5. Bonyok deh

3305 Words
Obi POV. Udah aku bete di PHP doang sama Karin, bete juga gak di kasih bawa mobil ke sekolah sama papi, masih perlu juga nyemplung di masalah. Semua gara gara Nino yang sering tepe tepe cewek senior, dan petangtang petengteng di sekolah. Kekhawatiran Omen jadi terjadi. Omen jadi mesti menjawab tantangan kakak kelas untuk adu jotos. “Kita ganteng bareng bareng, bonyok juga bareng bareng Bi” omongan sialan Nino. Aku menyorakinya. Dia enak udah keceh dari orok, mau mukanya bonyok juga tetap aja kemungkinan tetap keceh. Lah aku?, gak bonyok aja, Karin tayang tayang PHP doang, gimana kalo mukaku bonyok. “Udah gak usah di layanin yuk, mending pulang apa nongkrong di bilyar” ajakku saat tiga temanku bergerak ke arah taman dekat sekolah tempat janjian. “Berisik lo gesrek!!” bentak Omen. Aku menghela nafas. “Rol gak takut apa muka keceh elo bonyok, nanti perawan jendral gak mau sama elo” kataku pada Roland. Nino sudah tidak mungkin aku rayu. Dia dari dulu gak bisa nerima tantangan sedikit, mau bahaya atau gak, pasti dia terima. Nyalinya besar dan tipe yang menganggap urusan apa pun bisa belakangan, yang penting maju dulu. Enak anak orang kaya sih, dan di manjakan keluarganya. Pasti kalo Nino gimana gimana mama papanya turun tangan. Lah aku?, bisa bisa amih dan papiku ngamuk. Apalagi papi praktisi hukum. “Gak minat gue sama Sinta, dan cewek lain di sekolah, jadi gak masalah komuk gue bonyok” jawab Roland. Nyerah sudah untuk berharap kegilaan mereka adu jotos dengan kakak kelas aku cegah. Benar aja, Rino yang jadi lawan kami, sudah siap dengan genk mereka. Ada 10 an orang yang menunggu kami di taman. Aku sudah jiper duluan, walaupun tiga temanku tampak santai. Apalagi Nino, gara gara bacot Nino yang tengil, pecahlah baku hantam itu. Aku sudah lari larian menghindar saat di hadang dua teman Rino. Menyelamatkan wajahku dari kebonyokan. Yang lain sudah di hadang juga. Omen keren cara tarungnya, terarah. Lah Roland dan Nino yang asal main hantam dan tidak tearah. Aku yang menonton mereka akhirnya kena jotos juga. “Ampun mamak ….Obi mau di tampol!!!” lolongku dan kepalaku langsung keleyengan sampai ada burung burung kecil terbang. “Bego lo Bi!!” bentak Omen manarik tanganku menjauh. Aku cengar cengir. “Dekat gue Bi!!” jerit Nino. Aku mendekat ke arah Nino, dan membiarkan Omen menghajar habis lawanku. Aku lalu meniru Nino menendang atau menonjok mereka yang jadi lawan kami. Seru sih, karena kalo aku aktif menyerang, bogeman lawan yang aku terima juga, jadi tidak berasa, setelah aku berhenti, baru berasa sakit, rahang dan perutku. “SINI MEN!!” jeritku waktu melihat Nino sudah kepayahan juga sepertiku. Omen yang berhasil melumpuhkan yang lain berdua Roland menghabisi sisa kawanan Rino setelah RIno terkapar. Memang centeng, gak ada matinya hasrat tarung Omen, dia yang paling banyak baku hantam tapi paling rapi kondisi wajahnya, walaupun bajunya sama sama kotor sepertiku atau Roland dan Nino. “Masih mau bangun gak?” tanya Omen setelah berhasil membuat mereka semua terkapar dengan tendangan taekwondonya. Tidak ada yang bereaksi walaupun aku mengaduh. “Udah ayo balik!!” ajak Omen karena hanya mereka jawab dengan erangan kesakitan sepertiku. Baru