Selama kehidupan berjalan, selama roda nasib belum berhenti, selama semesta masih bernafas, manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya tidak bisa menebak-nebak hal apa yang akan terjadi dalam hidupnya, tentang apa yang kelak menjadi takdir mereka, tentang bagaimana mereka mati, apakah akan selaras dengan kehidupan yang setiap hari mereka jalani? apakah akan serupa dengan rencana yang sudah mereka susun? Takdir selalu berubah, karna manusia selalu berubah-ubah.
Selama perjalanan persandingan manusia dengan alam semesta, semesta selalu menemukan cara untuk melakukan eksperimen kepada manusia beserta jalur kehidupannya. Semesta menciptakan 7 penerang dan pengubah dunia yang didasarkan pada 7 unsur pembangun kehidupan manusia --Kebajikan, Harapan, Keberanian, Siasat, Kejenakaan, Ketakutan, dan Kekuatan. Ketujuh unsur ini lalu dimanifestasikan ke dalam raga manusia; satu raga, untuk satu unsur. Kelak, ketika menusia yang ditakdirkan terlahir dengan salah satu dari beberapa unsur tersebut, akan selalu memiliki kecenderungan terhadap unsur yang ada di dalam dirinya. Ketujuh manusia itu disebut dengan sebutan Sila. Namun, kecenderungan yang ditakdirkan tersebut tidak selalu membuat manusia berjalan dalam garis edar hidupnya, manusia kadang berubah, manusia kadang mengedepankan egonya, hingga status mereka sebagai Sila pun tidak bisa menjamin takdir dan perannya dalam pembentukan semesta.
***
Suara nafas yang terengah, teriakan, dan saut-saut obrolan berintonasi rendah terdengar nyaring di sebuah kamar di Kerjaan Siwarka. Keadaan malam yang sunyi, suara sautan binatang malam yang terhenti, hembusan sayup angin malam yang terasa memudar, membuat suara-suara itu terdengar ke segala penjuru istana.
Sejurus kemudian setelah keramaian mulai berkurang, kegelisahan dalam kamar lebih kencang lagi terdengar,
"Sebentar lagi, Kanjeng, terus...sebentar lagi", ujar seorang perempuan dalam kamar tersebut. Nadanya terdengar sangat terburu-buru, nafasnya terengah, wajahnya pasi dan penuh kekhawatiran. Tangannya selalu dalam posisi terbuka bersiap menadah sesuatu yang hendak keluar.
"Eeehhhhhh.....", teriak wanita lain yang tengah berada dalam kondisi kepayahan. Keringat bercucuran dari sudut wajahnya, bibirnya pucat, nafasnya memburu, matanya terbuka dan tertutup tanpa frekuensi yang beraturan, kepala menggeleng-geleng kencang ke kiri, kanan dan atas dengan cepat, kedua tangannya kencang memegang sprai yang sudah kusut tertata diatas kasur kamar itu.
"Ni..sita...Nisita...", lanjut wanita itu dengan mulut yang kesulitan terbuka dan suara tertahan, tergagap oleh nafasnya.
"I...iyaaa, kanjeng".
"Apakah melahirkan selalu sesakit ini? Apa selalu sesulit ini, Nisita?"
"Bi...biasanya tidak, kanjeng, sepengalaman hamba sebagai dukun beranak, melahirkan tidak sesulit yang kanjeng alami sekarang", jelas Nisita, dukun beranak Kerajaan Sirwaka yang kini sedang membantu proses persalinan anak dari Raja dan Ratu Sirwaka.
"Entah mengapa dan apa yang hamba rasakan, batin hamba seakan berkata bahwa bayi yang sedang Kanjeng Cahyadewi lahirkan ini bukanlah bayi biasa, Kanjeng".
Cahyadewi terdiam, ia yang semula hendak menyerah, nafasnya yang semula memburu, ia coba tenangkan. Sejurus kemudian, ia menarik nafas dalam. Wajahnya kini terlihat lebih yakin dan serius.
"Iya, benar, Nisita, anak ini bukan anak biasa, dia anakku, dan dia adalah pewaris tahta Sirwaka", batin Cahyadewi.
"Ayo kita lanjutkan, Nisita", ujar Cahyadewi kepada Nisita.
Nisita tersenyum.
"Hamba akan melakukan semua yang hamba bisa untuk membantu Kanjeng".
Banyak menit berjalan, Cahyadewi masih tetap berdiri diatas optimismenya. Selang beberapa lama suara tangisan bayi terdengar.
Lalu, braakkk...suara pintu terbuka secara tergesa.
"Anakku...anakku sudah lahir", ucap seorang lelaki seraya bergegas mendekati tempat Nisita dan Cahyadewi berada. Matanya berkaca, kata-kata yang hendak ia ucapkan tertahan getaran kedua bibirnya.
Cahyadewi tersenyum, kepayahannya terbalas manis.
"Istriku, Cayadewi, anak kita...anak kita...", ujarnya. Ia mendekati Cahyadewi, mendaratkan sebuah kecup di keningnya.
Lalu dalam kelelahan dan kelemahannya, Cahyadewi mencoba menggapai tangan suaminya, ia menatap wajah suaminya. Dengan sebuah intonasi yang lembut, ia berucap,
"Kakanda Gajendra, ada sebuah hal yang sebenarnya menggangguku, sebuah hal tentang kelahiran anak kita ini".
Gajendra, Raja Sirwaka, yang semula sumringah terdiam. Ia menatap mata istrinya.
"Apa gerangan yang membuat hati adinda gundah?".
"Kakanda, menjelang kelahiran anak kita, aku bermimpi tentang sebuah mimpi yang tidak aku mengerti maksudnya...".
"Hal ini sengaja aku lupakan tadi, agar proses melahirkan bayi kita lebih mudah".
Cahyadewi menarik nafas panjang, pandangan matanya kosong tertuju ke arah langit-langit kamar istana.
"Dalam mimpiku, ada seorang yang mendatangiku. Entah ia lelaki atau wanita, wajahnya sangat cemerlang bercahaya sampai aku sulit mengenali wajahnya. Ia berkata, "Wahai Ratu Sirwaka, tidak perlu takut. Aku adalah manifestasi dari alam semesta. Aku datang untuk menyampaikan sebuah pesan, bahwa sebentar lagi ada seorang Sila yang akan datang dari keturunanmu, ia kelak akan memiki kecenderungan terhadap Kebajikan. Namun takdirnya sebagai seorang Sila tidak akan berakhir persis seperti takdirnya sebagai seorang Sila. Baik-buruk, menjadi pemelihara atau penghancur, selalu menaungi alur kehidupannya". Lalu gemerlap semakin sulit untuk aku atasi sampai aku terjaga".
Sebagai seorang lelaki dan sebagai seorang suami yang terbiasa menenangkan keresahan yang dialami Cahyadewi, Gajendra menatap mata istrinya lebih dalam. Ia menggenggam tangan Cahyadewi, seraya mengusap dahinya, dengan nada yang pelan dan pasti, ia berucap,
"Wahai, adinda, tenanglah. Bayi ini adalah anak kita, Pangeran Sirwaka, kelak ia akan memimpin Sirwaka yang sejahtera nan adil ini. Menjadi pemelihara atau penghancur ia pada akhirnya, aku tidak peduli, tapi... sebagai orang tua, mari kita bentuk kehidupan anak kita bersama. Kita bentuk sebuah awal dan akhir yang bagi anak kita".
Cahyadewi terdiam. Ucapan bijak Gajendra tidak cukup membuatnya yakin dan tenang.
"Kakanda, satu permasalahan serius akan kelahiran anak kita yang aku fikirkan bukan hanya tentang mimpiku tadi, tapi perihal status anak kita sebagai seorang pangeran. Sejak lama, Masyarakat dari Suku Katara, para pemberontak, dan para penyihir hendak mengoyak Sirwaka, dengan lahirnya anak kita ini, aku khawatir...sangat khawatir jika nanti pertempuran berkecamuk, kita tidak lagi bersatu sebagai sebuah keluarga yang padu. Aku takut anak kita terpisah dalam kecamuk pertempuran yang akan terjadi kelak, kakanda, sampai...".
Air mata mengalir dari kedua mata inda Cahyadewi, bibirnya bergetar.
"Sampai anak kita tidak bisa kita asuh".
Gajendra terdiam. Imajinya jauh memandang ke depan. Sebagai seorang raja dan seorang pemimpin, ia memahami betul kekuatan kerajaannya. Melihat komposisi lawan yang begitu kokoh dan digdaya, Gajendra tentu ragu akan keselamatan kerajaannya, akan keselamatan rakyatnya, akan keutuhan Sirwaka, dan akan keutuhan keluarganya. Ia pun tidak berusaha menerka bahwa dengan lahirnya bayi di kerajaannya, musuh memiliki kesempatan untuk meluluhlantahkan Kerajaan Sirwaka beserta garis keturunannya. Dalam keraguannya yang begitu besar dan bebannya sebagai seorang raja. Ia berusaha kuat dan meyakinkan dirinya.
"Nisita, tolong panggil Patih Bhadrasana".
"Hormat saya, kanjeng, akan saya panggil Patih Bhadrasana untuk menghadap".
Nisita menundukkan wajahnya seraya berlalu dari kamar, meninggalkan sepasang Raju dan Ratu Sirwaka dalam kegundahan.
"Adinda, aku pun ragu sebagaimana engkau ragu, aku pun sama takutnya sebagaimana engkau takut akan nasib buruk keluarga kita dan Sirwaka. Namun, sebagai seorang raja, aku akan berusaha untuk tidak gentar, agar rakyatku pun tidak gentar. Jika pun kita hancur...kalau nanti aku tidak sanggup mempertahankan keutuhan Sirwaka, aku yakin bahwa nanti anak kita akan mengembalikan keutuhan Sirwaka. Dan dengan sikap kecenderungan akan Kebajikan yang ia punya, semoga para Dewata selalu menjaganya sebagaimana ia menjaga dirinya. Dengan sikapnya terhadap kebajikan seperti yang Adinda sampaikan tadi, maka akan aku namakan anak kita ini dengan nama Abyudaya -- dalam bahasa Sansekerta diartikan sebagai kemakmuran. Agar kelak dengan kebijakan yang ia miliki, ia dapat menjaga makmurnya dunia dan Sirwaka".
Cahyadewi berkaca-kaca mendengar ucapan suaminya. Kelua dari statusnya sebagai seorang istri yang harus taat dan mendukung segala hal tentang suaminya, ia mengagumi keteguhan hati Gajendra. Ia mengagumi cara Gajendra menghadapi problematika. Ia mengagumi cara Ganjendra memandang dunia.
"Wahai, anakku, ingatlah, namamu adalah Abyudaya. Kelak, nanti saat kau beranjak dewasa, kau harus memahami bahwa ini adalah do'a yang diberikan ayahanda dan ibundamu kepadamu".
Beberapa saat kemudian, Bhadrasana datang menghadap. Ditemani Nisita disampingnya seraya membawa perlengkapan yang akan ia gunakan untuk membersihkan bekas-bekas persalinan pada bayi Abyudaya.
"Hormat saya, kanjeng", ujar Bhadrasana seraya mendekat lebih rapat kepada Gajendra.
