BAB 15

1031 Words
Sepulang sekolah aku berpapasan lagi dengan kak Barra. Dahulu saat berpapasan dengannya aku suka salah tingkah, tapi sekarang entah mengapa aku merasa ingin menghindar saja. Aku merasa, kalau aku dekat dengan kak Barra, maka badai akan datang menghantam hubunganku dengan kak Ali. Tentu saja, aku akan lebih memilih suamiku, dia jauh lebih halal untuk aku pilih daripada kak Barra yang notabene-nya hanya orang asing yang pernah singgah diam-diam di hatiku. Seperti biasa, dia tersenyum ke arahku. Aku balas senyumannya sekilas lalu menunduk. Aku lanjutkan langkahku ke arah kantin, karena aku memang harus menunggu kak Ali selesai rapat. "Kamu enggak pulang, Hafshah?" Pertanyaan kak Barra berhasil menghentikan langkahku. "Aku masih nunggu seseorang, Kak," jawabku tanpa menoleh. "Apa itu ustaz Ali?" Aku langsung menoleh ke arahnya, aku tatap dia singkat lalu menunduk kembali. "Iya, Kak." Apapun reaksi orang lain, aku akan terus berusaha untuk berkata jujur. Sebab satu kata yang mengandung kebohongan akan membuat hidupku penuh kepalsuan, tidak tenang, dan tentunya menjadi sumber bencana juga. "Kamu ada hubungan apa sama ustaz Ali? Saudaraan?" Aku tersenyum singkat tanpa menatapnya. "Suatu saat Kakak akan tau sendiri, aku mohon jangan bertanya dulu. Biar waktu yang akan menjawab semuanya." Kak Barra diam beberapa saat. "Kalau kamu pacaran sama ustaz Ali kan enggak mungkin, baiklah ... aku enggak akan kepo dengan urusanmu, semoga Allah selalu melindungimu di mana pun berada. Aku duluan, ya, assalamu'alaikum?" Setelah mengatakan itu Kak Barra benar-benar menjauh. Aku tatap langkahnya yang semakin menjauh, hingga kini aku hanya bisa menatap punggungnya yang kian memudar dari pandangan. Kuhela napas pelan. Syukurlah kak Barra itu bukan orang yang kepo, tidak mungkin, kan, aku mengatakan kepadanya kalau aku sudah menikah? Sementara aku masih kelas sebelas Madrasah Aliyah. Aku memilih langsung menuju kantin, kupesan satu gelas es teh dan satu mangkuk bakso untuk mengisi kebosananku. Setelah makanan dan minumanku habis, kuhabiskan waktu dengan mengetik sesuatu di handphone, aku suka sekali membuat n****+ di platform online, terkadang kisah nyata yang pernah aku alami, kutulis di sana. Selain mendapatkan fans, aku juga bisa mendapat income sampai jutaan. Aku mulai menulis sejak MTs, dan uang hasil nulis tidak pernah aku ambil sampai sekarang. Jumlahnya sudah mencapai enam juta rupiah. Biarlah aku tabung untuk kuliah nanti. Aku tidak mau terus-terusan merepotkan kak Ali dan ayah. Omong-omong, aku tidak memakai nama asli di platform online tempatku menulis. Entah mengapa aku malu, takut-takut nanti yang membaca temanku atau guruku. Aku hanya menikmati income-nya saja sudah cukup. Bahkan keluarga, sahabat, dan kak Ali belum mengetahuinya. Mungkin suatu saat nanti akan kutampakkan diriku yang sebenarnya, nanti .... *** Setelah menunggu lama, akhirnya orang yang aku tunggu datang juga. Wajahnya terlihat agak kusut, mungkin ada hal yang membuatnya sebal lalu ia tahan. Sepenglihatanku selama beberapa hari ini, dia ini tipe laki-laki yang sabar, tapi jutek dan pedasnya tidak ketulungan. Aku juga tidak paham dengan jalan pikirannya, semoga aja aku bisa lebih paham setelahnya. "Assalamu'alaikum," ucapnya seraya ikut duduk di sampingku. Aku langsung mematikan handphone dan fokus ke arahnya. Aku mulai membiasakan diri untuk menghormati orang lain, siapa pun itu, salah satunya dengan cara tidak main handphone saat berbincang. "Wa'alaikumussalam warrahmatullah wabarakatuh. Gimana, Kak? Apa ada keluhan?" Bukannya menjawab dia malah tertawa. "Kamu udah kayak dokter yang tanyain pasien kontrol tau enggak," ucapnya sambil mengusap puncuk kepalaku. Aku ... aku cuma cekikikan tidak jelas kalau sudah diperlakukan baik olehnya seperti ini. "Enggak ada keluhan apa-apa kok, Bu Dokter, cuma ada trouble aja sedikit, cuma yang buat aku mumet itu, aku terus mikirin kamu, jadinya enggak masuk-masuk diskusiannya di otakku." Kucubit pelan pinggangnya. Ada-ada saja. Bisa-bisanya dia menjadikanku alasan dari wajahnya yang kusut sekarang ini. "Yaudah yuk langsung pulang, aku udah ngantuk banget." Dia bangkit lebih dulu, lalu aku ikut bangkit. Dahulu lengan bajuku diseret paksa, sekarang jemariku digenggam dengan penuh rasa cinta, oh Allah .... Saat sedang asyik jalan menuju parkiran, tiba-tiba langkah kak Ali terhenti, spontan aku pun ikut menghentikan langkahku. Kuikuti tatapannya yang terkunci. Seorang wanita cantik sedang berjalan ke arah kami, dia tersenyum ke arah kak Ali, sementara wajah kak Ali datar tapi matanya menyimpan banyak hal yang tak bisa aku ketahui. Dan kini, wanita itu ada di hadapanku. Dia menatapku sekilas lalu menatap wajah kak Ali sambil tersenyum manis. "Assalamu'alaikum, Ali, apa kabar kamu sekarang?" Kulihat kak Ali tidak langsung menjawab. Hingga akhirnya ia menundukkan pandangan. "Wa'alaikumussalam warrahmatullah wabarakatuh, alhamdulilah saya baik." Lagi-lagi wanita itu tersenyum manis. Aku insecure melihat wajahnya. Dia seperti bidadari tak bersayap, cantik, ber-body bagus, tutur katanya terdengar indah, sungguh ciptaan Tuhan yang indah. "Aku bakal tinggal di Jakarta sekarang, Al." Aku menyipitkan mata, siapa wanita ini? Kak Ali bilang, ia tidak pernah berhubungan dengan wanita. "O ... oh, gimana keadaan umma dan abbamu?" Dia tertawa, ingin rasanya aku tutup mata kak Ali agar tidak melihatnya, sungguh, wanita ini sangat cantik. "Kamu langsung tanya keadaan orangtuaku tanpa menanyakan kabarku, sungguh ... kamu emang laki-laki misterius sejak dulu." Kulihat kening kak Ali berkeringat, padahal saat ini cuaca tidak panas. "Ah ya, siapa kamu, Cantik? Saya bicara sebentar, ya, sama guru kamu." Sebelum menjawab kutatap wajah kak Ali, ternyata dia juga menatapku, dia mengangguk, mengisyaratkan aku untuk pergi. Entah mengapa, hatiku jadi merasa tidak enak. Ada apa ini, mengapa terasa sesak, apa ini yang disebut cemburu? Ah tidak, sejak kapan aku mencintainya? Oh Hafshah, kenapa kamu sangat munafik sekarang. *** Aku menunggunya di taman sekolah, sepuluh menit telah berlalu begitu saja. Hingga akhirnya orang yang kutunggu mengirimkan pesan singkat melalui w******p. Kamu pulang naik angkot dulu, ya, Hafshah, aku ada urusan. Hatiku mencelos, entah mengapa tiba-tiba airmataku menetes begitu saja. Kuhapus kasar airmataku, aku sangat kekanak-kanakan jika langsung menangis, tapi ... lagi-lagi aku gagal mengontrol diri. Ingin rasanya aku menghampiri kak Ali dengan wanita cantik itu, ingin kukatakan padanya kalau kak Ali adalah suamiku. Namun, aku harus sadar diri dan ingat kondisi. "Apa benar dugaanku dahulu, kalau kak Ali memperlakukan aku dengan baik karena rasa kasihan saja, bukan rasa sayangnya suami kepada isteri?" Aku tertawa hambar mengingat tingkat kepercayaanku yang hampir 100 persen kepadanya. "Bodoh kamu, Hafshah!" Tangisku semakin pecah, aku harus pulang ke rumah, aku benci kondisi seperti ini. Biar aku dikatakan seperti anak-anak, toh, memang aku masih anak-anak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD