Prolog

1585 Words
Boston, Massachusetts November, 2006   Lari! Batinnya terus meneriakkan kata-kata yang sama. Lari lebih cepat! Berlarilah seakan-akan itu satu-satunya harapanmu untuk tetap hidup! Terus berlari.. jangan menyerah dengan hidupmu. Jangan biarkan pria itu membunuhmu. Ayo Amber! Lebih cepat! Amber mengikuti gerakan batinnya, terus berharap kalau ia akan menemukan pintu keluar. Tapi rasanya ia sudah mengelilingi tempat yang sama berkali-kali. Tidak ada jalan keluar. Tempat itu seperti neraka yang tidak bisa dihindari. Sekujur tubuhnya terasa sakit. Lututnya berdenyut-denyut tak keruan sedangkan telapak kakinya berdarah akibat menginjak kerikil, ranting pohon dan duri tanpa alas kaki. Kemudian, ia sadar kalau ia hanya mengitari jalur yang sama dan tidak ada harapan untuk keluar. Amber bisa merasakan saat harapannya bergerak menjauh pergi hingga menghilang dan untuk pertama kalinya ia merasa putus asa. Bersandar pada dahan pohon, Amber menatap ke sekitar dan tidak menemukan apapun selain kegelapan yang pekat. Tiba-tiba ia merasakan kepalanya berdenyut-denyut dan seketika semua yang dilihatnya menjadi buram. Sudah hari keberapa itu? Kenapa ia tidak bisa menghitungnya? Sudah berapa lama pria itu mengurungnya? berapa kali ia dibebaskan di tempat antah berantah? Berapa kali ia mencoba melarikan diri? Berapa kali usahanya gagal? Pertanyaan itu seakan tidak menemukan jawabannya. Amber membutuhkan obatnya sekarang. Ia tidak pernah bisa bertahan dua hari tanpa meminum obatnya. Tapi sekarang - sudah berapa lama sejak pria itu menculiknya? Sudah berapa lama ia tidak minum obat? Di mana Jason, kekasihnya? Apa Jason mencarinya? Ya Tuhan.. Amber menangis dengan keras, dan itu bukan yang pertama sejak pria itu meletakkannya di neraka ini. Setiap hari, setiap detik, Amber terus berharap kalau Jason akan menemukannya - membebaskannya. Hari ini Amber kehilangan harapannya. Ia tahu bahwa semua itu akan sia-sia. Pria gila yang dihadapinya tidak akan membiarkannya bebas. Dengan nafas yang memburu, Amber duduk bersandar di dahan pohon yang tumbang. Ia menekuk lututnya yang terasa nyeri. Kedua tangannya menekan luka itu dan ia meringis saat rasa sakit yang dialaminya semakin tak tertahankan. Kemarin, atau mungkin dua hari yang lalu, Amber tidak ingat, ia telah mencoba usaha yang sia-sia dengan berteriak meminta pertolongan hingga tenggorokannya terasa sakit. Layaknya sebuah tempat yang terisolasi, Amber tidak bisa menemukan rumah penduduk lain. Yang ada hanya jurang dan rusa liar yang berkeliaran. Ketika hari mulai cerah, pria itu akan membebaskannya di neraka ini, dan Amber sudah mengambil semua kesempatan itu untuk mencari jalan keluar. Sampai sekarang, hasilnya nihil. Malam kemarin, pria itu menikahinya. Amber menangis setiap kali mengingat kejadian itu. Ia masih bisa merasakan luka membekas pada pergelangan tangannya ketika pria itu mengikatnya pada sebuah kursi dan mendandaninya. Kemudian, pria itu memakaikan sebuah gaun satin panjang berwarna putih dengan lengan pendek dan sebuah renda di seputar lehernya. Baru ketika pria itu membawanya ke sebuah bebatuan yang dirancang khusus seperti sebuh mimbar dan mulai mengucapkan janji pernikahan, Amber sadar kalau semua itu dipersiapkan untuk sebuah upacara pernikahan. Amber menangis dan bergetar hebat saat pria itu mengucapkan doa-nya dengan khidmat. Kemudian, pria itu memaksanya untuk mengucapkan janji pernikahan yang sama sebelum memasangkan cincin pada jari manisnya dan menciumnya dengan lembut. Amber tahu kalau ia menghindar, ia hanya akan memancing amarah pria itu. Dan itu adalah hal terakhir yang ingin dilakukannya: membangunkan harimau yang sedang