Boston, Massachusetts
November, 2006
Hugh berdiri di ruang kerja yang disediakan khusus untuknya dalam rumah itu. Ruangan telah dibangun sejak tiga tahun yang lalu, dimana itu adalah awal dari puncak kesuksesan Davisson Agency yang didirikannya. Ketimbang di tempat lain, Hugh lebih banyak menghabiskan waktunya di ruang kerja itu. Segalanya yang ada di ruangan itu telah ditata mengikuti selera kenyamanannya. Cat dinding berwarna abu-abu perak, sofa berwarna putih yang membentuk lingkaran di tengah ruangan. Sebuah meja kayu di sudut sebagai tempatnya bekerja, dua lampu yang berdiri di dekat pintu, juga tanaman hias di samping pilar. Di tambah lagi sebuah lukisan tua yang menggambarkan sebuah tempat yang jauh.
Hugh selalu memandangi lukisan itu setiap pagi dan petang. Bahkan terkadang, ketika ia terjaga dari tidurnya di tengah malam, Hugh berjalan ke ruang kerja hanya untuk memandangi lukisan itu, mengingat detail kejadian dalam beberapa tahun hidupnya yang direnggut dengan kejam, dan membayangkan dirinya berada di sana, berharap waktu akan di ulang dan ia diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya.
Tapi semua itu sudah berlalu, dan sekarang, Hugh berdiri tepat di ambang jendela, menatap ke luar di mana ia bisa melihat halaman rumahnya yang begitu luas. Sebuah pagar besi setinggi dua meter membatasi rumahnya dari jalanan lepas. Dua orang penjaga yang ia pekerjaan bertugas mengawasi setiap tamu yang datang. Taman seluas seratus meter membatasi teras dengan pagar. Tepat di taman itu, terdapat sebuah pahatan batu yang berdiri menjulang dengan tulisan timbul Davisson Rest, di bagian depannya. Pahatan batu itu cukup besar sehingga siapapun bisa melihatnya dalam jarak beberapa meter di luar pagar.
Hugh memandangi semua itu dengan teliti dan sekali lagi mengembuskan nafas. Semua kesuksesan itu diraihnya dengan cara yang tidak mudah. Sebuah kesuksesan yang pahit dari masa lalunya. Hugh tahu bahwa sekalipun ia hidup bergelimang dalam semua kemewahan itu, masa lalu yang mengerikan akan tetap menghantuinya. Semua itu telah menjadi bagian dari dirinya. Bertahun-tahun tersembunyi dalam diri Hugh, bertahun-tahun menjarah seisi pikirannya, menghantuinya, dan menyiksanya tanpa ampun.
Hugh mengubur pemikiran itu dengan cepat, membiarkannya tetap berada di bagian paling dalam di tubuhnya. Ia tidak akan pernah membuka kembali masa lalunya. Hugh sudah cukup nyaman dengan kehidupannya saat ini, tidak ada yang perlu mengacaukan hal itu. Meskipun ia tahu kalau hal itu hanya akan membuat Hugh tidak pernah menjadi orang yang sama lagi. Hugh telah berbeda. Ia adalah setan yang dibebaskan dari neraka. Setan yang tak kenal ampun.
Pemikiran Hugh buyar ketika indra pendengarannya menangkap suara langkah kaki seseorang di belakang. Hugh tidak berbalik untuk memastikan hal itu, rasanya ia sudah mengenali suara langkah kaki itu. Langkah yang ringan dan sangat hati-hati.
Mrs. Agatha mendekat ke arah Hugh dan meletakkan satu tangannya di atas bahu Hugh. Wanita itu berjalan hingga sampai di samping Hugh kemudian menggosokkan telapak tangannya di atas lengan Hugh. Kedua mata almond-nya yang lembut kini menatap lurus ke arah Hugh dan keresahan terlukis jelas di wajahnya.
"Apa yang kau pikirkan?"
Itu adalah satu hal yang diketahui Hugh tentang Mrs. Agatha, bahwa wanita itu selalu hadir sebagai malaikat yang lemah lembut dalam hidup Hugh. Mrs. Agatha-nya yang baik, wanita itu terlalu lemah dan rapuh. Hugh mengenalnya selama lebih dari sepuluh tahun. Selain Clay, wanita itu adalah saksi dalam hidup Hugh. Mrs. Agatha menyimpan sebuah rahasia, dan Hugh berusaha membantunya. Begitu pula sebaliknya. Mrs. Agatha tidak akan mengatakan apapun tentang masa lalu Hugh sekalipun wanita itu mengetahui setiap detailnya. Dan Hugh telah berjanji untuk melindungi Mrs. Agatha, tidak peduli konsekuensinya.
Berbalik, mata biru Hugh menatap wanita itu dengan dalam. Satu tangannya terangkat melingkari punggung tangan wanita itu yang bertengger di lengannya, satu yang lain terangkat untuk memangkup wajah Mrs. Agatha yang bulat. Alih-alih menjawab pertanyaannya, Hugh balik bertanya, "apa yang kau pikirkan?"
Mrs. Agatha tersenyum ke arah Hugh sebelum menumpahkan tangisannya. Wanita itu menggeleng dengan cepat ketika Hugh menggenggam erat tangannya.
"Lepaskan semuanya!" Pinta Hugh. "Jangan kau pendam lagi."
"Tidak," bisik Mrs. Agatha di tengah isak tangisnya. "Saat melihatnya aku selalu mengingat kejadian itu.."
"Ssshhhh.." Hugh menarik Mrs. Agatha dan mendekapnya dengan lembut. Ia membiarkan wanita itu menangis di dadanya. "Lupakan semuanya!" Bisik Hugh. "Aku akan membantumu kapanpun kau siap."
"Tidak. Jangan. Dia akan membenciku.."
"Dia tidak seperti itu," Hugh melepas Mrs. Agatha dan menatap matanya tajam. Wanita itu tidak lebih tinggi dari bahunya sehingga untuk bisa menatap langsung wajahnya, Hugh harus menundukkan tubuh dan membuat posisi mereka imbang. "Dia tidak akan membencimu. Kau tahu dia sudah berubah."
Mrs. Agatha menggeleng. "Aku takut. Aku tidak ingin mengambil risiko. Aku merasa senang dengan hanya melihatnya, ini sudah cukup."
"Kau yakin?"
"Ya. Tolong, biarkan semuanya tetap seperti ini."
Ekspresi Hugh melemah. "Jika itu maumu.."
"Terima kasih," Mrs. Agatha tersenyum ke arah Hugh. Mereka menjalin kontak mata cukup lama, menyadari bahwa keduanya sama-sama memiliki luka di masa lalu yang telah mendarah daging dan sangat sulit diobati. Sejauh ini mereka menjalin hubungan yang baik, dan berhasil menutupi segalanya. Kepercayaan terhadap satu sama lain dan rasa saling melindungi-lah yang membuat mereka tetap bertahan. Hugh berpikir setidaknya ia dapat mengandalkan kepercayaan itu. Mrs Agatha bukannya wanita yang tidak bisa dipercaya, sebaliknya ia adalah orang yang paling dipercayai Hugh.
Suara ponsel Hugh yang berdering telah memutuskan kontak mata mereka. Hugh bergerak untuk mengangkat telepon itu. Ekspresinya berubah serius saat ia mendengar suara Jim Dorgan di seberang.
"Ini Hugh."
"Hugh, ini Dorgan," sahut suara di seberang. "Aku memenuhi janjiku. Jika kau ingin datang sebaiknya cepat, wanita itu baru saja tiba di sini, tapi dia mungkin akan pergi dalam satu atau dua jam."
Hugh mengingat pembicaraannya dengan Jim tentang wanita berambut pirang yang menjadi orang suruhan Ricky Kerry. Ia terburu-buru ketika berjalan ke arah mejanya untuk meraih jaket dan kunci mobil.
"Aku tiba di sana dalam lima belas menit. Pastikan wanita itu tetap ada di sana saat aku datang. Awasi dia!"
"Baik."
Setelah menutup teleponnya, Hugh berjalan mendekati Mrs. Agatha kemudian meraih satu tangan kecil wanita itu dan meremasnya dengan lembut.
"Beristirahatlah! Ada urusan yang harus kuselesaikan."
"Kapan kau akan kembali?"
"Sore ini. Atau mungkin malam. Aku akan menghubungimu."
Mrs. Agatha mengangguk kemudian melepaskan Hugh sembari memandanginya sampai Hugh menghilang di balik pintu. Wanita itu menatap ke luar jendela, menunggu sementara Hugh terlihat sedang berjalan memasuki mobilnya kemudian berkendara keluar dari Davisson Rest.