Regan berdiri di depan pintu kamar Viona selama beberapa detik. Ia telah menikah secara sah dengan Viona dan ia bebas menggauli gadis itu. Bahkan, Asri juga menghendaki demikian. Ia juga pernah menjamah tubuh Viona sebelumnya, memeluk dan saling memagut. Bukankah ia hanya perlu mengulangi itu?
Regan menghela napas berat. Ia menoleh ke pintu kamarnya sendiri dan melihat Asri mengibaskan tangan ke arahnya agar ia lekas masuk. Regan tidak sanggup. Regan tak ingin melakukannya.
"Ini udah gila," desisnya sendiri.
Regan memutar gagang pintu lalu membukanya. Ia sudah meminta Viona melakukan beberapa tes sebelumnya, ia tahu Viona tidak terjangkit penyakit menular seks, tetapi ia juga cemas jika Asri akan tahu ia menikahi wanita malam. Atau mungkin orang tuanya. Entah apa yang akan mereka katakan. Semua itu sangat membebani Regan saat ini.
"Vio?" Regan menatap ranjang yang masih sangat rapi, wangi dengan taburan bunga mawar merah berbentuk hati di tengah-tengahnya. Ada lingerie hitam seksi tergeletak di sana, tetapi Viona tidak terlihat.
"Vio, kamu di mana?" tanya Regan.
"Toilet, Pak."
Regan menoleh ke pintu toilet yang tidak terkunci itu. Ia mengintip sedikit dan mendapati Viona tengah duduk di kloset sambil membungkuk seolah memeluk perutnya sendiri.
"Kamu kenapa?" tanya Regan sambil melebarkan bukaan pintu.
"Sakit, Pak. Perut saya ... mules," jawab Viona.
Regan mendekati Viona dengan cemas. Ia menatap wajah pucat Viona ketika ia berlutut di depannya. "Sakit kenapa? Kamu salah makan? Bukannya tadi ... tadi pas kita makan, kamu baik-baik aja?"
Viona mengangguk lemah. "Bukan salah makanannya, Pak. Tapi ... saya baru dapet."
"Dapet?" Regan melebarkan matanya. "Kamu datang bulan?"
Viona mengangguk lagi. Ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa sakit. "Biasanya nggak sakit banget, tapi ini ... nggak tahu, tumben. Huuu ... sakit."
"Apa kita perlu ke rumah sakit?" tanya Regan yang sebenarnya merasa agak lega karena ritual malam pertama mereka bisa ditunda.
"Nggak, Pak. Saya pengen tidur, tapi ... saya butuh pembalut. Saya nggak bawa, tadi udah cek di tas," ujar Viona cemberut. "Mbak Asri ada nggak, ya?"
"Saya beliin aja buat kamu di minimarket. Mungkin, kamu juga butuh obat," ujar Regan yang ingat istrinya tak lagi mengalami mentruasi setelah pengangkatan rahimnya.
"Ehm, saya jarang minum obat, Pak. Nggak usah ... mungkin bisa beliin saya cokelat kalau nggak keberatan," kata Viona ragu-ragu.
"Oke." Regan segera berdiri. "Sebaiknya kamu ke tempat tidur, jangan di sini."
"Saya tunggu di sini, Pak. Udah tembus, jangan lama-lama, ya," kata Viona penuh harap.
"Ya."
Viona menatap punggung lebar Regan yang menjauh darinya. Ia sangat gugup dan tak percaya Regan si dosen dingin dan killer itu mau keluar untuk membeli pembalut untuknya—juga cokelat. Ah, ini benar-benar tidak wajar.
"Ah ... mules banget, ya ampun. Apa aku cari air anget, ya?" Viona membungkuk lebih dalam. Bergerak saja rasanya sangat sulit. Ia memutuskan untuk mematung di tempatnya.
***
Sementara itu, Asri yang tak bisa tidur kini mulai mondar-mandir di kamarnya. Ia sungguh kepanasan membayangkan Regan menghabiskan malam pertama bersama Viona di kamar sebelah. Apakah sudah selesai? Apakah Regan akan tidur di sana hingga pagi hari? Asri menggeleng keras.
"Semua ini demi Mas Regan, dia berhak melakukannya. Semoga ... Viona bisa kasih Mas Regan bayi-bayi yang lucu buat Mas Regan, cucu buat Mama dan Papa," gumam Asri.
Asri memutuskan untuk mencari udara segar di balkon. Ia melirik ke bawah ketika melihat pintu gerbang dibuka dan motor Regan masuk. "Kenapa Mas Regan keluar? Apa dia nggak ...."
Asri menatap kantong kresek putih yang dibawa oleh Regan. Ia langsung mengulum bibirnya. "Apa dia beli sesuatu buat Viona?"
Resah menggerogoti hati Asri. Seharusnya ia tak cemburu, itu bentuk perhatian Regan untuk Viona. Mungkin Viona butuh sesuatu, makanan atau apa. Dan Regan bersedia keluar untuk memenuhinya. Itu bagus.
Namun, kapan ritual malam pertama itu dilakukan? Asri bertahan di balkon hingga beberapa menit. Ia sungguh penasaran dengan apa yang terjadi di kamar sebelah. Ia tak ingin suaminya menunda-nunda.
Dengan rasa penasaran yang menjangkiti hatinya, ia pun keluar dari kamar. Ia melongok ke luar kamar yang gelap. Kedua matanya memicing ke pintu kamar Viona yang ternyata tidak tertutup sempurna. Ia memutuskan untuk mendekat.
"Aku ngapain?" batin Asri. "Seharusnya aku nggak sekepo ini sama Mas Regan dan Viona."
Asri hendak membalik badan, tetapi ketika itu ia mendengar rintihan Viona di dalam kamar.
"Sakit, Pak ...."
"Sakit banget?" Suara serak Regan yang kini terdengar.
"Ehm ... sakit."
Air mata Asri tak terbendung lagi. Ia mempercepat langkahnya kembali ke kamar lalu menutup pintu rapat-rapat. Tubuhnya meluruh ke lantai dan ia langsung membekap bibir dengan kedua belah tangan.
"Mas Regan harus bahagia dengan Viona. Aku harus ikhlas." Asri hanya bisa membatin. Sayangnya, rasa ikhlas tidak selalu mudah. Rasa sakit lebih mendominasi hati Asri malam itu. Dan ia hampir tidak bisa tidur karena mengira telah terjadi sesuatu di kamar sebelah.
***
Regan baru saja membawa Viona ke tempat tidur. Gadis itu mengeluh kesakitan sejak tadi dan wajahnya semakin memucat saja. Ia jadi cemas.
"Saya carikan kamu minyak angin, ya," kata Regan.
Viona mengangguk cepat. Begitu Regan keluar dari kamar lagi, ia langsung mengusap kelopak-kelopak bunga yang menghiasi ranjang. Astaga, ia masih malu jika ingat ada dekorasi pengantin baru di sini.
Viona menyibak selimut, menyembunyikan kedua kakinya yang pegal setengah mati di sana lalu mulai membuka kemasan cokelat yang dibeli oleh Regan.
"Ah, enak banget." Viona menikmati sensasi manis yang melumer di mulutnya ketika ia mengulum cokelat itu. Regan membeli banyak dan itu sudah cukup membuatnya senang.
"Ini, kamu bisa oleskan di perut kamu. Kamu juga bisa minum air hangat ini," kata Regan. Ia meletakkan gelas berisi air putih hangat di atas nakas lalu mengulurkan minyak kayu putih pada Viona.
Viona mengangguk. "Makasih, Pak. Maaf udah ngrepotin."
"Bukan masalah." Regan berdiri ketika Viona membuka minyak kayu putih itu. Ia tak ingin menyaksikan Viona yang tengah mengusap perutnya.
Viona melakukannya dengan hati-hati, ia mengoleskan cairan hangat itu di bawah selimut. Entah bagaimana, ia juga menyadari bahwa Regan tengah menghindarinya. Mungkin, Regan merasa sangat tidak enak karena ada istrinya di sini.
"Bapak bisa tidur di kamar Mbak Asri," ujar Viona.
Regan menoleh pada Viona. Gadis itu kini tengah menikmati cokelat dengan santai di atas ranjang.
"Saya lagi mens, jadi ... kita nggak bisa ngelakuin itu," ujar Viona lagi.
Regan membuang napas panjang. Asri memintanya tidur di kamar Viona dan sebaliknya, Viona juga memintanya tidur di kamar Asri. Mungkin lebih baik ia tidak tidur dengan keduanya.
"Saya temani kamu sampai tidur. Saya takut kamu masih sakit," ujar Regan.
Viona hampir tersedak. Regan akan menemaninya? Horor sekali. Viona menyimpan pemikiran itu di dalam hatinya. "Saya nggak perlu ditemani. Bentar lagi pasti udah baikan."
"Nggak apa-apa, saya di sini dulu," ujar Regan. Ia melirik bibir Viona. Noda cokelat terlihat di sana hingga ia sangat ingin mengusapnya. "Jangan lupa gosok gigi nanti."
Viona merengut, tetapi ia segera mengangguk. Ia melirik Regan yang baru saja mengambil salah satu buku di rak lalu duduk di ranjang. Pria itu lantas menyandarkan punggung di headboard dan mulai membaca.
"Gini amat berduaan sama dosen killer," batin Viona. Ia tidak tenang sekali dan memutuskan untuk menghabiskan batang cokelat di tangannya. "Ah, mendingan aku cepet-cepet tidur."
Viona menurunkan kakinya dari ranjang. Ia kembali membungkuk karena rasa sakit di perutnya masih terasa. Aksi itu tak luput dari pandangan Regan. Pria itu langsung menurunkan buku serta menegakkan tubuhnya.
"Kamu bisa ke toilet sendiri?" tanyanya.
Viona mengangguk. Ia tidak manja. Apalagi itu pada Regan, astaga. "Bapak keluar aja, saya nggak apa-apa."
Regan membuang napas panjang. Ini benar-benar sulit baginya. Ia meletakkan buku itu, tetapi tak lekas keluar seperti yang dikatakan oleh Viona. Dan ketika Viona kembali ke kamar, ia pun masih duduk di tempat yang sama.
Viona mengulum bibirnya. "Saya boleh rebahan sekarang, Pak?"
"Ya, boleh. Kamu tidur aja. Saya akan keluar kalau kamu sudah tidur."
"Gimana ceritanya aku bisa tidur kalau dia masih ada di sini? Apa mendingan aku pura-pura, ya?" Viona membatin resah. Entah apa yang dipikirkan oleh Regan saat ini. Ia mencoba untuk mengabaikan eksistensi pria tampan itu lalu masuk ke balik selimut dengan posisi membelakangi Regan.
Menit demi menit berlalu, Regan menunggu hingga ia yakin Viona telah tidur dengan lelap. Ia menatap punggung Viona yang bergerak dengan halus sesuai irama napasnya. Ia sungguh tak mengira gadis seperti Viona harus menjadi wanita malam. Seperti apa kehidupan yang dijalani Viona, ia tak tahu. Hanya saja, ia merasa sangat kasihan.
"Mulai sekarang, kamu nggak akan menjadi wanita penghibur lagi di luar sana. Itu yang penting," gumam Regan seraya menarik selimut untuk menutupi tubuh Viona lebih rapat. "Saya akan menjaga kamu."
Regan meninggalkan kamar Viona malam itu. Ia kembali ke kamar Asri dengan hati kacau. Istri pertamanya telah tidur usai menangis berjam-jam, mengira ia telah melakukan ritual malam pertama dengan Viona.