tertidur. Jadi, Amber hanya mengikuti permainannya. Kemudian, yang ia tahu, pria itu membebaskannya kembali di neraka ini. Ia tidak dibiarkan beristirahat. Bahkan saat ini, dalam kondisi yang sama dengan terakhir ia berada di upacara pernikahan itu, Amber merasa kelaparan dan ia mulai kelelahan setelah berlari selama berjam-jam. Amber tahu, seperti yang sudah-sudah bahwa pria itu akan menjemputnya sebelum tengah malam, kemudian pria itu akan memandikannya, dan memintanya untuk menghabiskan makanan. Amber tidak tahu apa yang dipikirkan pria itu. Tapi pria itu terus memanggilnya Holly, memintanya untuk menyanyikan sebuah lagu, dan ketika ia melupakan liriknya, pria itu akan berteriak seperti setan. Amber sudah tidak tahan. Ia ingin bebas, ingin melihat Jason bahkan jika itu untuk yang terakhir kalinya.. Ketika kesedihan itu semakin tak tertahankan, Amber menangis sesunggukan. Mulutnya yang kelelahan masih terus menghanturkan doa dan permohonan ampun atas dosa-dosanya. Sepanjang hidupnya, ia bukanlah seseorang yang religius, ia jarang menghadiri misa dan ia lebih memilih bersenang-senang ketimbang beribadah. Namun, untuk pertama kali dalam hidupnya, Amber berharap bahwa keajaiban itu benar-benar ada. Jauh di lubuk hatinya yang terdalam, Amber masih ingin hidup. Ia tidak peduli jika itu berarti ia harus bersumpah akan menghabiskan sisa hidupnya untuk menebus dosa-dosanya selama dua puluh tujuh tahun. Amber tidak peduli. Apapun, asal ia bisa bebas. Satu menit.. lima menit.. sepuluh menit berlalu dan tidak ada yang dilakukannya selain duduk bersandar pada dahan pohon sambil menatap sebuah cahaya kecil di kejauhan yang bergerak mendekat. Semakin dekat ke arah Amber. Amber tidak mau repot-repot memastikannya. Ia sudah tahu kalau pria itu akan menjemputnya. Dan Amber sudah leah untuk menghindar. Semakin ia menghindar, semakin ia melawan pria itu, semakin ia tersiksa. Pria itu mengendarai sebuah motor besar. Cahayanya menyinari wajah Amber saat pria itu mendekat. Kemudian, pria itu memarkirkan motornya, menyalakan senter kemudian menyinari wajahnya. Amber berpaling saat cahaya senter menyilaukan pandangannya. Ia berusaha menutup wajahnya sembari merapat pada dahan pohon di belakangnya. “Di sana kau rupanya..” pria itu bersuara. Amber tidak lagi bergidik saat mendengarnya. Ia hanya mengangkat pandangannya sedkit. Pria itu masih mengenakan setelan jas hitam yang sama dari yang diingat Amber dalam upacara pernikahan. Wajahnya juga masih tampak segar tanpa cambang. Dengan tingginya yang mencapai seratus delapan puluh tujuh senti dan tubuh besar - tidak terlalu besar tapi cukup kekar, yang tampak mendominasi, pria itu berdiri di hadapannya seperti sosok iblis yang menakutkan.  “Harus kuakui kau terlalu bersenang-senang di sini. Tidak baik jika kau menghabiskan terlalu banyak waktu untuk bersenang-senang setelah melalui upacara pernikahan.” Amber bangkit berdiri dengan perlahan. Tangannya masih berpegangan pada dahan pohon di belakangnya. Pria itu menatapnya dengan aneh. Dan ia tahu kalau itu bukan cara yang wajar saat pria itu menatapnya seperti biasa: kagum, penuh dengan obsesi. Kali ini pria itu tampak marah. “Aku seharusnya membawamu pulang untuk membersihkan kuku-kuku jarimu dan kakimu yang berdarah. Aku seharusnya memandikanmu kemudian memakaikan pakaian yang bagus untukmu..” Sekujur tubuh Amber terasa tegang dan ia mulai waspada. Ada cara yang aneh saat pria itu mengucapkan kata-katanya dan ia tahu kalau itu bukan kalimat yang biasa dikatakan pria itu. Apa ini adalah akhirnya? Apa pria itu telah memutuskan untuk mengakhiri kegilaan ini dan membunuhnya? Oh Tuhan.. “Apa yang kau katakan?” tanya Amber dengan suara pelan. Karena tenggorokannya masih sakit, suaranya hanya terdenggar seperti bisikan. “Aku tidak harus melakukannya sekarang karena aku harus memastikan kau tetap menjadi milikku.” Pria itu mulai melantur lagi. Amber tidak tahu saat-saat ketika pria itu akan bicara melantur dengan membayangkannya sebagai wanita lain. Sebagai Holly.. siapapun wanita itu. Ketika Amber mengambil satu langkah mundur di saat yang bersamaan pria itu akan mengambil satu langkah maju. “Aku berjanji aku akan menyelesaikannya dengan cepat sehingga kau tidak perlu merasakan rasa sakit.” Pria itu tersenyum padanya. Setiap detik terasa semakin menegangkan. “Ini satu-satunya cara untuk membuat kau tetap menjadi milikku selamanya.” Ketika pria itu bergerak semakin dekat, Amber melangkah mundur dan ia tergesa-gesa ketika berbalik untuk berlari pergi. Hasilnya ia tidak bisa mencegah saat bagian bawah gaunnya tersangkut di dahan sehingga ia jatuh tersungkur di atas tanah berbatu. Wajah Amber membentur permukaan tanah. Keningnya berdarah saat menabrak bebatuan di sana. “Sialan! Apa yang kau lakukan?” pria itu berteriak dengan keras. Amber belum sempat menghindar saat pria itu mencengkram pergelangan tangannya kemudian membopongnya sampai ke bangunan tua yang ditinggali Amber sejak pria itu menculiknya. Pria itu membaringkannya di sebuah ranjang empuk kemudian memandanginya untuk waktu yang lama. Rasa pening menguasai Amber membuatnya kesulitan untuk mencerna apa yang terjadi. Amber hanya melihat pria itu bergerak ke tengah ruangan kemudian menangis. Kedua bahunya berguncang hebat dan suaranya serak. “Ini salahku. Tenanglah, aku akan menebusnya. Aku akan mengakhiri penderitaanmu dan menjadikanmu milikku selamanya. Aku sudah berjanji. Ted akan melakukan hal yang sama. Kami tidak pernah membiarkan kau tersiksa cukup lama. Jadi, kumohon buatlah ini menjadi mudah untuk kita. Aku berjanji padamu.” Amber merasa ketakutan saat pria itu meraih sebuah kain tebal yang tergeletak di meja rias. Kain itu berwarna merah pekat dan tampak polos. Kemudian, pria itu berbalik ke arahnya dengan kain yang sama dalam genggaman. Pria itu mengambil posisi duduk di tepi ranjang. Satu tangannya mengunci pergelangan tangan Amber. Ia memandangi wajah Amber kemudian mengangkat satu tangannya untuk mengusap lembut rahang Amber. “Kau cantik sekali,” bisik pria itu. “Kecantikan yang akan membuat semua malaikat iri padamu. Seseorang tidak boleh membiarkanmu menderita terlalu lama. Aku akan membebaskanmu. Aku akan menjadikanmu milikku selamanya.” Amber merasakan air matanya jatuh membasahi wajahnya saat pria itu mengangkat kain tebal dan meletakkannya di atas wajah Amber. Sekujur tubuhnya bergetar saat pria itu mendekatkan wajahnya dan berbisik di telinga Amber. “Terima kasih Holly. Terima kasih untuk waktu menyenangkan yang kita habiskan bersama. Terima kasih karena kau sudah menyanyi untukku.. Berdoalah pada Tuhan agar dia menempatkanmu di tempat yang paling indah sebelum aku menjemputmu di sana.” Oh Tuhan.. oh Tuhan.. jangan sekarang! Amber ingin berteriak. Namun, sebelum hal itu terjadi, pria itu telah menekankan kain tebal ke wajahnya begitu keras. Amber memberontak. Kedua tangannya mencakar pria itu. Ia berusaha melepaskan kain itu dari wajahnya, tapi kekuatannya saja tidak cukup untuk menghentikan aksi pria itu. Amber merasa sesak luar biasa saat tidak ada udara yang masuk ke paru-parunya. Sekujur tubuhnya memerah. Beberapa menit berlalu dan perlawanan itu semakin sia-sia. Pria itu menekankan kain ke wajahnya lebih keras dan dengan demikian, kegelapan seakan menyeret Amber menjauh dari dunia. - PULCHRITUDE
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD