Perhatian dari Gunung Es

1711 Words
Robert bangkit dari karpet dan berjalan keluar kamar menuju dapur. Dia membuka lemari es dan mengambil sebotol air dingin. Kemudian dia mengambil gelas bersih dari rak piring. Setelah puas minum, kembali Robert membuka lemari es mencari sesuatu yang bisa dimasak. "Ah, ketemu." Robert mengeluarkan plastik kedap udara yang berisi ayam yang dibekukan. Ditaruhnya ayam beku di meja, kemudian dia mulai mencari-cari beras. Ternyata ada di dalam wadah transparan. Robert memasakkan bubur untuk Rea. Memasak bukanlah hal baru bagi dia. Sejak SD Robert kerap membantu Mbok Sumi memasak, hingga akhirnya dapat memasak sendiri. Setelah bubur matang, Robert membawa semangkuk ke kamar untuk Rea. Diletakkan bubur yang masih panas di meja kecil di samping tempat tidur. "Re, bangun." "Re, bangun dulu." Kembali Robert mencoba membangunkan Rea. Rea seperti mendengar suara Robert, tetapi matanya sangat sulit untuk dibuka. Robert mengambil handuk di kening Rea. Dibawanya handuk kecil tersebut ke kamar mandi. Setelah dibilas, Robert membawanya ke kamar. Handuk basah tersebut Robert usapkan di wajah Rea supaya gadis itu bangun. Rea perlahan membuka matanya. Betapa terkejutnya dia ketika melihat Robert tepat di depan mukanya. "Ngapain kamu di sini?" "Menurut lo?" Dengan wajah panik Rea memeriksa bajunya. Masih utuh, malahan ada selimut yang menutupi tubuhnya. "Tenang aja, lo aman. Nggak gue utak-atik." Robert berkata dengan tenang. "Terus kenapa kamu bisa ada di sini?" "Elo beneran nggak inget?" tanya Robert tidak percaya. Rea terdiam. Dia mencoba mengingat kenapa Robert bisa ada di dalam rumahnya. "Nggak inget. Yang aku tau tadi pulang naik bis, terus turun dari bis. Habis itu nggak inget lagi." Robert menepuk keningnya. Andai tadi dia tidak membuntuti Rea, entah apa yang akan terjadi pada gadis ini. Robert mengambil mangkuk bubur dari meja. "Mendingan sekarang elo makan dulu. Gue udah bikinin bubur nih." "Kamu yang masak?" tanya Rea sangsi. "Menurut lo?!" tanya Robert sedikit kesal. "Emang kamu bisa masak?" "Terserah mau percaya apa nggak," sahut Robert ketus. "Sakit aja masih bawel lo!" gerutu Robert. "Ternyata kamu bisa ngomong banyak juga ya," ujar Rea. "Buka mulut lo!" Robert menyodorkan sesendok bubur di depan mulut Rea. Rea menerima suapan dari Robert. "Enak," ujar Rea. "Nggak nyangka kamu bisa masak." Robert tersenyum kecil menerima pujian dari Rea. Hatinya sangat senang. "Itu ada telepon," ujar Rea sambil menunjuk ponsel Robert yang ada di meja samping tempat tidurnya. "Biarin aja. Nggak penting juga." "Angkat dulu," bujuk Rea. "Iya, gue angkat. Tapi lo nyuap dulu nih." Robert menyodorkan lagi sesendok bubur pada Rea. Setelah Rea menerima suapan dari Robert, dia mengambil ponsel di meja. "Kenapa Ger?" tanya Robert. "Woi, elo masih di rumah Rea?! Gue telepon nggak diangkat! Pesan nggak dibales juga!" "Iya." "Apaan yang iya? Ngomong yang jelas Nyùk!" "Bentaran lagi gue pulang. Kalo lo mau ke rumah, dateng aja." Robert memutuskan sambungan telepon, dia menaruh ponsel di atas selimut Rea. Robert menyendok bubur lagi dan dibawanya ke mulut Rea. "Udah kenyang," ujar Rea. "Nggak bisa!" Robert melotot pada Rea. "Elo kan baru dikit makannya!" Rea menatap Robert dengan pandangan memelas. "Tapi perutnya nggak enak, jadi mual." Robert menghela napas panjang. Ditatap seperti itu oleh Rea membuat hatinya tidak tega. "Tapi elo harus makan Re," bujuk Robert dengan nada lembut. "Buat nanti aja ya …," Rea memohon. Robert meletakkan mangkuk di meja, kemudian memegang dahi Rea. Demamnya sudah turun, wajah Rea pun sudah tidak sepucat tadi. "Sekarang mendingan elo ganti baju dulu, terus minum obat." "Iya," jawab Rea. Rea menurunkan kaki ke lantai, dan mencoba untuk berdiri. Namun, badannya langsung limbung ketika berdiri. Beruntung Robert langsung menangkap Rea sehingga tidak jatuh. Robert membantu Rea berjalan ke lemari untuk mengambil pakaian, dan menuju kamar mandi. Robert menunggui Rea berganti pakaian di depan kamar mandi. Dan membawanya kembali ke kamar. "Sekarang lo minum obat. Mana obatnya?" tanya Robert setelah Rea berada di tempat tidur. "Ada di lemari bagian atas di dapur," ujar Rea. "Gue ambilin dulu. Elo diem aja di sini." Rea termenung di kamar sementara Robert mengambil obat. "Ternyata Robert nggak sedingin dan sesombong yang dibilang anak-anak." Robert masuk ke kamar membawa obat. "Nih minum!" Robert menyodorkan obat pada Rea. Rea menerima obat yang diberikan oleh Robert. Kemudian Rea mengambil tumbler di meja. "Sekarang lo tiduran lagi!" perintah Robert. Rea menuruti perintah Robert. Kepalanya masih terasa pusing jika duduk terlalu lama. "Re, sekarang gue mau pulang dulu. Gerry pasti udah stand by di rumah." Rea mengangguk. Bibirnya kelu untuk berkata-kata. "Masalahnya elo sendirian di rumah. Nyokap bokap lo pada ke mana sih?!" "Mama masih di toko. Kalo Papa …." Rea menghela napas panjang, mengusir sesak yang datang tiba-tiba. "Papa udah nggak ada," ujar Rea. Robert hanya diam ketika mendengar jawaban Rea. "Besok jangan masuk sekolah, istirahat di rumah. Gue besok siang dateng lagi." "Nggak usah. Ntar malah ngerepotin kamu," ujar Rea sungkan. Robert menyentil kening Rea dengan gemas. "Jangan cerewet. Besok pagi gue bawain sarapan. Siang pulang sekolah gue ke sini lagi." "AW! Sakit tau," gerutu Rea sambil memegangi kening yang habis disentil oleh Robert. Robert tertawa melihat Rea. Tiba-tiba Robert menghampiri Rea, menundukkan kepala dan mencium kening Rea. "Udah nggak sakit kan?" ujar Robert lembut. Rea terkejut mendapatkan perlakuan seperti itu dari Robert. "Kenapa kamu begitu ke aku?" "Mau tau jawabannya?" Robert mendekatkan bibirnya ke telinga Rea dan berbisik. "Tandanya elo sekarang milik gue!" "Ih …!" Rea menjauhkan telinganya dari Robert. Pipi Rea terasa panas karena ulah Robert. "Gue pulang dulu ya. Tapi elo gapapa sendirian di rumah?" Robert tersenyum melihat wajah Rea saat ini. Dengan pipi yang bersemu merah, wajahnya maki terlihat menggemaskan. "Iya, gapapa. Udah biasa kok. Bentaran lagi juga Mama pulang," jawab Rea. Rea beringsut turun dari tempat tidur. "Eh ngapain elo turun?" tanya Robert. "Mau kunci pintu," sahut Rea. "Mana bisa begitu?! Elo kan masih pusing!" Rea terdiam. "Kalo nggak, kamu yang kunci pintunya. Nanti kuncinya simpan di bawah pot putih yang ada di sebelah pintu masuk." "Ya udah, gitu lebih baik. Gue pulang ya. Bye." Robert bergegas keluar kamar, tidak lupa dia menutup pintu kamar Rea. Setelah mengunci pintu, dia melakukan yang diperintahkan Rea. Meletakkan kunci di bawah pot putih. Sepanjang perjalanan pulang, Robert terus tersenyum mengingat saat dia mencium kening Rea. "Gue baru tau rasanya ternyata semanis ini bisa merhatiin cewe yang disuka," ujar Robert pada diri sendiri. Setibanya di rumah, dia melihat motor Gerry terparkir di halaman. Robert masuk ke rumah sambil bersiul. "Kok pulangnya malam Den?" tanya Mbok Sumi. "Eh ada Mbok Sum. Gerry ada di mana Mbok?" tanya Robert. "Ih Aden keterlaluan. Ditanya apa, jawabnya malah nggak nyambung." "Habisnya Mbok Sum kepo sih," ledek Robert. "Kan Obet habis ngurusin temen yang sakit Mbok." "Oh iya, gimana temen Aden? Udah sembuh?" "Belum Mbok, tapi udah mendingan. Panas nya udah turun." Robert menjawab sambil tersenyum kecil. Mbok Sum terdiam melihat anak asuhnya tersenyum. Bukan senyum yang dipaksakan, tapi benar-benar senyum. Sudah lama sekali dirinya tidak melihat Robert tersenyum. "Aden lagi jatuh cinta?" "Mbok, Obet ke atas dulu." Robert bergegas naik ke kamarnya. Dia tidak ingin membahas apapun saat ini. Tiba di kamar, dilihatnya Gerry sedang asik bermain PS. "Elo habis ngapain sih? Lama banget dah! Nggak aneh-aneh kan lo?!" "Elo ngapain ke sini?" Robert bertanya balik. Gerry menghentikan permainannya demi mendengar pertanyaan Robert. "Eh Kùnyuk! Pulang sekolah langsung cabut dan nggak ada berita! Begitu dapet berita, elo lagi di rumah cewek, berduaan pula! Gue senewen tau nggak!" Gerry melampiaskan kekesalannya. "Nyantai aja kali Bro. Nggak usah pake emosi," ujar Robert santai. "Gue mencium sesuatu yang misterius deh. Elo jadian ma Rea, Bet?" "Gue mau mandi dulu." Robert berlalu tanpa menjawab pertanyaan Gerry. "Woi! Lo utang jawaban ke gue!" teriak Gerry kesal. Selesai mandi, Robert mengambil ponsel dan mengirim pesan ke Rea. +81289xxxxx : Lo lagi apa? +81289xxxxx : Udah makan lagi? Tidak ada balasan. "Mungkin lagi tidur," gumam Robert. "Ger, udah makan belum? Gue laper, mau makan." "Rejeki nggak boleh ditolak Bro. Biar kata gue udah makan, pasti gue bakalan makan lagi kalo ditawarin." "Dasar lo, muka boleh blasteran. Kelakuan lo minus," ledek Robert. "Jangan gitu lo. Masa elo nggak kasian sama cacing-cacing di perut gue? Cacing lokal tuh beda sama cacing impor," sahut Gerry asal. Robert berjalan keluar kamar. "Buruan turun!" ujar Robert sebelum menutup pintu kamar. Gerry langsung melesat mengikuti Robert menuju ruang makan. Di meja makan sudah tersaji masakan dan nasi untuk dua orang. "Wah, kali ini cacing di perut gue pasti berpesta pora," ujar Gerry melihat semua makanan yang ada di meja. Robert tidak mengacuhkan perkataan Gerry. Dia menarik kursi dan duduk. Setelah mengambil lauk secukupnya, Robert mulai makan. Gerry juga melakukan hal yang sama. Tengah makan, ponsel Robert bergetar. Ada pesan masuk, tanpa sadar Robert tersenyum melihat siapa yang mengirim pesan. Namun, Robert tidak segera membuka pesan. "Wah …! Gue makin curiga ma elo Bet." ujar Gerry yang memerhatikan tingkah Robert. "Baru pernah gue liat elo segitu senengnya dapet pesan." "Biasa aja." Robert menjawab dingin. "Kenapa nggak lo baca itu pesan?" tanya Gerry penasaran. "Elo kan tau aturan di meja makan Ger." "Iya, gue inget. Nggak boleh pegang ponsel selama lagi makan. Cuma gue kira yang ini ada pengecualian." "Nggak ada lah. Aturan ya tetep aturan." "Susah ngomong sama Gunung Es," gerutu Gerry. Selesai makan, Robert kembali ke kamarnya. Di kamar, barulah dia membaca pesan dari Rea. Cewe Jutek : Udh makan lagi kok. Cewek Jutek : Mksh Robert tertawa sendiri membaca pesan Rea. "Dasar cewe jutek. Ngebales persen kaya nggak niat amat." +81289xxx : Jangan lupa minum obat, terus tidur. +81289xxx : Nite Cewe Jutek. Tak lama kemudian, Gerry yang sudah selesai makan kembali ke kamar Robert. Temannya sedang memandangi ponsel sambil senyum-senyum sendiri. "Ini anak beneran lagi jatuh cinta," ujar Gerry pada diri sendiri. "Bet," panggil Gerry. "Hm." "Elo mau main rahasia ke gue?!" tanya Gerry. Robert mengangkat bahu. "Kenapa lo mikir gitu?" "Gue tau dari kemaren elo ke rumah Rea, iya kan?" tembak Gerry. "Gue cuma nggak mau karena cewek, hubungan lo sama Calvin jadi renggang Bro." Robert tidak membantah dan juga tidak mengiyakan. "Kalo gitu elo harus bantu gue." "Emang elo mau ngapain?" tanya Gerry curiga. "Bantuin gue buat ngejauhin Calvin dari Rea." "WHAT?! Elo masih waras kan Bet?!" "Mau apa nggak?" "Elo serius?! Kalo elo sama Calvin jadi ribut gimana?" "Nggak akan lah." Gerry tidak bisa menolak permintaan Robert. Dia merasa punya hutang budi terhadap sahabatnya itu. Andai saat itu tidak ada Robert, mungkin keluarganya akan berantakan. "Demi elo Bet. Gue mesti ngapain?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD