9. His Voice and De Javu

1157 Words
Ujung pulpen aku ketuk-ketuk berulang kali menyentuh meja. Membentuk ritme untuk meningkatkan fokusku saat melamun. Ya, saat melamun pun aku membutuhkan fokus. Setidaknya fokus meski pandangan tetap kosong. “Bu Shanum, jam istirahat, Bu! Enggak ngantin apa?” Suara dari seseorang yang duduk di sebelahku. Kutatap perempuan dengan baju khaki dan berambut pendek tersebut. Dia sedang membereskan peralatannya, lalu menatapku. “Ya ampun aku enggak sadar ada bel tadi! Bu Paul mau ke kantin juga?” tanyaku yang ikut bersiap-siap. Setidaknya aku ada teman untuk pergi membeli makanan. “Iya, tapi aku tadi dipanggil ibu kurikulum. Semoga enggak disuruh-suruh pak kepsek,” tukasnya dengan wajah enggan. Aku tersenyum kecil sambil menganggukkan kepala. Memang sering kali pak kepala sekolah kita memberi perintah pada para guru melalui wakil kepala sekolah bagian kurikulum. Sehingga ketika sang wakil ada memanggil salah satu, kami langsung pasang badan dan bersiap-siap secara hati juga pikiran. Karena bisa jadi perintah yang diberikan adalah perintah dari kepala sekolah. “Bu Paulina, sini dulu, Bu!” Benar saja, baru beberapa detik dibicarakan, orang tersebut sudah memanggil sang guru matematika cantik di sampingku ini. “Itu, Bu! Dipanggil!” Dia hanya mengangguk dan langsung menghampiri bangku depan milik sang wakil kepala. Sementara aku berjalan menghampiri pintu untuk keluar dari ruangan ber-AC ini. “Ibu Paulina, sekarang ibu dapat giliran dipanggil ketua yayasan. Alhamdulillah, guru SMA sudah ada dua yang menjadi paling awal datang.” Ucapan ibu kurikulum tadi membuat aku berhenti di tengah pintu. Ada sesuatu yang menarik untuk didengar dan dicari tahu. “Sekarang saya ke sana?” Bu Paulina tampak senang. “Iya, Bu! Mumpung masih istirahat!” Setelah berkata demikian, Bu Paulina pun langsung berjalan melewatiku dengan semangat. Dia menunjukkan senyum lebarnya seakan hendak menyongsong durian jatuh dengan antusias. “Bu Shanum, saya duluan, ya!” tuturnya bersemangat. Aku memberi anggukan dengan senyum tipis dan mata yang menyipit. Meski sudah istirahat, lorong ini masih belum terlalu ramai. Mungkin karena para siswa belum banyak yang keluar dari kelas mereka. Berjalan menuju bagian paling ujung di lantai ini, menuju ke tempat yang dibangun semi outdoor dan paling menyegarkan di sekitar kantor guru. Baru beberapa langkah menuju kantin, seseorang dengan suara yang sama memanggilku lagi. “Bu Shanum, sini ...,” bisiknya sambil menarik tanganku dari belakang. “Eh?” Aku menoleh dan melihat Bu Paulina kembali menarikku. “Kok balik lagi?” tanyaku padanya. Lalu di depanku, ada Bu Anita yang baru keluar dari lift. Sepertinya dia baru selesai mengajar di kelas. “Itu Pak Rasya, bukan? Yang masuk ke kantor kita barusan?” Dia tampak membulatkan mulut sambil menutupnya dengan tangan. Spontan aku menoleh. Lalu pada saat itu juga, Bu Paulina yang berdiri di belakangku berkata, “Ayo temani aku masuk! Katanya beliau mau membicarakannya di ruang guru saja!” Aku mengembuskan napas perlahan, mencoba untuk tidak gugup apalagi terlihat tegang. “Nanti kita ke kantinnya, bareng!” ucap Bu Paulina lagi. “Ayo, Bu An!” pintaku pada Bu Anita juga yang ternyata sudah berjalan mendahului kami. “Dia paling semangat kalau ketemu ketua yayasan!” Bu Paulina terkekeh melihat langkah Bu Anita yang mendadak lebih cepat dari biasanya saat menuju ke kantor. Aku terpaksa kembali duduk di bangku yang sebelumnya kutinggalkan. Tanpa sengaja, tatapan kami berpapasan. Lalu aku segera mengalihkan pandangan. Ya, maksudku adalah ... tatapan antara aku dan ... dia, orang itu. “Pak Rasya! Padahal Bu Paul sudah saya suruh ke sana, kenapa malah datang sendiri ke sini. Ayo, Pak, Bu, silakan duduk!” titah ibu kurikulum paling semangat. Dia tidak datang kemari sendirian, melainkan dengan seorang perempuan berambut sepinggang dan poni yang begitu melengkung menutup dahinya. Aku tidak penasaran! Aku tidak mau tahu dia siapa? “Pak Rasya itu jalan sama siapa?” tanya Bu Anita padaku. Tentu saja aku menggeleng. “Aku tidak tertarik membicarakannya,” jawabku dengan nada dingin. “Diiih! Biasa aja kali!” sahut Bu Anita sambil menepuk bahuku. Aku terkesiap! “Eh, maaf! Bu An, ngomong apa tadi?” Tanpa sadar aku menimpali Bu Anita seperti apa yang sedang aku pikirkan. Aku tidak sengaja berbuat ketus padanya. “Hish! Enggak jadi!” Kali ini dia yang membalasku dengan memasang mata sinis dan menahan tawanya. “Maaf,” bisikku. Sementara Bu Paulina sudah berdiri di depan sana berdekatan dengan orang-orang dari yayasan tersebut. Kalau bukan karena dia yang memintaku menunggu, aku benar-benar tak mau satu ruangan dengan pimpinan dari tempat ini sendiri. Tidak mau! “Belum satu minggu dan sekarang di SMA sudah ada dua orang yang datang paling awal. Tingkat keterlambatan guru juga sangat rendah di sini. Saya jadi penasaran dengan bagaimana ruang tempat para guru menunggu jam pelajaran mereka.” Pria itu mulai bicara sambil melihat-lihat ke sekeliling tempat ini. Tentu saja aku menatap ke arah lain agar tak bertabrakan mata dengannya. “Ya seperti inilah, Pak. Ruangannya cukup nyaman. Tapi kalau dibanding ruang kerja Pak Rasya sama Bu Bella ya cukup jauh di bawahnya ini,” ujar ibu kurikulum sambil terkekeh. Dia memiliki maksud terselubung. “Ooh, jadi namanya Bu Bella,” bisik orang di sebelahku yang sejak tadi penasaran dengan perempuan berponi melengkung di sebelah Rasya. Bu Anita membisikkan banyak kata di sampingku. Mulai dari membahas keberuntungan orang-orang yang bekerja di dekat ketua yayasan, sampai ingin menjadi guru dengan kedatangan paling awal agar bisa bertemu dengan sang ketua. Lama-lama bisikannya seakan bergemuruh di kepalaku. Aku mencoba menghindar tapi gemuruh itu tidak kunjung. “Saya ... zzz ... memberikan had ... zzz ... iah pada setiap guru ... zzz ... yang datang paling awal ka ... zzz ... rena permintaan seseo ... zzz ... rang.” Bariton tersebut mengucap sesuatu yang sepertinya ditujukan padaku, tapi aku sudah tidak fokus lagi dengan suara tersebut karena gemuruh yang semakin lama semakin keras. Aku tidak berani menatap ke depan, apalagi ke arah pria yang saat ini sedang berdiri dari tempat duduknya. Di sekitar sini banyak asap. Aku terbatuk dan ini cukup sesak. “Bu ... Shanum!” Kutepuk-tepuk dadaku karena asap-asap ini muncul. Aku mulai menghirup bau hangus itu lagi. Tidak! Brak! Tubuhku tak sanggup lagi menopang beratnya. Lututku terasa lemas dan aku tidak bisa lari dari kobaran api di depanku. Jantung ini berpacu dengan keras hingga dadaku terasa begitu sakit. Ya Tuhan, aku tidak sanggup di sini. Kakiku mulai kebas dan tangan ini terikat. Aku tidak bisa bergerak. Ruangan ini terbakar, tolong aku tidak sanggup di sini. Mataku membuka dan menutup. Aku tidak sanggup menahan pedih karena asap yang semakin memenuhi ruangan. Tempat ini menjadi gelap dan aku sulit untuk melihat. “To ... long,” ucapku lirih meminta pertolongan. Seharusnya di sini ada orang lain yang juga terjebak dalam hal yang sama. Perlahan aku membuka mata dan tidak terlalu lebar. Ada seseorang yang menghampiriku. Ini seperti de javu. Dia memegang pergelangan tangan dan melepaskan jaketnya untuk menutup tubuhku. “Shanum, apa yang terjadi padamu?” Bariton itu adalah suara paling jelas yang aku dengar terakhir setelah gemuruh. Dan sekarang semuanya menjadi sunyi dan ... gelap!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD