BAB. 9 - Mawar merah dan kerusuhan yang dibuat Thalita

2308 Words
  Kabar baik datang dari Bima, ia mengatakan bahwa buku Andreas akan segera terbit. Surat-surat itu sudah dibaca oleh editor dan hasilnya ia seperti orang kehilangan akal. Bima menceritakannya pada Andreas dengan gelak tawanya yang keras melalui sambungan telepon. Mendengar cerita Bima, justru Andreas merasa senang. Setiap tulisan akan membawa pembaca pada ilusinya masing-masing. Tanpa editor itu sadari, ia sudah masuk dalam kisah yang Andreas tulis dan berperan sebagai dirinya yang sudah hilang akal.   Andreas belum menyelesaikan obrolannya dengan Bima, seseorang mengetuk pintu ruangannya. Dengan terpaksa Andreas harus mengakhiri telepon dari sahabat berandalnya.   "Masuk," perintah Andreas sembari meletakkan ponselnya di atas meja. Ia melipat tangan di d**a.   Seorang gadis dengan langkah diayun-ayun sedemikian rupa memasuki ruangan. Dahi Andreas mengerut, Thalita memasang muka masam.   "Saya pikir Allea," gumam Andreas tak bersemangat, membuat Thalita menatapnya jengkel.   "Dia juga ada di sini," ucap Thalita ketus, "kami tidak sengaja berpapasan di lorong saat menuju ke sini. Jadi ... aku rasa dia tidak akan keberatan jika kami datang secara bersama-sama."   "Sayangnya, saya ada perlu dengan Allea tanpa ada orang lain yang mengganggu," tegas Andreas, ia menatap Thalita tak suka, sementara Allea berdiri canggung dengan wajah lugunya.   "Hemm." Thalita sedikit mencondongkan badannya ke arah Andreas. "Aku bukan orang asing lagi bagimu, Tuan Andreas. Ayolah, katakan pada gadis ini bahwa kita sudah bertunangan." Thalita menunjuk Allea dengan jari  lentiknya.   "Baiklah, tapi kumohon segera keluar sekarang," pinta Andreas, dia sudah tidak tahan dengan sikap tidak menyenangkan Thalita.   Allea masih menunggu, drama apalagi yang mereka perankan sekarang. Andreas tampak lebih mengalah sedangkan Thalita bertindak sok berkuasa. Keduanya tengah bermain peran, Allea menyadari ada yang salah di antara mereka. Sejauh yang Allea nilai, Andreas hampir tidak menyukai gadis-gadis seperti Thalita yang lebih mementingkan penampilan tubuh di banding kecerdasan otak, tetapi entah mengapa ia merasa cemburu.   Thalita akhirnya keluar dari ruangan Andreas, ujung matanya sempat menatap tajam ke arah Allea dengan bibir terkatum rapat.   "Silakan duduk, Allea. Saya minta maaf sudah membuatmu merasa tidak nyaman."   Allea duduk di tempat biasa, ia masih memilih diam dan tetap menjadi pendengar. Tetapi Andreas justru terdiam, ia menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi dengan kedua tangan melipat di atas kepala. Lalu dalam beberapa saat ia kembali memperbaiki posisi duduknya, Allea merasa ada sesuatu yang membuatnya gelisah.   "Apa yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Allea memecah keheningan.   "Kehadiran kamu di sini sudah cukup membantu saya, Allea. Cukup di sini untuk menemani." Andreas mengatakannya tanpa menatap wajah Allea.   Allea menelan ludah dengan susah payah, ia berpikir mengapa Andreas terus memperlakukannya seperti itu. Tiba-tiba saja ia ingat ucapan Thalita soal tunangan, tetapi ia menahan untuk tidak menanyakannya saat melihat Andreas sibuk dengan ponsel.   "Hari ini adalah hari bahagia," ucap Andreas, "akan ada perayaan ulang tahun di sini." Andreas masih menatap layar ponselnya. Sesuatu yang penting harus dia selesaikan melalui pesan singkat.   Allea melongo. Ia tidak tahu jika hari ini Andreas berulang tahun. Tetapi mengapa semua orang seakan tidak menyadarinya? Semua karyawan bahkan Sandra sendiri tidak pernah memberi tahu--setidaknya Allea berpikir untuk memberi kado.   Tidak berapa lama, penjaga pintu ruangan datang dan mengatakan pesanan Andreas sudah tiba. Dengan cepat Andreas memerintahkan agar semuanya di atur dalam ruangan dengan penataan yang sempurna.   Dua laki-laki berseragam khas pegawai toko mengucap permisi masuk ke ruangan dengan membawa banyak bunga. Allea membelalak saat melihat betapa banyaknya bunga-bunga mawar segar berwarna merah dan hampir memenuhi setiap sudut ruangan kerja Andreas. Aroma wanginya semerbak membuat Allea menjerit kegirangan.   Andreas menatap Allea, ia tersenyum lebar melihat tampang takjub gadis itu pada kelopak-kelopak mawar.   Setelah dirasa cukup, dua orang pegawai toko bunga segera menata mawar-mawar itu dengan cantik. Mendekorasi secara profesional membuat ruangan tampak seperti kamar pengantin. Andreas merasa puas, bibirnya berkali-kali berdecak kagum.   "Kami siap melayani apapun yang Bapak butuhkan," kata salah seorang karyawan toko bunga pada Andreas, sebelum mereka pamit pergi karena tugas sudah dikerjakan dengan sangat baik.   "Terima kasih, ini luar biasa. Saya rasa, jauh lebih cantik dari tahun-tahun sebelumnya." Andreas menatap karyawan toko menunjukkan sikap bangganya.   "Terima kasih, Pak. Kalau begitu kami permisi."   Andreas mempersilakan. Tidak lupa ia memberi tip untuk keduanya karena dinilai kerja mereka sangat memuaskan. Mereka berhak mendapatkannya.   Ruangan kembali hening.   Andreas berdiri di depan kaca jendela yang lebar, semua gedung-gedung pencakar langit dapat ia saksikan dengan sangat luas. Jauh sebelum ia menjadi seorang pengusaha, memiliki gedung perkantoran, pabrik besar dan ratusan karyawan yang bekerja dengannya, Andreas merasa ia takkan mampu mencapai semuanya. Ia hilang harapan. Hingga akhirnya kekuatan itu datang. Takhlukan dunia maka semua akan kau dapatkan hanya dalam satu genggaman. Hampir setiap hari dan setiap waktu Andreas mempelajari banyak hal. Melahap buku-buku hebat inspirasi para pengusaha, hingga ia terjun langsung bekerja di lapangan sebagai buruh, karyawan kantor, sampai ia banyak melakukan hal-hal di luar kemampuan yang ia pikir akan mustahil diraih. Tetapi ia mulai paham, kerja keras tidak akan mengkhianati hasil.   Lulus sebagai mahasiswa terbaik dari Universitas ternama di Negara Paman Sam, Andreas pernah mendapat kesempatan bekerja di perusahaan besar di sana selama delapan tahun. Hingga akhirnya ia berpikir untuk membuka perusahaan baru di negeri sendiri. Bermula dari mencintai produk dalam negeri, Andreas membuat perusahaan Industri dengan berbagai macam produk berkualitas tinggi. Saat ini, perusahaannya mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan Asing.   Jauh mata Andreas memandang keluar jendela. Ia sadar, ia masih belum merasa bangga atas segala pencapaiannya. Ia habiskan sisa waktu dan masa muda mengejar impian seolah ia hanya melihat dirinya sendiri, ia tidak peduli apapun tentang perasaan, tidak pula menginginkan pasangan sebagai kekuatan. Sekiranya hingga kini ia merasa hidup, kuat, dan bertahan, itu karena ia terus mengejar bayang.   Andreas menceritakan bagaimana proses itu terjadi hingga ia berada di ruanganya saat ini. Sebuah perjuangan panjang telah ia lalui, dan itu berhasil ia gapai setelah berhasil menerjang badai dan gelombang. Hidup tidak akan kuat tanpa tekat. Hidup tak pernah jaya tanpa usaha.   Andreas menghela napas panjang, ia mengalihkan pandangannya pada Allea. "Ada satu yang masih harus diperjuangkan, yaitu cinta," ucap Andreas getir. "Saya ... bertahan sendiri demi seseorang yang mungkin sudah mati. Tetapi saya tidak pernah lupa, kapan ia dilahirkan di dunia."   Suara parau Andreas membuat Allea merasakan debaran aneh. Berjam-jam Allea memberikan waktu bagi Andreas menceritakan segala bentuk usahanya, menjalani hidup, melakukan banyak hal membuat Allea merasa takjub. Ia sama sekali tidak menyangka, Andreas begitu teguh pada keyakinannya. Tentang harapan, impian, cita-cita dan cinta. Seketika Allea merasa malu pada diri sendiri karena begitu sering menyesali hidup.   "Siapa seseorang yang Bapak rayakan ulang tahunnya ini?" tanya Allea penasaran, "pasti orang itu sangatlah istimewa."   Andreas kembali menuju kursinya. Ia memakai kacamatanya dan melihat wajah Allea tampak lebih jelas.   "Dia kekasih saya, dulu." Andreas mengatakannya tanpa ragu-ragu, "Hari ini hari ulang tahunnya, hampir setiap tahun Saya memberi banyak bunga mawar dan kado ulang tahun. Ia tidak menyukai barang-barang mewah, tidak menyukai bioskop, tidak suka keramaian, ia hanya menyukai ... keheningan. Ia akan merasa tenang dan damai jika kami berlari di tepi pantai saling bekejaran tanpa siapapun menatap kami dengan tatapan risih dan geli."   Mata Allea mengerjap-ngerjap. "Di mana dia sekarang?" tanyanya lagi.   "Hilang."   Andreas melihat Allea mendesah berat. Agaknya gadis itu mulai terbawa emosi dan rasa penasaran tentang kekasih bosnya itu.   "Apa Bapak pernah menginginkan seorang anak?"   Andreas terkejut, Allea tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang tidak pernah ia pikirkan.   "Saya tidak pernah memikirkannya, apalagi menginginkan," jawab Andreas tidak sepenuhnya berbohong.   Allea berdecak. "Bagaimana bisa?"   "Kamu tidak akan pernah menginginkan apapun jika harapan memiliki seseorang sudah sirna. Yang kamu pikirkan hanyalah, kapan takdir mempertemukan. Kecuali saat kamu menghabiskan sepanjang usia bersama orang yang dicintai dan kalian memimpikan banyak hal, mungkin memiliki anak adalah salah satu dari serangkaian keinginan yang ingin segera terwujud!"   Andreas kembali melepaskan kacamata dan meletakkannya di atas meja. Ujung jarinya memijat keningnya yang mulai berdenyut sakit.   Allea merasa bersalah, seharusnya ia tidak terlalu banyak bertanya.   "Ya, saya mengerti." Allea terus mengamati wajah Andreas. "Mungkin, sebaiknya saya kembali ke meja kerja saya," lanjut Allea dan ingin segera beranjak. Andreas segera menahan.   "Ada sesuatu yang belum saya bahas," kata Andreas, "ini soal pekerjaan."   Mendengar soal pekerjaan, Allea menyimak dengan baik.   "Kita akan kedatangan klien baru Senin depan, saya minta kamu menemani Sandra untuk mendampingi saya saat rapat. Ada beberapa yang harus kamu pelajari. Ini filenya." Andreas menyodorkan file rangkuman yang harus Allea pelajari.   "Baik, Pak." Allea menerima file yang diberikan padanya. "Ada lagi?"   Bibir Andreas tersenyum kecil, ia sangat senang dengan sikap profesional-nya Allea dalam bekerja. Gadis itu selalu semangat menerima tugas apapun.   Andreas mengambil satu buket bunga mawar berukuran besar di atas meja. "Ini untuk kamu."   Allea melonjak girang, ia sangat menyukai bunga mawar. Berkali-kali Allea mengucap terima kasih sambil memeluk buket bunga yang wanginya sangat harum.   ***   Allea disibukkan membawa file beserta buket bunga mawar besar menuju meja kerjanya. Hatinya sangat riang. Ia tidak akan bisa melupakan bunga-bunga mawar itu memenuhi ruangan Andreas, membuatnya betah berlama-lama walaupun bosnya berbicara panjang lebar seperti pidato kelulusan sekolah.   "Allea!" panggil seseorang. Allea terkejut, Thalita sudah ada di belakangnya, kedua mata gadis itu menatapnya penuh kebencian. Hingga ia melihat buket bunga mawar dalam dekapan Allea.   "Dasar penjilat!" teriak Thalita, kedua tangannya merampas buket bunga mawar milik Allea, beberapa kuntumnya hancur dan membuat kelopak-kelopak itu berserak di lantai.   Beberapa pasang mata menyaksikan kemarahan Thalita pada Allea, ia tidak hanya merampas bunga, Thalita sempat menarik rambut panjang Allea kuat-kuat.   "Lepaskan!" jerit Allea menahan sakit akibat rambutnya yang ditarik kuat. "Kau sudah tidak waras, Thalita!" maki Allea masih berusaha menjauhkan tangan Thalita. Beruntung, kebrutalan Thalita segera diamankan oleh beberapa karyawan yang datang melerai.   Wajah Allea memerah, ia hampir menangis dan merasa takut. Tubuhnya gemetar mengingat betapa mengerikannya kekasih bosnya itu.   "Allea!" Vino berlari cepat menghampiri Allea, disusul Sandra di belakangnya. Kedua temannya itu menatap Thalita gusar.   "Beberapa orang melapor kamu bertengkar dengan Thalita," ucap Vino cemas, ia segera merangkul Allea. Tubuh gadis itu gemetar dan akhirnya iya tersedu di d**a Vino.   Sandra menatap Vino. Ia pikir kejadiannya tidak akan seperti ini. "Kau memang penggosip paling menyedihkan, Thalita. Kau pikir dirimu siapa, Hah? Jangan harap Pak Andreas akan memaafkanmu jika ia tahu Allea sudah disakiti." Sandra menatap tajam wajah Thalita.   "Pergi kalian semua, pergi!" usir Thalita murka, gigi-giginya beradu menyuarakan gemeletuk keras. "Jangan sentuh aku!" teriaknya pada salah seorang karyawan yang masih berjaga-jaga agar Thalita tidak lagi bertindak kasar.   Sandra memberi kode agar semua yang ada di sana bubar, dan kembali melanjutkan pekerjaan mereka masing-masing. Beberapa orang melenggang pergi membawa rasa penasaran seperti apa kelanjutan tontonan gratis mereka.   Sandra melihat buket bunga mawar tergeletak di lantai setengah rusak. Lalu menatap ke arah Thalita yang sudah seperti nenek sihir. Sandra mengeluarkan ponsel canggihnya, satu gambar berhasil ia simpan. "Tinggal pilih, minta maaf atau dipecat?" Mata Sandra mendelik ke arah Thalita.   "Kau harus bertanggung jawab atas semuanya." Kali ini Vino menambahkan sebelum ia mengajak Allea yang masih terguncang kembali ke meja kerja. Ia akan segera menenangkan gadis itu segera.   Vino memberi tahu Sandra, ia akan membawa Allea. "Susul aku setelah kamu membereskannya," ucap Vino.   Sandra mengangguk, tetapi matanya tak lepas menatap Thalita.   "Sudahlah, Sandra. Jangan membohongi perasaanmu sendiri. Kau juga membenci Allea, aku tahu itu. Kau tidak menyukai gadis lugu itu sampai kau berani menyebarkan gosip tentang Allea dan Pak Andreas. Kau orang paling munafik di kantor ini!" Suara Thalita sengaja dikeraskan, ia berharap banyak yang mencuri dengar ucapannya.   Raut wajah Sandra seketika berubah. Ia tidak menyangka Thalita mengetahui kebenarannya. Kini ia tampak ragu.   "O, ya. Soal kau menyebarkan gosip itu, Pak Andreas pun sudah tahu. Kau tinggal menunggu waktu, kapan angkat kaki dari kantor ini. Jangan terlalu sombong dengan posisimu, Sandra, tidak lama lagi Allea akan melangkahimu!"   Lagi-lagi Sandra terdiam. Ia merasa kata-kata Thalita ada benarnya. Tetapi ia tidak begitu membenci Allea, soal gosip itu ia hanya ingin sedikit bersenang-senang.   Sandra meraih buket buket bunga yang masih tergeletak di lantai. Wangi segarnya begitu menyenangkan.   "Aku tidak ingin berdebat denganmu, Thalita. Kasus ini biar kuserahkan pada Bayu, ia lebih berhak menangani perihal ini." Sandra memutar tubuhnya dan segera meninggalkan Thalita dengan membawa buket bunga mawar.   Thalita menghentakkan kakinya kesal, ia bertingkah seolah ingin mencekik leher Sandra kuat-kuat. Tidak ada yang peduli pada gadis itu, semua karyawan seolah tidak melihat atau mendengar apapun. Kecuali teman-teman geng gosipnya.   ***   Saat Sandra tiba di meja kerja Allea dan Vino, ia meletakkan buket bunga mawar di atas meja kerja Allea. Ia melihat kedua mata Allea sembab, tetapi ia terlihat lebih baik. Vino berhasil menenangkan Allea.   "Apa kau baik-baik saja?" tanya Vino pada Sandra.   Sekretaris itu tersenyum miring, ia merasa tersanjung Vino perhatikan, tetapi tidak yakin mengingat laki-laki itu memang mempunyai sifat kepedulian yang tinggi pada siapapun.   "Tidak ada kekurangan apapun, hanya saja ... kita harus waspada pada si binal itu."   "Dia hanya cemburu kurasa." Vino menambahkan.   Allea menatap Vino, "Harusnya itu tidak terjadi. Ia sempat mengatakan bahwa mereka akan bertunangan," kata Allea, ia menceritakan apa yang ia dengar tadi pagi saat mereka berada di ruangan Andreas.   Mulut Sandra terbuka lebar, ia sangat terkejut mendengar ucapan Allea. Sedangkan Vino hanya menggeleng tak percaya.   "Aku tidak tahu kebenarannya, aku hanya mendengar dari mulut Thalita, sedangkan Pak Andreas belum mengatakan apapun soal pertunangannya," jelas Allea lagi.   "Dan kamu percaya?" Sandra dan Vino hampir bersamaan.   "Entahlah, aku tidak peduli." Allea menjawab malas.   Vino menatap Allea, ia tidak yakin dengan jawaban gadis itu. Ia berharap Allea bersungguh-sungguh dengan ketidakpeduliannya itu.   Ponsel Sandra berdering, seseorang meneleponnya.   "Dari klien baru," bisik Sandra pada Allea dan Vino sebelum ia permisi meninggalkan kedua temannya.   "Sandra tampak bahagia saat melihat siapa yang menelepon." Allea mengatakannya begitu saja saat Sandra sudah menghilang dari pandangan.   Bahu Vino terangkat.   "Laki-laki memang tidak pernah peka." Allea memutar bola mata.   "Aku sudah selesai dengan Sandra, jadi untuk apa aku terlalu memperhatikannya?"   "Aku tidak berusaha membuatmu cemburu. Sekedar mengatakan saja, ia tampak seperti orang jatuh cinta." Allea mengatakan itu karena ia sempat melihat rona merah di wajah Sandra. Beberapa hari ditugaskan Andreas menemani Klien, mungkin ada sesuatu yang membuatnya memiliki debar yang berbeda.   Allea tahu, bagaimana sikap dan reaksi wanita saat ia tengah merasakan perasaan aneh bernama ... cinta. Entah mengapa ia memikirkan Andreas bersamaan dengan rona bahagia di wajah Sandra.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD