Bab 34

1551 Words
Boston, Massachusetts November, 2006 Bunyi dentingan oven menyadarkan Maggie dari lamunan. Ia langsung bergerak ke arah konter untuk mengangkat satu potong ayam panggang yang masih tersisa kemudian menggabungkannya dengan kentang goreng yang sudah tersaji di dua piring. Maggie meletakkan ayam itu di atas piring Dale sebelum bergerak untuk menyajikan dua botol wine yang masih tersisa di lemari pendingin. Tiba-tiba suara ponsel yang berdering mengejutkan Maggie. Matanya mencari-cari ke arah sumber suara hingga ia menemukan ponsel milik Dale yang bergetar di atas meja marmer. Maggie berusaha mengabaikan panggilan itu, tapi sesuatu seakan telah menarik perhatiannya. Ia hanya melirik sekilas dan melihat nama penelepon yang tertera di sana. Michael Sharon. Sekujur tubuh Maggie menjadi kaku dan wajahnya terasa panas. Berusaha mengabaikan perasaan asing yang melandanya itu, Maggie bergerak menjauh hingga suara deringan itu menghilang. Hal-hal aneh selanjutnya terjadi. Maggie merasakan suasana hatinya tiba-tiba menjadi begitu buruk. Hasilnya, ia hanya duduk diam dan mengabaikan makanan yang sudah tersaji di piringnya. Kehadiran Dale membuat Maggie merasakan darahnya mengalir lebih deras. Pria itu membawa beberapa barang-barang milik Kate di tangannya kemudian bergabung untuk duduk berhadap-hadapan dengan Maggie di konter. Dale menunjukkan sebuah bingkai foto, peralatan manikur, dan beberapa tas baru dengan merek yang sama. Tanpa mempertimbangkan susansa hati Maggie, Dale mulai berceloteh. “Kau tahu siapa saja pria di foto ini? Aku tahu yang ini Walter, tapi bagaimana dengan tiga pria lainnya?” Dale menjulurkan foto itu ke arah Maggie. Satu jarinya menunjuk pada wajah seorang pria tinggi berambut pirang yang berdiri di samping Walter. “Pria berambut pirang ini? Apa kau mengenalnya?” Maggie menggeleng. “Entahlah.” “Bagaimana dengan laki-laki berambut gelap yang ini? Melihat dari struktur wajahnya, dia tampil seperti seorang pria keturunan Spanyol. Mungkinkan pria ini Javier?” Maggie menatap Dale dengan jengkel. “Aku tidak tahu siapa Javier. Aku bahkan mengetahuinya dari Emma Winslet.” Dale mengangguk. “Kalau begitu aku akan menemui Miss Winslet untuk memastikannya.” Setelah memasukkan kertas foto itu ke dalam saku jaketnya, Dale menunjukkan peralatan manikur dan beberapa tas milik Kate ke arah Maggie. “Bagaimana dengan yang ini? Semua barang-barang ini dibeli Kate di satu tempat yang sama.” Sebuah tas kulit berbahan tipis dengan corak berupa dua garis ringan yang melintang di bagian bawah dan satu tas kulit lainnya berwarna perak, telah menyita perhatian Maggie. Maggie menyentuh tas itu dan mengamatinya cukup lama. “Kate tidak pernah menyukai tas kulit sebelumnya,” kata Maggie. “Kalau begitu tidak mungkin dia yang membeli tas-tas ini, kan? Labelnya juga masih terpajang, artinya Kate tidak pernah menggunakan tas ini sebelumnya." “Di mana kau menemukannya?” “Di dalam lemari. Bersama tumpukan pakaian dan barang-barang tak terpakai lainnya.” “Well, aku tidak tahu kalau Kate mengoleksi barang-barang ini sebelumnya. Tapi aku tahu betul seleranya. Dia tidak begitu suka warna perak.” “Jika melihat dari tanggal yang tercantum dalam label harganya, tas ini kemungkinan dibeli kurang dari satu bulan yang lalu. Seseorang membayar mahal untuk barang-barang ini.” “Ya, itu benar,” Maggie menyetujui setelah melihat nominal harga yang tercantum di sana. “Aku tidak ingat pernah memberi Kate uang sebanyak itu untuk membeli semua barang-barang ini.” “Mungkinkah dia menggunakan uang tabungannya atau..” “Jika kau mengenal Kate, kau akan tahu kalau dia sangat boros dan tidak suka menabung. Dia menyukai jenis peralatan antik yang bernilai tinggi, tapi aku tahu kalau semua ini bukan jenis barang yang akan dibelinya.” “Aku akan membawa barang-barang ini untuk penyelidikan selanjutnya.” Dale menghela nafas. Setelah mengepakkan semua barang itu menjadi satu, matanya menatap pada dua piring yang masih terisi penuh di atas konter. Perutnya yang keroncongan membuatnya tidak sabar untuk menelan sesuatu. Jadi, ia bergerak mendekat dan bergabung dengan Maggie. “Jadi, kentangnya sudah siap..” kedua matanya menyorot pada piring Maggie yang masih penuh. “Kenapa menungguku untuk menghabiskan makananmu?” "Aku tidak menunggumu," gerutu Maggie. "Tidak ada yang menunggumu." Sembari menelan potongan besar kentang, Dale bertanya, "jadi ada apa dengan makanannya?" Menggeleng, Maggie mendekatkan piring itu dan melahap makanannya dengan cepat. Ketika makanannya sudah setengah habis, Maggie berhenti untuk bicara, "sekadar memberitahumu saja. Seseorang menghubungimu tadi." "Siapa?" "Michael Sharon." Maggie bisa melihat bagaimana wajah Dale memerah karena tidak nyaman setelah ia menyebutkan nama itu. Selama sejenak ekspresinya tampak mengeras. Tapi jauh sebelum Maggie berkomentar pedas, Dale mengajukan pertanyaan lain yang membuat kekesalannya meningkat. "Apa katanya?" "Aku tidak tahu! Kenapa tidak kau hubungi dia dan tanyakan sendiri padanya?" Itu sebuah retoris yang tidak akan ia tanggapi. Dalam ketidaknyamanan yang dirasakannya, Dale menghabiskan makanan itu dengan cepat. Tiba-tiba keheningan yang terjadi di antara mereka terasa sangat menyiksa. Dale menatap wajah Maggie kala itu. Wanita itu tampak lebih kaku dari biasanya. Apa yang benar-benar bisa membuat Maggie tersenyum? Pertanyaannya, kenapa Dale begitu penasaran? Tapi bagaimana rasanya ketika melihat Maggie benar-benar tersenyum? Itu adalah sebuah fantasi yang tidak akan pernah terwujud. Dale bersumpah! "Pukul berapa kau ingin kembali?" Pertanyaan Dale selanjutnya menyadarkan Maggie dari lamunannya. "Jika investigasi khususmu sudah selesai, kita bisa pergi sekarang." "Baiklah," kata Dale sebelum bangkit berdiri. "Setelah kita membereskan semua ini." Dale menumpuk piring keramik itu di bak pencuci kemudian membilasnya dengan air. Sementara itu, Maggie berdiri di sampingnya menunggu dengan sebuah kain lap kering di satu tangannya. Dale menyerahkan porselen yang sudah dicuci bersih pada Maggie sebelum wanita itu menggunakan lap untuk mengeringkannya kemudian meletakkan porselen kembali ke tepat semula. "Rumah ini menyenangkan," komentar Dale untuk mencairkan situasi tegang yang tercipta di antara mereka. Maggie berbalik dan memfokuskan pandangannya ke arah Dale saat itu. "Kau tertarik? Aku akan menjualnya padamu." Sekarang, tawa pria itu memenuhi seisi ruangan. "Apa kau sudah terlahir dengan kemampuan berbicara sinis?" "Ya. Dan jika ini membuatmu lebih senang, aku memang seorang pecundang nomor satu." "Oh, kau memang egois.." ledek Dale. Maggie menyipitkan kedua matanya dengan gaya tubuh menantang. "Itu tidak lucu, jika kau bertanya. Apa kau selalu bersikap menyebalkan seperti ini?" "Mungkin kau hanya tidak bisa melihat sisi baik dalam diriku." "Sisi baik apa itu detektif?" "Bahwa aku sangat memesona, dan.." Maggie berdecak masam. Tingkahnya membuat Dale tertawa. "Hei, cobalah tersenyum sedikit, semuanya akan baik-baik saja. Kita akan segera menemukan Kate." "Ini menggelikan. Adikku hilang entah dimana dan aku berbicara denganmu seperti tidak ada sesuatu yang terjadi." Dale terburu-buru ketika mematikan keran di tempat pencuci kemudian berbalik menghadap Maggie. Satu tangannya terangkat