Di ruangannya, Andreas menatap selembar kertas. Membaca rangkaian kata-kata yang sudah ia tulis. Kali ini ia tidak meminta Allea menemaninya, Andreas tidak ingin membuat gadis itu takut. Ia menyesal memeluk gadis itu, ia melihat kedua mata sendu Allea menggambarkan kengerian.
Andreas menghela napas dalam, fokusnya kembali pada surat yang ia tulis.
Untukmu, Arini sayang ....
Pada rinduku yang tak pernah hengkang. Masihkah kau ingat tentang sebuah kisah yang pernah kuceritakan padamu? Kisah cinta antara Moritz dan Lotte yang terpisah, kisah cinta mengharu biru yang pernah membuatku berurai air mata. Kau menertawaiku waktu itu, kau mengatakan betapa cengengnya aku sebagai seorang pria. Ya, kau benar, dan aku mengecup keningmu dengan lembut. Kukatakan padamu, "Tetaplah bersamaku, Lotte-ku, aku akan menjadi Moritz si orang Jerman yang setia." Kau hanya tersenyum malu-malu lalu memelukku sebentar sebelum berlari kecil menyusuri lorong sekolah dengan perasaan cinta.
Arini ...
Pada tahun-tahun sebelum kutemukan lagi pijar yang sama di kedua mata sosok berbeda, aku rapuh tanpa cinta. Terdengar konyol dan payah, tetapi aku tak pernah menyerah sebelum semuanya usai. Jika Moritz mampu berjalan kaki sejauh separuh benua telah dilewati demi Lotte, aku pun mampu berjalan di lorong gelap tanpa cahaya, sendirian. Aku akan menemukanmu di ujung lorong yang bercahaya. Tidak ada tempat bagiku selain kegelapan, dan kau adalah rumahku, tempat paling membahagiakan.
Ah, Arini ...
Air mata telah mengering.
Lelah sudah tak lagi terasa.
Sakit seakan enggan bangkit.
Aku masih mendekap kenangan bersama kepedihan. Dan aku sudah terbiasa saat ini.
Apa kau ingin aku ceritakan kembali tentang Moritz dalam kisah ‘Memories Of Love'? Lotte telah membuatnya hidup walau dalam kondisi mengenaskan. Moritz meninggalkan Lotte karena ia seorang prajurit dan harus pergi berperang ke medan perang melawan pasukan Rusia. Tapi takdir masih memihak Moritz, lima tahun Lotte tetap menunggu meski nyaris membunuh Moritz karena cinta. Sementara kita? Hingga saat ini aku masih belum percaya bahwa kau milik orang lain.
Kau tahu, mengapa kumbang tak hinggap pada setangkai bunga? Sebab, tidak ada satu bunga pun yang menarik tuk dihisap sari bunganya. Baginya, sari bunga adalah racun berbahaya.
Aku mencintaimu ....
Gilang. A.
Andreas tersenyum. Untukmu dari jiwa yang rapuh, katanya mengasihani diri sendiri. Ada gelombang dalam dirinya yang terus menghantap kenyataan. Apa yang dirasakan Arini saat ini? Apakah sama dengan yang ia rasakan? Andreas beribu kali memohon agar takdir membawanya kembali pada gadis pecinta hujan.
Pintu ruangannya diketuk, Andreas kembali berpijak ke bumi. Ia mengusap sudut mata dengan ujung telunjuknya cepat-cepat.
"Pak, ada wanita yang ingin bertemu Bapak." Seorang laki-laki yang bertugas menjaga pintu ruangan Andreas melapor. Tidak ada yang boleh masuk ruangan sebelum ada janji terlebih dahulu.
"Siapa?" Andreas mengangkat alisnya sebelah.
"Dia karyawan di bagian promosi bernama Thalita."
"Oh," ucap Andreas, "suruh dia masuk." Andreas memerintah.
Thalita, tidak ada yang meragukan keberaniannya baik dari segi bicara maupun tingkah. Andreas menebak-nebak, apa yang perawan tua itu inginkan darinya.
***
Andreas melihat Thalita masuk ke ruangannya dengan seulas senyum memikat. Wajahnya tak kalah cantik dari sederet artis ternama, serta lekuk tubuh seksi bak model majalah dewasa. Rambutnya digelung tinggi ke atas, dan Andreas melihat rumbai anak rambut mengganggu leher jenjang wanita itu yang berkulit putih bersih terawat dengan baik.
"Selamat siang, Tuan Gilang Andreas. Maaf, sepertinya saya harus mengganggu Anda sebentar." Thalita melangkah mendekat, ia sengaja menggoda Andreas dengan sebutan 'Tuan' dan 'Anda' hanya untuk menyapanya diawal.
"Selamat siang, Thalita," timpal Andreas sekenanya, "silakan duduk." Telapak tangan Andreas membuka, mempersilakan Thalita duduk di kursi seberang mejanya.
"Terima kasih." Thalita sedikit menarik kursinya dan mulai duduk dengan penuh kehati-hatian. Sekilas, kedua matanya menyapu ruangan, tanpa ia sadari Andreas memerhatikan.
"Ada yang ingin kau sampaikan? Saya rasa ... ada hal penting. Saya tahu kau tidak akan menemui saya hanya karena sesuatu yang remeh temeh."
Thalita tercubit oleh ucapan Andreas, jelas tidak ada hal penting seputar pekerjaannya. Ia menikmati posisinya sebagai salah satu personalia yang ditugaskan di bagian promosi, belum ada kesulitan dalam tugasnya sejauh ini. Andreas tahu itu. Pada kenyataannya, bosnya memiliki 'insting' meski ia sampaikan secara halus. Wanita itu sedikit ragu, tetapi ia harus mengatakannya.
Thalita kembali menyuguhkan senyuman sebagai pembukaan, kemudian ia mengatakan tujuannya dengan nada lembut yang dibuat-buat, "Apa Bapak sudah menyerah dengan keadaan? Maksud saya ... soal Allea. Bapak mencintai gadis lugu itu?"
Dalam beberapa detik, hanya suara detak jarum jam di dinding ruangan mengisi keheningan. Andreas berusaha mencerna pertanyaan Thalita dengan baik. Tebakan Andreas benar, Thalita menemuinya terkait sesuatu yang pribadi. Tetapi Andreas tahu betul, bahwa wanita di hadapannya adalah biang gosip paling menyedihkan.
"Hemm," gumam Andreas, ia mengelus jenggot tipisnya. "Bagaimana mana menurutmu sendiri, Nona?" tanya Andreas melempar balik umpan.
"Saya cukup terkejut saat mengetahuinya. Allea gadis yang beruntung. Tapi saya tidak begitu yakin pada keputusan Bapak mengapa memilih kancil itu sebagai ... pelarian." Kaki jenjang Thalita melipat, belahan rok pendeknya yang satu jengkal di atas lutut sedikit terbuka.
Andreas tersenyum miring. Thalita memulai permainannya, dan si tua itu akan segera menunjukkan bahwa dialah aktor aslinya. "Tentu saja kau lebih memikat dibanding Allea, tapi sayangnya saya tidak terkesan." Andreas mengatupkan bibirnya dan mencebik seoalah ia benar-benar tidak tertarik. Dan pernyataan itu membuat Thalita mendengkus kesal.
"Jangan bersikap seperti laki-laki malang, Allea tidak banyak memberi harapan. Sementara saya, Bapak akan mendapatkan banyak kepuasan. Yah, katakanlah ini sebuah tawaran bagus. Usia Bapak semakin menua dan pesonanya sudah memudar, banyak wanita dewasa bahkan gadis-gadis lugu seusia Allea memanfaatkan laki-laki tua kaya demi kesenangan pribadi. Bukan cinta atau sesuatu yang istimewa." Thalita mengangkat tubuhnya meninggalkan tempat duduknya, kini ia melangkah ke arah jendela kaca dan melempar pandangan pada gedung-gedung bertingkat di luar sana. "Andai Bapak tahu siapa penyebar gosip tidak mengenakkan antara Bapak dan si lugu itu, saya tidak dapat membayangkan seperti apa kekecewaan yang Bapak rasakan," lanjut Thalita, ia menoleh ke arah Andreas, laki-laki itu menyilangkan jari-jari tangannya di atas meja. Menyimak dengan baik.
"Katakan apa maumu sebenarnya," timpal Andreas, "jadi, siapa orang itu?" Akhirnya ia merasa penasaran, namun tidak begitu menginginkan jawaban.
Thalita mengedipkan satu mata. "Dengan satu syarat." Telunjuk lentiknya terangkat.
"Wanita selalu mengharap imbal di setiap kesempatan," desis Andreas, tetapi ia tetap bersikap tenang. Thalita tertawa renyah, Andreas tipe laki-laki menyenangkan baginya meski sering dijuluki 'si dingin'. Tetapi dalam beberapa kesempatan, Andreas menunjukkan bahwa ada sisi humor dalam dirinya.
"Saya menginginkan Bapak. Saya butuh ... sentuhan." Tidak ada rasa canggung dalam nada bicaranya. Kemudian ia mendesah, "Saya selalu menantikan momen di mana kita banyak menghabiskan waktu bersama, b******a misalnya." Wajahnya menunduk manja melihat ke arah d**a penuhnya.
Kini Andreas mengerti arahnya. Ia menggeleng kuat-kuat.
"Terima kasih atas tawaran bagusnya, Thalita. Saya katakan, maaf, saya tidak menginginkan wanita manapun saat ini, tidak pula Allea seperti gosip yang kau dengar. Saya menyukai kesendirian," tegas Andreas mengatakan, "keluarlah dari ruangan saya sekarang!"
Kedua mata Thalita mengerjap-ngerjap tak percaya, bulu mata palsunya yang lentik menjadi terasa berat. Andreas baru saja mengusirnya dari ruangan dengan sikap dingin.
"Kau menolakku?" pekik Thalita frustasi, wajahnya terangkat menantang. Tantangan bagi wanita cantik adalah sebuah penolakan. Ia merasa terhina.
Andreas beranjak dari duduknya, berdiri tegap sambil memasukkan kedua tangan dalam saku celana. "Sayangnya, iya."
"Baiklah, tapi percayalah, Bapak akan menyesal," sungut Thalita, segera menyeret langkahnya menuju pintu keluar. "Asal Bapak tahu, Sandra lah yang sudah menyebarkan gosip itu. Orang kepercayaan Bapak sendiri!" seru Thalita sebelum ia benar-benar menghilang di balik pintu dengan suara ketukan heels yang dihentak-hentakkan.
Tangan Andreas mengepal, tentu saja laki-laki itu gusar. Betapa banyaknya wanita bodoh yang menjual tubuh secara percuma. Masih banyak pula pengkhianatan dalam sebuah hubungan. Semua terasa menjijikkan. Hidupnya seakan tidak luput dari permasalahan tentang wanita.
Andreas merasa lelah.
Kembali ia duduk, memutar-mutar kursinya dengan wajah terangkat, kedua matanya menatap Langit-langit ruangan yang berwana putih. Andreas melihat wajah Arini di sana, wajahnya pucat, tapi tetap terlihat cantik.
Arini ... apakah sikapku sudah benar? adu Andreas getir.