aku berniat mengekor Omen. “AWAS!!” jerit Nino mendorong tubuh Omen dan aku terbelalak waktu Rino ternyata bangkit dengan pisau lipat di tangan. Habis Rino di hajar brutal oleh Nino dan Omen biarkan. Aku dan Roland tersenyum melihat Omen juga tersenyum melihat aksi Nino. Nino memang punya rasa setiakawan tinggi. Setelah itu Omen yang mengambil pisau Rino sebagai jaminan kalo Rino ganggu kami lagi di sekolah. Rasa takut pada omelan mami yang membuatku setuju mampir ke rumah Omen. “Elo takut emak elo juga No?” tanyaku begitu kami sampai rumah Omen. Omen sudah mendahului kami masuk, kami masih takut dan tidak enak pada bunda Omen. “Gue penasaran kenapa Omen jarang ngomong, mau kenal sama emaknya. Kalo gacor kaya emak gue, berarti kemungkinan Omen memang pendiam” jawab Nino lalu menyusul Omen masuk rumah. Aku dan Roland tertawa lalu menyusul mereka. Benaran dong Nino gacor menggoda bunda Omen yang ramah menyambut kami. Malah Omen yang ketus trus. Bukan Nino namanya kalo baperan. Santai aja dia sih. Bunda Omen yang terbiasa melihat wajah Omen bonyok, menyuruh kami mengompres wajah kami dengan es batu yang di bungkus handuk kecil. Lalu kami di suruh makan siang. Semakin gacor Nino melihat ayam goreng kesukaannya. Aku hanya mengawasi dengan Roland. “Gue lihat bunda Omen dulu!!” pamit Nino padahal aku dan Roland sibuk main PS sedangkan Omen pamit mandi. “Nino kalo gak rempong gak enak ya Bi?” tanya Roland. Aku tertawa. “Mulut dia rewel kaya emak emak” jawabku. Aku gak tau deh apa yang Nino bicarakan dengan bunda Omen. Sampai dia dan Omen bergabung main PS lalu kami pamit pulang karena sudah hampir sore. “Bundanya kicep, gimana Omen banyak omong?, pantes ketus trus, dia jarang ngobrol sama bundanya, kalo ngobrol sama emak tuh, walau bawel pasti kita berasa di sayang” kata Nino saat bersiap pulang di depan rumahku. Mau aku benarkan, kok rasanya gak tepat ya?. Pas aku masuk rumah setelah Nino dan Roland pulang, suara mamiku sudah membahana sejagad raya memenuhi ruang rumah. “ASTAGA…..TOBY!!!” jeritnya geram memulai rentetan omelan melihatku bonyok dan bajuku kotor. “Skip Add dulu mih ngomelnya, aku belum sholat Asar” cegahku. Mami megap megap tapi lalu mingkem dan memukul bokongku saat aku beranjak ke kamar. Risda ngakak melihat kelakuan mamiku. Aku juga sih. “Keren mami, pake gesper mih, biar abang tambah bonyok” cetus Risda masih ngakak. Aku abaikan lalu masuk kamar untuk mandi dan sholat. Setelah selesai baru aku menghadap mamiku. “Apa lagi ini?, setelah papi gak kasih kamu bawa mobil trus kamu mau jadi berandalan yang tawuran?” omelnya sambil memeriksa wajahku. Aku meringis. “Mih..obatin apa!!, kaya bunda Omen sih dikit, mami gak ada lembutnya jadi emak” protesku. “Lembut gimana?, emang mami squishi” jawabnya. Risda ngakak lagi. “Enak tuh mih di remes remes, non woven” komen Risda. “Kaya roti jepang aja” komenku lalu kami terbahak berdua. Mami yang menggeram. “Mau mami tabok?” omel mami sambil beranjak. “AMPUN kalo itu, mukaku tambah ilang kecehnya” jawabku. Mami menggeram lagi lalu beranjak ke kamar. “Kelar hidup elo bang, papi ngamuk pasti. Belum Tayang Tayang elo, pasti ogah sama elo yang bonyok” ejek Risda. “Waduh!!” komenku khawatir. Dia ngakak lagi. “Sok sih Lo?, emang elo bang Omen yang jago gelud?. Jangan nabok orang, kencing aja elo belum lempeng” ejek adikku. “Sok tau lo!!” bentakku. “Lah itu masih elo pegangin?, berartikan supaya elo kencing gak mencong” jawabnya. Aku ngakak dan berakhir dengan kami yang perang bantal sofa. “BERHENTI!!!!” lolong mami menjeda. Aku dan Risda buru buru melempar bantal sofa yang kami pegang. “Gak bisa ya gak bikin mami pening?” omelnya lalu duduk dengan kotak obat. Aku buru buru mendekat. “Mau obatin aku ya mih?” tanyaku girang. “DUDUK!!” perintahnya galak. Nurut dong aku duduk di depan mamiku. “Aku anak kandung mami bukan sih?” tanyaku sambil meringis. “Kamu pikir mami selingkuh” jawabnya konsen pada memar wajahku. “Itu sih obatin aku kaya ibu tiri” jawabku lalu meringis lagi. Mami melotot dan adikku tertawa. “Elo emang di pungut di sampahan bang, baru sadar lo?” ledek Risda. Mami tertawa dan aku cemberut. “Tuh baru taukan?, makanya kamu kalah ganteng sama papi” jawab mami. Aku memutar mataku. “Salah mami ini sih, kenapa aku di pungut?” keluhku. “Kepepet, biar mami punya anak bujang” jawabnya santai. Risda ketawa lagi. “Muka udah segini doang, asset Bi, malah di bikin bonyok. Bisa jadi bujang lapuk kamu tuh, kalo suka berantem gini” komen mami yang malas aku dengar. “Ke gunung Kawi kali Mi, endorse aku biar jadi bujang mempesona” jawabku. Mami ngakak. “Nyari mbah gelung?, udah meninggal Bi, setau mami” jawabnya. Aku memutar mataku, kenal juga gak sama mbah gelung. “Cari Allah, doa biar dapat jodoh yang baik” kata mami serius. Aku jadi menghela nafas. “Tapi sekolah dulu yang benar, kejar mimpimu jadi tukang gambar. Papi gak maksa kamu jadi pengacara, passionmu bukan di situ, kak Risa yang suka di bidang papi dan mami. Manfaatkan kesempatan dan dukungan papi untuk passionmu. Kalo kamu sukses, perempuan model gimana juga bisa kamu dapat” lanjut mami dan ganti mengoles tanganku yang memerah dengan zambuk atas saran mama Nino. “Emang iya mih?, gak semua cewek matre” sanggah Risda. “Tapi semua cewek pasti berharap gak hidup susah, apalagi setelah menikah” jawab mami dan selesai sudah mengobatiku. Aku dan Risda diam. “Cewek secantik, sekaya dan sepintar apa pun di pilih. Laki yang punya kehormatan memilih” kata mami lagi. “Emang iya?” tanya Risda di angguki aku. Mami berdecak. “Lihat berapa banyak artis keceh yang punya suami mukanya pas pasan?” tanya mami. Kami diam lagi. “Walaupun suami artis itu mukanya pas pasan, pasti sukses atau kaya raya. Itu bukti lelaki bisa memilih. Perempuan yang di pilih” jawab mami. Kami diam lagi. “Nah untuk kamu Ris, jadi perempuan yang gak cuma cantik tapi harus pintar supaya pantas di pilih lelaki yang mungkin jadi harapanmu. Untuk Obi, jadilah lelaki yang sukses dan mapan, biar bisa memilih perempuan yang jadi harapanmu itu” lanjut mami. “Where’s the love?” tanyaku. Mami tersenyum. “Pasti ada Bi!!, sebagai acuan pertama untuk seseorang memutuskan siapa yang harus dia kejar untuk dia miliki. Kalo gak ada cinta, mana mungkin bisa. Hanya harus di barengi logika. Cinta tanpa logika nonsense” jawab mami. “Yang bikin gak berarti kenapa?” tanya Risda. “Hanya akan berujung dengan sakit hati. Buang energy. Itu kenapa papi selalu bilang, untuk membawa siapa pun  yang jadi pacar kalian ke rumah. Biar mami dan papi membantu dengan memberikan masukan, pastas gak sih pilihan kalian di perjuangankan agar kalian tetap menggunakan logika dan akal sehat jadi tidak di butakan cinta. Mami dan papi bukan melarang seandainya melarang, kami hidup lebih lama, mau juga kalian dapat yang terbaik untuk masa depan kalian kelak. Pengalaman hidup kami yang memungkinkan kami melihat apa yang tidak bisa kalian lihat karena kertebatasan pengalaman kalian dalam hidup” lanjut mami. Kami masih diam. “Mencari pasangan hidup itu tidak bisa, asal pilih karena kalian suka. Harus di kenali, harus di pastikan apa bisa saling melengkapi dan saling dukung. Berpatokan pada cinta saja atau kesamaan hanya akan berujung dengan kebosanan atau kejenuhan. Tidak ada proses belajar untuk saling mengenal kalo menyatukan persamaan” kata mami lagi. “Aku gak ngerti” jawab Risda. Mami tersenyum. “Nanti juga kamu ngerti. Jalani saja proses belajarmu. Kalo buntu, tanya mami atau papi. Jangan jalan sendiri. Belajar butuh guru” jawab mami. “Termasuk tutorial kencan gak mih?” cetusku. Mami tertawa. “Sakit lo bang nanyanya” keluh Risda. Aku cengar cengir. “Loh bagus dong abangmu tanya itu. Supaya tau kapan harus berhenti saat mengajak pacarnya nonton. Kamu juga jadi tau, lelaki gimana yang baik saat mengajak kamu kencan juga” jawab mami. “Cipokan enak ga mih?” tanya Risda lebih sakit dari aku. Mami ngakak. “ENAK!!” cetus mami lalu tertawa lagi. “Pasti enak, buktinya mami punya anak sama papi” komenku. Mami ngakak lagi. “Mami mah gimmick galak sama papi” ledek Risda. Kali ini aku yang ngakak. “Eh kalo mami gak galak sama papi, papi nanti gak semangat cari rupiah” sanggah mami. “BAEKLAH!!!” jeritku dan Risda kompak. Terbahaklah mamiku. “Kalo galak sama kita, buat apa?” tanyaku. “Biar kalian benar. Buruan wudhu!!, azan magrib, papi juga udah pulang, jamaah, biar papi gak ngomel. Kakak kalian masih belum pulang juga, kemana coba” perintah mami mendengar suara mobil masuk garasi. Aku dan Risda kompak berlarian ke kamar untuk wudhu dan bersiap sholat. Papi galak soal ini. Kalo soal lain masih bisa tolerir. Termasuk saat dia menyadari mukaku yang bonyok setelah kami makan malam. Dia menyusulku yang sedang duduk di teras untuk merokok. Baru berani aku merokok di rumah gara gara Nino yang santai merokok di depan papiku. “Papamu tau kamu merokok?” tegur papi pada Nino. Aku sudah meringis, padahal aku juga sudah merokok gara gara Nino dan sepupunya sejak kelas 8 SMP. “Tau om, aku bilang. Kalo pun papa larang, papa tau, kalo aku bakalan tetap ngerokok di belakang papa, nyerah kali papa. Lagian om pasti kaya papaku yang pernah muda, gak mungkin om gak coba coba dulu, sebelum jadi perokok beneran” jawab Nino santai banget. Papiku terbahak. “Kamu gak ajak Obi?” sindir papi. Nino tertawa. “Rokok aja Bro!!, kode itu, cemen amat jadi laki, jangan depan babeh takut tapi di belakang elo belok, jujur aja” jawab Nino. Aku mengikuti papiku yang tertawa. Jadilah aku ikutan merokok bersama papi dan Nino. “Tapi jangan berharap uang sakumu naik karena papi tau kamu merokok” kata papi. Aku tertawa. “Slow!!” jawabku. Lalu kami tertawa bersama. Nino memang seberani