“Udah lah, Li. Kalo emang dia suka sama lo kenapa gak dari dulu dia nerima lo? Kenapa harus main kucing-kucingan terus digantung? Cewek kayak gitu gak pantes diperjuangin! Buang-buang waktu, tenaga sama pikiran lo. Toh masih banyak cewek lain yang bahkan mau nyerahin dirinya sendiri ke elo tanpa lo harus berusaha sedikit pun.”
Fadli menghela nafasnya—mendengar penuturan sekaligus cibiran. Ia sudah tak heran dengan mulut sahabatnya ini berikut cibiran-cibirannya. “Justru itu, Dra! Justru itu gue harus perjuangin dia. Karena dia beda!”
Lagi. Kandra mendengus. Hanya kalimat itu lah yang akan ia dengar setelah nasehatnya yang panjang dan lebar. Fadli tetap dengan k*******n kepalanya. “Emang bener kata Armada. Cinta itu buta!” sungut Kandra. Ia juga lelah jika harus terus menyadarkan Fadli akan usahanya yang ia anggap sia-sia. Fadli tak perduli. Sebanyak apa pun orang yang akan menentangnya, memberhentikannya dari usaha-usaha yang telah ia lakukan, ia tak kan menyerah. Baginya kini hanyalah masalah waktu. Ia yakin jika suatu hari nanti, Caca akan datang padanya.
“Gue mau lamar dia,” ucap Fadli—membuat Kandra menghentikan langkahnya di depan pintu.
“Lo yakin?” tanyanya sambil membalik badan.
Fadli mengangguk. Ia bangkit dari sofa dan berjalan menuju jendela besar di ruangannya. “Gue pastiin dia gak bakal bisa nolak.”
“Mau lo apain, Li? Santet?”
Fadli mendelik kesal. Ia tak sekejam itu. Atau se-frustasi itu sampai harus menggunakan cara syirik. Ia merinding sendiri membayangkannya.
“Gue bisa pastiin dia gak bisa ngehindar lagi. Dia pasti nerima gue.”
Kandra hanya menghela nafas. Menyerah. Toh percuma ia tentang juga. Fadli akan tetap pada perdiriannya.
“Caacaaaaaa,” teriak seseorang dari teras rumahnya. Caca yang baru saja sampai di depan rumah tersenyum lebar lalu membuka tangannya lebar saat tubuh sahabatnya menubruknya—memeluknya dengan erat. Dua tahun itu memang bukan waktu yang sebentar. Nyatanya sahabatnya banyak berubah.
“Ciyee yang makin bening abis nikah!” sungutnya. Ia menggeret kopernya sambil berjalan masuk ke dalam rumah. Orangtuanya sudah tersenyum lebar diambang pintu, menanti kepulangan anak bungsunya.
“Kau jahat! Aku nikah, kau tak pulang. Dan kini kau pulang pun, aku tak tahu!” cebik Manda.
Caca terkekeh mendengarnya lalu sibuk menciumi punggung tangan orangtuanya. Ia mengabaikan bibir manyun Manda yang kini membuntutinya berjalan menuju dapur. “Kaaaaak Caraaaaa!” teriaknya. Ia ingin memeluk kakak semata wayangnya itu namun ditahan tubuh tinggi menjulang—suami Kak Caralita. Ia menghentikan langkah kecilnya dan menatap dengan kesal ke arah kakak ipar yang berdiri di depannya. “Bang! Awas sih! Aku kangen sama Kak Caraa!” rengeknya.
“Cara lagi hamil. Jangan peluk-peluk!”
Detik berikutnya, Caca heboh menerima kabar hamil itu. Ia menjerit sehisteris mungkin tanpa memerdulikan tatapan membunuh dan gelengan kepala karena nyatanya gadis ini tetap Caca yang dulu. Caca yang meski terlihat dingin namun sangat hangat. Ia gadis yang periang namun terlihat angkuh.
Laki-laki itu melangkah dengan malas menuju ruangannya. Sekretarisnya sontak berdiri untuk menyambut kedatangannya namun dikibasnya dengan tangan jika ia sedang malas dan tak ingin diganggu. Ia tetap melanjutkan langkahnya hingga pintu ruangannya terbuka. Ia duduk di sofa tanpa memerhatikan sekitarnya. Mengendurkan dasinya lalu melempar punggung pada penyangga sofa. Detik berikutnya, ia membuka ponsel dan tak ada notification satu pun. Ia menghela nafas. Gadis itu kembali mendiamkannya. Sampai kapan ia akan digantung seperti ini? Entah lah. Jika memang begini caranya untuk mendapatkan gadis itu, tak apa. Asal nanti ia dapatkan. Harus ia dapatkan!
“Jadi begini kelakuan kamu dua tahun belakang ini?”
Tubuhnya terlonjak kaget saat mendapati sosok Maminya yang duduk tepat di depannya. Ia mengelus dadanya berharap jantungnya tak melompat karena mendapati kemunculan Maminya yang tiba-tiba. “Ada apa Mami ke sini?” tanyanya tanpa memerdulikan wajah dingin Maminya.
“Begitu cara kamu menyalami Mami?” Fadli mendengus lalu bangkit dari sofa dan menyalami Maminya. Setidaknya ia masih punya sopan santun pada orangtua.
“Jika Mami hanya akan mengacaukan mood Fadli dengan tawaran perjodohan itu, lebih baik Mami pulang dan istirahat di rumah,” ucapnya sambil berjalan menuju jendela—menatap jalanan siang hari Kota Jakarta.