untuk meremas lengan Maggie dengan kuat sementara tatapannya menusuk tajam pada kilau di mata violet terang Maggie. "Aku tidak tahu ada apa denganmu, tapi aku selalu percaya kalau Kate baik-baik saja. Jangan terlalu larut dalam kesedihanmu! Kita semua berusaha melakukan yang terbaik. Itu saja sudah cukup." Kata-kata Dale membuat Maggie membisu saat menatapnya. Ada kemantapan kuat yang terlukis di wajah Dale, keyakinan kalau pria itu akan membuktikan kata-katanya tanpa kompromi. Keyakinan itu sekaligus telah memengaruhi Maggie. Membuat Maggie luluh dan memercayai Dale sepenuhnya. Tanpa disadari, air mata Maggie jatuh begitu saja. Maggie terlalu larut dengan pikirannya hingga ia tidak sadar berapa banyak air mata yang menetes karena luka yang ia tahan hingga saat ini. Sejauh ini Maggie selalu menyimpan kesedihannya sendiri. Menahan luapan emosinya dan mengisolasi diri dari orang-orang di sekitarnya. Tidak ada tempat bersandar untuk Maggie. Itulah yang selalu diajarkan Bill Russell. Pria itu berpikir kalau ia membesarkan seorang anak laki-laki. Ia mendidik Maggie begitu keras, memintanya untuk memegang suatu tanggungjawab besar dan melarangnya untuk melibatkan diri dengan emosi. Akibatnya, Maggie tumbuh sebagai wanita yang mengerikan. Tanpa kompromi – tanpa rasa empati. Tapi jauh di lubuk hatinya, Maggie tetaplah seorang wanita. Ia tidak bisa tetap berdiri tegap ketika sesuatu menghantamnya bertubi-tubi. Dan terkadang, Maggie tidak bisa terus melawan. Ia membutuhkan seseorang sebagai tempat bersandar. Seseorang yang akan melindunginya. Maggie melihat semua itu dalam diri Dale. Perasaan itu muncul bukan hanya karena ketertarikan fisik semata. Perasaan itu seperti ilusi yang ia ciptakan di balik benteng kokoh yang selama ini dibangunnya sendiri. Sebuah ruang yang membatasi Maggie dari orang-orang di sekitarnya. Saat rasa sakitnya semakin tak tertahankan, Maggie menunduk menatap jari-jarinya, tindakan yang ia tahu akan mengalihkannya dari kesedihan itu. Dale saat itu berdiri dengan kaku. Matanya masih memandang lurus ke arah Maggie. Tangan dan sekujur tubuhnya seolah merasa takut untuk mengambil tindakan selanjutnya. Ketika Maggie berharap pria itu akan menyentuhnya, yang terjadi Dale bergerak menjauh. Ia mengangkat ponselnya yang tergeletak di meja konter kemudian bergerak menjauh ke halaman luar untuk menghubungi seseorang. Dari tempatnya, Maggie terus menatap Dale. Satu tangannya berusaha menyeka sisa genangan air mata yang membasahi wajahnya. Ia menarik nafas panjang, kesal karena telah memikirkan sesuatu yang terlalu tabu. Ketertarikan yang dirasakannya terhadap Dale merupakan suatu kesalahan besar. Maggie tidak akan mengulanginya. Beberapa menit kemudian, Dale bergerak kembali hingga sampai di hadapan Maggie. Butuh usaha keras bagi Maggie untuk menatap lurus pada kedua mata Dale tanpa memperlihatkan emosinya. "Itu Judd. Ada beberapa hal yang perlu kami selesaikan. Jika kau sudah siap, kita bisa pergi sekarang." Maggie mengangguk. Ia meraih mantel dan tasnya kemudian mengenakannya dengan cepat. "Aku sudah siap." Setelah menyerahkan kunci mobilnya pada Dale, Maggie berjalan berdampingan dengan pria itu ketika keluar dari dalam pondok menuju camaro-nya yang masih terparkir di halaman depan. Maggie memilih tempatnya di kursi penumpang, kemudian Dale bergerak masuk ke kursi kemudi dan menyalakan mesin mobil dengan cepat. Setelah memastikan Maggie sudah duduk tenang di tempatnya, Dale menatap ke spion luar mobil kemudian menginjak pedal gas perlahan hingga mobil mereka bergerak menjauh meninggalkan pondok itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD