Prolog
Namaku Alika shafa aku anak tunggal dari pemilik perusahaan cukup bonafit di Ibu kota, karena aku adalah anak tunggal maka perusahaan tersebut di gadang-gadang orang tua ku untukku kelak.
Aku menjadi harapan mereka satu-satunya untuk meneruskan perusahaan tersebut, bukan aku tak tahu sama sekali tentang tatanan perusahaan dan cara kerjanya, tapi aku lebih sering mengerjakannya dari rumah, tentu dengan bimbingan ayahku.
Ayah adalah tipe orang yang sangat moderen dan berfikir maju, baginya perempuan tak melulu harus di dapur sumur dan kasur, jika perempuan bisa berkarya? kenapa tidak? itulah pemikiran Ayahku, tapi Ayah tak pernah memaksa, itu menjadi hak setiap individu untuk melaksanakannya.
Mamaku seorang Ibu rumah tangga sejati, hari-hari di habiskan nya untuk melayani kami sebagai keluarga yang menjadi prioritasnya, tapi meskipun begitu dia tak lupa juga untuk kesenangannya pribadi, mama selalu punya me time yang di mana hari itu datang kami sebagai anggota keluarganya tidak boleh sama sekali mengganggu waktunya tersebut.
Dan kami sudah terbiasa dengan jadwal jadwal tersebut, tak terkecuali aku.
Aku juga di berikan kebebasan oleh Ayah dan Mama dalam berekspresi, mereka tidak sama sekali membatasi perkembanganku juga pergaulanku, aku tahu meskipun aku di beri kebebasan tapi mereka masih selalu memantau perkembanganku juga pergaulanku.
Di usiaku yang ke 20 aku sudah bisa menguasai teknik tehnik yang berjalan di perusahaan milik Ayah, kenapa aku bilang perusahaan itu miliknya? karena memang usaha itu di rintis oleh Ayah dari nol dan sudah tentu dengan dampingan Mama.
Selain itu aku pun sudah memulai membangun perusahaan ku sendiri, di bawah komando dan bimbingan Ayah aku menjalankan perusahaan ku itu meskipun dari belakang layar, Baik di perusahaan ayah maupun perusahaan ku sendiri tiada sesiapapun mengenalku, kecuali orang orang tertentu yang menjadi orang kepercayaan kami, dan itu pun tak kami tempatkan di posisi terpenting di perusahaan.
Yang jelas satu aturan di perusahaan, tak akan bisa seenaknya memecat dan menerima karyawan baru atas persetujuan ataupun tanda tangan kami.
Hingga tiba hari itu, hari dimana aku di jodohkan oleh Ayah dengan seorang anak kawan Ayah yang ada di kota B, beliau menawarkan untuk menjodohkan kami selaku anak-anak mereka dengan alasan supaya persahabatan mereka lebih dekat lagi.
Aku yang selalu menanamkan bahwa memang diriku adalah milik orang tua ku sebelum ikrar ijab qabul pernikahan di ucapkan oleh seorang pria kepadaku, aku pun menyetujui tawaran Ayah, toh yang di jodohkan kepadaku adalah jelas orangnya, jelas asal usulnya dan tentu jelas bibit bebet dan bobotnya.
Tanpa banyak tanya aku menerima perjodohan tersebut. Setelah kami menikah Ayah meminta Mas Bimo untuk memimpin sebuah perusahaan yang di pimpin oleh Ayah, awalnya mas Bimo menolak dengan beralasan dia pun harus mengelola perusahaan milik Papanya.
Ayah pun memberi solusi bagaimana kalau perusahaan mereka yang ada di kota B itu di kelola oleh kakaknya Mas Bimo saja yang bernama Sheila.
Mas Bimo menyetujui dengan syarat seluruh kendali perusahaan berada pada kendali Mas Bimo. Ayah pun tak mempermasalahkan hal tersebut, tapi ayah tak memberitahukan bahwa aku juga memiliki perusahaan mandiri yang tanpa berinduk kepada perusahaan manapun.
Perusahaan ku di percayakan kepada sahabat lamaku sejak masih duduk di bangku kelas TK, dia yang menemaniku semenjak perusahaan itu baru ku rintis, dia lah saksi jatuh bangunnya perusahaan ku kala itu, tapi meskipun begitu perusahaan ku maju dengan pesat di bawah kepemimpinannya dan pastinya denganku dong meskipun di belakang layar.
Di dalam perusahaan banyak yang mengira bahwa dirinyalah sang pemilik perusahaan. Ari Anggara, yaaa itu adalah nama sahabatku. Berulang kali dia memintaku untuk muncul di permukaan menyatakan diri sebagai CEO sekaligus pemilik perusahaan tapi aku menolaknya. Aku selalu bilang belum saatnya.
Dia pun tak mempermasalahkan hal tersebut, dia cukup mengerti apa yang ku mau, tentang tanda tangan pemecatan dan penerimaan karyawan baru, itu pun tak menjadi masalah untuknya, Ari akan mengirim email kepadaku jika ada berkas-berkas yang harus aku tanda tangani, kami jarang bertemu untuk berdiskusi, kalau benar-benar urgent baru dia akan mendatangi rumah Ayahku.
Sejak hari dimana Mas Bimo bergabung dan menjadi CEO, ternyata banyak aliran dana mengalir tanpa jelas kemana arahnya. aku hanya memantaunya saja, selagi masih di batas kewajaran aku akan diam, setiap bulan angka 500juta selalu masuk ke rekening pribadinya, tapi yang menjadi pertanyaan, kenapa uang itu tak pernah di berikannya kepadaku, dia hanya memberikanku uang yang katanya adalah uang nafkah senilai 20 juta saja.
Sebenarnya aku tak pernah mempermasalahkan uang tersebut, andai pun tak di berinya nafkah, uang hasil dari perusahaanku sendiri lebih dari cukup masuk ke rekeningku setiap bulannya.
Oh ya sampai lupa, pernikahanku bersama mas Bimo tak berjalan sempurna sebagaimana pernikahan pada umumnya.
Sejak ijab qobul itu di ucapkannya, tak sekalipun dia menyentuhku, alasannya simpel, katanya Mas Bimo belum bisa menerimaku karena kami menikah atas dasar perjodohan, dia butuh waktu untuk menumbuhkan cinta di hatinya.
Kadang aku berfikir apakah mungkin suamiku impoten hingga dia tak bisa memberikan hak nafkah batin untukku. Suatu hari aku pernah bicara dari hati ke hari kepadanya, ternyata dugaanku benar, dia mengaku kalau dirinya impoten hingga meminta maaf belum bisa memberikan nafkah batin yang menjadi hakku.
Aku yang mengerti akan hal itu jadi merasa bersalah dan berusaha menguatkannya, sejak saat malam itu aku tak berusaha meminta hak dan jatahku lagi, tapi herannya jika aku mengajaknya untuk berobat dia selalu menolak , alasannya dia malu jika harus berkonsultasi kepada dokter.
Selama 3 tahun pernikahan bukanlah hal yang wajar jika suami istri tak melakukan hubungan fisik, tapi kembali aku mensugesti diri bahwa mungkin memang Mas Bimo belum mampu melakukan kewajibannya tersebut.
Karena dah pun terbiasa dengan kehidupan pernikahan tanpa melakukan kegiatan ranjang, aku pun sudah lama tak pernah memikirkannya lagi, mungkin sudah nasibku, tapi aku tak pernah menceritakan hal tersebut pada siapapun, termasuk kepada Mama, aku cukup jengah jika di tanya tentang kehamilan, gimana mau hamil, lawong malam pertama saja aku tak pernah melewatinya, batinku.
Tiada bosannya Mama selalu bertanya kok belum hamil Al? sudah lama loh kalian menikah apa tidak sebaiknya kalian berkonsultasi kepada dokter? itu selalu yang di sarankan oleh Mama, Kondisi Mas Bimo yang belum bisa memberiku nafkah batin selama pernikahan kami, tak pernah sekalipun aku menceritakannya, aku masih menjaga marwahnya sebagai seorang suami.
Tapi tak begitu dari fihak Mas Bimo, mereka sama sekali tak pernah mempertanyakan tentang kehamilanku, apa mereka tahu kondisi Mas Bimo ya? batinku mempertanyakan.