Pria berambut pirang itu mendekati Rion yang berusaha bangkit sambil menahan luka di telapak tangannya. Bias wajah sinis yang masih lekat di ingatan Rion.
“Lama nggak ketemu, Rion!”
“Maksud kamu apa, sih?!” geram Rion.
Ferry tak menyambut, hanya bersidekap untuk menatap tajam bias wajah kesal Rion. Mereka adalah teman semasa sekolah dan memiliki riwayat perselisihan hingga Rion merasa jengah setiap bertemu, ada saja cara Ferry untuk menantangnya berkelahi.
“Maksud apa? Nggak ada. Gue cuma mau say hello doang! Tadi niatnya nabrak, tapi nggak tega aja.”
Rion enggan meladeni. Dia lebih memikirkan Naina yang mungkin cemas menunggu di taman. Saat hendak pergi, Ferry menahan bahu Rion.
“Apa lagi?”
“Kapan lo nikah?” tanya Ferry.
Rion menepis kasar, menantang tatapan tajam Ferry. “Apa urusan lo, gue nikah atau enggak?”
Rion terkejut saat Ferry mencengkram lehernya hingga membanting ke pohon di sisi jalan. Meski berusaha melepaskan, Rion hampir pitam karena hampir kehabisan napas dengan cekikan itu.
Rion berhasil melepaskan diri setelah melesatkan tendangan ke tulang kering Ferry hingga pria itu berjingkat. Setidaknya dia selamat dari kematian.
“b******k!”
“Nggak usah cari ribut! Gue nggak minat ngeladeni lo lagi, Ferry!”
“Semua ini karena lo!”
Langkah Rion terhenti saat Ferry memekik lagi. Rion menghela napas panjang, tak ada satu detik pun berlalu tanpa Ferry mengungkit kejadian lama.
“Gue kehilangan adek gue karena lo, b******k!”
Rion berbalik, menatap mata nanar Ferry yang menunjukkan kebencian. Sama seperti sebelumnya, Rion akan mengatakan hal yang sama untuk melepaskan diri dari tuduhan itu.
“Lo nggak bisa paksa hati seseorang. Gue nggak cinta sama Fira. Adek lo bunuh diri bukan karena gue. Andai aja dia bisa berpikiran panjang, dia bisa temukan pria lain yang bisa mencintainya sepenuh hati.”
“Dia udah nunggu lo selama sepuluh tahun! Waktu kecil, lo yang janjikan itu ke dia, kan?”
Rion tak menyahut lagi. Pergi saja meninggalkan perdebatan yang tak ada habisnya itu. Naina masih menunggu di sana, menatap beberapa pasang muda-mudi yang menikmati dunia romansa mereka.
“Hei!” sapa Rion sambil mengusap kepala Naina.
“Lama banget, sih, Bang?”
“Rame tadi marketnya.”
Naina mengambil bungkusan. Meraih kotak es krim untuk menikmati tiap sendokan rasa manis dari si dingin itu. Rion justru tenggelam dalam lamunan. Pertemuannya tadi dengan Ferry menyisakan ingatan lama yang menyakitkan.
“Kenapa, Bang?” tanya Naina, mengusik lamunan Rion.
“Nggak. Nggak ada apa-apa.”
“Eh, ini-”
Naina tak sengaja melihat telapak tangan Rion yang terluka. Dia pun meraihnya, mengambil kotak p3k dari dalam tas yang selalu sedia.
“Jatuh di mana, Bang?”
Rion tak menjawab. Naina membantunya mengobati luka. Menyiram lebih dahulu dengan air mineral. Meraih kapas untuk dibasahi dengan ethanol. Menghapus tipis-tipis agar tak menimbulkan perih. Naina pun menempelkan kapas yang ditetesi betadine itu, lalu membalutnya dengan perban agar bisa sembuh.
“Makasih karena selama ini, Bang Rion selalu jaga aku. Nanti kalau Abang sakit atau ada masalah, jangan ragu untuk cerita ke aku. Aku sedikit berguna, kok, Bang.”
Rion mengangguk, mengusap kepala Naina yang tersenyum sangat indah untuknya. Kebahagiaan keduanya yang direkam jelas oleh pandangan Ferry di sudut sana. Dia memperhatikan Naina yang sangat disayangi oleh Rion. Adik kecil berharganya.
“Aku akan buat kamu merasakan sakitnya kehilangan adik yang kamu cintai, Rion!”
*
Tiga tahun yang lalu.
“Will you marry me?”
Hati Rion berdesir saat mendengar pernyataan cinta seorang gadis cantik berambut blonde itu. Senyumnya yang manis, memaksa Rion menguntai senyum saat dia menyatakan cinta di depan ramai orang di taman.
“Fira, kamu apaan, sih? Malu diliatin orang,” ujar Rion. Meski begitu, tak bisa dia sembunyikan kebahagiaan saat gadis yang dicintainya itu menyatakan perasaan padanya.
Fira, adik cantik dari sahabatnya itu lebih mendekat untuk memeluknya erat, sesekali menciumi bidang d**a pria itu karena bersyukur perasaannya bersambut.
“Ayo nikah, Kak! Aku nggak mau lama-lama lagi. Ya? Aku sayang banget sama Kak Rion.”
Hari itu, Rion begitu bahagia telah mendapatkan jawaban cinta dari kekasih hatinya. Selang seminggu setelah hari itu, Rion membawa Fira ke rumahnya, mempertemukan dengan kedua orangtuanya. Dia pun mengatakan niatnya untuk menjadikan Fira sebagai menantu di rumah ini.
“Kamu mau menikah?” tanya Wisnu, sedikit tak percaya.
Rion mengangguk, menggenggam jemari hangat Fira yang sedang duduk di sampingnya. “Iya, Pa. Niatnya mau tahun depan, tapi Fira minta awal bulan aja. Lagian, uangku udah cukup, kok.”
“Nikah cepat-cepat buat apa, Rion? Kamu udah bosan ngurus adik kamu?”
Hardik mamanya itu membuat suasana tak nyaman. Rion pun meminta Fira untuk menunggu di luar. Hari itu, terjadi perdebatan serius di ruang tengah. Naina menunduk dalam dan malu pada Rion saat orangtuanya menentang niatnya menikah hanya demi menjaga Naina.
“Ma, mau sampai kapan aku begini? Apa kalau aku nikah, aku berhenti mikirin Naina? Enggak, Ma, Naina itu adikku. Aku tetap pada tanggung jawabku!” keluh Rion.
Naina tak ikut menimbrung pertengkaran itu, merasakan dadanya mulai sesak hingga terasa sakit.
“Ma,” lirih Naina sambil meraih tangan mamanya. Dia masih berusaha tak egois dengan meredam rasa sakitnya.
“Kalau mau menikah, tahun depan aja! Nggak usah bantah! Naina masih butuh kamu, Rion.”
“Sampai kapan, sih, aku jagain dia terus? Dia juga udah dewasa, Pa! Kenapa nggak carikan dia suami aja biar ada yang ngurusin?”
Rion terkejut saat Wisnu, papanya itu menamparnya. Naina mulai menangis saat pertengkaran itu terjadi karenanya.
"Pa, udah. Jangan marah sama Bang Rion," lirih Naina sambil memegang dadanya.
Rion mengeratkan jari, menggeram. Bukannya dia tak kasihan pada Naina, dia hanya ingin hidup normal. Selama ini, hidupnya hanya berpusat pada Naina yang selalu sakit dan harus dijaganya. Dia bosan dengan tanggung jawab menyebalkan itu.
"Pa, please. Aku juga punya kehidupan sendiri. Aku ingin menikah, Pa. Aku mencintai Fira. Aku pasti tetap akan jaga Naina, ya?"
"Nggak! Sekali Papa bilang enggak, ya enggak!" bentak Wisnu, kasar.
"Please, Pa! Aku, tuh, capek jagain dia terus. Nyusahin hidupku aja. Apa hidupku ini cuma buat dia doang, hah?"
Rion menatap Naina dengan penuh amarah, membuat adiknya itu menangis histeris dan berlari masuk ke kamarnya. Kedua orangtuanya cemas karena tadi sempat melihat Naina memegang dadanya, dengan napasnya yang berat menahan sakit.
Ketuk pintu terdengar.
"Sayang! Buka pintunya, Naina! Buka, Nak!"
Panggilan itu tak dipedulikan Naina. Napasnya kian sesak. Dia merangkak ke sisi laci meja karena ingin meraih in healer-nya.
"Bang Rion."
Sementara itu di bawah sana, Rion berusaha tutup telinga karena bosan dengan rutinitas harian dan rumah yang selalu ramai karena adiknya yang penyakitan itu. Dia memilih keluar untuk menenangkan Fira yang sejak tadi menunggunya dengan cemas.
"Kak, jadi gimana? Kita jadi nikah, kan? Atau, kita kawin lari aja? Aku nggak apa-apa, kok, kalau nggak bikin resepsi. Yang penting kita nikah," pinta Fira, antusias.
Rion tersenyum sambil memeluk gadis cantik itu. Diusapnya surai terurai Fira, sesekali mencium puncak kepalanya.
"Sayang, kayaknya papa-mamaku lagi ribet, deh. Gimana kalau kita tunda dulu sampai akhir tahun?"
Fira memencak kesal. Didorongnya bidang d**a pria itu dengan wajah marah. Dia tak ingin menunggu lagi.
"Nggak! Aku maunya bulan depan! Kita nikah ke KUA aja, Kak. Nggak apa-apa. Gitu aja aku udah senang, kok."
Fira begitu memaksanya untuk menikah, sementara Rion masih bingung dengan kemarahan keluarganya.
"Naina!"
Rion terkejut saat mendengar jerit mamanya itu. Tadinya, Naina mengunci pintu dari dalam sehingga mamanya membuka pintu dengan kunci duplikat karena takut putrinya itu dalam bahaya.
"Naina, bangun, Nak!"
Setelah dibuka, putri cantik mereka sedang terkulai lemah di lantai. In healer berada di tangannya. Asmanya tadi sepertinya kambuh hingga membuatnya pingsan.
"Rion!"
Wisnu memekik agar putranya itu masuk untuk memberikan bantuan. Mamanya menangis terisak, Rion hanya terpaku melihat wajah adiknya itu yang tampak sendu, mulai pucat pada bibirnya. Tangannya gemetar ketakutan.
"Naina?"
Naina dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan medis. Rion bungkam, memegang dinding sebab takut karena tadinya, dokter sempat keluar dan mengatakan bahwa kondisi Naina sangat kritis. Mereka menunggu di luar dengan perasaan cemas.
"Ma, tenang. Kita berdoa saja, ya!" pinta Wisnu sambil memeluk tubuh gemetar istrinya itu.
Rion bahkan tak bersuara. Saat dokter mengatakan Naina kritis tadi, lututnya melemas. Dia merasa bersalah karena telah sangat egois dan hanya memikirkan kepentingannya. Tak lama, dokter keluar dengan wajah serius. Dia menggeleng untuk menyampaikan kabar buruk itu.
"Untuk saat ini, pasien tak sadarkan diri. Penyakit asma itu sangat mematikan, Pak, Ibu. Dia mengalami kesulitan bernapas dan otaknya kurang mendapat pasokan oksigen untuk beberapa saat."
Penjelasan dokter itu membuat mereka gamang. Apakah itu kabar buruk?
"Dok, ini maksudnya apa? Naina baik-baik aja, kan?" jerit Wisnu.
Dokter itu menghela napas lemah, menyimpan stetoskopnya di saku.
"Kita tunggu sampai 24 jam ini. Jika dia tidak bangun juga dan kondisinya seburuk ini, ada kemungkinan dia akan jatuh koma. Saya minta maaf."
Dokter itu pergi beriring jerit tangis ibunda Naina. Wisnu menahan kesedihan, memeluk erat sang istri. Sementara itu, Rion menyesal untuk serapahnya tadi, mengabaikan air mata Naina saat Rion menyalahkan Naina atas hidupnya yang terpenjara.
'Naina, maafin Abang. Tolong bangun, Nai. Bang Rion rindu,' batinnya.