itu pada orang tua. Pada orang tuanya apalagi. Bantah trus, tapi kalo papanya bilang gak, dia nurut. Aku jadi ikuti, gimana pun orang tua bukan?. Kembali ke papiku yang menyusulku ke teras rumah. “Kenapa sampai mukamu bonyok?, perebutan perempuan?” tanyanya. Aku berdecak. “Cewek mana yang di perebutin pih?, punya satu inceran aja, susah aku deketin” jawabku. “Kok bisa?” tanya papi. Aku menghela nafas. “Kurang modal pih, papi gak mau endorse, cewek yang aku incer, cewek mahal” jawabku. Papi terbahak. “Cerita dulu kenapa mukamu bonyok?” pintanya. Aku akhirnya cerita. “Setiakawan sekali kalian?” ejeknya. “Ya elah, papi pasti juga begitu kalo sama teman papi. Nino teman aku, Roland dan Omen juga. Masa aku diam aja, gak ikutan” jawabku. Papi tertawa lagi. “Itu sih jadi menimbulkan resiko, semakin susah dekatin Tayang Tayang kamu” ejek papi. Aku menghela nafas. “Emang cewek selalu lihat tampang ya pih buat suka cowok?” tanyaku. “Tergantung” jawab papi sambil melempar rokok yang dia hisap. “Bisa gitu?” tanyaku. “Kebanyakan perempuan begitu. Tapi perempuan pintar lebih suka melihat lelaki dari jaminan masa depan, bisa gak di andalkan untuk bantu, bisa gak jadi tempat mengadu, bisa gak jadi tempat berkeluh kesah” jawab papi. Aku jadi menatapnya setelah melempar juga sisa rokokku. “Papi dulu gak punya apa apa, ganteng banget juga gak. Papi ganteng karena mamimu jago urus papi. Tapi papi selalu berusaha jadi jaminan masa depan mamimu. Papi kerja keras, papi tunjukin sama mamimu gimana papi bisa dia andalkan di kala dia susah, di kala dia sedih, dengar semua keluh kesah mamimu yang dulu suntuk trus waktu mengejar kuliah profesinya supaya bisa jadi notaris. Mamimu pintar melihat usaha papi dan kesungguhan papi membuat dia percaya, jadilah kita menikah” jawab papi. “Termasuk tabah dengar mami ngomel?” ledekku. “Bagian terpenting itu” jawab papi. “Papi gak suntuk?” tanyaku. Papi menghela nafas. “Perempuan itu cuma mau di dengar Bi. Gak cuma mamimu. Setuju gak setuju, perempuan itu multi tasking, kalah otak computer sih. Lihat mamimu!, dia pagi sudah sibuk urus kita, sibuk dengan kerjaannya, tapi bisa kawal pembantu, mengurus keuangan keluarga, belum belanja, belum hadapin kelakuan anak anak dan suaminya, belum harus jadi istri papi di kamar. Semua hal mami urus. Kalo pada akhirnya eror dengan dia yang jadi sering ngomel dan marah marah, maklumin aja. Ibarat computer, pasti ada masanya hang. Ngebul!!, kalo sudah ngomel, energy mamimu habis, trus tidur, selesaikan urusan?, dia bisa ready to go lagi untuk esok hari dengan rutinitasnya sehari hari. Kadang papi pikir, beruntung kita jadi lelaki yang hanya bertugas kerja cari uang. Papi rasakan betul gak enaknya jadi perempuan” jawab papi. Benar juga sih, pada saat aku ke rumah Nino karena undangannya yang bete di rumah aja, karena hukuman dari mamanya. Aku lihat juga mama Nino yang tidak berhenti ngomel, dan Nino juga adiknya santai menerima. Juga papanya yang baru pulang dari Amrik. Ternyata semua emak emak atau perempuan begitu, bukan gimmick, tapi mereka ngomel untuk menghabiskan energy, supaya baterainya habis trus tidur, besoknya gacor lagi dan tempur dengan seabrek urusan. Itu yang membuatku tabah menghadapi omelan Karina Tayang Tayang aku, begitu melihat wajahku memar saat aku masuk sekolah lagi. “Apaan sih Toby!!, udah otak elo dhuafa, muka segitu gitunya, masih perlu banget bonyok gini” omelnya sambil memeriksa mukanya. Aku malah senang dia ngomel. “Tayang khawatir ya?” tanyaku. Dia merona dengan mata melotot. “IH!!, bukan itu” sanggahnya. “Elo mau jadi apa kalo hoby gelud gini” jawabnya sambil melempar wajahku ke samping. Dua teman lelaki teman sebangku kami tertawa. “Mau jadi cowok elo, elo gak mau” ejek Robert. Karin merona lagi. “Ogah amat laki lemah gini, gelud aja gak bisa, gimana jagain gue” jawabnya lalu balik badan. Aku masih tertawa mendengar kemonnya saat itu. Beberapa hari kemudian baru aku melongo mendengar omongannya. “Bi!!” tegurku saat aku menyalin PR dari bukunya. “Bentar Tayang, gue belum rapi nyalin, jam pertama PR Kimianya” tolakku lalu sibuk menyalin bukunya lagi. Dia berdecak. “Itu teman elo ya Bi yang suka sama cowok tengil yang ngintilin teman bule gue?” tanyanya. “Nino?” tanyaku masih menyalin. “Itu gue kenal, bule cerita mulu, sampe gue budeg” jawabnya. “Yang mana abisnya?” tanyaku. “Itu yang bule bilang jago gelud” jawabnya. Aku jadi berhenti nulis dan menatapnya. “Laki tuh Bi, keren kalo jago gelud gitu. Bule cerita sama gue, dia di tolongin pas di bully di kantin” lapor Karin. “Elo di bully juga?” tanyaku. “Bule yang di bully kemarin, trus di kawal sama si Nino sama siapa deh satunya lupa gue namanya. Bule bilang kaya nama tikus Dono warkop…siapa deh…” “Omen” cetusku. “Nah itu, teman elo ya?” tanyanya antusias. Aku mengangguk lalu melanjutkan menyalin. “Gemes gue lihat muka dia yang galak, trus cool gimana gitu, bule bego masa Bi?, malah baper sama si Nino yang godain Chelsea mulu, gue sih ogah, di PHP doang sama laki” aku jadi menatapnya lagi. “Elo suka Omen?” tanyaku mendadak hopeless. “Elo mau comblangin gue?” malah bikin aku semakin lemas. Aku jadi diam dan melanjutkan menyalin. “Lupa gue, elokan ngarep jadi cowok gue ya?, elo baper ya Bi?” malah nanya lagi. Aku jadi abaikan dan diam. “TOBY!!, gue ngomong juga, malah diam sih lo?” tegurnya. Aku menghela nafas. “Udah tuh buku elo” jawabku. Dia menatapku. “Nanti gue kenalin sama Omen” jawabku pada tatapannya. Dia tertawa. “Elo?” tanyanya. Aku gantian tertawa walau terpaksa. “Gak mungkin gue lawan Omen kalo elo suka, sok aja” jawabku. Dia tersenyum menatapku. “Nyerah?” ejeknya. Aku tertawa lagi. “Gak!!, usaha dengan cara lain” jawabku. Karin mengerutkan dahinya. “Gue tikung Omen atau laki lain di sepertiga malam, gue doa biar elo jadi masa depan gue” jawabku. Karin ngakak kenceng banget dan aku cengar cengir. “Titip Bi!!” cetusnya. Aku gantian mengerutkan dahiku. “Doain gue biar dapat calon Imam soleh” jawabnya. Gantian aku ngakak. “Ada depan elo itu sih” jawabku. Dia langsung cemberut. “Soleh dari mana?, DASAR GESREK!!” omelnya lalu mendorong tubuhku sebelum balik badan. Aku ngakak lagi, dan diam waktu kedua teman sebangku kami masuk karena bel berbunyi. Hadeh mesti benaran sholat malam ini sih. Sainganku banyak amat ya?, coba aku bisa intip isi hati anak juragan minyak, Tayang Tayang aku. Dia mau gak sih sama aku?.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD