Obi POV.
“Pih…aku butuh masukan bukan pelukan macam kakak, Risda atau mami” keluhku melepaskan rangkulan papi di bahuku.
Papi tertawa.
“Kalo papi tanya, Tayangmu atau Omen?” tanya papi.
Aku diam.
“Dilematis sih Bi, itu kenapa papi bilang ini perkara berat” lanjut papi karena diamnya aku.
Aku mengangguk.
“Satu sisi, kamu memilih Omen karena dia temanmu. Tapi satu sisi yang lain, kamu tentu memilih Tayangmu, siapa tadi?, Karin?” tanya papi lagi.
Aku mengangguk lagi dan papi menghela nafas.
“Ingat gak kadang orang bilang, perempuan itu racun dunia?” tanya papi.
Aku tertawa pelan.
“Karena perempuan memang punya kemampuan untuk menghancurkan. Nabi Adam terlempar dari surga karena perempuan. Perang Troya dan perang antara Rahwana dan Rama karena perempuan juga. Apa kalo kamu mengerti maksud papi memberikan contoh kisah itu?” tanya papi.
Aku mengangguk lagi.
“Aku harus gimana pih?, aku gak mau juga hubunganku dengan Omen jadi berantakan. Aku lebih dulu mengenal Omen di banding Karin” keluhku.
Papi diam menatapku.
“Lalu perasaanmu pada Karin?” tanya papi malah buat ruwet lagi.
“Papi bikin aku drop lagi” keluhku.
Papi terbahak.
“Kamu hafal lagu Mashabi yang suka mamimu nyanyikan?” tanyanya papi malah membuatku mengerutkan dahi.
“Perasaan insan sama…ingin cinta dan di cinta…bukan ciptaan manusia..tapi takdir yang kuasa..” papi bernyayi lagu Renungkanlah milik Mashabi yang dia bilang.
Aku tertawa.
“Semua manusia itu di anugrahi perasaan cinta Bi. Pasti mau merasakan gimana rasanya di cintai dan mencintai. Kalo posisimu, kamu dan Karin, kamu hanya merasakan merasakan mencintai dan Karin hanya merasakan gimana di cintai kamu. Gak bisa merasakan keduanya” kata papi.
“Lalu?” tanyaku.
“Kamu gak tertarik dapat keduanya?” tanya papi.
“Aku mau merasakan keduanya pih” jawabku.
Papi tersenyum.
“Kalo gitu, biarkan Karin juga merasakan gimana rasanya di cintai kamu, dan dia merasakan gimana mencintai Omen” kata papi.
“Lalu aku?” tanyaku.
“Bukankah kamu juga merasakan mencintai Omen temanmu, kalo melepas Karin?. Lalu nantinya kamu akan merasakan di cintai Karin karena kamu membiarkan dia merasakan cintanya pada Omen. Karin pasti berterima kasih padamu untuk itu bukan?. Kamu sudah sanggup berjiwa besar dengan membiarkan orang yang kamu cintai bahagia karena menemukan cintanya?” tanya papi.
Aku diam berpikir. Benar juga, aku kan memang happy kalo lihat Karin happy, lagipula Omen pasti bisa menangani Karin yang selalu galak, diakan lebih galak. Memangnya aku, yang selalu gak tegaan sama Karin. Untuk ngomel sama Karin aja gak berani. Aku jadi tersenyum.
“Benar gak papi?” tanya papi.
Aku tertawa.
“Anak papi keceh, nanti juga dapat lagi” kata papi merangkul bahuku lagi.
Aku tertawa lagi.
“Mami gak pernah bilang begitu, sebenarnya mami bikin aku sama papi bukan sih?” gurauku.
Papi terbahak.
“Mamimu hanya gak mau kesayangannya kalah saing sama duplikatnya. Kamu duplikat papi, mana mungkin gak keceh, belum mami nyumbang kekecehannya juga untuk kamu. Menang banyak kamu tuh” jawab papi setengah berbisik.
Aku terbahak. Bisa aja bapak pengacara.
“Nyanyi lagu tadi Pih, aku yang main gitar” pintaku karena suka suara papiku yang dalam dan berat.
Papi tertawa sambil mengangguk, jadilah kami berdua dangdutan. Kesukaan keluargaku ya itu. Di saat genre music lain banyak. Tetap dangdut selalu punya tempat.
“Rasa cinta pasti ada…Pada makhluk yang bernyawa…Sejak lama sampai kini…Tetap suci dan abadi” nyanyian papi.
Aku tersenyum.
“Takkan hilang selamanya…Sampai datang akhir masa…Takkan hilang selamanya..Sampai datang akhir masa….Renungkanlah...” suara mami dan membuat aku dan papi menoleh.
“Mami gak di ajak?” tanya mami sambil duduk di sebelahku.
Aku dan papi tertawa, dan aku melanjutkan petikan gitarku.
“Perasaan insan sama…Ingin cinta dan dicinta…” aku yang ambil bagian ini dan mamiku jadi backing vocal.
Papi tertawa.
“Bukan ciptaan manusia…Tapi takdir Yang Kuasa…Janganlah engkau pungkiri…Segala yang Tuhan beri” lanjutku.
Dan aku rasakan rangkulan mami di pundakku.
“Takkan hilang selamanya…Sampai datang akhir masa…Takkan hilang selamanya..Sampai datang akhir masa….Renungkanlah... “ koor kami bertiga.
“Semua akan baik baik saja…okey!!” kata mami sambil mencium pipiku.
Aku tersenyum dan balas mencium pipinya.
Mau banget aku percaya semua akan baik baik saja setelah aku harus bertemu Karin lagi. Aku sudah bersiap menghndarinya. Untuk memberikan jarak, dan supaya dia mengerti kalo aku, memutuskan melepasnya.
“Bi…catering dong…laper…” rengeknya mencekal tanganku yang bersiap keluar kelas.
Aku menghela nafas.
“Biasanya elo nongkrong sama genk elo di kantin” kataku sambil melepaskan cekalan tangannya.
Dia cemberut.
“Belum rapi kerjain tugas agama Bi, kan elo tau gue susah nulis huruf Arab” katanya.
Tuhkan aku gak tega.
“Tunggu!!, gue beliin elo makan” kataku akhirnya.
Dia bersorak dan aku hanya tertawa. Kenapa sih Kar?. Hadeh…
Di kantin aku bertemu Nino juga yang antri membeli Bakso. Untuk siapa lagi kalo bukan untuk Noninya.
“Bi, kayanya Noni mulai malas nih nongkrong sama genk Borju” lapornya.
“Emang iya?” tanyaku.
“Nih dia minta bakso sama gue. Udah pasti dia kangen dekat guekan?” jawabnya.
Aku hanya tertawa.
“Elo pesan mie ayam?, buat anak juragan minyak?” tanyanya.
Aku mau tak mau mengangguk.
“Bagus dah, gue bayarin deh sekalian, tapi elo rayu anak juragan minyak supaya gak ajak ajak Noni nongkrong sama genk borju. Bisa dong elo?” kata Nino.
Aku tertawa lagi.
“Elo aja yang rayu Noni elo, biar gak mau nongkrong lagi” kataku.
Nino berdecak.
“Noni nurut sama anak juragan minyak. Emang bangke tuh perintah anak juragan minyak. Perawan jendral aja nurut sama perintah dia” jawab Nino.
Aku jadi ngakak. Beneran lo dia traktir pesanan mie ayamku untuk Karin, Karin kurang suka bakso, bukan gak suka sama sekali, hanya tidak ngefans macam Noni Nino. Jadilah aku seperti Nino yang jadi b***k kompeni. Kami beringin berdua membawa pesanan cewek cewek yang tukang perintah.
“Ingat Bi, rayu Tayang Tayang” pinta Nino sebelum masuk kelasnya.
Aku hanya tertawa lalu kembali ke kelasku.
“Nih Kar!!” kataku menyerahkan mie ayam pesanannya.
“Kok Kar?, gak tayang tayang?” ledeknya.