"Patih Bhadrasana, seperti yang kita tahu, musuh beberapa waktu ini sering merongrong Sirwaka, dan jika kelak Sirwaka dalam keadaan genting. Aku meminta kepadamu sebuah permintaan yang bukan diajukan seorang raja kepada patihnya, melainkan seorang sahabat kepada sahabatnya. Aku mohon pergilah, bawa anakku, Abyudaya, didiklah ia. Kita telah melalui banyak hal bersama, banyak pertempuran dan rasa sakit yang kita bagi bersama. Aku, sebagai sahabatmu, mempercayakan anakku kepadamu dan keturunanmu, jika kelak aku tidak bisa mempertahankan Sirwaka".
Bhadrasana mengangkat wajahnya yang semula tertunduk. Wajahnya yang mulai dipenuhi kerut itu tidak bisa menyembunyikan bebannya sebagai seorang patih. Nalurinya tidak mengelak imaji sang Raja, ia pun memahami bahwa Sirwaka tidak setangguh lawannya. Ia memahami bahwa serangan penuh musuh memang benar-benar dapat meluluhlantakkan Sirwaka.
"Dengan semua keberatan dan kasih sayang yang hamba miliki kepadamu sebagai seorang sahabat dan raja, aku menyanggupinya. Akan aku jaga anakmu Abyudaya, dengan seluruh nafasku, Gajendra".
Gajendra tersenyum. Meski ia tahu bahwa patihnya yang tangguh itu pun tidak bisa menjamin keselamatan anaknya, tapi beban berat dalam hatinya berkurang, seakan terlepas sedikit ke arah harapan yang lebih indah dari imajinya.
"Anakmu Karya pun masih bayi bukan, Bhadrasana? Semoga kelak, anakmu dan anakku bisa mewarisi hubungan indah ayah mereka berdua".
***
Situasi mencekam, kematian dan kelaparan menghantui di setiap sudut desa, tanah yang tandus, hutan yang menguning, kebun-kebun yang dihiasi pepohonan yang mati kekeringan, sungai yang bermandikan ikan-ikan yang mati terkapar kehilangan air. Sayup-sayup tangisan bayi terdengar di salah satu rumah dengan anyaman bambu yang berlubang sebagai dindingnya.
"Loka...Loka...siapa orang bercahaya yang tengah memegangi bayimu itu? Arwah suamimu yang menjelma malaikat kah?", ujar seorang dukun beranak yang ketakutan di sudut ruangan sempit rumah itu. Tubuhnya gemetaran, keringat bercucuran dari hampir setiap bagian tubuhnya, matanya mebelalak, tangannya memegangi dinding anyaman bambu di belakangnya.
"Tenanglah, Loka perempuan suci dari Suku Priya. Aku adalah manifestasi dari alam semesta. Aku datang kemari untuk menyampaikan pesan bahwa anak ini terlahir sebagai seorang Sila", ia berujar dengan intonasi yang datar, tapi suaranya yang tinggi dan bergaung cukup membuat pingsan dan lari orang-orang dengan nyali rendah.
Loka yang masih lesu dan dipenuhi darah persalinannya, berusaha untuk berdiri, tangan dan kakinya gemetaran karna energi yang belum pulih. Wajahnya yang pucat harmonis dengan keringat yang bercucuran.
"Aku tidak mengerti ucapanmu, apa itu Sila? Mengapa anakku yang menjadi Sila?"
"Ketahuilah, Loka, anakmu adalah salah satu manusia yang ditakdirkan untuk terlahir sebagai wujud dari pancaran element pembentuk takdir dan nasib manusia yang disebut Sila. Anakmu adalah Sila Harapan, tapi takdir dan akhir dari kehidupan Sila, tidak selalu ditentukan serupa dan sejalan dengan takdir awalnya. Baik-buruk, menjadi pemelihara atau penghancur, semuanya ada di tangan anakmu sendiri".
Orang dengan wajah bercahaya itu mengusap keseluruhan tubuh bayi yang ada di tangannya. Cahaya yang ada di wajahnya semakin benderang, Loka yang lesu itu pun sulit mempertahankan kesadarannya yang masih setengah-setengah.
Sesadarnya Loka, ia tengah tertidur di kamarnya. Di sisinya, bayi perempuan yang semula belum dibersihkan dari bekas-bekas persalinannya sudah bersih dan dibalut kain coklat tebal. Ia tertegun, mencoba berasumsi tentang hal yang ia alami sebelumnya.
"Apakah itu mimpi? apakah itu khayalanku setelah aku tidak sanggup merasakan sakit yang begitu dahsyat?"
Benak Loka bertanya-tanya, ia memandangi sekeliling, dukun beranak yang ketakutan itu pun masih bersandar di tempatnya dan masih belum terjaga kesadarannya. Ia berusaha untuk bangkit dan menggendong bayinya.
"Bayi yang sangat cantik", ujar Loka seraya menyingkap kain yang membalut anaknya. Sepasang anting logam berwarna perak dengan simpul dan ukiran yang elok terpasang dan mengelilingi kedua kelopak sampai daun telinga anaknya, dengan daun anting berbentuk bunga yang tidak Loka pahami betul namanya.
Wajah Loka murung. Ia memahami bahwa melahirkan seorang bayi bukanlah hal yang tepat dalam situasi seperti ini. Anak yang lahir tanpa ayah akan rawan dianggap penyihir dan diburu kehidupannya oleh warga di desanya. Selain itu, kondisi desa yang tengah mengalami masa-masa sulit, tidak akan membuat ia dan bayinya bertahan hidup. Loka berfikir keras tentang apa yang ia harus lakukan untuk menjaga bayinya. Disatu sisi, ia sangat menyayangi anaknya bahkan sebelum anaknya tumbuh, ia pun masih memikirkan kejadian dimana orang dengan wajh bercahaya tadi berkata bahwa anak Loka adalah Sila Harapan. Meski ia tidak memahami maksudnya, namun ia tahu bahwa anaknya adalah anak yang istimewa. Namun di sisi lain, Loka juga tahu bahwa jika ia tetap mempertahankan anaknya, merawat anaknya sebagai mana seorang ibu, keselamatan anaknya akan terancam, bahkan jika ia selamat dari buruan penduduk desanya pun itu tidak menentukan keselamatan anaknya selanjutnya. Akan pergi kemana ia? Bagaimana ia bertahan selanjutnya?
Dalam kegundahan dan kesedihannya, Loka tersedu memikirkan betapa malangnya nasib anaknya. Dilahirkan dalam keadaan tanpa ayah, dilahirkan di desa tanpa harapan untuk hidup, dilahirkan dari rahim seorang ibu yang tidak bisa berbuat banyak dan penuh keraguan. Sebuah ide terpintas.
"Mengapa tidak aku hanyutkan saja anakku ke sungai di balik perbukitan sana, jauh dari penduduk desa dan mengarah ke Desa Kawanda. Siapa tahu disana ada yang bisa menjaga anakku lebih dari kemampuanku menjaganya".
Ide yang gila bagi seorang ibu. Namun bagi Loka, keselamatan anaknya jauh lebih penting daripada keinginannya untuk merawat anaknya namun berakhir sia-sia. Loka, sebagai seorang pribumi Desa Cora; Desa yang ia tinggali sekarang, memahami betul bahwa jika ia nekat mengantar dan berusaha sampai ke Desa Kawanda bersama anaknya dengan kondisinya yang seperti itu; tidak bertenaga dan lemah, sama saja artinya dengan bunuh diri. Jarak Desa Kawanda dan Desa Cora yang terpencil itu terpaut jauh, perlu setidaknya 3 hari hanya untuk mencapai hulu sungainya saja.
Dengan tekad yang sudah bulat, Loka bergegas menuju ke hulu sungai Desa Kawanda. Perbekalan yang benar-benar seadanya, hanya setengah botol air dan 3 buah roti kering, Loka bawa. Ia keluar rumah, menapaki jalan setapak dengan tanah liat yang sudah benar-benar mengering, penuh retakan, dan memantulkan teriknya cahaya mentari. Suasana desa yang sunyi membuat Loka leluasa mengantarkan dirinya ke hutan.
Lama Loka berjalan, mentari terbenam, dinginnya hutan tanpa pohon yang menghijau menusuk kulit Loka. Loka memandangi persediaan perjalanannya, dalam batin, ia menangis, namun mengingat anaknya yang bahkan belum genap berumur sehari, keinginannya untuk melahap satu roti dan menengguk air minum bangkit.
"Aku harus menyusui anakku, aku harus makan", batin Loka berujar.
Pandangan Loka menelusup setiap sudut hutan, memperhatikan setiap hal yang bergerak, dedaunan kering yang jatuh, sepoi pohon yang bergerak dirayu hembusan angin, burung gagak yang beterbangan menunggu mayat mereka tergeletak. Telinga Loka bahkan aktif mendengar setiap bunyi kecil. Demi menjaga anaknya.
Mentari terbit, pagi pun menjelang. Tanpa sarapan, tanpa minum, Loka melanjutkan perjalanannya. Sepanjang perjalanannya kemarin, anaknya belum menangis, bahkan ketika lahir, ia tidak menangis sama sekali. Loka merasa khawatir. Untuk seorang perempuan yang baru memiliki anak, Loka sangat bodoh dalam hal mengurus anak.
Ia berhenti sejenak, mereleksasi otot kakinya yang lelah bergerak. Bibirnya yang mengering, menghiasi wajah manisnya.
"Nak, tidakkah kau merasa lapar? Tidakkah kau merasa takut pada perjalan yang ibu lakukan yang bahkan ibu pun ragu apakah bisa mengantarkanmu dengan selamat ke hulu sungai atau tidak? Sampai kau tidak mengangis sedikit pun".
Loka memandangi wajah elok anaknya. Loka tertegun melihat senyuman manis di wajah anaknya. Senyuman itu seakan sebuah isyarat dan pesan tersirat anaknya kepada Loka.
"Sudahlah, ibu, semua akan baik-baik saja".
Sederhananya seperti itu mungkin.
Dalam istirahatnya, Loka kembali menyusui anaknya. Air s**u yang mulai mengering karna asupan Loka yang kurang, membuat keteguhan hati Loka goyah. Sekali lagi ia pandangi wajah anaknya. Ia terkejut melihat kedua bola mata anaknya yang berwarna tidak sama, biru muda dan ungu muda. Ia tersenyum dan berbahagia melihat keelokan anaknya.
"Ia adalah anak yang istimewa, aku tidak boleh menyerah begitu saja".
Batin Loka menguatkan tekadnya.
Mentari kembali berpindah, meninggalkan rembulan yang mulai berpijar. Dalam istirahatnya yang kedua, Loka kembali menyantap bekalnya. Dengan bibir yang semakin mengerang, tubuh yang semakin melemah, temperatur badan yang semakin tidak terkendali, Loka bergumam,
"Hanya tinggal 1 buah roti dan sedikit saja air untuk diminum".
Ia memandangi langit, dalam hatinya ia memaki Dewata yang seakan tidak adil kepadanya. Dalam lamunannya, Loka tersadar oleh suara bayi dari mulut anaknya. Loka tertegun, matanya berkaca, sebagai seorang ibu yang telah 2 hari dalam perjalanan, ia bahkan tidak sempat mengajak anaknya berbicara. Loka memang tidak memahami cara bercengkrama dengan bayi. Tidak aneh. Ini kali pertama Loka memomong seorang bayi. Namun tawa dan bahagia mengalir begitu saja. Dalam kondisi hutan yang sunyi, Loka dan bayinya tertidur.
Dalam bayang-bayang hutan yang hening, dalam keadaan Loka yang setengah tersadar, ia melihat sekelibat bayangan melintas di kejauhan.
Paginya, Loka bergegas. Ia khawatir hal buruk akan terjadi. Di hari ke 3 ini, Loka memutuskan untuk tidak beristirahat sama sekali. Kakinya yang mulai membengkak, pecahan kulit di bibirnya benar-benar terlihat, matanya sembab, tenggorokannya terasa teriris.
Loka sudah nyaris pingsan, keseimbangannya sudah mulai hilang. Namun bayi yang da dalam pelukannya, membuat ia mau terus berjalan. Ketika Loka hampir tumbang, ia mendengar suara aliran air yang sayup terbawa angin.
"Air...suara air, nak, sebentar lagi kita sampai".
Wajah Loka berubah menjadi ceria. Semangatnya bertambah-tambah, tekadnya berlapis. Tanpa memperdulikan kakinya yang bengkak dan otot tubuhnya yang berkontraksi berlebihan, Loka melanjutkan perjalannya.
Tidak sampai beberapa lama, Loka menemukan tujuannya, hulu sungai yang akan membawanya ke Desa Kawanda. Hatinya tenang. Ia tersenyum memandangi anaknya.
"Nak, lihatlah, kita sampai...kita sampai di hulu sungai", ujar Loka setengah berjingkrak.
Dalam kebahagiannya, Loka terfikirkan suatu hal. Nama. Nama apa yang akan ia berikan kepada anaknya. Namun sebelum memikirkan hal itu, ada hal yang lebih penting bagi Loka, menyusui anaknya. Loka bergegas berkeliling sekitaran sungai, berharap ada buah atau makanan apa pun yang bisa ia makan. Hulu sungai itu sangat subur, tidak sulit bagi Loka mengumpulkan cukup buah untuk ia makan, bahkan untuk ia jadikan bekal perjalanan kembali ke desanya. Ia mengisi botol airnya sambil berulang kali meminumnya, melepas dahaga yang sangat menyiksa.
Ketika beristirahat dan menyusui anaknya, Loka teringat sebuah kejadian ketika anaknya lahir, tentang Sila, Harapan, dan atau apa pun itu yang tidak Loka pahami. Loka pun tersadar bahwa kekuatan yang selama ini menyelimutinya berasal dari anaknya.
"Yah...dengan semua yang telah kita lewati, akan aku namakan kau Arkananta --dalam bahasa Sansekerta berarti selalu menerangi. Nama ini berisikan semua tentangmu, nak, tentangmu yang membuat ibu kuat dan yakin. Orang berwajah bercahaya itu benar, kau adalah harapan. Kau harapan terbesar ibu, nak".
Seketika cahaya terang muncul dari d**a Arkananta. Loka terkejut. Ia melihat sebuah kalung yang dengan sendirinya terpasang di leher Arkananta. Kalung yang berbandul sama dengan daun anting Arkananta.
"Kau memang anak yang diberkahi, Arkananta. Hiduplah, teruslah terangi dunia. Do'a dan restu ibu akan selalu menyertaimu, nak".
Kraakkk...kraaakkk...ranting-ranting kering yang terinjak membuat suara yang cukup nyaring. Loka terkejut dan langsung memeluk Arkananta. Matanya melotot ke arah sumber suara. Posisi badannya waspada, seakan siap menantang maut.
"Loka...sudah lama aku mencarimu", ujar lelaki yang terengah itu.
"Kakanda Balun?", ujar Loka terheran melihat kakak iparnya yang tiba-tiba ada di hulu sungai Desa Kawanda.
Lelaki itu sangat kepayahan, nafasnya sulit ia atur. Lalu ia menarik nafas dalam. Ia menenangkan dirinya.
"Aku sudah sejak kemarin malam mengawasimu. Aku tahu kamu pasti berencana pergi ke Desa Kawanda. Aku mengejarmu dari desa. Tapi ketika aku ingin menemuimu, kau sudah terlelap dengan bayimu".
Loka tertawa mendengar ucapan Balun. Ia senang, sekaligus terkekeh dengan ucapannya. Ia mengingat perjuangannya menuju ke hulu sungai ini, berat, teramat berat, bahkan bagi perempuan sehebat apa pun. Karna perjalanan ini tidak hanya tentang kuat, namun tentang tekad. Jika bukan karna Arkananta yang membuat tekad Loka setebal baja, ia mungkin sudah lama menyerah.
"Loka, pulanglah ! Warga desa mencarimu, menganggap kamu penyihir. Semakin cepat kamu pulang, semakin cepat kamu menjelaskan semuanya. Bilang saja, anakmu kau bunuh di hutan, mereka pasti percaya. Demi keselamatan anakmu !", ujar Balun seraya memegangi pundak Loka. Loka seketika terdiam. Ia memandangi anaknya. Pandangannya dalam. Tentulah sulit bagi Loka untuk melepaskan Arkananta dan menjadikan apa yang ia lalui bersama Arkananta hanya sebagai kenangan.
"Lalu siapa yang akan mengantar anakku ke desa Kawanda, kakang?".
"Biar aku, anakmu adalah anak adikku, keponakanku...".
Loka terdiam. Ia memahami bahwa menjaga anaknya hanya akan membuat keduanya terbunuh. Melanjutkan perjalanan ke Kawanda pun hanya akan menjadi upaya bunuh diri karna tubuhnya yang memang sudah benar-benar letih.
"Baiklah, kakang, tapi sebelum itu, izinkan aku menyusuinya untuk yang terakhir kalinya".
Dalam diamnya, Loka sebenarnya bingung. Mengapa kakak iparnya ini lebih banyak terdiam. Balun, sepengetahuannya adalah orang yang tidak bisa berhenti bicara. Bahkan saat makan. Namun, dalam fikirannya, mungkin ia kelelahan atau mungkin berempati pada kondisinya sehingga tidak ingin banyak bicara.
"Baiklah, kakang, ingatlah satu hal, anakku ini bernama Arkananta. Jika telah sampai desa Kawanda, tolong beri tahu pada orang yang akan menjaganya kelak. Dan tolong beritahu, bahwa aku, ibunya, selama hidup, akan menunggunya di Desa Cora".
Balun mengangguk. Lalu ia mengambil Arkananta dari tangan Loka.
"Bawalah perbekalanku denganmu, aku tahu perjalanmu berat, Loka".
Loka tersenyum, namun matanya berkaca. Untuk pertama kalinya, ia mendengar Arkananta menangis.
"Apakah anakmu sering menangis seperti ini, Loka?".
"Tidak, kakang, ini pertama kalinya ia menangis".
"Benarkah? Aaahhh...mungkin, ini isyarat kesedihannya karna hendak berpisah dengan ibunya".
Arkananta tersenyum. Ia memandangi anaknya yang kini ada dalam pelukan Balun. Ia menciumi wajahnya.
"Uuuuhhhh...jangan menangis, Arkananta, nanti lucumu berkurang", ujar Loka.
Namun entah mengapa, hati Loka gundah. Ia merasa benar-benar resah. Ada hal yang mengganggu perpisahannya dengan Arkananta, anaknya.
"Baiklah, Loka, aku pergi, berhati-hati lah dalam perjalanmu".
Loka terpaku melihat kepergian Balun dan anaknya. Loka pun bergegas kembali menuju ke desa. Dalam perjalannya di hari kedua, ia sangat terkejut, melihat mayat yang mulai disantap segerombol gagak.
"Mayat siapa ini", batinnya.
Ia terkejut bukan main, ketika ternyata yang disantap gagak adalah Balun. Ia menangis sejadi-jadinya. Lalu di tengah tangisannya, ia tersadar akan bau bangkai yang menyengat dari arah desanya. Sesampainya disana, mayat-mayat yang terbujur membusuk sudah memenuhi jalanan tandus di sepanjang desa.