Sepintas dia melihat seorang wanita berseragam pasien itu berdiri di dekat tangga dengan seorang pria yang tak dikenalnya. Meski samar, Rion yakin bahwa wanita itu adalah kekasihnya.
"Fir?"
Saat Rion mendekat, langkahnya terhenti. Wanita itu sedikit berjinjit untuk memeluk pria itu. Siapa dia?
Rion memegang dinding untuk menyanggah berdirinya. Walau kepalanya mulai berdenyut dan pandangannya samar, dia harus tahu siapa pria yang dipeluk oleh mantan kekasihnya itu. Perlahan dia mendekat, mencuri pembicaraan mereka. Mungkin keduanya juga tak menyadari karena telanjur jatuh dalam emosi.
“Tolong, Bram, aku takut sama papaku. Kalau sama Bang Ferry tau aku hamil.”
Pria yang bernama Bram itu melepaskan pelukan Fira, menatapnya sinis. “Apa, sih, lo?! Baper banget! Tinggal digugurin aja, udah! Dari awal, kan, gue udah bilang kalau gue nggak tanggung jawab kalau lo hamil. Lo-nya aja yang keras kepala.”
Rion terhenyak mendengar tukas santai pria itu. Fira sedang hamil. Lalu untuk alasan apa selama ini dia bersikeras meminta dinikahi padahal dia berhubungan dengan pria lain?
Merasa terkhianati, tapi Rion lebih sakit saat melihat Fira terus memohon untuk tak ditinggalkan.
“Bram, please. Kalau Bang Ferry tau, dia akan jahatin aku, Bram. Ini anak kita. Please. Aku mau kita sama-sama besarin anak kita, ya?” pintanya, memegang tangan Bram.
Pertengkaran mereka tak berakhir di sana. Fira tetap mengejar langkah Bram meninggalkan lorong. Pelan-pelan Rion mengikuti, menahan perasaan tersakiti karena ingin menuntut pertanggung jawaban atas janji cinta yang ditawarkan Fira waktu itu. Si cantik itu bahkan nekat tiba-tiba melamarnya di depan umum.
‘Selama ini apa yang kupikirkan, Fir? Jadi yang kemarin itu, bahkan kamu sampai nekat bunuh diri ternyata bukan untukku?’ batin Rion.
Hati Rion tercabik-cabik. Keduanya berhenti di pelataran. Fira semakin terisak, memegang lengan Bram saat pria itu hendak mendekati sepeda motornya.
“Nggak apa-apa kamu nggak mau tanggung jawab. Tapi bawa aku pergi dari sini, Bram. Aku takut sama Bang Ferry.”
“Berisik, lo! Jalang!”
Wanitanya hanya bisa merutuk dalam hati bagaimana bengisnya pria yang telah mencicipi tubuhnya, lalu pergi meninggalkan dirinya yang seperti tak berharga lagi. Fira menangis tak henti, duduk di tepi jalan meski sepeda motor Bram sudah meraung meninggalkannya.
Rion berdiri tak jauh dari Fira. Melangkah lambat hingga Fira terkejut dan menyadari kehadirannya.
Rion pun tak tahu harus menuntut penjelasan dari mana. Nyatanya, seminggu setelah Fira menyatakan perasaan, Rion membawanya ke rumah untuk mengatakan pada keluarga Kharisma bahwa dia ingin menikah. Lalu, wanita ini hamil. Sejak kapan? Itulah yang dia pikirkan.
“Kak Rion.”
Air wajah kecewa dan sedih jelas tergambar di raut Rion. Fira beranjak bangkit, menatap wajah pucat sang kekasih dan lebam di pelipisnya. Rasa sakit dari luka itu mungkin tak sebanding dengan perasaan terkhianati yang dia miliki.
“Apa semuanya bohong? Apa cinta kamu itu palsu, Fir? Apa cuma aku yang berpikir kalau kita saling mencintai?” tanya Rion, tak percaya.
Fira mendekat untuk memegang tangannya, namun ditepis. “Maaf.”
“Jangan minta maaf!” Rion mulai memekik marah. “Katakan semuanya! Apa aku ini lelucon untukmu?! Sejak kapan kamu tau kalau aku suka sama kamu sampai kamu berpikir untuk manfaatin perasaanku demi menutup aibmu, Fir?! Apa kamu nggak mencintaiku?”
Fira tak berani bersuara. Kemarahan pria itu membungkamnya. Saat Rion berbalik, Fira segera memeluk erat dari belakang, menahannya untuk memberi penjelasan.
“Maafin aku, Kak. Tolong maafin aku. Aku takut.”
Rion menarik napas dalam, menghela kasar sambil menyusutkan matanya yang mulai basah. Cintanya bertepuk sebelah tangan. Akhirnya dia mengerti bahwa hidup ini mempermainkannya. Mungkin benar jika dia ditakdirkan hidup tanpa dicintai, hanya mengabdikan diri untuk menjaga adiknya saja.
“Lepaskan, Fir!” kecam Rion, kesal.
“Bram itu pacarku, Kak. Aku hamil tujuh minggu, tapi Bram nggak mau tanggung jawab. Kak Rion baik banget sama aku selama ini. Aku tau Kak Rion suka sama aku. Karena itu kupikir Kak Rion pasti bisa bantu aku untuk lepas dari masalah ini.”
Rion mengurai smirk. Enteng sekali wanita ini menganggap dirinya. Rion menyerah. Bahkan rasa nyeri di kepalanya bisa diabaikan. Ditariknya kasar pelukan wanita itu, melepasnya jauh agar dia bisa menyingkir.
“Selama ini kamu berbohong, Fir? Bodohnya aku! Kupikir kamu rela berkorban dan bahkan berniat mati karena kutinggalkan, tapi kenyataannya, kamu cuma takut Ferry akan marah dan malu dengan keadaan kamu ini?”
Fira menunduk dalam, tangannya gemetar mendengar tuding sinis mantan kekasihnya ini.
“Maaf, Kak.”
Fira memberanikan diri lagi, memegang jemari hangat putra dari Keluarga Kharisma tersebut. “Papaku lagi sakit keras. Kalau sampai mereka dengar apa yang terjadi padaku, papa bisa kena serangan jantung. Bang Ferry mungkin bisa bunuh aku karena mempermalukan keluarga.”
Rion sedikit meringkuk sakit, memegang dahinya karena pandangannya mulai tak jelas lagi. Harusnya dia dirawat karena tabrakan yang dialaminya tadi. Fira masih bersikukuh demi egonya, tak peduli walau mendengar Rion meringis kesakitan.
“Kak, kita nikah, ya! Setahun aja sampai anak ini lahir, kita bisa pisah. Tolong bantu aku, Kak.”
“Jangan libatkan aku, Fira! Urus dirimu sendiri.”
Berjalan perlahan, tak peduli Fira menjerit memanggilnya, Rion mengabaikan. Cukuplah rasa sakit yang dia alami. Bukan hanya cinta sepihak, tapi wanita itu dengan tega berniat memanfaatkan dan menipunya demi kepentingan pribadi.
Rion berjalan di lorong dengan langah tertatih. Sejak tadi ponsel-nya berdering di saku. Nada khusus panggilan dari Naina terdengar. Dia meninggalkan adiknya tadi saat mendengar berita tentang Fira.
“Nai.”
Derap langkah kaki terdengar di lorong. Masih bisa dilihat Rion, Naina berlari di sana. Bias wajahnya khawatir, sampai akhirnya lengannya tak cukup kuat menyanggah Rion yang mulai jatuh lemas. Menyandarkan diri tepat di pelukannya.
“Nai di sini, Bang. Tenanglah! Nai akan jaga Bang Rion.”
*
Tak tahu berapa lama terbaring, Rion mulai membuka mata dan mendapati Naina tertidur menjaganya. Terakhir dia jatuh pingsan karena luka itu, dan kini dirawat untuk mengembalikan stamina dan menyembuhkan lukanya.
“Nai.”
Tak ada siapa pun. Hanya adik kesayangannya ini. Jam dinding menunjukkan pukul tiga malam. Disentuhnya kepala Naina, membuat adiknya itu terusik dan membuka mata.
“Bang?” Naina bersyukur Rion telah sadar.
Tak pernah Rion sakit separah ini. Kakaknya itu selalu tampak kuat dan menjadi sandarannya. Naina sangat cemas ketika Rion tak sadarkan diri seharian dengan luka benturan di kepalanya.
“Apa yang terjadi, Bang? Cerita sama Nai, ya?”
“Nggak apa-apa. Abang cuma nabrak sedikit.”
“Bukan luka itu.”
Naina terisak, lalu meletakkan tangannya, mengusap d**a bidang kakaknya. “Hati Abang sakit, kan? Ada apa? Apa yang terjadi? Tolong, Bang! Nai juga pengen bisa berguna buat Abang. Nai pengen Abang bahagia juga, ya?”
Kali ini, Rion tak bisa berpura-pura tegar lagi. Biarlah kali ini dia bersandar untuk luka hatinya sebab pengkhianatan yang Fira lakukan. Naina mendengar bagaimana sulitnya Rion mengatakan bahwa hatinya dipermainkan Fira.
“Bang Rion orang baik. Suatu saat, Abang akan ketemu perempuan yang tulus sayang dan mencintai Abang. Mungkin melebihi rasa sayang Nai ke Abang. Dia akan jaga Abang dan jadi tempat Abang untuk bersandar.”
Rion tersenyum getir.
“Maaf karena selama ini terlalu nyusahin Abang. Berjanji sama Nai, Bang, saat Abang lelah nantinya, Abang bisa pergi dari Nai. Abang harus bahagia, ya?”
Naina merasa kasihan pada Rion. Tak pernah kakaknya itu membangkang saat hidupnya harus berpusat pada Naina. Ayahnya mencintai mereka dengan kasih sayang yang sama, tapi melebihkan tanggung jawab yang sangat berat di pundak Rion. Keduanya tak pernah terpisah jarak. Rion seakan diciptakan untuk menjadi pilar penopang hidup Naina.
Rion kembali menutup mata, menikmati usapan lembut jemari Naina di kepalanya. Samar-samar dia mendengar Naina berbisik tulus, membuat hatinya kembali damai dalam perlindungan.
“Nai di sini, Bang. Selamanya. Bahkan jika seandainya Nai bisa terlahir kembali, Nai harap Bang Rion bukan saudara Nai.”
*
Seminggu telah berlalu, Rion tak lagi mendengar kabar tentang Fira. Semua kontak telah disingkirkan, bahkan dia juga tak dihubungi oleh Ferry, temannya perihal Fira.
“Apa Ferry masih di Jepang?” gumamnya.
Rion baru saja pulang dari kantor, menyandarkan lelahnya di sofa. Tak lama, pintu diketuk, Naina datang menghampiri sambil membawa beberapa kaset di tangannya.
“Kenapa, Nai?” tanya Rion, melonggarkan ikatan dasinya, melepasnya sebab gerah. Dibukanya dua kancing teratas agar keringat bisa menguar bebas.
“Nanti malam nggak ada kerjaan, Bang? Temenin Nai nonton, ya!”
Rion bergidik ngeri melihat cover dari kaset video yang ditawarkan Naina. Film horor dan zombie. Gadis itu tertawa, menyadari kakaknya ini paling anti genre film seperti itu.
“Nggak mau, ih, Nay! Nggak ada ceritanya, malam minggu nonton horor begini. Mending abang nongkrong di luar.”
“Nongkrong?” Naina tampak antusias. “Di mana? Ikut!”
Naina akan merengek seperti biasa. Bahkan meski Rion memerlukan privasi untuk menenangkan diri, pada akhirnya dia tak tega dan menuruti permintaan sang adik. Membawanya pergi, meski akhirnya berakhir dimarahi.
“Nanti papa marah kalau abang ajak Nai keluar malam.”
“Ampun, dah! Masa keluar malam aja, langsung bikin aku mati?” geram Naina.
“Hush! Kamu ini! Udara malam itu nggak bagus buat asma kamu.”
“Kata siapa?”
Naina merajuk, menyandarkan kepalanya di bahu Rion. Tak merasa risih, aroma cologne yang bercampur keringat di tubuh Rion justru membuat Naina candu. Seumur hidupnya, dia selalu bermanja pada kakaknya ini. Baginya, Rion adalah setengah dari jiwanya.
“Selama ini Nai udah rutin pengobatan, kan? Nai udah lebih baik, Bang. Coba, deh, bujuk papa buat ngizinin Nai beraktifitas kayak biasa, ya?”
Rion tersenyum tipis seraya mengusap surai hitam sang adik.
“Papa itu trauma. Dulu waktu kamu kelas satu SMU, kamu jatuh koma karena ikut ekskul basket. Kamu bohong sama papa kalau kamu baik-baik aja. Nggak tau waktu itu tanding, kamu sampai collaps.”
Naina terkikik geli. Lalu kepalanya jatuh ke pangkuan Rion.
“Anak gila! Malah ketawa pula. Waktu itu kamu hampir meninggal.”
“Iya, tapi itu hari yang paling bahagia untuk Nai.”
Senyum Naina terlihat cantik. Akhirnya, dia memutuskan membawa Naina keluar meski hari sedikit mendung. Café Cassandra menjadi tujuannya. Duduk santai berdua, menikmati iringan band dan musik nuansa manis.
“Abang sering ke sini? Sat-nite?” tanya Naina.
“Iya, selalunya sendiri. Nggak punya temen juga buat diajak. Biasanya si Ferry, tapi kadang nggak sefrekuensi juga. Dia anaknya agak bandel.”
Kekeh kecil Rion membuatnya terhenyak. Perlahan-lahan, tanpa keluarga Kharisma sadari, Rion semakin mirip dengan Naina. Hidupnya yang terikat akan kesehatan Naina, membuat circle pertemanannya juga menyempit. Dulunya, saat SMU, Rion memiliki banyak teman. Semenjak lulus, pelan-pelan Rion kehilangan kebebasannya.
Rion menoleh saat Naina menyentuh sudut bibirnya, “Abang itu ganteng, baik juga. Suatu saat pasti bisa ketemu perempuan yang pantas buat abang.”
“Tapi sebelum itu-”
Rion memegang dua sisi kepala Naina, mencium dahinya tipis-tipis. “Abang dan papa akan mulai carikan kamu jodoh. Calon suami kamu harus orang baik, dan bisa jaga kamu. Cinta bisa dibangun seiring waktu. Yang penting, dia baik dan bertanggung jawab aja.”
Cengkrama mereka terusik oleh nada pesan di ponsel. Pesan dari nomor asing.
[Kak Rion, ini Fira. Maaf untuk semua hal buruk yang kulakukan. Aku nggak berniat jahat sama Kak Rion. Cuma saat itu kupikir, cuma Kak Rion yang baik sama aku. Aku bahkan nggak bisa percaya sama Bang Ferry. Tapi mungkin, benar, aku memang egois. Karena itu, orang sepertiku nggak pantas hidup dan bahagia. Maaf, Kak. Tolong maafin aku. Bahagia setelah ini, ya!]
Rion terperanjat membaca pesan mantan kekasihnya itu.
“Kenapa, Kak?”
“Fira.”
Tak membuang waktu, Rion membawa Naina untuk pergi ke rumah Fira. Dia takut wanita itu semakin nekat nantinya. Setibanya di pelataran, bertepatan dengan Ferry yang mungkin baru kembali dari penerbangannya.
“Ngapain lo di sini? Bukannya lo udah putus sama adek gue?!” serang Ferry, sinis.
Rion tak sempat bicara, mempercepat langkahnya hingga Ferry dan Naina menyusulnya. Lantai dua menjadi tujuan mereka.
Pintu terbuka. Naina menjerit ketakutan, Rion hanya bisa bersandar di dinding karena kali ini, dia terlambat. Ferry shock, segera berlari untuk memeluk kaki adiknya yang sejajar bahunya. Si kecil itu nekat mengakhiri hidup dengan gantung diri di plafon rumahnya dengan seutas tali itu.
“Fira!!!”
Tak peduli jerit Ferry, atau bagaimana dia berusaha menyanggah kaki Fira, adiknya itu sudah meninggal.
Rion terpukul saat Fira memilih pergi sebab putus asa akan kehamilannya. Rion menyendiri di sudut rumah saat para polisi dan petugas medis berdatangan untuk menurunkan korban yang telah tewas itu.
Sejak tadi Ferry menatap tak suka pada Rion. Setidaknya sebelum berangkat ke Jepang, dia menyaksikan pertengkaran adiknya dan Rion. Fira sangat putus asa setelah Rion enggan meminangnya.
Dokter itu mendekati Ferry, mengusap lengannya. “Sepertinya adik Anda sedang hamil.”
Mata Ferry membeliak, mulutnya setengah terbuka seakan tak percaya dengan perkataan dokter itu. “Mungkin butuh dua jam lagi untuk polisi selesai olah TKP. Siapkan saja semuanya untuk pengurusan jenazah.”
Rion yakin Ferry akan menuduhnya sebagai penyebab rasa sakit Fira. Tak peduli dengan warga sekitar yang mulai berdatangan, perkelahian itu terjadi.
Rion jatuh tersungkur saat Ferry memukulnya keras. “b******k lo! Setelah lo hamili adek gue, lo putusin dia gitu aja, hah? Semua ini karena lo! Adek gue mati karena lo, b*****t!”
Naina menangis dan berusaha melindungi Rion dari amukan Ferry. Polisi itu pun menarik Ferry agar tak main hakim sendiri. Hari duka itu menyelimuti semua orang. Rion memilih bungkam untuk menutupi aib mantan kekasihnya, takut nantinya menjadi pergunjingan para tetangga meski dia telah tiada.
“Tangkap dia, Pak!” pekik Ferry, kasar.
Hari itu, Naina menjerit histeris saat polisi membawa Rion sebab perbuatan buruknya menghamili Fira. Rion dituduh melakukan pelecehan dan dianggap sebagai penyebab depresi pada korban hingga berakhir dengan penghilangan nyawanya.
“Pak, nggak mungkin, Pak. Bang Rion nggak mungkin ngelakuin itu,” jerit Naina, terisak.
Rion tersenyum sambil mengusap pipi Naina, tangannya masih terkait borgol. “Sabar, Nai. Abang baik-baik aja. Jangan takut! Tolong bilang sama papa, ya!”
Kematian Fira menjadi ingatan yang melekat di ingatan Naina. Meski tak ada sangkalan dari Rion, Naina percaya bahwa kakaknya takkan sekeji itu.