Aku pulang sekolah bersama ustaz Ali sore sekali. Aku harus menunggunya di kantin sekolah, dia sedang melaksanakan rapat bersama sesama guru, mewakili abinya yang sedang sakit.
Sekolah sudah sangat sepi, dan kurasa, hanya aku siswi yang masih menetap di sekolah. Prospekku, semoga rapatnya cepat selesai dan aku bisa cepat sampai di rumah untuk merenggangkan tulang-tulangku yang rasanya sudah tegang karena kelamaan duduk.
Tiba-tiba aku merasa bahuku disentuh oleh seseorang, aku segera menoleh untuk melihat siapa pelakunya. Ternyata ustaz Ali.
"Kelamaan, ya?" tanyanya.
Aku hanya tersenyum getir seraya menyapu kening yang kini sudah dibanjiri keringat.
Kulihat dia tersenyum kecil. "Yaudah yuk."
Aku mengangguk dan langsung berjalan beriringan dengannya menuju parkiran sekolah yang kini hanya berisi mobil dan motor milik para guru.
Kusandarkan kepalaku di bangku mobil. Ustaz Ali membesarkan suhu Ac saat melihat keningku masih dibanjiri keringat.
"Hari ini kita bakal pindah rumah. Kamu bersedia, kan, tinggal satu rumah di rumah baru kita?"
Aku terdiam sesaat sebelum akhirnya mengangguk mengiyakan. Toh, jika aku tolak pun sudah pasti tidak bisa. Ustaz Ali memiliki regulasi-regulasi yang tidak bisa diganggu gugat.
"Omong-omong, kamu ingat enggak baju gamis hitam yang aku berikan?"
Aku langsung mengangguk, aku menyukai gamis itu. Sederhana tapi terlihat tidak murahan, bahannya pun nyaman di kulitku.
"Nanti pakai, ya? Hari ini aku mau membelikanmu pakaian baru, dan aku juga mau membeli pakaian baru. Pakaian lama kita coba disumbangin aja yang masih bagus."
Aku hanya mengangguk nurut.
"Sekalian bantu aku memilih alat dapur, ya? Alat dapur di rumah baru kita belum lengkap."
"Iya, Ustaz."
Dia tersenyum kecil lalu mengusap puncuk kepalaku dengan sayang. "Kalau lagi di luar sekolah, jangan panggil aku Ustaz."
"Lalu?"
"Menurutmu apa yang nyaman?"
Aku berpikir sebentar. "Selain kata Ustaz, kayaknya aku nyaman kalau panggil kamu kakak, gimana?" saranku.
Dia mengangguk sambil tersenyum. "Apapun yang membuatmu nyaman."
***
Sesampai di rumah kak Ali, oke sekarang aku memanggilnya kakak. Ia kini segera bersiap untuk pergi membeli baju dan alat dapur, begitu pula denganku. Dia bilang kita akan makan di luar.
Tidak lama menunggu. Dia yang selesai lebih dulu. Dia mengenakan kokoh hitam ber-list putih, senada dengan bajuku. Dan sungguh, dia sangat tampan.
Ternyata dia memang membelikan baju dengan motif dan produk yang sama. Niat sekali makhluk ini.
Aku memakai baju darinya, gamis hitam ber-list putih dengan paduan kerudung putih ber-list hitam. Aku merasa pangling dengan diriku sendiri. Aku terlihat lebih dewasa dari sebelumnya.
Saat aku berbalik dia sudah ada di belakangku, tersenyum manis semanis gula, dan rasanya, gula pun kalah dengan pesonanya itu.
"Kamu cantik sekali," ucapnya seraya mengelus pipiku yang rasanya kini sudah memanas.
"Kamu juga," ucapku.
"Aku cantik?" tanyanya.
"Tidak, kamu tampan."
Dia tersenyum kecil. "Ayo kita langsung berangkat." Dia menarik lembut tanganku untuk segera berjalan.
Aku berpapasan dengan kak Farhah dan ayah. Mereka tersenyum menatap kami. Tapi kurasa, senyuman kakakku terlihat tidak tulus. Dan aku merasakan itu sejak pertama kali menikah dengan kak Ali.
Tanpa diberitahu olehku ternyata ayah dan kakakku sudah mengetahuinya dari kak Ali. Aku tidak tahu kapan dia mengatakan itu kepada ayah dan kakakakku.
Setelah ijin, aku dan kak Ali langsung melesat ke mobil dan segera pergi menuju tempat tujuan.
***
Jujur saja aku tidak pandai memilih bahan baju yang bagus. Asal baju itu nyaman, sederhana dan tidak mencolok, pasti akan kupilih. Ternyata kak Ali memiliki keahlian tidak terduga saat memilih barang.
"Aku sering beli baju, hampir satu bulan sekali."
Aku menggangga, laki-laki suka shopping?
Dia tertawa melihat perubahan ekspresiku yang mendadak itu. "Keluargaku memiliki kebiasaan membeli baju baru di akhir bulan. Kami rutin mengirim baju ke panti asuhan atau pun kepada orang yang membutuhkan. Enggak cuma baju kami, pasti dibarengi sama makanan. Dan aku mau kita, maksudku keluarga kita, seperti itu."
Aku tersenyum. "Apapun yang menurutmu baik, insyaallah baik juga menurutku."
Dia tersenyum lalu merangkul tubuhku untuk berjalan ke bagian lebih dalam. Di dalam kami selalu diikuti penjaga toko, penjaganya sangat ramah, bahkan mengenali kak Ali. Kak Ali mengenalkanku kepadanya. Dia memujiku dan merasa iri dengan pasangan serasi seperti kami, katanya.
Setelah membeli baju kami memilih untuk makan terlebih dahulu. Ternyata aku dan kak Ali memiliki kesamaan, sama-sama menyukai makanan pedas-gurih dan minuman dingin. Jadi kami memesan dua dengan menu yang sama.
Tidak lama di tempat makan, setelah itu kami langsung melesat menuju tempat pembelian alat dapur. Dan lagi-lagi kak Ali sangat mahir memilih barang dengan kualitas yang bagus. Bilangnya sih, minta temani 'memilih' tapi aku sama sekali tidak membantu memilih. Astaghfirullah aku.
Sepanjang perjalanan dia tidak pernah jauh dariku. Terkadang dia merangkulku atau menggenggam jemariku.
Lumayan lama, tapi akhirnya kini kami sudah menuju rumah baru yang sudah kak Ali persiapkan sebelum ia tahu siapa yang akan menjadi istrinya.
***
Benar-benar memiliki selera yang bagus. Rumah baru ustaz Ali berwarna abu perpaduam hitam, aku sangat menyukainya. Ada gerbang yang menjulang tinggi untuk mengamankan rumah. Ada halaman yang luas berisi pepohonan-pepohonan hias yang sedap dipandang. Ada kolam ikan juga.
Di dalam rumahnya sangat rapih, banyak ukiran asma Allah menghiasi dinding. Bahkan tanpa sepengetahuanku kini wajahku sudah terpampang jelas di ruang keluarga, ada fotoku dan foto kak Ali.
Di belakang rumah terdapat taman kecil-kecilan, ada banyak tumbuhan-tumbuhan penghasil bumbu dapur. Ada kolam untuk berenang, dan ada sebuah bangku santai.
"Lebih baik kamu istirahat dulu, biar aku yang membereskan semuanya. Aku suka bersih-besih."
Aku sedikit aneh dengannya. Dia laki-laki tapi sangat hobby bersih-bersih. Kamarku pun sering ia bersihkan. Dia suka sekali memegang sapu dan alat mengepel.
"Aku bantu, ya?"
Dia menggeleng. "Kamu lelah habis belajar."
"Kamu juga, kan, lelah habis mengajar udah gitu tadi kamu rapat."
Dia tersenyum. "Cukup buatkan aku teh, aku tidak akan membersihkan ulang rumah ini, aku sudah membersihkannya jauh-jauh hari. Aku cuma mau menaruh tata letak alat dapur."
Kali ini aku menurut. Lagi pula dia yang lebih paham tata letak rumah ini. Aku langsung bergegas membuatkannya teh.
Aku memperhatikannya dengan jarak dekat. Dia sangat lihai dalam hal apapun, sungguh, pesonanya tidak ada akhlak. Diam-diam aku tersenyum. Ternyata kini aku sudah mau memaafkannya dan tentunya kini aku justru menyukainya. Dia memang sosok laki-laki yang pantas dikagumi banyak wanita, dan aku akui itu, tapi tidak tahu nanti.