11. Sista

3340 Words
Karin Pov Melihat dance floor menjadi arena tarung Sinta, bukan hanya aku yang syok, tapi juga teman temanku. Terutama Rengga. “RENG!!!, TAHAN!!!” jeritku melihat Sinta sudah menonjoki lelaki merubungnya dengan membabi buta. Gila!!, aku heran, dari tubuh sekecil Sinta, kok ada kekuatan sebesar itu. Lima orang loh yang menyerangnya, dan semuanya lelaki. Semuanya terkapar di lantai dan tersisa dua orang yang masih dia hantam dengan tinju dan tendangannya. Rengga dan Andi malah melongo walaupun Clara dan Putri sudah jerit jerit dan pengunjung lain menyingkir. Baru bergerak melerai SInta, setelah security atau tukang pukul Club datang melerai. Entah Rengga bicara apa, baru Sinta melepas buruannya. “LEPAS!!” bentaknya menjerit pada tukang pukul berbadan besar yang mencekal kedua tangannya ke belakang. Pas di lepas pun masih perlu menghadiahi si tukang pukul dengan tamparan, sampai Rengga bergerak menghalangi tubuh Sinta agar tidak menerima balasan si tukang pukul. Aku sudah memijat keningku. Badai banget nih perawan jendral. Akhirnya kami berakhir di ruang keamanan dengan lima orang lelaki yang Sinta buat terkapar. “KTP!!” kata kepala security. Kami serentak menggeleng. “Kalian pelajar?” tanyanya. Kami mengangguk dan bapak bapak itu menghela nafas pelan. “Maaf kalo begitu, kalo saya harus melibatkan orang tua kalian dalam masalah ini” katanya lagi. Kalo yang lain santai mendengarnya Andi yang tidak santai. “Kelar hidup gue!!” desis Andi. Kami jadi menoleh ke arahnya. “Suka gak suka, bokap gue seleb, kemungkinan ke endus media gede banget, belum gue yang bakal dapat hukuman gak keluar rumah sama kartu kredit gue yang di blokir. Ruang gerak gue bakal terbatas” keluhnya. “Sory…” desis Sinta jadi mewek. Aku menghela nafas kasar dan Rengga langsung merangkul bahu Sinta. “Slow, gak ada masalah yang gak kelar sama duitkan?” kata Rengga dan memberikan aku ide. “Biar gue yang urus” kataku. Mereka jadi menatapku. “Tenang aja!!” kataku lalu beranjak menelpon abangku. Susah banget telepon abangku kalo jam malam tuh. Berkali kali aku telepon baru, dia angkat. “APAAN SIH KAR!!!” bentaknya. Aku menggeram. “Gue kena masalah di tempat dugem” kataku. Malah ngakak. “Elo kegep neken?” ejeknya seakan tak tau siapa aku. Neken lagi?, minum miras aja gak, mana mungkin aku tertarik minum pil tripping. Emang bangke banget abangku. “Teman gue ribut di club, ke sini!!, temuin yang punya club, kasih ganti rugi!!” pintaku. Malah ngakak dan membuatku menggeram. “BANG!!” bentakku. “Gue sibuk Kar, elo panggil aja asisten mami, biar dia beresin. Bukannya dia di bayar mami buat urus kita berdua. Enak banget makan gaji buta. Telepon dia aja, dia tau caranya beresin, cuma tawuran di club, gue udah sering suruh dia urus” sarannya. “Elo yang telpon, malas gue telepon dia” kataku. Aku tuh memang tidak suka pada asisten pribadi mamiku, membuatku susah komunikasi dengan mamiku. Apa aja lewat dia. Mami tuh handphone aja mengizinkan asistennya pegang dan di beri hak mengangkat, mengirim atau menjawab pesan. Keselkan?. “Ya…udah tunggu aja. Gak usah panik!!, jadi anak raja minyak mah, urusan apa aja pasti licin!!” perintahnya dan membuatku tertawa. Aku menemui teman temanku lagi setelah selesai menelpon. “Gak usah telpon orang tua kami pak!!, akan