Aku tertawa pelan.
“Elo otw bukan lagi jadi Tayang Tayang gue, kan suka teman gue. Gue mundurlah, asal elo bahagia” jawabku lalu menghindari tatapannya.
“Bi…ini serius?” tanyanya mencekal tanganku lagi.
Aku menghela nafas.
“Kan gue udah janji bantu elo. Masa gue bohong. Gampanglah gue cari yang lain, model cewek galak kaya elo sih banyak kali” jawabku sambil tertawa.
Karin masih bertahan menatapku.
“Elo jadi gak sholat lagi dong?” tanyanya.
Aku diam.
“Gak usaha lagi?” tanyanya.
Aku menggeleng.
“Usaha Kar, tapi bukan elo yang ada dalam doa gue. Gue doanya buat cewek yang nanti di kirim Tuhan buat jadi masa depan gue, ya cewek pengganti elo” jawabku.
Dia lebih menatapku.
“Kalo elo berhenti doain gue, siapa yang doain gue ya?...kok gue jadi sedih?’ keluhnya lalu mendorong bok mie ayam setelah melepaskan cekalan tanganku.
Aku menghela nafas kasar.
“Makan!!, masa elo ngarep gue tetap doain elo tapi buat doain kesembuhan elo. Jangan sakit Kar, gak enak, kaya gue” jawabku.
“Bi…” rengeknya.
Aku tertawa menyembunyikan dukaku.
“Apa sih elo, tumben menye menye” ejekku lalu beranjak menjauh.
Gak tahan aku. Nanti malah Karin lihat dukaku.
Harusnya aku senang, setelah itu Karin jadi mengabaikanku. Dia hanya bercanda atau meledekku yang jadi mendadak diam.
“Toby sakit gigi” ejeknya.
Aku tertawa lalu mengabaikan ledekannya. Dua teman sebangkuku yang menanggpi ledekan atau candaan Karin.
“Elo tolak jadi masa depan Toby sih Kar, jadi Toby galau, gak enak makan sampe malas ngomong” ledek teman sebangkuku.
Karin tertawa.
“Emang iya Bi?” malah tanya lagi nih mantan Tayang Tayang.
Aku hanya tertawa.
“Lah elo malah sibuk sama genk borju sama si Omen veteran sekolah” jawab teman sebangku Karin.
Karin terbahak.
“Abis Toby gesrek, tapi ngelamar jadi ustad. Gue suka nongkrong mana mungkin dia mau dugem apa nongkrong di Mahakam” jawabnya.
Lagi lagi aku hanya tertawa sambil menyibukan diri dengan bukuku.
“BERISIK!!” cetusku bercanda.
Mereka bertiga terbahak lagi.
“Bi, tuh!!, di ajak dugem!!. Mantap jiwa itu” ledek teman sebangkuku.
“OGAH!!, mending molor di rumah” jawabku.
Karin ngakak sampai merebut buku peajaran yang aku berdirikan untuk menghindari tatapannya.
“Kalo molornya di temenin gue?” ledek Karin.
Dua teman sebangkuku sudah ngakak dan aku menggeleng.
“Gue pertimbangin kalo elo mau ke KUA dulu, ijab kobul Kar, biar halal. Makanan ada mesti dapat sertifikat halal dulu, baru boleh di makan” jawabku.
Ngakak lagilah meraka bertiga. Kenapa saat aku memutuskan melepaskan jutru malah aku lebih menikmati tawa Karin?. Beneran kayanya dia happy tanpa aku.
Tidak enaknya, waktu aku melihatnya dengan genk borjunya. Aku tidak bisa mendekat karena aku sebenarnya gak suka gaya pergaulan mereka. Dugem, nongkrong di food court mall sampai jauh sore dan tidak pulang ke rumah. Rengga dan Sinta memang bisa mengikuti gaya pergaulan seperti itu. Di rumah mereka selalu tidak ada orang selain pembantu. Nino yang cerita karena hasil laporan Noninya. Aku mana mungkin bisa begitu. Ada adik dan kakakku di rumah, mereka pasti tidak ada teman kalo aku kelayapan trus sepulang sekolah. Nino yang geblek aja, tetap pulang ke rumah dan menemani Gladis adiknya dan mamanya di rumah.
Tapi…Noni yang sendirian trus di rumah, tidak seperti Karin, Sinta atau Rengga. Ya..Noni akhirnya jarang nongkrong dengan genk Karin dan genk Borju. Nino berhasil merayu Noni untuk jadi ikutan nongkrong dengan aku, Omen dan Roland.
“Noni gue mah solehah” kata Nino.
Aku tertawa.
“Noni itu cupu, bukan dia solehah” ledek Roland.
Nino melotot.
“Biarin aja dah Noni gue cupu, daripada jadi anak gaul nanti di gauli, rugi gue” jawab Nino.
“Trus elo yang bakalan gaulin Noni!!. Emang kampret!!!” bentak Omen.
Nino ngakak.
“Yaelah, dikit Men, kan gue jadi b***k kompeni” jawabnya.
Aku dan Roland ngakak. Lalu kami diam karena Noni dengan malu malu menyusul ke pojok kantin setelah menegur genk borju.
“Ino…mana bakso…laper…” rengeknya.
Tentu saja Nino langsung sibuk menarik tangannya supaya tidak kena cowok cowok yang nongkrong juga di pojok kantin.
“Duduk dekat Omen!!, rugi gue Non kalo elo kena gesek orang, masa gue dapat elo yang lecet” kata Nino sambil mendudukan Noninya di sebelah Omen.
Tentu saja bule merona parah.
“Matiin rokok elo Men!!, Noni bisa bengek!!, elo juga Bi!” peruntahnya padaku karena duduk di sebelah bule nyusahin.
Aku menggeleng melihat kelakuan Nino, karena Omen aja sampai nurut mematikan rokoknya. Cuma anehnya, Nino membiarkan Noninya bersandar di bahu Omen setelah merengek bakso lagi pada Nino.
“Bukan tunggu di kelas Le?” tanya Omen lembut.
Tumben banget.
“Lama, Ino suka nongkrong dulu. Laper Men…” rengeknya ganti merangkul lengan Omen.
Omen tertawa. Dan bukan Nino saja yang jadi b***k kompeni, tapi Omen juga. Setelah Nino datang dengan semangkuk bakso dan minum untuk Noninya, Omen mau banget pegang gelas minuman Noni, sementara Nino berdiri agak jauh dan merokok sambil mengobrol dengan Roland.
Kok Nino tidak cemburu ya?, apa karena tidak benaran suka pada Noni?. Tapi mana mungkin, setelah Noni selesai makan, dia ribet lagi mengajak Noni masuk kelas, walaupun belum bel masuk kelas.
“Kelas aja Non, kan udah makan” ajak Nino walaupun Noni merengek tetap nongkrong di kantin.
“Ino…bosen…gue main lagi nih sama genk borju” ancam Noni.
Nino menghela nafas lalu menarik tangan Noni bangkit.
“Ayo gue temenin, manja banget sih lo!!” omelnya sambil menarik tangan Noni yang tertawa menjauh dari pojok kantin.
“Tapi elo belum makan Ino…” rengek Noni.
“Gue udah kenyang lihat elo doang” jawab Nino dan tidak perduli dengan protes Noninya.
Omen dan Roland tertawa melihat kelakuan lebay Nino yang merangkul bahu Noni menghindari Noni dari kemungkinan kena dorong karena suasana kantin yang ramai kalo jam istirahat.
“Gesrek harusnya niru kampret ya Men?. Tuh bule bisa di tarik dari genk borju yang hobi nongkrong” kata Roland.
Aku melirik Omen yang tertawa lalu mengangguk.
“Sayang, gesrek gak berani lawan mulut anak juragan minyak. Udah jiper duluan sama cewek, payah!!’ ejek Omen.
Aku tertawa.
“Elo aja kalo berani. Anak juragan minyak menye menye juga sama elo, kayanya dia takluk sama elo. Gue nanti tinggal bilang makasih sama elo kalo berhasil stopin Karin gaul sama genk borju” jawabku.
Bukan jawab, Omen jutru menatap Karin yang sedang tertawa dengan genk borju di depan kios bakso tempat tongkrongan mereka.
“Gak jaminan juga, tuh anak juragan minyak nurut sama gue. Otaknya aristokrat gitu. Dia mana mau di atur atur. Bule memang tipe penurut, beda sama Karin yang tipe pemberontak” kata Omen.
“Maksud elo?” tanya Roland mewakiliku.
Omen menghela nafas.
“Karin kesepian Rol, bokap nyokapnya sibuk urus negara. Wajar dia begitu. Butuh orang yang bisa selalu buat ramai. Gue?, gue mana mungkin, gue gak suka rame rame, hening lebih enak, jadi gue bisa molor” jawab Omen.
Roland tertawa. Aku yang jadi diam.
“Elo belajar sama Nino gimana Noni akhirnya bisa dekat dia lagi” kata Omen.
“Kalo Karin ogah?, trus lebih ngarep dekat elo?” tanyaku.
Dia ngakak. Aku dan Roland yang jadi menatapnya.
“Juragan minyak cuma niru Noni yang gue tolongin mulu kalo di ganggu Kampret. Gesrek kan ganggu dia mulu kaya kampret ganggu bule. Elo jealous kali sama gue?” ejek Omen.
Aku jadi menatap Roland yang ikutan tertawa dengan Omen.
“Parah gesrek!!, gak percaya teman sendiri. Centeng gak doyan cewek” ejek Roland dan membuat Omen berdiri.
“TABOK SAMA GUE LO!!, elo tuh Gay!!, laki rapi banget, kaya laki salon” omelnya lalu beranjak meninggalkanku dan Roland.
Baru aku ngakak berdua Roland.
“Kelas yuk!!, udah bel!!” ajak Roland.
Aku menurut. Kami beriringin dan jadi mengekor genk borju menuju kelas.
“Jangan buruk sangka sama teman sendiri. Lihat Nino tuh!!, santai aja bule menye menye sama Omen. Soalnya tau, Omen gak mungkin nikung teman sendiri. Elo kenal Omen lebih dulu masa kalah sama Nino yang belakangan kenal” katanya sebelum kami berpisah.
Akhirnya aku berusaha percaya. Aku memang tidak serta merta dekat dekat Karin lagi. Omen mungkin gak mau, tapi Karin?, siapa yang tau soal perasaan Karin. Toh dia sering juga dekat dekat Omen walaupun kalo Noni sedang ikut nongkrong dengan kami. Ya buat apa lagi, kalo bukan mengajak Noni pulang bersamanya dan perawan jendral. Hanya Karin membiarkan Noni kumpul dengan kami di pojok kantin, sementara dia dengan genk borju.
“Awas Karina, Noni gue elo ajak gak benar. Antar pulang, jangan ngayap” pesan Nino selalu.
“Jiah, emang elo siapa teman gue” jawabnya pada Nino.
“Lah, gak penting gue siapa buat Noni, kalo gue gak suka Noni ngayap, urusannya sama elo apa?” tanya Nino.
Karin tentu saja melawan Nino walaupun Noni hanya cengar cengir.
“Heh dengar ya!!, kalo elo cuma berani PHP teman gue doang, cepat atau lambat gue bakalan kenalin Noni elo sama laki sultan yang gak kampret kaya elo!!. Payah jadi laki cuma jadi b***k kompeni. Kapan elo jadi b***k cinta bule?” ejek Karin.
Apa Nino marah?, tentu saja ngakak.
“Kasih tau Non, elo udah lope sama gue, elo sih diam aja. Bilang dong Non, elo udah terpesonakan sama gue?” malah serang Noni yang sudah memerah mukanya.
“Ino…apaan sih?” rengek Noni manja dan mengkeret merangkul lengan Karin.
Nino ngakak dan Karin menepuk jidatnya.
“Emang susah perawan juragan teh, kelamaan main di kebon yang sepi, jadinya di rayu laki kampret langsung baper. Pulang dah, bisa bisa elo makin baper” omel Karin sambil menarik tangan Noni menjauh.
Kami ngakak mengikuti Nino.
“Elo gak rayu Tayang Tayang Bi?” ejek Nino.
Aku menggeleng sambil tertawa.
“Udah gak kejangkau, biar Tuhan kirim Tayang Tayang lain” jawabku.
Mereka kompak terbahak lagi. Bodo amat dah, yang penting aku lihat Karin happy dan aku happy dengan teman temanku. Mending begini daripada aku sakit hati. Aku tanya Rengga juga, aman pergaulan mereka, minimal tidak dugem lagi setelah Sinta menghajar lelaki di club.
“Paling sekarang nongkrong tempat bilyar Bi, Karin malas takut Sinta hajar laki lagi” jawab Rengga.
“Beneran?” tanyaku.
Rengga mengangguk.
“kan gue bilang, cuma nyari suasana rame, kafe, tempat bilyar atau tongkrongan anak muda Jakarta udah cukup rame kali. Andi tau daerah tempat nongkrong asyik. Gue juga gak kewalahan kawal Karin sama Sinta. Lagian sibuk juga persiapan LDKS anak kesenian, jadi sering ngumpul buat ngomongin soal ini. Apa elo mau gabung, ringanin beban gue Bi” ajak Rengga.
Aku hanya tertawa.
“Gak lah, biar Tuhan jaga dia buat gue” jawabku.
Rengga ngakak.
“DALEM EUY!!” jeritnya karena aku menjauh.
Memang laporan Rengga bisa di percaya. Karin jadi sibuk cerita soal rasa khawatirnya soal LDKS anak kesenian.
“Bule ikut Bi, dia gak kuat begadang. Gue mesti kerja keras ini kawal bule biar gak teot” jelasnya waktu aku tanya kenapa mengajak Bule beli obat ke apotik.
“Bule sakit apa?” tanyaku mewakili Nino.
“Fisik dia doang yang lemah, gak sakit apa apa” jawabnya lalu memijat keningnya.
“Elo sakit juga Kar?, makanya jangan keseringan nongkrong” tegurku.
Dia menghela nafas.
“Gue abis dugem malam minggu kemarin” jawabnya.
Aku mengerutkan dahiku dan mengabaikannya yang menggosokan kayu putih di tengkuknya.
“Sama genk Borju?” tanyaku.
Dia tertawa pelan.
“Bukan. Sinta sibuk PDKT sama Rengga, jadi sering ikut ke sanggar teater Rengga, gue gak mau ganggu, emang gue obat nyamuk” jawabnya.
“Teman elo yang lain?” tanyaku.
Dia tertawa lagi.
“Gue gak berani kalo Sinta gak ikut dugem Bi, nanti siapa yang hajar laki yang ganggu gue” jawabnya.
“Trus?” tanyaku jadi penasaran.
“Gue dugem sama Omen, baru gue berani, kan dia jago gelud” jawabnya.
Dan aku terbelalak, untung Karin sibuk dengan kayu putih.
“Elo sih, gak temenin gue, coba kaya Omen temanin gue dugem, pasti gue cipok deh kaya gue cipok Omen” jawabnya dan meruntuhkan semua pertahananku.
Aku diam tercenung, gak nikung teman?, trus ini namanya apa?, kok Omen gak bilang aku?. Aku lalu bangkit.
“Bi!!, kemana?” tanya Karin.
Aku menghela nafas meredam amarahku.
“Mau bilang makasih sama Omen, udah kawal dan bikin elo happy” jawabku.
Karin tersenyum.
“Makasih…” desisnya.
Mau tidak mau aku tersenyum. Semua aku lakukan untukmu Kar…asal kamu bahagia. Lalu Omen?. Aku mengendurkan kepalan tanganku saat keluar kelas. Mana mungkin aku menang lawan Omen. Diam lebih baik untuk saat ini.