Laura Jane Addams telah menghadiri pesta itu selama lebih dari tiga jam. Ia hanya berdiri di sana dan tidak melakukan kegiatan khusus apapun selain memandangi gelas berisi alkohol yang kini sudah setengah kosong.
Seisi ruangan terasa sesak dan padat terutama karena Liam, mantan kekasihnya, juga hadir di sana. Laura telah berusaha mengabaikan Liam. Ia seharusnya tidak menghadiri pesta itu. Laura sudah bersumpah akan menjauhi segala hal tentang Liam. Tapi Gene adalah sahabat sekaligus orang terakhir yang ingin dikecewakan Laura.
Satu pekan yang lalu, Gene telah menelepon Laura dan mengingatkannya untuk hadir dalam pesta ulang tahunnya yang ke dua puluh tiga. Wanita cantik yang dulu menjadi teman sekelas Laura itu ingin ulang tahunnya kali ini dirayakan dengan meriah. Meski baru saja putus dari Liam, Laura tidak berniat absen di hari paling bahagia sahabatnya – tapi Gene tidak mengatakan kalau Liam juga ikut hadir di sana. Dan ketika Laura menudingnya dengan berbagai tuduhan, Gene terus memakai alasan kalau wanita itu tidak tahu masalah keretakan hubungan Laura dengan Liam.
Hasilnya, Laura tidak bisa menikmati pesta itu tanpa mengacuhkan keberadaan Liam dan gadis berambut pirang lainnya yang digandeng oleh pria itu. Gadis bernama Cherry itu kabarnya telah menjalin hubungan dengan Liam. Laura segera tahu hal itu setelah mendengar desas-desus. Kemudian, seolah hal itu belum cukup mematahkan hatinya, Liam memutuskan untuk membawa Cherry ikut hadir dalam pesta ulang tahun Gene yang juga menjadi teman sekolahnya.
Cherry bukannya tidak cantik. Wanita itu mungkin tidak secantik Laura, tapi Cherry cukup manis dan yang terpenting wanita itu bertubuh langsing. Sementara Laura menggambarkan sosok yang akan dicintai oleh semua laki-laki: rambut pirang dengan bola mata besar berwarna biru terang, kulit yang tak bercela juga tubuh sintal dengan tingginya yang menarik. Liam selalu menyukai kemampuan wanita bertubuh montok seperti Laura di atas ranjang, persis seperti percintaan panas yang terjadi selama tiga tahun dalam hubungan mereka. Tapi sepertinya sekarang sudah tidak berlaku lagi.
Mengingat kenangan manisnya bersama Liam membuat Laura semakin sakit hati. Pesta itu seolah menjadi semakin sesak dan sempit untuknya. Rasanya ia baru saja hendak melangkahkan kaki ke luar dari ruangan ketika Gene menahannya di tempat.
"Aku menyayangkan kenapa kau masih memandangi Liam ketika banyak pria di sini yang memandangimu, Laura."
Laura berbalik dan menatap wajah cantik Gene. Wanita berkulit gelap itu tersenyum hangat padanya. Laura tahu kalau Gene tidak hanya akan membiarkannya pergi dari pesta sebelum memastikan Laura baik-baik saja. Jadi, Laura balas tersenyum. Ia menghela nafas kemudian mengatakan,
"Aku baik-baik saja, sungguh. Dan aku tidak memandangi Liam," Laura berbohong. "Masa bodoh dengan dia!"
Gene, temannya selalu tahu saat-saat ketika Laura berbohong. Wanita asal Texas itu menggeleng dengan cepat kemudian meraih lengan Laura dan menyeretnya menjauh dari keriuhan pesta hingga mereka hanya berduaan di lorong pembatas menuju kamar mandi.
"Sekarang kau bisa mengatakan semuanya! Apa kau sakit hati karena melihat Liam bersama Cherry? Kau masih belum bisa melupakannya, ya?"
Di saat yang bersamaan, Laura tidak bisa menahan diri untuk menumpahkan air matanya. Emosinya meluap saat itu juga.
"Ya! Sialan, ya! Berengsek, Liam! Aku membencinya."
Gene tidak berkata-kata lagi dan memilih untuk memeluk sahabat lamanya itu. Ia mengusap punggung Laura dengan lembut hingga perlahan Laura menghentikan isak tangis nya.
"Aku bodoh sekali, ya?" Kata Laura sembari menyeka sisa genangan air mata di wajahnya.
"Tidak apa-apa. Ini salahku. Aku seharusnya tidak mengundang Liam."
"Tidak," bantah Laura. "Bukan salahmu. Ini pestamu, kau seharusnya menikmati pestamu, dan sikapku pasti sudah mengacaukannya. Sebaiknya aku pulang."
"Kau yakin?"
"Ya."
"Aku ingin sekali mengantarmu kembali tapi aku tidak bisa. Jadi, aku akan meminta Cobb untuk mengantarmu pulang," Cobb kakak tertua Gene yang saat ini sudah memiliki seorang istri dan dua orang anak.
"Tidak, jangan. Aku tidak ingin merepotkan siapapun. Aku bisa pulang sendiri."
"Biarkan Cobb mengantarmu, dia tidak akan keberatan."
"Tidak, Gene. Ini akan membuat aku lebih baik."
Laura meyakinkan Gene dengan tatapannya. Kedua tangannya meremas tangan Gene dengan lembut hingga perlahan wanita itu luluh.
"Telepon aku segera setelah kau sampai di rumah.'
Tersenyum, Laura bergerak meninggalkan Gene dan pesta itu. Ia tidak berhasil menyembunyikan kesedihannya saat berpapasan dengan Liam di pintu masuk. Pria itu mematung saat memandanginya. Sementara Cherry yang bertengger di lengannya mulai bergerak dengan gelisah, menarik Liam untuk bergerak ke arah balkon. Hingga dua pasangan itu tak terlihat lagi, Laura berjalan dengan cepat kembali ke mobilnya. Ia menangis tersedu-sedu di dalam mobil itu. Beberapa menit setelah Laura merasa lebih tenang, ia menyalakan mesin mobilnya kemudian menginjak pedal gas dan berkendara meninggalkan area pesta.
Mobil Laura memasuki persimpangan Back Bay Fens dan memasuki jalan ketiga. Saat itu hampir pukul sebelas malam. Pestanya mungkin akan berakhir beberapa jam lagi. Tapi Laura tidak tahan. Pilihan untuk pergi meninggalkan pesta sudah sangat jelas. Ia mengendara lebih cepat hingga sampai di persimpangan. Jalanan tampak sangat gelap. Lampu jalan yang terlihat saling berdiri dalam jarak dua puluh meter. Mobil Laura berniat memasuki perumahan di sekitar sana. Namun, gerbang pembatas setinggi dua meter yang menghubungkan jalanan lepas dengan perumahan telah ditutup.
Laura mengerang dalam hati. Ia sampai lupa kalau gerbang itu akan ditutup pada pukul sepuluh. Akibatnya, ia terpaksa mengambil jalur memutar. Mobilnya memasuki jalanan kecil. Jarang ada kendaraan yang berlalu lalang di sana. Hanya ada satu ada dua pasangan yang sedang berkeliaran. Tampilan mereka mengerikan. Laura berusaha mengabaikan mereka yang saat itu terus memusatkan perhatian pada mobilnya, hingga ia keluar dari jalan kecil itu.
Laura menghela nafas. Tatapannya kini tertuju pada siluet kuning kecil di belakang yang sedari tadi ia abaikan. Itu adalah sebuah toyota hitam model lama yang dilihatnya kemarin. Laura juga ingat ia melihat mobil itu pada malam setelah ia pulang dari salon bersama Jill, temannya. Saat pertama melihatnya, Laura bisa mengabaikan mobil itu dengan mudah. Tapi ketika kali kedua ia melihat mobil yang sama, sempat terbesit dalam benak Laura kalau seseorang tengah mengintainya. Tapi tentu saja, ayahnya Damar Addams tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Bahkan, jika Laura ingin ayahnya akan menyewakan seorang pengwal pribadi secara khusus untuk menjaga putri tunggalnya. Tapi sekarang, Laura tidak bisa hanya duduk tenang dan mengabaikan hal itu ketika sudah jelas-jelas kalau mobil itu telah membuntutinya beberapa hari belakangan.
Seolah membuktikan ketakutannya, Toyota itu ikut bergerak melambat saat Laura memperlambat lajunya. Sekarang, Laura merasakan tangannya bergetar. Secara impulsif, ia menginjak pedal gas dan berkendara dengan cepat melalui jalan kecil. Laura mengebut ketika ia meleawati tempat pembungan sampah. Ia tidak pernah melewati jalur itu sebelumnya, tapi jika Laura berputar dan kembali ke jalur utama yang dituju, Laura hanya akan menempati dirinya dalam posisi bahaya karena jalur itu terlalu kecil dan terlalu sempit juga jarang ada kendaraan yang berlalu lalang di sana. Ia hanya pernah melewati jalur itu sekali. Dan dalam keadaan seperti sekarang, Laura tidak ingin masuk ke jalur itu lagi. Ia hanya perlu mencari keramaian. Pos keamanan atau apapun.
Yang terjadi, Laura menemukan jalan buntu. Ia menghentikan mobilnya dengan cepat kemudian menatap ke sekitar jalanan. Saat itu ia tidak menemukan tanda-tanda keberadaan Toyota yang mengikutinya. Syukurlah. Mungkin mobil itu tertinggal di belakang.
Laura menyalakan kembali mesin mobilnya. Kakinya sudah bersiap di atas pedal gas ketika Laura mendengar suara mesin yang bergerak mendekat, semakin dekat sebelum suara benturan keras nyaris memekakan telinganya.
Laura tersentak ke depan. Keningnya membentur setir dan satu jarinya terpelintir. Saat Laura melirik ke arah spion ia melihat Toyota hitam itu berada persis di belakang mobilnya. Mesinnya masih menyala dan jalur itu terlalu sempit sehingga tidak memungkinkan bagi Laura untuk berputar balik tanpa menabrak mobil di belakangnya.
Laura merasakan ketakutan luar biasa ketika Toyota itu menabrak bagian belakang mobilnya sekali lagi. Lagi, dan lagi hingga Laura hilang kesabaran. Ia menekan klakson berkali-kali. Membiarkan suara bising itu membuat gaduh sekitarnya. Sementara itu, keningnya yang membentur setir terasa berdenyut-denyut.
Laura mencari ponselnya di dalam tas. Tapi tas itu terjatuh karena benturan tadi. Tangannya meraih-raih ke lantai mobil saat ia berusaha mencapai tasnya. Begitu Laura mendapatkannya, ia langsung menyambar ponsel yang diletakkan di kancing depan. Laura menekan nomor 911 dan ia menunggu dengan gelisah ketika nada sambung terdengar. Rasa takut yang dialaminya telah membuat ia lengah hingga ketika seorang pria bergerak mengetuk kaca mobilnya, Laura berpikir kalau ia mendapat bantuan. Tangannya secara implusif menekan tombol otomatis untuk menurunkan kaca jendela, dan sebelum Laura menyadari tindakannya, pria itu lebih dulu membekapkan sebuah kain tebal berbau menyengat ke wajahnya.
Laura mencakar-cakar tangan itu selagi bisa. Ia mengerahkan sisa tenaganya untuk melakukan perlawanan. Tapi pria itu menekan wajahnya dengan kuat ke punggung sofa dan membekapnya dengan kain. Kedua mata Laura kini membeliak sempurna. Ia mencium sesuatu yang aneh. Merasakan kesadaran perlahan ditarik menjauh darinya.