Derita Gadis

1708 Words
"Ibu! Lestari tidak mau mendengarkan kita." "Iya, Ibu juga tahu." "Bagaimana ini?" "Kamu panggil dia!" "Sudah kita panggil-panggil sedari tadi tapi tak mau juga ke sini." "Kamu itu laki-laki, suara mu keras. Itu yang membuat Lestari takut pada mu." "Aku sudah mengeluarkan suara keras tapi dia tetap mengabaikan aku." "Panggil adik tiri mu! Keluarkan suara yang lebih keras lagi!" "Lestari! Kamu ke sini. Woee ...." Pemuda itu hanya berani berteriak dari kejauhan. Malam itu anak dan ibu nampak kompak dengan baju seragam dengan warna senada. Jubah putih dan lusuh. Warna putih tapi sangat kotor hingga nyaris berwarna kecoklatan. "Mereka memanggil mu. Mereka marah karena kamu tak menghiraukan panggilannya," ucap Samana. "Iya," sahut Lestari. "Kenapa mereka tidak mau menjemput mu ke sini?" Samana bertanya kepada Lestari. "Mereka tidak berani mendekat ke sini," sahut Lestari. "Kenapa?" "Sepertinya mereka itu tidak berani dekat-dekat dengan manusia seperti kamu," jawab Lestari. "Loh, kenapa? Aku, kan tidak jahat sama mereka." "Memang kamu tidak jahat tapi mereka yang jahat takut saja berada di dekat manusia yang tidak jahat," ucap Lestari. "Oh, iyakah." "Iya. Itu buktinya," tunjuk Lestari ke arah ibu dan abang tirinya. "Ada-ada saja," sahut Samana. Lestari tersenyum bangga, “Ibu sama Abang gak berani mendekat kesini!" "Woee, sini." Si kaka laki-lakinya Lestari berteriak lagi. "Tidak mau. Aku tidak mau ikut kalian lagi!" Lestari tetap menolak panggilan dari kaka yang jahat itu. "Lestari sini ...." Giliran ibu tirinya yang memanggil. "Kalian takut sama Samana! Iya, kan?" "Awas kamu ya!" ancam anak laki-laki itu. "Hihihihiiiiihii ...." Suara Lestari di iringi dengan tawa yang renyah, krispi dan kriuk di telinga. "Awas ya!" ancam sang ibu. "Samana! Lihatlah mereka jahat kepada ku. Tolonglah aku, bebaskan aku!'' pinta Lestari. “Kamu tadi bilang tidak tidak bisa pulang! Kenapa kamu tidak bisa pulang? Itu ada yang manggil kamu. Sepertinya itu keluarga kamu. Jika mereka menjemput kamu, berarti mereka menginginkan kamu pulang bersama mereka. Kalau masalah menolong tetap ingin menolong. Tapi, juga tidak bisa asal-asalan. Aku harus tahu jelas, kejadian apa yang sebenarnya menimpa mu," ucap Samana. “Aku tidak mau tinggal di sini. tidak mau ikut sama mereka! Aku ingin pulang ke sana! Pulang di mana ada bunda dan ayah,” jawab Lestari kepada Samana dengan mengangkat salah satu jari telunjuknya ke atas langit menunjuk sesuatu. "Aku tidak melihat ada pintu terbuka." "Memang, aku tidak bisa ikut ayah dan bunda." “Iya aku mengerti. Kenapa kamu tidak mau tinggal saja dengan mereka? Bukankah mereka mau mengajak mu. Terus mereka itu sebenarnya siapa? Kalaupun jahat, itu kejahatan seperti apa yang sudah mereka lakukan kepada mu,” tanya Samana kepada Lestari. “Walaupun tidak bisa ikut ayah dan bunda, aku tetap tidak mau ikut mereka lagi. Mereka jahat, mereka menyiksaku. Itu ibu sama abang tiri ku,” jawab Lestari. Dirinya mulai merasa ketakutan dan sedikit menyembunyikan diri dibalik punggungnya Samana. Sesekali mengintip ke abangnya yang melotot tajam. Mukanya sangat mengerikan akibat luka bakar parah di wajahnya. “Ayokkkk, pulang!" ajak ibu tirinya. "Tidak, Bu!" Lestari tetap kekeuh menolak. "Awas saja kalau tidak menurut. Ibu bakal pukul kamu. Dari kejauhan suara ibu itu terdengar kembali. Ia terus memanggil Lestari dengan nada keras yang mengancam. “Tidak mau! Lestari tidak mau ikut sama Ibu. Aku mau pulang ikut ayah bundaku,” jawabnya Lestari dari kejauhan. “Ayo pulang!” Abangnya pun terdengar berteriak ikut menyambung. “Iiii … iiii … hiiii …,” suara Anjana Lestari kembali menangis ketakutan. Gadis ini tidak lagi mampu menyembunyikan kesedihannya. Ia tertunduk bersedih hati. “Ayok!" Melambai ke arahnya Lestari sembari bertolak pinggang. Ibu tirinya memang sangat jahat dan sering menyiksa anak tirinya. Inilah pengalaman yang sangat memilukan yang pernah dialami Lestari. Lestari yang histeris berusaha untuk tetap bertahan di dekat Samana. Ia memang ketakutan oleh ancaman ibu dan abang tirinya. Lestari berpegangan di lengan Samana dan berharap Samana bisa menolongnya. Apa yang dilakukan Lestari membuat Samana kaget. Pegagan tangan itu terasa dingin. "Aowww." Samana terkejut merasakan tasbih jatuh dari tangan dan membuat ia tersadar. Samana segera mengambil tasbih kesayangannya di lantai dekat sajadah terbentang. Wanita ini terlihat diam dan masih duduk di atas sajadahnya. Ia termenung lalu sedikit menggeser posisi duduknya untuk bersandar di ranjang tempat tidurnya. Samana nampak berpikir kenapa hanya dengan sekejap antara sadar dan tidak, mampu membawa ia ke dalam mimpi yang seolah panjang. "Seperti tidur berjam-jam saja, padahal hanya sekitar lima menit merasakan kantuk." Samana menoleh ke jam dinding. Ia sadar jika belum lama di atas dzikir. "Bukankah aku sudah terbiasa seperti ini? Jadi tak boleh heran," kata Samana dengan suara pelan. Malam itu terasa dingin menusuk tubuhnya yang terbungkus mukena. Malam yang sangat larut dan tidak seperti biasanya. Samana mendengar suara burung kutut yang tiba-tiba mengoceh di malam hari. Ini pertanda tidak baik. Burung perkutut sangat peka merasakan energi negatif. Jika ada yang berbuat jahat dengan menggunakan sihir, maka burung kutut itu akan bersuara di malam hari. “Hustttt … hustt," suara ibunya Samana dari balik kamarnya. Ibu Samana melarang burung untuk mengoceh di malam hari. Ibunya tahu jika ada pertanda buruk atau ada makhluk astral yang mendekati rumah ini. "Ibu pasti gitu, kalau dengar burung mengoceh malam hari." Ibunya Samana memang mengode burung kutut itu agar tidak berkicau di malam hari, karena itu tidak baik. Biasanya membawa pesan sesuatu atau pertanda tidak baik. Samana kembali membenarkan posisi duduknya untuk merelaksasi kan tubuh dan pikirannya. Sesaat kemudian ia pun sudah terlihat memejamkan mata dan mengambil napas panjang dan menahan napasnya sebentar, lalu menghembuskan nafasnya pelan dan perlahan. Samana pun mengulangi pernapasan untuk beberapa kali di iring dengan mengucapkan doa-doa di dalam hatinya. Samana sekarang sudah berada di dimensi makhluk astral. Ia pun mengamati wajah dan tubuh Anjana Kayshila Lestari yang di hiasi dengan bekas luka serta sisa-sisa lebam-lebam. Samana memejamkan mata sambil menarik napas panjang. Wanita ini menarik dan menghembuskan nafas dengan pelan. "Ya Tuhan." Ia seketika bersedih. Sangat kasihan dan miris melihat pemandangan yang seperti ini. Si gadis cantik yang bernama Lestari nampak tersiksa. Gadis itu tertusuk kawat atau seperti sengaja ada yang menancapkan. Kawat itu menembus tepat di tengah-tengah dua telapak tangannya itu. "Sebenarnya apa yang terjadi dengannya," timbullah rasa penasaran dalam diri Samana. Samana kembali berkonsentrasi untuk memasuki dimensi yang lebih dalam lagi. Beberapa saat kemudian ia akhirnya tiba di suatu tempat yang gelap dan dingin. Samana berada di halaman dari rumah kosong. Ia disambut dengan teras yang hitam, berbau hangus dan sangat kotor. Dari depan terlihat rumah yang sangat besar namun yang tersisa hanyalah puing-puing bangunan yang tetap berdiri tanpa atap. Rumah itu terlihat berantakan, bekas dihancurkan si jago merah. "Astaga! Ternyata rumah ini bekas kebakaran. Ada yang hangus terbakar. Biar aku lihat lebih jauh lagi. Apa yang terjadi di masa lalu." Samana berdiri dengan mengucapkan doa. Ia melakukan ini untuk membuka pintu gerbang masa lalu yang paling dalam dan mencekam. Beberapa saat pintu kisah silam telah terbuka. Samana masuk kedalamnya. Ia ingin menggunakan indra batin untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Malam itu sepi sekali, hanya terdengar hembusan angin yang bertiup dan menghampiri lilin di kamar anak laki-laki. Lilin itu tertiup angin kencang dan terjatuh lalu menyambar tirai di kamar. Ibu dan abang tirinya Lestari yang tertidur pulas tidak menyadari bahwa rumahnya sudah terbakar. Api mulai membesar dan menjalar ke seluruh ruangan sebagian berdinding kayu dan membakar tubuh anak laki-laki itu. Sepertinya merasakan badannya panas dan membuat laki-laki itu tersadar. Ia membuka matanya dengan perlahan. “How ... tolong … tolong! Ibu!" Tak ada suara sahutan dari ibunya. Ia terjatuh dan menggulung-gulung di lantai. Ibunya juga merasakan tubuhnya basah karena keringat. Suhu panas memenuhi seluruh ruangan ini. "Ehhmmmhh ... mmmm," ibunya hanya mengolet dan kembali tidur. Baru beberapa saat mengganti posisi, ia baru merasakan jika ada yang aneh. Ia membuka matanya dan melotot. Ia mendengar suara anak laki-lakinya meminta pertolongan. "Ini panas sekali. Kamu kenapa?" "Aduh … panasssss … panassss,” suara anak laki-laki itu berteriak histeris. Sebenarnya melihat seperti itu pasti merasakan kasihan, namun bagaimana lagi jika tidak ada seorang pun yang mendengarnya, termasuk ibunya sendiri yang masih tertidur pulas, sehingga ibu itu belum menyadari kejadian yang menimpa anaknya laki-lakinya. “Aow … sakit! Tolong ... tolong! Ibu bangun! Tolong aku," teriak anak laki-laki itu. Tubuhnya sudah dipenuhi api yang berkobar-kobar. Dia terguling-guling menabrakkan diri ke kursi, meja dan barang apapun disekitarnya. Kesakitan tersiksa kobaran api yang semakin membesar, ketika menyambar arus listrik. Akhirnya sang ibu terusik dengan suara berisik. Ia belum sadar jika api menjalar di luar kamarnya. “Kenapa malam-malam berisik!! Ganggu istirahatku saja!" Ibunya masih terlihat malas di atas tempat tidurnya. "Ibuuuuuu ... arrghhrqhhh ...." Ia tergeletak tak berkutik di lantai dengan api yang berkobar-kobar. Matanya melotot dan kulit tubuhnya meluber, di makan sang raja api. "Haduh, duhh. Ssshhtt kok panas. Ia bangun dan memandang ke pintu yang sudah terbakar. Ibu itu kaget karena badannya tiba-tiba terasa panas. Kobaran api dengan cepat masuk dan menyantap korden, selimut dan bantal dan kasur di kamarnya. "Aowww ... panas!" ibu itu berteriak dengan mata yang masih mengantuk. Ibu itu bingung dan berlarian sambil berusaha memadamkan api di kamarnya. Ia begitu terkejut dengan pemandangan yang dilihatnya. Ibu tiri Lestari pun akhirnya sadar atas apa yang di dengarnya tadi. Ternyata itu anak laki-lakinya yang berteriak karena di makan si raja api. Ibu tiri itu segera berlari keluar kamar untuk mencari anaknya sekaligus juga ingin menyelamatkan diri. Meski ia bingung melihat anaknya yang sudah mati tetap saja ingin menolong. Tapi api sangat besar, tidak mungkin anak dan ibu ini selamat. Ia histeris melihat tubuhnya sudah di keroyok kobaran api. Berteriak meminta pertolongan tak ada gunanya lagi. Tidak mungkin bisa diselamatkan jika kobaran api semakin menjadi. Di pojok halaman ada gadis cantik yang hanya menonton, ia adalah Lestari yang sudah lebih dulu mati karena di habisi ibu dan abang tirinya. “Tolong!" Ibu tiri berteriak berharap ada yang datang menolongnya. "Ibu kamu jahat, jadi kamu dapat hukuman," kata Lestari. "Awwwwwww … awwwwwww! Panassssss … panassss!" Ibu tirinya berteriak meminta pertolongan. Ia berlarian ke menabrak perabotan di dalam rumah itu. Kursi, lemari pakaian, tv, kulkas dan semua yang ada di dalam rumah ini terbakar. Kilatan keluar dari kabel listrik dan menyebabkan api semakin tambah besar. Si jago merah dengan ganas menghajar penghuni rumah yang sangat jahat ini. Malam ini mereka mendapatkan hukuman dari kejahatan yang telah mereka tutupi. Ia dan putranya tak dapat mengelak ketika api menjadi jembatan kematian mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD