Bima didera rasa bosan dan ia mengajak Andrean untuk menemaninya ke sebuah bar di pusat kota ketika malam menjelang. Kehidupan malam masih belum bisa ia tinggalkan, semakin tua semakin menggila. "Bersenang-senanglah, Kawan. Kapan lagi kita bisa menikmati hidup ini, hah?" Agaknya Bima mabuk setelah banyak minum.
Andreas bergeming. Gelasnya masih kosong. Hingga seorang wanita berpenampilan seronok mendekatinya. "Om, mau ditemani?" Aroma parfum wanita itu terlalu menyengat hidung, seketika Andreas merasa terganggu. "Pergilah!" usirnya cepat.
"Ih, dasar Om-om galak!" kesal wanita itu, dengan cepat ia meninggalkan Andreas.
Bima terkekeh, ia senang membuat sahabatnya kesal. "Wanita malang," desisnya.
Andreas masih berjaga-jaga, kedua matanya tetap waspada melihat situasi di ruang bar yang dijejali banyak pengunjung. Hiruk pikuk suara musik berdentum-dentum kencang, aroma tak mengenakkan menyeruak memualkan, Andreas sadari bar bukan tempatnya lagi.
Menghabiskan waktu di depan layar komputer, atau menulis sesuatu jauh membuatnya lebih baik. Tidak ada musik keras, wanita seksi, alkohol, dan kepulan asap rokok menyesakkan rongga d**a. Menurutnya, kondisi kehidupan Bima jauh lebih menyedihkan saat ini.
"Om, mau joget?" ajak seorang wanita mencoba merayu Bima. Tentu saja laki-laki berbadan kekar itu tidak menolak. Bibirnya tersungging ke arah Andreas, dan segera beranjak merangkul bahu wanita itu dengan badan sedikit terhuyung-huyung.
"Hanya sebentar, Kawan," katanya.
Andreas tidak peduli, ia menatap punggung Bima dan wanita itu masuk dalam kerumunan orang-orang yang asik berjoget seperti kuda liar kesurupan. Mereka berdisko ria seakan inilah kebahagiaan sebenarnya.
Pikiran Andreas kembali pada Arini, ia merasa Arini tengah merajuk padanya. Pada ruang yang seharusnya Andreas tidak berada di dalamnya.
"Aku menyukai ruang sunyi, di mana hanya ada suara tarikan napasku sendiri ... juga napasmu," ucap Arini. Ucapan yang kini berbisik di hati Andreas. Arini selalu menuntunnya pada kesunyian dan keheningan penuh arti.
Mata Andreas terpejam, berusaha menulikan telinga di tengah hentakan musik memekakkan telinga. Ia merasa seakan masuk dalam lorong aneh dan terlempar ke dimensi lain.
"Gilang," panggil Arini. Suaranya lembut.
Andreas mencari-cari sumber suara, berputar dan berlari berharap ia menemukan sosok Arini di tempat asing itu.
"Gilang Andreas," panggil Arini lagi. Kini lebih terasa dekat dan hangat di telinga Andreas. Laki-laki itu berdesir, dadanya berdebar kencang. Ia merasakan kehadiran Arini di sisinya. Andreas ingin memanggil Arini, tetapi bibirnya seakan terkunci. Keluh. Ia tidak dapat bersuara. Hanya erangan panjang dan gumamam tak jelas.
Dalam kelelahan, tiba-tiba Arini berdiri di hadapannya. Ia tampak anggun, kedua mata sendunya menatap wajah Andreas lekat.
Kedua tangan Andreas segera menarik tubuh Arini dalam dekapnya. Memeluk gadis itu telah membuat sesak dalam dadanya meledak-ledak. Ia menjerit penuh kebahagiaan.
Andreas melihat bibir Arini sedikit terbuka, dan matanya terpejam. Saat itu pula Andreas menyentuh bibir lembut Arini penuh kehangatan dan kerinduan mendalam, hingga berlangsung lama dan menggairahkan.
"Wow! Itu sangat membahagiakan, Kawan!"
Andreas tersentak. Suara Bima membuatnya sadar seketika. Sesuatu telah terjadi tanpa ia sadari, dan lebih mengejutkan lagi, kehadiran Arini adalah halusinasi, kenyataannya ... ia sudah mencium wanita yang tidak diingini.
"Tidak disangka, kedatangan saya di sini ternyata tidak sia-sia. Tadi itu ... sangat hot, Tuan Gilang Andreas." Thalita tersenyum puas. Tangan lentiknya mengusap bibirnya yang basah.
Seketika Andreas merasa mual dan jijik. Ia segera berdiri dari duduknya dan mundur beberapa langkah.
“Thalita?” Andreas mendesis kesal. Dilihatnya perempuan binal itu mengulum senyum.
“Ada yang salah?” Bima menyeringai, ia menepuk bahu Andreas, “Maaf, aku rasa aku sudah mengganggu.”
“Tidak. Kau sudah menyelamatkanku dari ular betina ini.”
“A-apa katamu? Aku rasa anda juga menikmati ciuman tadi, bukankah itu menyenangkan?” sambar Thalita, bulu mata palsunya yang lentik mengerjap-ngerjap.
Andreas malas mendengarkan ia segera meraih jasnya yang tersampaikan di bahu sofa. “Bima, bisa kita pulang sekarang?” Tatapan Andreas seolah memohon.
“Apa kau yakin, Kawan?” goda Bima, ia tak tahan untuk tidak menjaili Andreas meski suasana hatinya sedang tak baik-baik saja.
Andreas melenggang menuju pintu keluar bar. Tak dihiraukannya lagi Thalita yang masih di posisinya. Gadis itu belum bisa melupakan sensasi sentuhan bibir Andreas. Betapa ia menggilai pria itu saat ini.
***
“Siapa wanita itu?” tanya Bima setelah menyusul Andreas di taman dekat parkiran. Angin malam berembus sangat kencang, membuat tangannya melipat ke d**a.
“Namanya Thalita, pegawai kantorku. Jujur, aku tak habis pikir ia nekat melakukannya.” Andreas memijat keningnya kuat-kuat.
Bima bersiul, ia seakan tertarik pada Thalita. “Wow, itu luar biasa, Kawan. Di mana seorang pegawai terobsesi ingin memiliki cinta dari bosnya. Kurasa itu menarik untuk dijadikan cerita sebuah buku. Hahaaa.”
“Itu sama sekali tidak lucu, Bung!” erang Andreas, “Kau tahu resiko menjalin hubungan dengan pegawaimu yang tamak, dan juga menyebalkan. Terlebih ia wanita tak tahu diri yang sulit dikendalikan. Tidak hanya harga diri, tapi semua yang kau miliki akan habis tak bersisa. Apa itu menyenangkan?”
“Apa dia seburuk itu?” Alis Bima terangkat.
“Tidak butuh menjalin hubungan serius untuk mengetahui perangai seseorang, Kawan. Dia sudah cukup lama bekerja untukku.”
Bima terdiam. Dengan bibirnya yang dibuat melengkung ke bawah seolah tengah memikirkan sesuatu. Dan akhirnya ucapannya membuat Andreas ngeri.
“Jika begitu, berhati-hatilah, Kawan. Satu ciuman bisa jadi alasan untuk dapat menyerang.”
“Maksudmu?” Andreas tak mengerti.
“Yah, lihat saja nanti. Apa yang dia inginkan setelah malam ini bibir seksinya kau nikmati.”
“Sial,” rutuk Andreas.
Bima terbahak. Baru kali ini ia berhasil melihat wajah Andreas ditekuk seperti itu. Soal wanita, ia memang payah. Bima tak bisa bayangkan bila Thalita memang benar mengambil kesempatan. Ketika seseorang berambisi dengan sesuatu yang diinginkannya, maka akal pikiran sudah tak bisa bekerja lagi dengan baik. Mereka bisa saja melakukan berbagai hal demi mencapai tujuannya tersebut.
“Kau ingin menyetir?”
Tawa Bima terhenti. Dilihatnya Andreas menyodorkan kunci mobil mobil padanya. Segera saja Bima menerima, ia tahu Andreas tengah malas menyetir.
“Sebentar,” kata Bima sebelum mereka masuk ke mobil.
Andreas hanya melihat tingkah konyol sahabatnya itu yang berlari cepat menuju pintu masuk bar. Kira-kira 5 menit setelah ia keluar dengan wajah melas.
“Sial, ponselku hilang.”
Kali ini Andreas terbahak. Begitulah Bima, dia agak sembrono menjaga barang pribadinya. Ini bukan kali pertama ia mengeluh kehilangan barang saat di bar, beberapa kali di masa dulu Bima juga sering mengeluhkan keluhan yang sama.
“Oh, kau merasa terhibur, Kawan?”
“Yeah. Aku aku akan lebih terhibur jika yang hilang bukan ponselmu, tapi otakmu, Kawan,” serang Andreas.
Bima membantu pintu mobil setelah berhasil duduk di depan kemudi. Sedang Andreas sudah nyaman di tempat duduknya.
Bima segera melajukan mobil dengan mimik kesal. Bagaimana bisa ponselnya hilang.
“Belilah ponsel baru dan kembali berkencan dengan gadis bar,” sindir Andreas, mulutnya masih ingin mengatakan sesuatu tapi ia sudah dikuasai rasa kantuk.