ada orang yang urus masalah ini!!, bapak tunggu aja” kataku saat kepala security meminta nomor orang tua kami. Dia menatapku. “Kenalkan Dipo Alam Mahardhika?” tanyaku. Dia lebih menatapku. “Atau kenal gak Virgiawan Lukito?” sela Sinta. Baru kepala security terbelalak. “Anak anak penggede….” desisnya dan membuatku dan Sinta terbahak lalu berhigh five. Teman teman kami juga jadi tertawa. Keren abangku, gak lama, hanya setengah jam kali asisten mami datang juga, dengan seorang lelaki, entah siapa. “Mba Karin, gak apa apa?” tanyanya sambil meneliti keadaanku. Aku berdecak. “Lebay lo!!, urus tuh!!, jangan makan gaji buta doang!!” kataku melepaskan tangannya yang mencekal kedua lengan atasku. “Maaf mba, mas Wingky bilang mba ribut di….” “Udah urus aja, kalo elo gak mau gue ngadu sama mami, elo gak becus kerja, gue laper, ngantuk juga. Gue mau balik sama teman teman gue” kataku. “Iya mba Karin!!” jawabnya. “Bagus!!, come on genks cabut!!” ajakku. Baru teman temanku bersorak lalu mengekorku keluar ruangan security. Aku melirik mereka yang jadi korban keberingasan Sinta. Sory…bukan aku gak simpatik dengan kondisi muka kalian yang bonyok. Sinta pasti punya alasan. Dan aku lebih percaya temanku, di banding kalian yang bukan siapa siapa aku. Di parkiran baru Sinta menjawab pertanyaan Putri dan Clara soal dia yang menghajar orang orang tadi. Mau Clara dan Putri bilang biasa sekali pun kalo lagi dance di club, senggol senggolan sampai di grepe, tetap aja SInta tidak setuju. “Sory Kak, badan gue mahal, gak murah jadi gampang di pegang pegang. Kalo tunggu lapor dulu sabagai tindak pencabulan, kelamaan. Enak aja!!, emang body gue milik negara!!” jawab Sinta dan aku jadi ngakak. Persis aku bilang, mulutku bukan milik negara, bebas dong aku mau ngomong apa. Kalo Clara dan Putri ikutan ngakak sama aku, Andi menggeleng, Rengga yang tersenyum menatap Sinta. Hm…eng ing eng… “Makan apa pulang??” jeda Rengga. “MAKAN!!!” seru kami cewek cewek. “Nasgor Gila enak nih kayanya, apa nasgor kambing. Kuy berangkat!!” ajak Andi. Jadilah kami masuk mobil. Aku bergabung lagi dengan Rengga dan Sinta. Andi mengawal Putri dan Clara di mobilnya. “Mahal juga ya parkirannnya” komen Rengga setelah menerima struk parkiran. Sinta buru buru merebut struck parkiran. Aku abaikan dan memilih menjawab pesan Queen yang tanya keberadaanku. Bule khawatirin aku trus. “Astaga….” desis Rengga. Baru aku menatap keluar jendela karena Rengga buru buru keluar dari mobil. Aku lalu ngakak melihat SInta menodongkan pistol ke arah tukang parkir yang duduk di dalam ruangan bentuk box, taukan?. Kali ini Rengga berhasil menarik tangan Sinta paksa masuk mobil lagi. “Ngapa dah?” tanyaku melihat Sinta ngomel. “Gila!!, kalo mau duit mending minta, malah korup, Rengga udah bayar kewajiban, masih aja di catut. Dia pikir kita teler kali, gak bisa lihat tagihan parkir yang cuma 20 ribu, di kasih duit cepek, malah di kembaliin 30 ribu” jawab Sinta. Aku ngakak. “Ya gak usah pake pistol juga Sin” protes Rengga lembut. Sinta berdecak kesal. “Gue masih panas, gak jadi matiin orang, malah pancing gue” omelnya lagi. Rengga menghela nafas kasar lalu menjedukkan kepalanya di stir mobil dan membuatku dan Sinta terbahak. Rengga lalu buru buru menjalankan mobilnya setelah bunyi klakson mobil di belakang mobil kami. “Lagi elo bawa beceng sih Sin?” tanyaku. “Gue belum pernah masuk club, jaga jaga aja kalo ada yang berbuat jahat, tinggal gue tembak. Lawan gue bisa aja mafia narkoboy, cape kalo tarung sama centengnya, mending gue tembak satu, sisanya biar papi gue yang urus” jawabnya santai banget. Aku sudah ngakak lagi, dan Rengga hanya meringis menatap Sinta di sebelahnya. Benar benar perawan jendral yang otaknya somplak. Cocoklah sama aku. “Tapikan mesti aja izin kepemilikan senpi Sin!!, gak bisa sembarangan, elo anak aparat harusnya tau soal ini” kata Rengga. Sinta tertawa sambil memutar pistol yang dia pegang lalu menodongkan di kepala Rengga. “Cuma tunggu umur gue 17 tahun, tahun depan gue tinggal tes psikologis itu pun cuma prosedur. Kalo papi gue udah kasih gue Makarov dari kelas 2 SMP, karena gue berhasil kalahin anak buahnya nembak, berarti gue gak perlu nunggu punya izin untuk punya pistol. Papi gue tau, gue cuma bakalan nembak untuk pembelaan diri saat terancam, dan jaga diri dari orang orang yang berpotensi nyakitin gue” jawabnya. Aku merenguk ludahku saat jemarinya bergerak ke arah pelatuk pistol dan tetap dengan posisinya menodong kepala Rengga. Rengga anteng nyetir, mungkin gak tau pergerakan jari telunjuk Sinta. Aku yang sport jantung. “Gue gak suka sakit hati, mau siapa pun yang di sakitin, termasuk kalo ada orang yang sakitin keluarga, teman apalagi nyakitin gue. Bakalan gue habisin…dengan tangan gue sendiri karena papi gue bilang, gak boleh ada orang yang sakitin Sinta Sari Lukito. Cape mewek tuh” keluhnya. Rengga tertawa. “Gampang sih kalo gak mau merasa sakit hati. Cukup jangan pernah nyakitin hati orang lain, apalagi orang orang yang kita sayang. Gue pikir begitu” jawab Rengga. Baru aku menghela nafas lega saat Sinta menurunkan pistolnya dari pelipis Rengga lalu tertawa sambil menaruh pistolnya di tas selempang yang dari tadi dia pakai. Pantas dia gak lepas, karena ada pistolnya. Aku abaikan mereka, termasuk saat Sinta menghadiahi Rengga ciuman di pipinya. Receh lagi. Aku jadi ingat Obi gesrek yang pernah mencium pipiku juga. Aku jadi senyam senyum sendiri saat menatap ke arah jendela. Kok aku ingat Obi ya?. Aku lirik jam tanganku, hampir jam 1 malam. “My gosh….” desisku sendiri menghempaskan tubuhku di jok mobil. “Kenapa Kar?” tanya Sinta menoleh. Aku buru buru menggeleng. “Laper!!” dustaku. Mana mungkin aku bilang, kalo ini waktunya orang yang berniat sholat malam. Bisa aja Obi lagi sholat di sepertiga malam yang dia bilang untuk berdoa supaya aku jadi masa depannya. Bisa jadikan?, walaupun aku tak tau pasti. Habis tiba tiba aku ingat dia. Ternyata benar, Tuhan memang cepat mengabulkan orang orang yang memilih sujud di jam jam orang tidur lelap. Yang jadi pertanyaan, kalo pun Obi berdoa soal harapannya soal aku. Apa pantas ya?, akunya justru habis masuk duplikat neraka. “ARGHHHHH!!!” jeritku kesal. Sinta dan Rengga kompak menatapku setelah Rengga menghentikan mobilnya tiba tiba. “Kar!!, elo gak kesurupankan?” tanya Rengga sadis. Aku jadi ngakak dan Sinta juga. “Hadeh…ngawal anak anak babeh ternyata mesti kuat mental. Gila semua!!!” keluh Rengga lalu menjalankan mobilnya lagi. Aku dan Sinta kompak ngakak lagi dan berhigh five. “MY SISTA!!!, Kar pokoknya, gue putusin elo jadi sahabat gue sama Queen!!, harus mau, kalo gak mau gue tembak!!” kata Sinta. Aku tertawa. “Baeklah, awas juga, elo macam macam, gue bisa bakar elo!!” balasku. Sinta ngakak lalu kami berhigh five lagi. Rengga ikutan ngakak. “Emang cocok, kalo ada penjahat, elo bagian siram bensin, Sinta yang tembak buat nyulut api, biar tuh penjahat mati tanpa ninggalin jejak” kata Rengga. “Mayat atau abunya, kubur di kebon teh bokap bule!!” tambahku dan kami terbahak bersama. Sinta memang menepati janjinya, untuk bergerak pada siapa pun yang mengganggu teman temannya. Gak usah kami di senggol, Andi yang kena tilang polisi saat kami berencana ke mall sepulang sekolah, dia turun tangan lagi. “Kar…Sinta mau apa?” tanya Queen melihat Sinta turun dari mobil dan menghampiri Andi yang di tanyai polisi. “Udah lihat aja!!” jawabku. Aku lirik kaca spion dan melihat mobil Rengga yang mengekor mobil Sinta, ikutan berhenti tapi Rengga bertahan di mobil. “Polisi Kar…kalo di tangkap gimana?” tanya Queen lagi. Aku berdecak. “Diam si Le!!. Lihat aja, biar Sinta pakai kuasa bokapnya. Urusan receh ini mah” jawabku. Queen menghela nafas. “Mana boleh pakai kuasa buat hal gak benar Kar” keluhnya lempeng. Udah aku bilang, dia sih oneng kuadrat tingkat dewa. Dia pikir orang di luar sana benar semua. Aku jadi malas mendebatnya. “Emang bangke, polisi polisi yang cari duit receh di jalan. Ya kali duit tilang di setor sama negara. Gue tantang tilang pake surat tilang malah ngeyel. Emang gue gak tau praktek mafia cere macam gini” omel Sinta setelah berhasil membuat polisi melepas Andi. Kalo aku ngakak, Queen yang antusias nanya. “Trus bisa di lepasin?” tanyanya oon. “Ya di lepas Le, Andi punya SIM, walaupun hasil nembak. Lagian kita gak langgar aturan. Oknum polisi tadi lihat Andi sasaran empuk, karena pake baju sekolah. Dia pikir bisa neken Andi karena alasan itu. Enak aja!!, pake ancam mau nahan mobil Andi. Hadapin gue dulu!!, kalo dia berani keluarin surat tilang, tinggal gue suruh ajudan papi urus di kantor polisi, gampang itu mah, gue sering kok mobil gue di angkut. Gue kan bawa mobil dari gue SMP. Gue bisa aja di antar jemput supir mami, atau naik taksi macam kalian, tapi gue pikir gak efisien karena gue udah bisa nyetir” jawabnya santai sambil menyetir lagi. “Papi elo kasih izin ya?” tanya bule oon. Sinta tertawa. “Gue tantangin adu nembak, kalo gak kasih gue izin. Belum ngadu, udah nyerah duluan. Bapak mah kalah sama anak. Lagian gue bisa buktiin, gue baik baik aja, dan selamat sampai rumah. Jadi papi gue nyerah” jawabnya enteng. Queen meringis saat aku menoleh menatapnya. “Wagilaseh…andai papa gue begitu…gue keluar rumah aja, di kawal trus, paling boleh sama Karin, soalnya Karin galak kalo gue gak mau makan” keluhnya. Aku dan Sinta ngakak melihatnya cemberut. “Kar, Queen itu bloon banget jadi cewek, walaupun baik. Mesti kita jagain nih dari cowok cowok bastart macam Nino sama yang lain juga. Enak aja, kalo sampai bisa modusin Queen sih, dia polos gitu, sampai gue gemes. Di PHP ini laki macam Nino aja baper” kata Sinta di lain waktu. Itu waktu kami mendrop Queen pulang sampai rumah. Di sekolah tadi, memang Sinta sudah menatap gak suka pada Nino yang santai merangkul bahu Queen trus merayunya agar mau di antar pulang, dan Queen menolak. Sampai Sinta menarik tangannya dan mengomel pada Nino, baru tuh laki geblek berhenti mengganggu bule. “Gue juga heran sih, itu laki perhatian banget sama teman gue. Dari mulai kasih makan, perhatian waktu bule di bully. Kalo jadi bule, pasti baper Sin. Gak pernah kenal laki. Elo aja yang kenal laki lebih pinter, baper sama Rengga yang perhatian” jawabku. Dia merona. “Mana ada?” sanggahnya. Aku langsung menoleh ke belakang. “Tuh laki, ngapain buntutin elo pulang mulu!!, gak pernah absen loh, minimal selama gue nebeng elo pulang trus. Gak usah ngeles” jawabku mengejek. Sinta tertawa. “Yaelah Kar, lempeng orangnya, lagian romantis, lebih romantis dari Nino ke Queen” katanya. Aku buru buru mengeluarkan handphoneku, dan masuk akun IGku. Gara gara curhat Queen soal postingan IG Nino yang selalu memasang fotonya, dengan caption lucu tapi receh, aku jadi follow akun IG Nino. “Ini kurang romantis gak?” tanyaku sambil menunjukan postingan Nino untuk Queen. Sinta buru buru merebut handphoneku setelah menghentikan mobilnya tiba tiba. “Noni…Lindu….kapan sih jadi Nyai Dasimah lagi?. Kangen beliin elo bakso…” Sinta membaca caption Nino pada foto Queen yang sedang makan bakso di kelas, walaupun tampak jauh dan hasil candid Nino dan sekelilingnya blur. “Apa?” tanyaku menjawab tatapan Sinta. “Melted…” desisnya merengek dan aku terbahak sambil merebut handphoneku. “Enaknya kita apain nih laki?. Queen juga kelihatan gak nyaman ikut nongkrong sama kita di kantin bareng Putri sama Clara. Dia masih trauma di bully. Kasihan gue. Kalo gue tinggal di kelas trus juga kasihan” kataku setelah Sinta menjalankan mobilnya lagi menuju rumahku. Dia diam. “Gak bantu lo!!” kataku mendorong bahunya. Sinta ngakak. “Elo minta tolong Omen aja jagain Queen dari Nino. Omenkan jago tarung, dan orang yang paling dekat sama Queen. Kali bule jadi gak baper sama Nino kalo dekat juga sama Omen” sarannya. Aku diam. Benar juga. Nino memang paling takut sama Omen. Omen juga tipe yang tidak respon berlebih pada cewek menye menye macam bule. Kayanya bule bakalan aman dekat Nino kalo Omen ada. “Elo ngomong aja sama Omen, ancam bakar kek, kalo kurang takut, gue baru turun tangan. Ingat Rengga said…elo yang siram bensin, gue yang sulut api pake pistol gue, trus bekasnya kubur di kebon teh bokap bule, main cantik!!” lanjut perawan jendral. Aku ngakak sambil mengangguk. Tapi aku jalankan saran Sinta setelah mendengar curhatan Queen beberapa hari kemudian. “Kar…gue gak ikutan ya nongkrong sama genk borju” rengeknya. Aku diam menatap Sinta. Queen ngomong saat kami bersiap latihan cheers di hari sabtu. Dan karena bertemu Sinta di parkiran, jadi Sinta dengar juga. “Ya Sin…gue masih tetap ikut cheers kok, gue juga suka dance, sama nerima permintaan kak Putri masuk paduan suara. Tapi kalo di sekolah, gue gak gabung ya sama genk kalian. Gue kasihan sama Nino, sama Omen juga. Mereka baik, belum teman temannya juga. Mereka berempat pasti jagain gue, karena mereka gak kurang ajar juga sama gue. Apalagi Nino sama Omen” katanya lagi. Aku menghela nafas, pasti teman Nino yang dia maksud Obi dan Roland yang teman sekelas Sinta. “Santai sih lo, gak usah sedih gitu, main aja sama mereka yang buat elo nyaman” kata Sinta bersuara. Queen berbinar. “Tapi…” kataku. Queen diam menatap kami. “Bilang gue sama Karin, kalo tuh 4 laki, ganggu elo, terutama si Nino yang tampangnya paling bastart. Omen gak minat sama cewek manja, Roland, gue kenal dia, baik juga orangnya. Obi, cengar cengir, dan minatnya sama Karin, jadi elo kayanya aman dekat mereka” jawab Sinta. “Hei…bagian Obinya, jangan bawa gue” protesku. Sinta dan Queen tertawa. “Lah benar sih Kar, dia tanya elo mulu sama gue, katanya elo jadi sibuk banget, trus gak bantu dia kerjain tugasnya lagi” kata Queen. “Kangen elo Kar” ledek Sinta. Aku bergidik!!. “Ogah amat cowok gesrek!!” kataku sambil beranjak dan kedua temanku terbahak. Tadinya aku, mau nitip Queen pada Obi, karena malas ngomong pada Omen soal saran Sinta. Tapi saat menemukan Omen duduk di pojok kantin sendirian di jam kosong kelasku, karena gurunya sakit. Aku menghampirinya. “Jam kosong lo?” tanyaku. Dia menatapku sekilas lalu santai merokok. “Mau ngapain sih?” tanyanya galak. Aku duduk di sebelahnya sampai dia perlu banget bergeser menjauh. Laki sakit mental kayanya. “Titip bule” kataku. Baru dia menoleh. “Ngapa?” tanyanya pelit banget ngomong. “Dia gak bisa main sama genk gue, takut sama Clara sama Putri. Jadi mau gabung lagi sama teman elo yang kampret” kataku. Dia tertawa pelan lalu merokok lagi. “Tapi kampret kehilang banget Noni bulenya, yang sibuk elo ajak gaul, persis gesrek” katanya dengan tawa mengejekku. Aku jadi tertawa. “Bukan urusan gue, gesrek sih. Elo urus aja bule, jangan sampai teman kampret elo macam macam” jawabku. Dia menoleh lagi. “Ancam gue lo?” tanyanya tak suka. “Gue bisa bakar elo sama teman teman elo, trus perawan jendral bagian tembak elo semua yang udah gue siram bensin supaya elo semua jadi terbakar hidup hidup, abunya gue tinggal kubur di kebun teh bule” ancamku berbisik jadi merangkul bahunya. Omen ngakak parah. “Eh ini kenapa rangkul rangkul gue” protesnya melepaskan diri. Aku ngakak lalu bangkit. “Makasih kerjasamanya brother…” desisku lalu beranjak tanpa perlu menunggu persetujuannya. “Elo pikir, bule milik negara yang mesti di kawal anak juragan minyak sama perawan jendral, supaya propertinya gak di rusak tangan jahil. Heran!!, masih aja feodal” omelnya yang masih aku dengar saat aku menjauh. Aku ngakak lagi. Tapi tawaku lalu berhenti, saat aku berbelok menuju toilet dan menemukan Obi menghadangku. “Apa lagi?” tanyaku. Dia menatapku. “Mau laporan hasil elo sholat di sepertiga malam?” ejekku. Dia menggeleng. “Kayanya gak akan fungsi” jawabnya masih menatapku. Aku tertawa. “ Tayang benaran suka sama Omen ya?” tanyanya serius. Aku hampir tertawa, tapi aku tahan waktu aku sadar ini kesempatanku untuk lepas dari gangguannya. “Kalo iya elo mau apa?, bukannya elo mau bantu?” tantangku. Dia diam lalu tersenyum. “Asal Tayang happy, gue bantu, semangat ya!!, Omen agak susah di taklukin” jawabnya. Baru aku tertawa. “Itu yang bikin gue tertarik!!, emang elo, jadi laki cengesan banget” jawabku lalu menyingkirkan tubuhnya lalu masuk toilet. Dalam toilet aku manutup mulutku untuk meredam tawaku. Gampang banget aku bohongin. Tapi aku lalu diam. Kok muka dia jadi sedih ya??. Persis wajahku sendiri saat membaca pesan dari mamiku yang tidak jadi pulang ke rumah sepulang dari Arab, dan harus pergi liburan ke Dubai dengan teman temannya. Apa perasaan Obi seperti perasaan kecewaku?.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD