"AKHHH."
Yogi berjalan mendekat ke arah Yumi, dengan matanya yang mengilat. Geraman rendah mengalun dibibirnya dengan erangan rendah, rasa hasrat yang terdengar begitu dalam dan membutuhkan. Kedua mata itu menggelap, nampak kelam menatap Yumi yang masih berbaring di atas sofa tidak sadarkan diri.
Rasa menginginkan, hasrat untuk mendapatkan sesuatu. Yogi rasa ia akan segera kehilangan kesadarannya untuk mencicipi rasa itu, aroma darahnya begitu kuat menarik indra penciumannya, dan membuat hasrat untuk menginginkan darah itu berkobar dengan hebat.
Yogi semakin mendekat ke arah Yumi. Perlahan dengan pasti, Yogi berjongkok memposisikan wajahnya tepat di hadapan curuk leher wanita itu. Dan benar saja aroma itu semakin kuat menariknya untuk mencicipinya. Hasrat ini menggerogotinya dan Yogi merasa kehilangan kendali atas dirinya.
Wajahnya mendekat ke arah leher Hyumi yang tak tertutupi rambutnya. Bibir nya terbuka dan kedua gigi taringnya tumbuh menghiasi bibirnya, bersiap-siap untuk menancapkan giginya di sana, dan mencicipi darahnya dengan cepat. Yogi akan melakukannya dengan cepat tanpa menimbulkan rasa sakit, dia berjanji pada dirinya. Tapi tetap saja tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi jika dia terlalu jatuh pada rasa darah wanita itu. mungkin tidak ada lagi hari esok baginya untuk dapat melindunginya.
"Hoaammm."
Yumi membuka matanya dan mendapati wajah Yogi berada tepat di hadapan wajahnya. Beberapa detik pertama Yumi merasa jika semua ini tidak benar, tidak mungkin Yogi berada di dalam kamarnya dan menunjukan wajahnya tepat di depan wajahnya seperti ini.
Dia terus menatap kedua mata itu, untuk beberapa detik ia hanyut di dalamnya. Kedua mata itu sangat menyenangkan untuk di tatap namun detik selanjutnya ia merasa mimpi ini konyol. Dan detik selanjutnya ia tersadar jika semua ini bukanlah mimpi melainkan kenyataan.
"KYAAAAAAAA~~~"
Yogi terkejut ketika Yumi berteriak tepat di depan wajahnya. Yumi yang terkejut reflek tubuhnya bergerak mundur dengan sekali hentakan. Hingga membuat sofa di ruangannya tergerak untuk terbanting ke belakang.
"Kyaaaaaaaaaaa~"
Hal itu membuat Yogi menahan ujung sisi sofa, dan sukses membuat tubuh Yumi berputar dan bergeser cepat ke sisi Yogi.
KISS!
Entah apa yang harus Yumi ekspresikan dari hal ini, senang atau merasa sedih karena tiba-tiba mencium bibir Yogi begitu saja. Tubuh Yumi yang terdorong ke sisi Yogi membuat bibirnya tiba-tiba menempel tepat di bibir sang pria. Kedua mata Yumi membesar, ia menatap Yogi terkejut. Kedua nya saling bertatapan dengan ekspresi bingung, namun Yumi memiliki ekspresi yang lebih heboh.
Yumi melepaskan ciumannya, lalu tubuhnya berputar dan bangkit terduduk. Tubuhnya membatu, duduk menyampingi Yogi yang berada di sisi kirinya. Masih terduduk di atas lantai di posisi yang sama ketika ia membuka mata.
Matanya memincing ke arah Yogi dengan kesal. Walau sebenarnya hatinya sedang berteriak sekarang. Euphoria itu tak terkesan begitu baik pada ekspresinya, Yumi harus menjaga imagenya di hadapan Yogi. Yumi tak mau pria itu melihatnya, apalagi ia tak suka dengannya. Yumi tak ingin Yogi merasa begitu bangga karena sudah membuatnya begitu terpesona.
Yumi pov.
Kyaaaa~ ciuman pertamaku.
Apa yang dia lakukan, kenapa di berada di sisiku.
Apa barusan dia mau menciumku huaaaaaaa~
"A...apa yang kau lakukan HUH?."teiakku dengan wajah kesal. Apa ekspresiku bagus sekarang. kenapa aku tidak yakin. Dasar wanita bodoh kau harus marah Yumi.
Pria itu bangkit berdiri dengan kedua tangannya yang berada di masukan ke dalam saku celana bahan hitamnya. Matanya menatap ku dari atas hingga bawah, dan aku risih tentang itu. Tanganku menyilang di depan d**a dengan rasa gugup yang menyerangku.
"A...apa.. apa, apa yang kau lihat."
Dia memandangku tanpa mengatakan apapun, hal itu membuatku bertanya-tanya. Apa yang sedang dia pikirkan dengan melihatku seperti itu.
"Aku hanya ingin membangunkanmu, kuliah di mulai jam 9 pagi, jadi cepat lah bersiap."
Apa, dia hanya mau membangunkanku dengan cara sedekat itu. Dia pria waras kan??
Jelas - jelas dia seperti mau menciumku?!!
Kyaaa~ Yumi apa yang kau pikirkan.
"Bersiaplah cepat, kau tahu tubuhmu bau."
Aku terkeju mendengarnyat ketika dia pergi dari hadapanku diam-diam, aku mencoba mencium bau tubuhku sendiri, menghirup aroma bahuku dan rambutku.
Tidak, aku tidak bau, bahkan rambutku masih beraroma strawberry, rasa shampo yang ku kenakan tadi malam. Dia memang hanya ingin menghinaku, betapa menyebalkannya dia.
Dasar pria menyebalkan.
Aku melangkah kan kakiku, mengikuti pria itu yang sudah berjalan duluan mendahuluiku menaiki anak tangga. Aku menatapnya dari belakang, diam-diam tanpa sepengetahuannya aku meninju-ninju dirinya, dengan tinjuan angin yang ku tujukan padanya
"Pria menyebalkan, pria bodoh, pria ice cream. Dasar priaaaaaaa menyebalkan."gumamku tanpa suara, hanya mulutku yang tergerak sesuai kata-kata makian yang ku ungkapkan. Jika dia adalah sebuah boneka beruang, aku pasti sudah memukulnya dengan keras.
Aku langsung menarik tanganku saat dia menghentikan langkahnya, pria itu berbalik dan menatapku. Jangan tanyakan bagaimana ekspresinya, aku rasa wajahnya terpahat hanya dengan 1 ekspresi, datar.
"Kau tidak membangunkan Ayahmu?."tanyanya. Alisku terangkat sebelah, mataku menatap nya aneh. Apa dia sudah tidak waras.
"Kau bercanda, Dad pergi ke Seoul setelah acara pernikahan selesai --ckckck... kau pasti mengigau,"Benarkan dia sangat aneh. Kenapa dia bertanya tentang dad, sudah jelas dia pergi dan pemit sebelum pergi kemarin. "Wah.. kau terlalu lelah ya. Minggir aku mau lewat. Kau menghalangi jalan ku."
Aku melewatinya, yang masih berdiri di tempatnya. Berbelok ke arah kamarku, aku sempat melirik ke arahnya dan dia masih menatapku.
***
Aku merapikan sweater putihku, mengambil sebuah botol parfum dari nakas dan menyemprotkannya di seluruh tubuhku. Aku melihat botol parfumku, sudah tinggal setengah. Aku rasa aku harus segera membelinya.
"Ini karena pria itu, aku harus kehilangan parfumku dengan cepat. Aku tidak mau dikatakan bau olehnya. Tapi aku Wangi ko."gerutu ku sebal.
Aku keluar dari kamarku. Kakiku melangkah ke bawah dan mendapatinya disana, dengan pakaian kasual. Jaket hitam yang menutupi baju putih polos miliknya, dengan jins dan sepatu sneakers berwarna putih. Begitu menawan, boleh aku memeluknya saat ini.
Plak.
Yumi sadarlah.
"Kita akan berangkat bersama."dia menatapku. Sebelah alisku mengenyit menatapnya dengan pandangan aneh. Apa dia baru saja memberikan ku tumpangan. Setelah mengatakan betapa dia tidak suka padaku, dan kini bersikap baik padaku.
"Kau mau berangkat sendiri. Kau tahu dimana lokasi universitasnya?."
Aku tersadar, pertanyaannya membuatku menggelengkan kepalaku dengan cepat, aku tidak mau mengambil resiko tersesat di jalan seperti bocah kehilangan Ibunya.
Lagi pula aku senang pergi dengannya.
"Aku ikut"
***
Dalam perjalanan kami hanya diam tanpa pembicaraan sedikitpun, hingga akhirnya kami berhenti pada sebuah bangunan klasik di sana. Aku mulai membuka pintu mobil di sampingku, dan pergerakan ku terhenti ketika dia berkta sesuatu padaku.
"Ingat, jangan katakan tentang pernikahan kita pada siapapun. Bersikaplah seperti kita tidak saling mengenal."
Aku mendesisi mendengarnya, dasar pria menyebalkan. Apa kau punya pacar huh, sampai-sampai harus menutupi semua ini. Dan anehnya kenapa aku kesal. Aku pasti sudah gila karena aku merasa cemburu.
"Tentu saja siapa juga yang mau mengatakan aku sudah menikah denganmu."
***
Aku melangkahkan kakiku ke sebuah ruangan yang di tunjukan pada salah seorang pegawai ruang Tata usaha di sana, ke sebuah ruang yang akan menjadi kelas untukku. Sesuai dengan petunjuknya aku bergegas untuk pergi ke sana.
Ruang kelas ini cukup ramai, aku memasuki kelas yang mulai ramai dengan para mahasiswa dan mahasiswi yang memenuhi kelas. Beberapa dari mereka melihat ke arahku dengan tampang penasaran, aku tidak peduli dan bersikap acuh.
Tidak terlalu ingin untuk bersosialisasi dengan mereka, dan bersikap sok akrab. Aku bukan tipe orang seperti itu. Aku menduduki diriku di salah satu kursi di sana. Bangku panjangyhang bisa di duduki dua sampai tiga orang.
Buk>>
Bangkuku sedikit bergoyang, aku menoleh dan mendapati seorang wanita yang menduduki dirinya tepat di samping ku. Kedua telinganya tersumbat dengan sebuah earphone, dan matanya yang terpaku pada sebuah n****+ yang berada di tangannya.
Mataku melebar, wanita ini...
Wanita yang benar-benar ku kenal, wanita yang.... tunggu
Seharusnya dia tidak di sini. Aku meraih earphonenya, menariknya dengan kasar, hingga membuatnya menoleh padaku.
"Hei Marin bagaimana bisa kau di sini?!!."Protesku, matanya terkejut sama seperti ekspresiku tadi ketika melihatnya di sini.
"YUMIIIIIII. AKU MERINPPFFF----"Aku menutup mulutnya dengan sebelah telapak tanganku. Kenapa dia tidak juga berubah, kelas ini begitu ramai dan dia berteriak seolah menemukan seorang pencuri di dalam kelas.
"Jangan berteriak bodoh."protesku, yang memberikan tatapan membunuh padanya.
Matanya melengkung membentuk bukan sabit. Dia tersenyum padaku. Ketika aku melepaskan tanganku dia menunjukan cengirannya.
"Yumi, bagaimana bisa kau ada di sini? Bukannya kau ada di California."cerocosnya padaku.
"Eunghh... ada urusan di sini. Jadi aku pindah kemari."ucapku berbohong. Tidak mungkin ku katakan aku pergi karena aku harus menikah. Dia pasti akan mengatakannya pada dunia. Kehebohan adalah diri Marin, itu melekat padanya seperti daging.
"Kau sendiri, seingatku kau pindah ke Chicago?!! Sedang apa kau di sini?."
"Hehe.. Kakeku meninggal, jadi kami semua tinggal bersama nenek di sini, karena nenek tidak mau pindah ke Chicago."
Aku menatap sendu ke arahnya, begitu prihatin. Aku ingat dulu, kakeknya suka mengatakan jika aku mirip Selena Gomez itulah kenapa aku suka datang ke rumahnya dan mendengar dia mengatakan senyumanku cantik.
"Maafkan aku."gumamku, merasa tidak enak.
"Tidak apa-apa jangan begitu.. ckck."Aku memalingkan wajahku ke arah lain.
"Aku akan mengajakmu berkeliling nanti."janjinya. aku kembali memandangnya dengan cepat.
"Benarkah?."tanyaku bersemangat, aku senang setidaknya aku tahu tempat ini dari setiap sudut Universitas dibantu oleh Marin, karena Yogi tidak mungkin melakukannya. Tidak akan. Bahkan mungkin jika aku menangis tersedu-sedu dia tidak akan pernah mau melakukannya.
"Tentu saja. Eoh dosen sudah datang." Ucapnya dan membuat kami terdiam dan menatap dosen yang berada di hadapan kami sekarang.
***
Setelah berkeliling, Marin mengajakku ke Cafeteria. Kami menduduki tempat tepat di tengah, mataku mengedar ke segala arah, melihat bagaimana situasi dan juga sudut dari setiap bangunan Cafeteria ini dengan takjub. Begitu bersih dan tertata, hingga akhirnya mataku berhenti pada sebuah bangku di ujung samping jendela. Aku terkejut melihatnya, Yogi ada di sana bersama dengan beberapa teman prianya.
Ketika dia menoleh padaku, aku langsung memalingkan wajahku. Namun sialnya aku terlalu penasaran, aku kembali melihatnya dan dia tidak menatapku lagi.
"Kau menyukai Yogi."Ucapan Marin membuatku terkejut, spontan aku menoleh padanya dan dia senang menatapku dengan wajah menyebalkan.
"Tidak. Siapa juga yang menyukainya. Yang benar saja."Ucapku, seraya menggelengkan kepalaku cepat. membantah hal tersebut. Bagaimana bisa dia main mengatakan hal itu begitu saja.
"Bernarkah!."lanjutnya Ooh yang benar saja Marin.
"Lagi pula kenapa aku harus menyukainya, dia.. dia bukan tipeku."Marin memalingkan wajahnya dariku, kembali berkutat dengan note miliknya yang sejak tadi menyita perhatiannya.
"Sebenarnya kalau kau menyukainya, itu tidak masalah. Toh mereka memang mahasiswa yang di idolakan di sini. Tampan, kaya, siapa yang tidak suka pada mereka."cerocosnya padaku. Diam-diam hal itu membuatku jadi penasaran.
"Aku... aku salah satunya."batinku.
"Tapi aku tidak."ucapku lagi. Dia menatapku lekat lalu kemudian bola matanya berputar malas.
"Terserah, tapi nasihatku. Tidak perlu buang-buang waktu untuk menyukai mereka."Dahiku menyerngit, perkataannya selalu membuatku penasaran, atau aku yang terlalu penasaran denga Yogi.
"Maksudmu?."tanyaku bingung, dengan sesekali mencuri pandang ke arah Yogi.
"Kau tahu, mereka berempat benar-benar digilai di sini. Punya banyak penggemar setia, dari gadis baik-baik hingga play girl, dari gadis cantik hingga buruk rupa. Tapi, tidak ada kabar dari mereka yang memiliki kekasih tetap, khususnya Yogi."
"Yogi."gumamku.
"Ya. Teo, June, Bobby, mereka pernah menggandeng seorang wanita, tapi Yogi... Tidak ada kabar tentang itu, sama sekali tidak. Seakan tidak ada wanita yang berhasil menjadi perhatiannya. Seperti tidak ada minat di sana."
Baguslah, dia memang pria idaman, tapi dia tidak gay kan. Bahkan dia membuat perjanjian bodoh dengan tidak adanya kontak fisik.
Jangan-jangan...
Spontan kedua telapak tanganku menutup bibirku. Aku bahkan terkejut dengan pemikiran ku sendiri."Apa dia gay."gumamku tanpa sadar.
"Wah.. kau berpikir begitu! Kita satu jalan ya. Aku juga sempat berpikir begitu, dia begitu cantik dan tampan sekaligus, tidak ada wanita yang berada di dekatnya. Isu itu menjadi kuat"ucap Marin terlihat begitu yakin. Dan aku rasa itu benar.
***
Aku berjalan memasuki rumahku dengan Yogi, sepulang kuliah kami memasuki mobil dengan terpisah, seakan seperti seorang selebriti yang sedang berkencan secara sembunyi-sembunyi. Aku menghentikan langkahku, berbalik menghadap pria di hadapan ku saat ini dengan mata menyipit.
Begitu banyak pikiran yang bergelayut di dalam isi otakku, membuatku frustasi. Dan aku penasaran, sangat-sangat penasaran. Aku rasa aku akan gila jika membiarkan hal ini terjadi, dan saat ini, aku akan menanyakan langsung padanya.
"Yogi, boleh aku bertanya padamu?."Tanyaku padanya.
"Mau tanya apa?."Dia menatapku dan hal itu sukses membuat jantungku berdebar.
Aku terdiam menatapnya, ada rasa tidak enak dalam mengatakannya, tapi aku begitu frustasi memikirkannya sendirian.
"Apa kau gay?."
Dia terdiam. Apa aku salah bicara. Tentu saja salah. Tapi aku penasaran. Tak lama mendengus, matanya menatapku datar.
"Apa kau percaya pada kata-kata temanmu?!! Temanmu pasti sudah meracuni otakmu dengan segala penjelasannya yang tidak masuk di akal,"Dia mengalihkan wajahnya sebelum kembali menatapku. "Tahu apa dia tentangku."Aku menyerngit, menatapnya curiga.
"Kau menguping ya!."tuduhku cepat.
"Jarak tempatku jauh kalau kau ingat."ucapnya. Dan itu benar.
"Lalu bagimana kau tahu, seolah kau punya Indra keenam dalam membaca setiap pikiran seseorang."tuduhku. Kelewat berlebihan.
"Bisa jadi."ucapannya membuatku terkejut.
"Apa!."aku menatapnya terkejut.
Dia berjalan mendekat ke arahku, lantas aku berjalan mundur, hingga langkahku terhenti saat merasakan bahuku yang menubruk dinding yang kini sudah berada tepat di belakangku.
Dia mengunciku, mengurungku dengan kedua tangannya. Menatap mataku lekat dan sukses membuat jantungku berdebar dengan kencang.
Aku menelan salivaku kuat, mataku membalas tatapan tajamnya yang terlihat begitu mempesona.
"Apa yang kau pikirkan tentang ku? Apa aku terlihat seperti yang temanmu katakan tadi."
Gugup.
Aku benar-benar gugup saat ini.
Pria ini membuatku sesak nafas. Aku menatapnya lekat, pompaan jantungku terasa sangat menggila di dalam sana.
Tidak lucu jika aku mati karena serangan Cinta. Itu pasti akan menjadi trending topik dunia. Sesekali mataku memandang ke arah bibirnya yang terlihat sangat menggoda.
"Tidak... Tidak boleh... tidak, Yumi."batinku frustasi.
Tanganku terkepal. Menahan hasratku untuk menempelkan bibirku di sana.
Deg!
Deg!
Deg!
Dapat dengan jelas, aku mendengar suara debaran jantungku saat ini. Apa dia mendengarnya. Aku rasa aku akan mati sekarang.
"AKHHHHHH"teriakku lalu mendorong tubuhnya menjauh. Aku berlari dengan sekuat tenaga menuju kamarku.
BRAK!
Aku membanting pintu kamarku denag. dobrakan yang kencang. Membanting tubuhku di atas kasur dengan posisi tengkurap, menutup kepalaku dengan satu bantal yang menindih belakang kepalaku dan berteriak di sana.
"AKHHHH..... WANITA BODOH..... KAU HAMPIR SAJA MENJATUHKAN HARGA DIRIMU DI SANA --MEMALUKAN ..."jeritku
"HUAAAAAAAAAAA....."