“Mami punya niat baik untuk menjodohkan kamu tapi kamu lebih memilih untuk terluka karena gadis itu,” cecar Maminya. Tentu saja Maminya tahu perkembangan asmaranya yang buntu. Tak perlu bertanya tahu dari siapa. Ada banyak mulut ember di sekitarnya. Regan, Wira, Fadlan dan Kandra sudah cukup menjadi jawaban.
Maminya bangkit lalu mendekati anak lelakinya yang kini terlihat semakin dewasa. Wanita paruh baya itu menepuk bahu anaknya sekilas. “Mami hanya tak ingin anak Mami terluka. Apa itu salah?”
Walau mungkin caranya salah. Kenapa? Karena cinta tak pernah bisa dipaksa.
Malamnya Caca memilih duduk bersama keluarganya di teras depan. Tentu saja dengan kehadiran kakaknya dan kakak iparnya. Mereka menghabiskan malam dengan mengobrol. Namun lebih banyak Caca yang berbicara. Gadis itu menceritakan apa saja yang dialaminya di Singapura. Pengalaman dua tahun tinggal di negara kecil itu banyak memberikannya pengetahuan mengenai kemajuan teknologi disana. Ia juga menceritakan pengalaman lucu mereka yang tersesat karena salah mengerti akan instruksi petugas kereta. Dan tentu saja tak akan pernah menceritakan soal playboy kacangan yang terus mengejarnya.
“Apa gak ada cowok melayu Singapura yang cakep, Ca?” tanya Cara. Caca terkekeh. Ia bisa melihat betapa antusias Bundanya. Bundanya sangat menginginkan agar ia segera menikah. Bahkan kakaknya pun kini sudah hamil anak yang ketiga. Sementara umurnya sudah mencapai 26 tahun. Tahun depan akan menjadi 27 tahun. Untuk ukuran di daerahnya, umur perempuan di atas dua puluh lima tahun dan belum menikah itu dianggap sudah mengkahawatirkan. Tapi Caca tak pernah perduli. Sejak lama merantau di Jawa lalu lanjut kuliah di Singapura, ia tidak mau terlalu terkekang dengan anggapan seperti itu. Karena jodoh itu kan urusan Allah. Dia yang lebih tahu kapan waktu terbaik bagi hamba-Nya untuk menikah.
“Yang cakep sih banyak, kak,” ucapnya.
“Gak ada yang suka sama kamu?” kali ini Bundanya yang bertanya.
“Ada sih, Bun,” jawabnya sambil mengingat-mengingat beberapa teman lelaki sekampus-nya yang pernah menembaknya. Namun ia tolak karena tak mempunyai perasaan yang sama. “Tapi gak ada yang Caca suka.”
Bundanya mendengus. Beliau sudah tahu jawaban apa yang akan diberikan anaknya sebelum anaknya menjawab. “Kapan kamu menikah kalau begitu? Apa gak bisa dicoba dulu? Toh cinta bisa datang karena terbiasa kan? Kalau gak dicoba dulu gimana bisa suka?” cerca Bundanya. Caca hanya bisa menelan ludah. Setiap membicarakan laki-laki, ujungnya pasti begini. Bundanya terlalu otoriter dan tidak sabaran. Meskipun benar, karena di kampungnya untuk umuran Caca sudah di cap sebagai perawan tua. Namun gadis itu tak ambil pusing. Ia tak begitu perduli pada omongan atau tudingan miring tanpa dasar seperti itu. Baginya ini adalah hidupnya. Toh apa pun keputusan yang ia ambil, pada akhirnya ia pula yang akan menerima resikonya kan?
“Bun... gak semudah itu.”
“Ya gimana bisa mudah kalau kamu saja tak pernah mau mencoba!”
Ayahnya mengelus punggung Bundanya. Caca susah payah menahan air matanya karena tiba-tiba matanya memanas. Dadanya mulai sesak. Sejak ia tamat sarjana empat tahun yang lalu, Bundanya memang selalu mencercanya dengan berbagai rentetan pernikahan. Beliau menginginkan agar ia cepat menikah. Namun gadis itu terlihat tenang dan tidak begitu menanggapi Bundanya. Ia hanya ingin fokus pada karir. Sementara ini ia juga belum menemukan sosok pendamping yang cocok. “Udah lah, Bun. Jangan maksa. Nanti juga kalau sudah ketemu pasti nikah,” bujuk Ayahnya.
Caca menghela nafasnya lalu bangkit dan berjalan menuju kamar diiringi Cara. Kakaknya sangat hapal tabiat adiknya kalau sudah begini.
“Tuh liat anakmu itu. Kalau dikasih tahu pasti begitu,” sungut Bundanya. Caca hanya mendengar samar-samar ucapan Bundanya. Ia memilih masuk ke dalam kamar lalu duduk di atas tempat tidurnya. Tak lama Cara masuk dan menutup pintu kamar dengan pelan.
“Gak usah dengerin Bunda. Kamu kayak gak tahu Bunda aja,” hibur Cara. Tangannya sibuk mengelus rambut adiknya yang kini telah memeluknya dengan erat.
“Aku tahu Kak. Tapi ini udah yang ke sekian kalinya. Aku capek juga kalau digituin terus.”
Cara menarik nafas. Ia memikirkan kalimat apa yang bisa menenangkan adiknya. “Tapi jangan sampai jadi beban. Kakak gak mau kamu tertekan cuma masalah kayak gini.”
Caca mengangguk meskipun ragu. Bagaimana mungkin ia tak tertekan dengan masalah ini? Jika Ibunya selalu memaksakan kehendak tanpa berpikir perasaannya? Memangnya menikah segampang itu?
Ia mengusap air mata disudut matanya lalu melepas pelukannya. “Makasih Kak. Makasih. Kak Cara selalu ada buat Caca.”