"
"Stt." desis si penariknya itu.
Dan selang beberapa menit, keadaan sudah aman dan si penarik akhirnya
melepaskan bekapannya.
"Siapa kau?" tanya Caroline sambil mencoba melepaskan diri dari tangan besar yang tengah memeluk pinggangnya.
"Akhirnya kita bertemu kembali, Caroline William."
Caroline mengerutkan alisnya. "Siapa kau, kau mengenalku?"
"Aku kecewa. Kau tidak mengenal suaraku?" kata si pria dengan nada suaranya yang di buat sendu.
Kening Caroline semakin mengerut, tapi sepertinya Ia kenal dengan suara ini?
''Emmm... Kau, Nicholas?'' Caroline memelankan suaranya, nadanya terdengar ragu.
Dan di balik masker dan topi hitamnya, Nicholas tersenyum menawan. "Ya. Senang bisa bertemu denganmu lagi, beauty." sahutnya sembari membuka benda yang menutupi wajahnya.