BAB 9

1011 Words
Samar-samar kulihat cahaya dari jendela, ternyata aku sudah di kamar dan baru saja bangun kesiangan. Untungnya aku sedang menstruasi, jadi penyesalan bangun kesiangannya tidak akan membuatku galau seharian. Hari ini aku libur sekolah, sebentar lagi akan ada Pekan Akhir Semester, aku tidak akan libur lama-lama, besok aku sudah harus sekolah lagi, biarkan apapun yang akan menjadi tanggunganku setelah menikah terjadi. Aku langsung menoleh saat telingaku mendengar suara kenop pintu. Wajah ustaz Ali menyembul di sana. Dia terlihat tidak baik-baik saja, dan bodohnya aku malah diam saja tanpa mengijinkannya masuk. "Masuk aja, Ustaz." Tidak lama setelah itu dia masuk ke dalam kamarku. Dia duduk di atas kasurku, aku lihat dia memejamkan mata dan menghembuskan napas berat beberapa kali, haruskah aku bertanya? Apa akan dijawab? "Ap-apa, apa abi baik-baik aja?" Aku lihat dia menoleh dengan ekspresi dan tatapan yang sulit diartikan. Lama kutatap dia tersenyum kecil lalu bangkit. Dia mendekat ke arahku. Saat kami berhadapan dia mengelus puncuk kepalaku sambil terus tersenyum. "Masih kritis, belum ada perubahan. Terima kasih sudah bertanya," ucapnya pelan sambil terus mengusap puncuk kepalaku. "Aku belum tidur seharian, boleh aku tidur di kamarmu?" Aku mengangguk ragu, hatiku mencelos, celak matanya menghitam, dia pasti lelah sekali, aku pun pernah merasakan bagaimana sedihnya ketika orang yang kita sayangi dalam keadaan sakit. Semoga abi sembuh, aku tidak mau dia merasakan apa yang aku rasakan. "Kamu takut, ya, sama aku?" tanyanya seraya berjalan ke arah kasur. Aku menggeleng cepat seraya mengikuti langkahnya tanpa melangkah, hanya posisi badan dan tatapan mata saja. "Aku enggak takut kok," jawabku meyakinkan. Dia menatapku sambil tersenyum. "Aku tidur, ya, nanti Zuhur bangunkan aku, aku lelah sekali." "Ustaz?" Ia tidak jadi menutup matanya karena aku. "Apa?" jawabnya pelan. "Apa Ustaz udah makan ... atau minum teh ... kop—" "Belum, kamu mau membuatkannya untukku?" potongnya. Kok menyebalkan, ya? Tahu seperti ini aku tidak akan bertanya. "Baiklah, tunggu." *** Hanya membutuhkan waktu lima belas menit satu piring nasi goreng dan segelas teh hangat kini sudah ada di tanganku. Semoga dia menyukainya. Saat sampai di kamar, ternyata dia tidak tertidur, dia berdiri membelakangi pintu, dia menatap pemandangan lingkungan rumahku dari jendela kamar. "Ustaz ...." Belum sempat meneruskan ucapan kini dia sudah menghampiriku. "Apa kamu sudah makan?" Aku menggeleng pelan. "Bagaimana kalau makan bersamaku?" "Tap-tapi, Ustaz, nanti ...." Dia hanya tersenyum, dia ambil piring dan gelas dari tanganku. Dia taruh piring dan gelas itu di atas meja tempat biasa aku makan sarapan. Meja pendek yang menghadap jendela, aku sering makan melamun sambil menatap jendela. Ia menepuk lantai kosong, memberiku isyarat untuk duduk, aku hanya menurut. Perlahan tapi pasti, dia menyendok nasi goreng buatanku. Tapi, suapan itu tidak ditujukan untuknya, dia malah menyuapiku. "Suapan pertama untukmu." Aku tak bisa menahan senyum. Ternyata laki-laki berwajah datar, flat, kalau bicara pedas, bisa gombal juga. "Dan suapan kedua untuk aku." Bulu tanganku merinding, jujur saja ini pertama kalinya aku diperlakukan seperti itu. Antar jijik, ingin tertawa dan tidak menyangka. Sensasi ini berbeda dari pengalaman pacaran yang pernah aku rasakan. Jika diibaratkan, saat pacaran rasa itu hanya mengenai kulit, tapi saat ini, aku rasa perasaan itu sampai ke tulang dan organ-organ paling dalam di tubuhku. Tidak terasa satu piring habis tanpa suara, dia terdiam sesaat, tak lama kemudian menoleh ke arahku. "Kamu minum lebih dulu," ucapnya seraya menyodorkan gelas berisi teh yang aku buat. "Kenapa?" "Kata abi, makanan dan minuman yang dimakan atau diminum lebih dulu oleh seorang isteri itu rasanya lebih enak." Dan lagi-lagi aku tidak bisa menahan senyum, dia pandai sekali bergombal. Mungkin sebelum menikah dia mengikuti kegiatan belajar gombal online. "Makan dan minum sudah, jadi aku boleh tidur, kan?" tanyanya. Aku mengangguk sambil tersenyum. Dia mengusap pelan kepalaku. "Aku tidur dulu, ya." *** Selama dia tidur aku seperti orang asing di dalam kamarku sendiri. Aku berjalan mengendap-ngendap, kebingungan mau apa, bahkan aku lupa bagaimana caranya tenang saat ini. Melihatnya terlelap rasanya aku juga ingin terlelap, tapi itu pilihan yang salah. Kalau aku tidur siapa yang akan membangunkannya, lagi pula aku, kan, baru bangun beberapa jam yang lalu. Ini pertama kalinya aku berada dalam satu kamar yang sama dengan laki-laki. Dan itu rasanya sangat aneh dan menegangkan. Saat masuk ke madrasah, dan saat pertama kali aku melihatnya, jantungku berdegup kencang. Wajahnya sangat ... ya tampan lha. Aku kira aku tidak normal jika menyukai laki-laki yang lebih dewasa dariku, ternyata itu hanya hal wajar. Bahkan kalau aku sedang bengong, wajahnya terbayang diingatanku, dan jujur saja, aku pernah menghayalkannya menjadi suamiku, biasa efek baca n****+ romance. Aku melompat ke samping dengan cekatan gesit. Aku terkejut saat bahuku disentuh oleh seseorang dan ternyata dia ustaz Ali. Aku lihat jam masih menunjukkan pukul sepuluh, mengapa dia sudah bangun? "Maaf mengagetkanmu." Dia terlihat menahan tawa melihat ekspresi terkejutku. "Bu-bukannya Ustaz minta bangunin Zuhur?" Aku menunduk menahan tawa saat melihat dia mengulet, wajahnya benar-benar lucu, aku tidak bisa menahan tawa. Akhirnya aku benar-benar tertawa. "Kamu menertawakanku?" Aku tidak menjawab. Sebisa mungkin aku hentikan rasa ingin terus tertawa ini. Hingga tanpa sadar kalau sekarang ustaz Ali ada di hadapanku, sangat dekat. "Dasar." Aku lihat dia juga tertawa. "Terkadang mengulet itu terjadi tanpa disadari, apa aku lucu, ya, kalau lagi ngulet?" Aku mengangguk tanpa menatapnya. "Bukankah, mangulet atau tidak mengulet aku tetap lucu?" Spontan aku mendongakkan wajah, percaya diri sekali makhluk ini. "Iya, kan?" Aku menggeleng cepat. "Enggak." Dia maju satu langkah, dan aku mundur satu langkah. "Iya, kan?" Dan itu terus berlangsung sampai kini punggungku menempel di tembok. Jari kakiku dan jarikakinya kini bersentuhan. "Iya, kan?" Aku menutup wajah dengan telapak tangan. "Iya." Bodohnya dia malah menjawil hidungku dengan gemas. Berarti aku yang lucu bukan dia. Tidak hanya itu, dia juga mencubit pipiku. Tidak bisa dibiarkan, aku juga harus membalasnya. Aku berjinjit untuk bisa menangkupkan wajahnya dengan tanganku. Bibirnya mengerucut, lucu sekali. Aku terbahak, saking terbahaknya aku malah hilang keseimbangan dan berakhir jatuh, jatuh di pelukannya. Dia malah memelukku erat. "Makanya jangan sombong, pendek juga." Apa, dia bilang aku pendek? Bukan aku yang pendek, tapi dia yang terlalu tinggi. Astaghfirullah makhluk ini, menggemaskan sekali. Bisa-bisanya aku mudah melupakan apa yang telah ia lakukan sebelumnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD