Bab 9. Dijemput Regan

1523 Words
Viona yang berjalan kaki menjauh dari mobil Regan masih sangat marah dan terluka. Ia tidak pernah bersikap sok suci atau merasa dirinya adalah wanita baik. Tidak, ia menyadari ia hanyalah gadis malam yang hina. Namun, ia tidak pernah sengaja menggoda pria-pria hanya untuk kesenangannya saja. Jika ia tidak dijual oleh pamannya, ia pasti tak akan mau menjadi gadis malam. Dan kata-kata Regan tadi sontak telah menorehkan luka di hati Viona. "Ini di mana, sih?" Viona mengedarkan matanya. Ia merogoh ponselnya untuk memesan ojek, tetapi ia tak punya tujuan. Ia tak yakin alamat rumah Regan di mana dan ia juga tak ingin pulang ke rumah pamannya. "Kayaknya ini deket kostan Chilla," gumam Viona yang mulai menyadari ke di mana ia berada. Karena kakinya masih sakit, Viona memutuskan untuk melambaikan tangan pada tukang ojek. "Pak anterin ke Kost Putri Mentari, ya." "Oke, Neng." Sambil membonceng motor, Viona mengetik pesan pada sahabatnya itu bahwa ia hendak menginap di sana semalam. Ia butuh waktu untuk memenangkan diri. "Vio!" Chilla yang menyambut kedatangan Viona langsung menatapnya dari atas hingga bawah. "Ya, ampun! Ini kamu luka-luka?" Viona mengangguk pelan. "Aku mau numpang istirahat semalam di sini boleh, nggak?" "Boleh, yuk. Tapi ... tapi kamu nggak apa-apa? Ini udah dibawa ke rumah sakit?" tanya Chilla seraya merangkul Viona. "Ya. Nggak apa," jawab Viona. Ia ingat obatnya masih dibawa oleh Regan dan kini nyeri menguasai lukanya di kepala dan kaki. Ia masih terpincang-pincang saat berjalan menuju kamar Chilla. "Vio, aku tuh sebenernya penasaran," kata Chilla begitu mereka tiba di kamar. "Penasaran apa?" Viona duduk di tepi ranjang Chilla. Beruntung Chilla tinggal sendiri di sini. "Tadi aku sama Nesya mau jenguk kamu di klinik," jawab Chilla. Ia membuka kardus untuk mengeluarkan botol mineral. "Dan aku ngeliat kamu bareng sama Pak Regan." Viona menegang ketika ia mendengar nama Regan disebut oleh Chilla. Ia mengambil botol dari tangan Chilla lalu memutar tutupnya. "Baru kali ini aku liat Pak Regan gendong cewek, dan cewek itu kamu." Viona yang tengah minum langsung menyemburkan isi mulutnya. "Ya, ampun! Vio!" "Maaf, maaf! Chil!" Viona meraih tisu dari atas nakas lalu mengelap pipi Chilla yang basah. "Tuh, kan langsung kaget. Sebenarnya ada apa sih?" Chilla menurunkan tangan Viona dari pipinya. "Pak Regan khawatir banget waktu tahu kamu nggak masuk dan ternyata kamu kecelakaan." Viona mencebik. "Aku nggak bisa bilang apa-apa sama kamu. Tapi ... kamu jangan mikir yang aneh-aneh. Aku ... aku mau rebahan bentar boleh, Chil? Plis, jangan tanya-tanya dulu." "Ya udah, oke." Viona mengangguk. Ia kembali minum lalu memeluk Chilla. "Makasih,nya, Chil." "Ehm. Kamu bisa cerita nanti. Istirahat aja dulu," ujar Chilla. Viona menurut. Ia membaringkan tubuhnya miring di atas ranjang Chilla. Rasa nyeri mendera tubuhnya, ia lelah, ia mengantuk dan ia tak bisa melupakan hinaan Regan padanya. *** Sementara itu, Regan masih terus mencari Viona. Ia berhenti di depan rumah paman Viona, tetapi ia yakin Viona tidak ada di sana karena baru saja ia melihat Beni keluar dari rumah bersama wanita berpakaian super minim. "Sial, apa yang udah aku katakan sama Viona?" Regan mendesahkan napas panjang. Ia tahu ia keterlaluan dan telah menghina Viona. Padahal, ia tak tahu kehidupan seperti apa yang dijalani oleh gadis itu. Tak mungkin Viona menikmati kehidupannya sebagai wanita malam apalagi dieksploitasi oleh pamannya sendiri. "Aku harus nemuin Viona." Regan mencoba menelepon nomor Viona, tetapi nomor itu tidak aktif. "Di mana kamu, Vio?" gumam Regan. Ia melajukan mobilnya kembali lantas menuju ke kampus. Karena tak tahu apa-apa tentang Viona, Regan juga tak tahu ke mana harus mencari. Ia ingin bertanya pada teman-teman Viona, tetapi ia malu sendiri. "Sayang, apa Viona udah pulang?" tanya Regan pada Asri. Ia menelepon Asri setelah beberapa jam berlalu sejak ia membawa Viona dari rumah sakit. "Belum, Mas. Emangnya Viona belum ketemu?" Asri bertanya dengan nada cemas. "Belum." Regan melirik plastik obat yang ia letakkan di atas dashboard mobil. Viona pasti kesakitan, Viona juga mengeluh pusing. Regan tak bisa tenang. "Aku mau cari lagi. Kamu tunggu aja di rumah." "Ya. Hati-hati, Mas." Regan mematikan panggilan telepon itu lalu mulai mencari kontak mahasiswinya. Ia tahu beberapa teman Viona, ada Chilla dan Nesya yang paling sering bersama Viona. Kini, ia sangat ragu untuk menekan tombol panggil di kontak Chilla. Hatinya merasa gamang, jika Chilla tahu ia mencari Viona, akankah ada gosip besok di kampus? Regan membuang napas panjang. Sekali lagi ia melirik obat Viona. "Ah, masa bodoh." Regan menekan tombol berwarna hijau itu lalu menunggu hingga panggilannya tersambung. "Halo, Pak." Di seberang, Chilla menjawab Regan dengan canggung. Baru kali ini Regan menelepon dirinya. "Ya, Chilla. Apa kamu bersama Viona sekarang?" tanya Regan yang tak ingin membuang waktu. Chilla menoleh pada Viona. Gadis itu tidur sejak tadi. Ia menyimpan ribuan pertanyaan di hatinya. Sebab, sangat aneh melihat kekhawatiran Regan pagi tadi. Belum lagi saat ia dan Nesya tak sengaja melihat Regan menggendong Viona. Dan sekarang, Regan mencari Viona? Apa yang sebenarnya terjadi? "Chilla?" panggil Regan lagi. "Ah, ya. Viona ... di sini, Pak," jawab Chilla spontan. Ia memejamkan mata sejenak, takut jika Viona akan marah padanya. Namun, vibe Regan sebagai dosen killer membuatnya tak bisa berbohong. "Kenapa, ya, Pak?" "Saya mau jemput Viona sekarang juga. Kirimkan alamat kamu, ya." Chilla semakin penasaran. Namun, ia mengangguk saja. "Ya. Tapi, Pak ...." "Tolong kirimkan saja!" Chilla membuang napas panjang. "Baik, Pak. Saya kirim sekarang lokasi saya." Regan menatap layar ponselnya. Ia sudah tahu di mana lokasi Viona. Jadi, ia langsung menuju ke sana. Sementara itu, Chilla merasa waswas. Regan sedang dalam perjalanan ke kostnya. Ia menatap Viona, sahabatnya itu sudah tidur selama beberapa jam. "Vio," panggil Chilla lirih. Ia mengguncang pelan lengan Viona. "Vio, bangun dong." Viona mengernyit. Ia lantas menggeliat pelan dan tersadar, ia tengah berada di kamar Chilla. "Eh, sorry, Chil. Aku pasti kelamaan tidurnya. Kamu ... kamu terganggu? Mau gantian rebahan?" Chilla menggeleng pelan. Dilihatnya Viona langsung duduk lalu menyeka kening. "Maaf, Vio. Aku terpaksa bangunin kamu." Viona mengangguk. Ia menoleh ke jendela yang ternyata hari sudah mulai gelap. "Aku nyenyak banget di sini, maaf, ya." "Nggak masalah. Kamu bisa nginep di sini sebenarnya, tapi ...." "Ibu kost kamu marah?" tebak Viona. "Nggaklah, Vio. Tapi ... baru aja Pak Regan telepon aku," ujar Chilla. Viona langsung merengut seolah nama Regan adalah kutukan baginya. "Kamu nggak bilang kalau aku di sini, kan?" "Aku terlanjur bilang. Aku nggak bisa bilang enggak sama dosen killer itu," sahut Chilla dengan nada bersalah. Viona mendesahkan napas panjang. Yah, siapa yang bisa menolak Regan? "Vio, kamu nggak mau cerita? Kamu ada hubungan apa sama Pak Regan? Tadi aku liat kamu digendong Pak Regan, sekarang dia nyariin kamu nyampe mau jemput kamu di sini. Padahal, rumahnya jauh banget dari sini," kata Chilla. Viona memainkan ujung roknya. Regan memintanya untuk merahasiakan pernikahan ini. Namun, Regan sendiri yang membuat orang lain penasaran. "Ada hal yang bikin aku harus terlibat sama dia, Chil. Sebenarnya ... yah, pokoknya gitu." Viona menjawab bingung. Chilla mengangguk paham. Ia tak ingin bertanya lebih lanjut jika Viona tidak mau bercerita. "Tapi kamu nggak apa-apa, kan? Maksud aku ... kamu harus hati-hati, hubungan mahasiswi sama dosen kadang dianggap negatif sama orang-orang. Aku sih percaya kalau kamu nggak bakal aneh-aneh." Viona menelan saliva. Ia tak tahu harus menjawab apa. "Aku numpang cuci muka dulu, Chil." Viona membasuh wajahnya yang memanas. Ia tak ingin bertemu Regan, ia tak ingin pulang ke rumah Regan. Namun, pilihan apa yang ia punya? Ketika Viona keluar dari kamar mandi, Chilla langsung menunjukkan ponselnya. "Pak Regan udah di luar." "Oke." Viona menyambar tasnya. "Sorry ya, Chil. Lain kali aku cerita sama kamu. Makasih tumpangan istirahatnya." Chilla mengangguk. Ia mengantarkan Viona hingga ke depan pintu gerbang. Regan yang tengah mondar-mandir langsung berhenti. Kedua matanya menatap Viona dari atas hingga ke bawah. Gadis itu pincang, pucat—tetapi cantik seperti biasa—dan sangat cemberut. "Makasih, Chilla." "Ya, Pak." Chilla mengangguk canggung pada Regan. "Kita pulang, Vio," ujar Regan pada Viona. Ia mengulurkan tangannya untuk merangkul Viona, tetapi Viona dengan cepat menepis tangan Regan lalu membuka pintu mobil. Regan menggigit bibirnya. Ia tahu Viona sangat marah padanya. "Vio, kita harus bicara," kata Regan begitu ia masuk ke mobil. Ia menyalakan mesin mobil, tetapi kedua matanya terpaku pada Viona. Gadis itu menyandarkan kepalanya di kaca mobil, enggan sekali membalas tatapannya. "Aku minta maaf, aku salah bicara," kata Regan. Viona tak merespons hingga beberapa detik. Regan yang tak tahan lagi bagaimana menangani kemarahan Viona pun dengan kesal langsung menginjak gas. Keduanya tidak bicara sedikit pun sepanjang perjalanan pulang. Viona menahan rasa nyeri di kepalanya sementara Regan dikuasai oleh egonya. Begitu tiba di rumah, Viona langsung turun. Dengan langkah terseok-seok, ia masuk ke rumah. "Astaga, Vio ... kamu sakit?" Asri begitu terkejut melihat kepulangan Viona. "Kamu ...." "Aku nggak apa-apa, Mbak." Viona menjawab cepat pertanyaan Asri. "Aku mau tidur." Regan menyusul Viona masuk. Dilihatnya Viona menaiki anak tangga dan ia hendak mengikuti. "Mas, Viona kenapa?" tanya Asri cemas. "Ada kecelakaan di kampus. Dan ... dia harus minum obat, tapi dia marah sama aku." "Buruan kamu minta maaf. Biar aku siapin makan malam Viona." Regan mengangguk. Ia menaiki anak tangga dengan cepat lalu mengetuk pintu kamar Viona. Ia mencoba membuka pintu, tetapi pintu kamar Viona terkunci dari dalam. "Viona, astaga!" desis Regan seraya memukul daun pintu. "Buka pintunya!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD