Menjadi Model Dadakan

2269 Words
"Aku?" ujar Rea dengan nada sangsi. "Iya. Emang ada temen lain yang dibawa Obet?" jawab Dimas gemas. "Ya nggak ada sih. Cuma kenapa aku?" "Ih …, ini anak. Cerewet banget sih," dumel Dimas. Robert tertawa mendengar perkataan Dimas barusan. "Nah, elo akhirnya nyadar juga kalo dia itu cerewet," ujar Robert sambil menunjuk ke arah Rea. Rea melotot pada Robert. "Aku nggak cerewet!" bantah Rea kesal. "Iya, elo nggak cerewet. Tapi elo itu cuma banyak tanya, jutek dan dingin," sahut Robert masih sambil tertawa. Dimas memperhatikan kelakuan temannya. Robert yang dia kenal adalah pemuda yang sedikit angkuh, dingin dan jarang tersenyum, apalagi tertawa jika bukan dengan orang yang sudah lama dikenalnya. Tapi hari ini, dia menyaksikan sendiri bagaimana Robert bukan hanya banyak bicara, tapi juga sering tersenyum dan tertawa. "Biarin. Nggak suka ya tinggal pergi, susah amat," jawab Rea ketus. "Wakakakak …." Dimas terpingkal-pingkal mendengar jawaban Rea. "Skak mat lo Bet." Robert menggaruk kepalanya, bingung membalas perkataan Rea. “Asli lo Re, jutek banget sih.” Rea tidak menanggapi perkataan Robert. Rea merasa tidak enak hati sudah berkata demikian pada Robert. “Kak Dimas,” panggil Rea untuk mengalihkan suasana yang canggung. “kalo dilukis perlu waktu berapa lama?” “Tergantung tingkat kesulitannya. Kalo cuma dilukis asal ya cepet. Tapi kalo mau yang bagus agak lama. Emang kenapa? Elo setuju mau dilukis ma gue?” “Dilukisnya mau. Tapi nggak mau disuruh duduk diem terus,” jawab Rea. Robert tersenyum kecil mendengar jawaban Rea. Dirinya juga agak sulit membayangkan Rea dapat bertahan duduk diam selama beberapa jam. Dimas duduk diam memandangi Rea dengan seksama selama beberapa saat. Dimas mencoba memperkirakan waktu yang dibutuhkan saat melukis gadis itu. “Oke, kayaknya cukup satu jam proses gue gambar sketsa wajah lo. Selebihnya serahin aja ke gue. Gimana? Setuju?” ujar Dimas. “Oke,” ujar Rea. “Kalo gitu, sekarang kita balik ke kios.” Dimas bangkit menuju ke kasir untuk membayar. “Semua jadi berapa May?” tanya Dimas. “Oh sudah dibayar ma temen kamu Mas,” jawab Maya pemilik kios. “Oh, oke. Makasih ya.” Dimas, Robert, dan Rea berjalan kembali menuju kios Dimas. Setibanya di kios, Dimas langsung bersiap untuk melukis Rea. “Re, elo duduk di sana.” Dimas memberi arahan pada Rea. Setelah Rea siap, Dimas mulai melukis. Sedangkan Robert, diam-diam mengambil foto Rea dengan kameranya. Rea berusaha untuk duduk tenang, tetapi lama-kelamaan, badannya mulai terasa pegal dan mengantuk. "Masih lama nggak?" tanya Rea. "Baru lima belas menit Re," ujar Robert yang saat itu tengah memperhatikan sketsa wajah Rea. "Cape Re?" tanya Dimas. "Pegel dan ngantuk," sahut Rea jujur. "Sebentar lagi Re," ujar Dimas. "Iya," jawab Rea. Sekitar setengah jam kemudian. "Selesai," ujar Dimas. "Beneran? Mana aku liat," ujar Rea yang langsung berlari ke arah Dimas. Rea terpaku melihat gambar Dimas. "Itu aku?" tanya Rea lugu. Lukisan Dimas memang belum sempurna, akan tetapi wajah gadis di lukisan Dimas terlihat seperti hidup. "Emang yang tadi duduk di sana siapa?" tanya Dimas sambil menunjuk ke tempat Rea duduk tadi. “Aku,” jawab Rea. “Ya terus kenapa masih tanya?” sahut Dimas. “kok beda?” tanya Rea. "Beda apanya?" tanya Dimas bingung. "Itu bukan aku kan?" tanya Rea sambil menunjuk ke arah lukisan. Spontan Robert tertawa keras mendengar pertanyaan Rea, begitu juga Dimas, walaupun tidak sekeras tawa Robert. "Kok kalian malah ketawa?" protes Rea. "Masa elo nggak ngenalin muka sendiri?" ujar Dimas. Rea terdiam dan mengamati sketsa wajah di depannya dengan seksama. "Ternyata beneran itu aku," gumam Rea. "“Terus kapan selesainya?” tanya Rea bersemangat ingin segera melihat hasil akhirnya. “Secepatnya Re. Ntar kalo udah selesai, gue kabarin. Oke!” “Oke. Makasih banyak ya Kak,” ujar Rea. “Oh iya, jangan panggil Kak ke gue. Kuping gue gatel dipanggil kak. Robert aja cuma panggil nama sama gue.” Robert yang sedari tadi diam, berjalan menghampiri Dimas dan Rea. “Dim, elo di sini sampe jam berapa?” “Belum tau. Tapi mungkin sore gue mau pulang. Ada acara keluarga, dan gue harus hadir,” jawab Dimas. “Emang kenapa Bet?” “Gapapa, nanya aja,” ujar Robert. “Tapi Dim, kayaknya sekarang kita mau cabut dulu.” “Tumben amat lo,” ujar Dimas. “Ini udah siang, dan udah waktunya ngasih makan ke bayi gede, “ ujar Robert sambil menunjuk ke arah Rea. “Dan setelah itu, gue masih harus ke suatu tempat.” Dimas merasa geli mendengar perkataan Robert yang menyebut Rea adalah bayi gede. Namun, dirinya tidak mungkin tertawa lepas , karena saat wajah Rea terlihat kesal. “Oke,” ujar Dimas sambil menahan tawa. “Kalo gitu gue cabut dulu ya,” ujar Robert sambil menepuk bahu Dimas. Dimas mengantar Robert dan Rea sampai depan kios. “Aku pamit dulu ya,” ujar Rea. “Hati-hati di jalan,” ujar Dimas. Baru saja Robert dan Rea berjalan sekitar tiga langkah, tiba-tiba Dimas memanggil. “Bet!” “Yup?” jawab Robert sambil membalikkan badannya lagi ke arah Dimas. “Gue dari tadi mau nanya, tapi lupa terus. Gerry ke mana aja? Udah lama dia nggak dateng.” “Sibuk pacaran.” Robert menjawab asal. Dimas geleng-geleng kepala mendengar jawaban Robert. Sedangkan Robert, dia kembali meneruskan langkah kakinya bersama Rea meninggalkan area Pasar Seni. “Kamu kenal Kak Dimas udah lama?” tanya Rea mengisi kekosongan. “Lumayan,” jawab Robert. “Sejak gue kelas tujuh.” Rea terdiam mendengar jawaban Robert dan bingung untuk mengobrol lagi. Rea melihat jam tangannya. Sudah jam setengah dua. Jam empat Rea harus ke tempat latihan untuk melatih anak-anak kelas pemula, dan setelah itu dia juga harus latihan. “Elo latihan jam berapa Re?” tanya Robert. “Latihan jam enam sore. Tapi ntar jam empat aku ada ngelatih anak-anak.” Langkah Robert terhenti seketika. “Coba ulangin kata-kata lo,” pinta Robert. “Latihan jam enam,” ulang Rea. “Bukan, kata-kata yang terakhir,” pinta Robert. “Jam empat ngelatih anak-anak?” “Seriusan? Elo ngelatih anak-anak?” tanya Robert tidak percaya. “Iya. Anak-anak pemula. Kenapa gitu?” tanya Rea. “Gapapa,” jawab Robert. Tidak disangka, gadis keras kepala dan jutek di sampingnya ini bisa mengajar anak-anak. Dan dirinya jadi penasaran ingin melihat seperti apa Rea saat melatih. Mereka sudah tiba di pelataran parkir, dan berjalan menuju motor Robert. Robert menyerahkan helm pada Rea ketika mereka sudah tiba di motor. Rea mengenakan helm yang diberikan Robert, dan menunggu sampai Robert selesai memakai helm serta mengelurkan motor yang terparkir di antara motor-motor lain. “Ayo naik,” ujar Robert setelah motornya siap. “Udah siap?” tanya Robert. ”Udah,” sahut Rea dari belakang. Robert menjalankan motornya perlahan sampai mereka keluar dari area parkir. Setelah itu, Robert membawa Rea untuk makan siang terlebih dahulu. Dari sana barulah mereka menuju ke Dojo, tempat Rea akan melatih anak-anak sekalian berlatih di sana. Rea turun dari motor setelah mereka tiba di Dojang. Dia membuka helm dan menyerahkannya pada Robert. “Makasih ya buat hari ini,” ujar Rea. “Oke.” Robert menjawab santai. “Aku masuk dulu ya,” ujar Rea. Rea berbalik dan hendak melangkah, tetapi Robert menahan tangannya. “Tunggu dulu.” “Kenapa?” tanya Rea. “Eng …, gue boleh ikut masuk?” tanya Robert. “Boleh. Masuk aja,” sahut Rea setelah berpikir sejenak. Robert turun dari motor,dan melepas helm. Sesudah itu dia berjalan masuk mengikuti Rea ke dalam tempat latihan. Rea berjalan langsung menuju ke aula tempat latihan. Rea membawa Robert ke pinggir tempat latihan. “Kamu duduk di sini ya,” ujar Rea pada Robert. “Oke,” sahut Robert. Kemudian Robert langsung duduk di lantai yang dilapisi karpet. dia memperhatikan sekitar. dilihatnya banyak remaja yang sedang berlatih. Ada anak-anak juga yang masih bermain-main, mungkin belum saatnya berlatih, pikir Robert. “Aku ganti baju dulu ya.” “Oke,” ujar Robert. Rea pergi meninggalkan Robert menuju ke ruang ganti. Setelah memakai baju latihan Rea berjalan keluar dari ruang ganti dan langsung menuju ke tengah ruangan di mana anak-anak tingkat pemula sudah menunggunya. “Ayo kita mulai latihan!” seru Rea pada anak-anak. “Siap Kak!” seru anak-anak serentak. Robert memperhatikan Rea ketika gadis itu tengah melatih anak-anak. Begitu tenang, sabar, tapi juga tegas. Tidak terlihat sedikitpun sikap jutek dan cerewet Selesai melatih anak-anak, Rea menghampiri Robert. “Bosen?” “Nggak. Sekarang elo mesti latihan kan?” Rea mengangguk. “Ya udah sana latihan! Gue tunggu di sini.” “Beneran mau nunggu? Aku latihan sekitar dua jam lho,” ujar Rea. “Terus kenapa?” tanya Robert. “Takut kamu bosen dan jadi bete,” jawab Rea. “Itu urusan gue. Kan gue yang mau nunggu.” jawab Robert. Akhirnya Rea berjalan kembali ke tengah ruangan untuk berlatih dan meninggalkan Robert. Rea berlatih dengan tekun, mengulang semua teknik yang sudah dia pelajari sejak awal. Selesai latihan, Rea berjalan menghampiri Robert dengan peluh yang bercucuran. Robert begitu terpukau melihat Rea berlatih. “Pantesan Lydia cs kalah,” gumam Robert sendirian. “Satu nilai plus lagi buat elo Re,” gumam Robert. “Elo bukan tipe cewek yang lemah dan lebay.” “Rea!” Mendengar namanya dipanggil, Rea menoleh ke belakang. Ternyata Ira, rekan seangkatan Rea di sini. Rea berhenti berjalan dan menunggu sampai Ira tiba. “Ada apa?” “Langsung pulang?” tanya Ira. “Iya,” jawab Rea. “Nggak enak sama dia.” Rea menunjuk ke arah Robert. “Widih …. Rea diantar sama siapa tuh ….” goda Ira. “Pacar elo?” “Bukan. Dia kakak kelas aku.” “Pacar juga gapapa kali Re. Lagian dia itu ganteng abis. Kalo lo nggak mau, buat gue aja,” seloroh Ira. Rea mencebikkan bibirnya mendengar ucapan Ira. “Terus Endro mau dikemanain?” “Ah nggak asik lo.” Ira memberengut mendengar nama pacarnya disebut. “Aku duluan ya.” rea pamit pada Ira. Setelah itu Rea berjalan lagi menghampiri Robert. “Mau pulang sekarang?” tanya Rea. “Elo ganti baju dulu kan?” tanya Robert. “Iya,” jawab Rea. “Aku ke ruang ganti dulu ya.” Rea pamit dan meninggalkan Robert. Di ruang ganti, setelah mengambil baju bersih dan peralatan mandi yang dia simpan di loker, Rea berjalan menuju kamar mandi yang ada di ruang ganti perempuan. Selesai mandi, Rea menuju tempat Robert menunggu. Dari kejauhan Robert melihat Rea yang sudah ganti pakaian. “Ternyata dia mandi dulu,” gumam Robert. “Pantesan lama.” “Pulang sekarang?” tanya Rea setelah tiba di dekat Robert. “Ayo.” Robert bangun dari duduknya. Mereka berdua berjalan bersisian menuju tempat Robert memarkir motor. “Re,” panggil Robert ketika mereka sudah tiba di dekat motor. “Ya?” “Gue langsung anterin elo pulang ya. Tadi Nyokap telepon, minta gue buat langsung pulang.” “Jangan anterin aku kalo gitu. Aku bisa pulang sendiri kok,” tolak Rea. “Nggak bisa gitu. Pokoknya sekarang elo gue anterin pulang. Dari rumah elo, gue langsung cabut. Setelah itu Robert mengantarkan Rea sampai di rumah. Robert menunggui Rea membuka pintu pagar. “Aku masuk dulu ya,” ujar Rea pada Robert. “Iya. jangan lupa makan lo!” Robert mengingatkan Rea. Andai Mama tidak meneleponnya tadi, pasti dia sendiri yang akan memastikan gadis ini makan. “Iya,” jawab Rea. “Oh iya, makasih banget ya buat hari ini,” ujar Rea sambil tersenyum manis. “You’re welcome,” sahut Robert. “Udah sana masuk!” Setelah memastikan Rea sudah masuk ke dalam rumah, barulah Robert menjalankan motornya dan pulang. Sampai di rumah, Robert sudah ditunggu oleh Sarah yang belum lama tiba dari luar negeri karena menemani suaminya bisnis. "Kamu dari mana Bet?" tanya Sarah lembut. "Mama nggak istirahat?" tanya Robert. "Mana bisa. Mama kan belum ketemu sama kamu." Robert berjalan menghampiri Sarah, kemudian memeluk Sara dengan erat. "Obet kangen sama Mama," bisik Robert di telinga Sarah. "Mama juga kangen sama kamu Nak," ujar Sarah sambil mengelus-elus punggung putra semata wayangnya itu. Setelah puas saling berpelukan, Sarah menggamit tangan Robert dan mengajaknya duduk di sofa. "Kamu dari mana?" tanya Sarah. "Dari rumah temen." jawab Robert singkat. "Temen? Temen yang mana?" "Papa mana Ma?" tanya Robert mengalihkan pertanyaan Sarah. "Papa ada di kamar," jawab Sarah. "Temen yang mana Bet?" Sarah mengulang pertanyaannya. Walaupun Sarah sering meninggalkan Robert, tetapi dia selalu tahu perkembangan anaknya itu. Dan Robert tidak memiliki teman lain selain Gerry yang sudah dia kenal sejak mereka kecil. Ditambah Calvin, teman di sekolahnya sekarang. "Kamu nggak mau kasih tau Mama? Berarti dia teman spesial buat kamu kan?" selidik Sarah. "Ma, Obet cape. Obet ke kamar dulu ya. Mau mandi, terus tidur." Robert bergegas bangun dari sofa dan berjalan menuju ke kamarnya di lantai atas. "Huft …," desah Robert lega. Dirinya belum siap untuk menyebut nama Rea di rumah. Kalau sampai Sarah tahu, bisa jadi runyam urusannya. Robert mengeluarkan ponsel dari saku jaket dan menghubungi Gerry. "Bro," panggil Robert begitu telepon diangkat Gerry. "Kenapa?" "Jangan pernah sebut nama Rea selama nyokap bokap gue di rumah ya." "Selama ada imbalan tutup mulut, gue sih oke aja," goda Gerry. "Kunyuk lo," gerutu Robert. Gerry terbahak-bahak mendengar omelan Robert. Tanpa Robert meminta pun, dia akan menjaga rahasia sahabatnya itu. "Hidup lo serius amat sih bro! Tenang aja, rahasia lo aman sama gue. Yang mesti elo kasih wejangan itu Aaron, bukan gue." "Thx Ger." Setelah selesai menelepon Gerry, Robert langsung menghubungi Aaron. "Ron," panggil Robert. "Kenapa Bet?" "Jangan pernah bahas nama Rea ya," ujar Robert tanpa basa-basi. "Oke. Siap." "Thanks ya." "Aunty dan Uncle udah pulang ya?" "Hu uh." "Sip lah. Tenang aja Bet, Rea bakalan aman." "Oke."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD