Z-1

2054 Words
“Ini hari yang indah, untuk mati dan menjadi zombie, atau tetap hidup dan diburu zombie.” Pagi ini, seperti kemarin, matahari bersinar cerah. Sinarnya bahkan menerobos tanpa malu-malu melalui kaca jendela. Seorang lelaki yang terbaring di lantai, dekat ranjang, kepalanya bahkan sudah masuk separuh ke kolong kasur. Lelaki dengan rambut ikal dan berantakan tersebut, hanya memakai celana jeans tanpa mengenakan baju. Dia tidak sedang memamerkan otot perut atau semacamnya. Semalam, dia pingsan setelah mengalami demam tinggi, hampir 44℃ mungkin. Suatu yang mustahil memang, tetapi benar-benar terjadi. Namun, lebih mustahilnya, mendekati keajaiban, lelaki dengan rusuk yang terlihat jelas, saking kurusnya dia, berhasil selamat. Dia perlahan-lahan membuka mata, sedikit membeturkan kepala sebelum akhirnya berhasil lolos dan bangun. Tenaganya seperti terserap habis gara-gara semalam sehingga berteriak pun, sepertinya malas untuk dilakukan. Benturan yang cukup keras di kepala, tetapi mulutnya tidak mengaduh. Tangannya hanya mengusap-usap kepalanya yang terbentur beberapa kali. Gorden kamarnya hanya sedikit dibuka, selebihnya tertutup, dengan berbagai tumpukan kardus—sampah, yang tidak biasa, lebih tepatnya malas, oleh seorang yang tidak memasak sepertinya. Dia bukan seseorang yang bersih, sehingga tumpukan sampah di kamar, tidak akan membuatnya risi, termasuk bau tidak sedap yang anehnya, tidak mengundang lalat atau serangga kecil menjijikkan lainnya pagi ini. Para serangga itu seolah telah pergi, atau mungkin, bukan waktunya untuk beroperasi di pagi hari. Lelaki berambut ikal dengan mata cokelat itu, berangsur-angsur bisa merasakan lagi kesadaran secara penuh. Dia berjalan mengambil kaos yang terletak di kasur. Cukup aneh, pikirnya, karena tidak terdengar suara apapun, selain suara jantungnya yang terdetak tidak normal. Cukup cepat, mengingat dia baru saja bangun, bukan berlari atau berolahraga berat. Semalam, dia mengalami demam setelah terkena hujan, hanya sedikit, kecipratan, tetapi efeknya luar biasa. Dia seperti akan mati saja karena rasa sakit yang luar biasa, sehingga membuatnya pingsan selama hampir enam jam. Namun, beruntung, dia berhasil melewati krisis, demam tingginya sudah menghilang, badannya kini terasa cukup sehat. Dia ingin pergi menyibak gorden, ingin merasakan sinar matahari, tetapi perutnya berbunyi saking keroncongan, menagih untuk diisi. Mau tidak mau, dia memilih untuk keluar dari kamar. Pintu kamar terbuka perlahan, tidak ada suara keras, hanya pelan, seperti biasa, tidak ingin menggangu pemilik kamar depan yang sering protes apabila lelaki itu membuka pintu dengan keras atau membuat suara yang berisik. Pemilik kamar di depan kamarnya, adalah adiknya sendiri, seorang gadis belia yang sangat cantik dan berbeda darinya, baik dari kepribadian ataupun penampilan. Jika tidak salah mengingat, adiknya pernah berkata, kalau dia adalah seorang beauty blogger, serta pembuat tutorial kecantikan di media sosial, cukup populer dengan memiliki jutaan followers hanya dalam hitungan bulan. Itu bukan sesuatu yang luar biasa, mengingat, betapa cantik dan populer adiknya dulu, bahkan sebelum menjadi seperti sekarang. John, nama lelaki tinggi-kurus itu. Seorang buruh pabrik yang bekerja setiap hari untuk bisa tetap hidup dan bertahan dari kejamnya dunia yang selalu menaikkan harga tinggi bagi semua hal yang dibutuhkan untuk tetap hidup. Kota Terius, tempat di mana dia tinggal, memiliki UMR yang cukup tinggi dikarenakan dekat dengan kota industri dan ibu kota negara. Letak geografis yang cukup bagus, tetapi biaya hidup yang dibutuhkan untuk hal itu pun tidak murah. Bahkan, pernah John berpikir, untuk pergi ke kota kelahirannya saja, Phoenix, menetap di sana sampai kematian tiba. Sayangnya, adiknya, Anie, tidak akan pernah setuju. Mereka selalu bertentangan selama ini. Mustahil, Anie akan setuju. Terlebih, rumah yang mereka tempati adalah satu-satunya peninggalan dari orang tua mereka. Meskipun kini, mereka telah menjadi yatim-piatu, hal itu tidak membuat hubungan di antara mereka menjadi dekat. Sejak bertahun-tahun lalu, setelah kematian orang tuanya, atau mungkin lebih awal dari itu, hubungan mereka sudah menjadi dua orang asing. Mereka memang terikat oleh darah atas nama keluarga, tetapi hidup seperti orang asing di tempat yang sama. John pergi menuju kulkas, mengambil sekaleng s**u lantas meminumnya, tidak ada makanan yang tersisa, selain, sebungkus makanan kaleng yang harus dihangat sebelum dimakan atau mie instan kemasan maupun gelasan yang harus diseduh dengan air hangat untuk dinikmati. John sedang malas, sehingga sekaleng s**u, cukup untuk mengganjal perutnya yang keroncongan. Dia berencana untuk pergi ke luar, membeli makanan di sana dan bersiap pergi bekerja. John menghabiskan s**u kalengnya, lantas pergi ke kamar, berganti baju. Tanpa mencuci muka, dia keluar rumah, hendak pergi ke pabrik untuk bekerja. Pupil mata John seperti akan meloncat keluar saat melihat pemandangan di depan rumahnya. Jejeran rumah tetangganya, kini sudah berupa puing-puing, seolah terbakar separuh. Juga, ada banyak kerusakan di mana-mana, seolah perang baru saja terjadi. Beberapa orang tergeletak, dengan mengerikan. John membeku di tempat, tidak berani untuk mendekat. Kepulan asap masih memenuhi sekitar, menghalangi pemandangan sebagian, John harus menyipitkan mata untuk mengalami sekeliling dengan tepat dan cepat. Dia menoleh ke samping kiri, ke rumah tetangganya, Nenek Marta. Samar-samar, dia melihat wanita tua itu, berdiri membelakanginya, tidak bergerak sama sekali. Mungkin dia sama shocknya sepertiku, pikir John dalam hati. John memberanikan diri untuk melangkah lebih dekat, dari perkarangan rumahnya, terhalang pagar kecil, dia memanggil nenek Marta dengan cukup keras, “Nenak Marta!” John menunggu beberapa saat, tidak ada jawaban, hanya pergerakan kecil. Dia mendengarku, sorak John dalam hati, merasa happy. “Nenek Marta, apa yang terjadi?” tanyanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Apa ada kerusukan, tawuran atau penyerangan pemberontak atau semacamnya?” Nenek Marta yang sejak tadi diam, bergerak pelan. Dia memutar kepalanya, membuat John tersentak kaget. Bola mata nenek Marta bergelantung sebelah, nyaris putus. Selanjutnya, dia mengerang dengan gigi dan mulut penuh dengan darah dan sisa daging, mungkin. John tidak bisa memprediksi dengan benar karena berdiri cukup jauh darinya. “Nenek Marta, ada apa dengan anda?” John bertanya sopan. Dia menelan ludah saat nenek Marta tidak menjawab, hanya berjalan mendekatinya dengan tangan penuh cakar, bergerak-gerak seolah siap mencabik-cabik daging hingga tulan-tulangnya. John berinisiatif untuk mundur, berjalan pergi, tetapi nenek Marta berjalan cepat menuju ke arahnya, membuatnya segera berlari. Dari sisi lain, muncul tetangganya yang lain, paman Frans, datang dengan ganas. Lelaki yang berusia sekitar empat puluhan itu, datang dengan kaki sebelah kiri setengah diseret dan tangan kanan yang patah. Hebatnya, dia terus bergerak, tanpa merintih kesakitan, tetapi mengerang dan air liurnya terus menetes dengan dua gigi taring yang lebih panjang, seolah dia bukan manusia. John menjadi sangat ketakutan. Dia semakin terbirit-b***t, masuk ke rumahnya dengan segera. Sayang, paman Frans membuatnya terpental setelah pintu yang nyaris dikunci itu, didorak paksa. Tubuh John terpental beberapa meter, dia tidak sempat memeriksa tubuhnya, insting bertahan hidupnya memaksanya terus bergerak. Paman Frans terus mendekatinya dengan agresif, meskipun pergerakannya cukup lamban, mungkin karena kakinya. John terus menghindar, area rumah yang berantakan dan terhalang meja dan kursi serta kardus-kardus, membuat Frans kesulitan menangkap John. Semua menjadi semakin menegangkan bagi John ketika nenek Marta juga bergabung. John menjadi sangat panik dan mencoba mengetuk pintu kamar Anie, meminta pertolongan. Sayangnya, dia sudah dikejar oleh dua orang, sebelum Anie membukakan pintu, membuatnya harus berlari lagi, menghindari serangan. John berhasil menghalau paman Frans, memberinya tendangan hingga lelaki setengah baya itu, yang kini bukan lagi manusia, tersungkur. John masih terus berlari, mengelilingi ruang tamu, sampai dia merasa lelah. Dia berinisiatif berlari lagi ke dalam rumah, belum juga sampai, Anie membuka pintu kamarnya dengan mendadak, membuat John nyaris terbentur. Dia berhasil menghindar, tetapi tidak dengan nenek Marta. Wanita tua itu terpental mundur, John tidak menyia-nyiakan kesempatan, segera masuk ke kamar Anie. Anie yang kebingungan menjadi sebal karena John bermain-main dengannya. “Apa ini?” Anie bertanya sebal. “Cepat tutup pintunya. Mereka ingin memakanku,” ucap John dengan napas terengah-engah karena berlari sejak tadi. Anie mengerutkan kening, dia tidak tahu yang terjadi, tetapi dia menuruti permintaan John. Belum juga pintunya ditutup, Anie mendapatkan serangan dari nenek Marta. Beruntung, Anie bisa menghindar. Dia tersentak kaget melihat penampilan nenek Marta. Akan tetapi, dia bisa mengendalikan diri untuk tetap tenang dan tidak panik. Anie mengambil benda terdekat di kamarnya, sebuah tongsis dan menghantamkannya ke kepala nenek Marta beberapa kali, membuat kepala nenek malang itu pecah dan menyipratkan darah ke mana-mana. Anie menendang mayat nenek Marta setelah perempuan itu tidak bergerak lagi. Pintunya tidak bisa ditutup, terhalang mayat nenek Marta. Belum juga berhasil disingkirkan, paman Frans datang. Anie segera bergerak mundur, mengambil busur dan panah tajamnya, menyerang paman Frans tepat di kepala. Lelaki itu pun jatuh dan tidak bergerak lagi. Anie menghela napas panjang lalu menoleh ke John, “bantu aku mengeluarkan mereka,” suruhnya. John hanya mengangguk kecil, lalu berdiri dan membantu Anie menyingkirkan dua mayat, hanya menyimpannya di ruang tamu, tidak sampai keluar. Anie bergerak perlahan ke depan, memata-matai dari jendela lalu menarik John untuk masuk ke kamarnya. Dia mengunci kamarnya lalu menyeka percikan darah di tubuhnya. Perempuan dengan celana jeans dan tank top hitam itu kemudian duduk di kasurnya, mencoba untuk mengotak-atik ponselnya. “Sepertinya, tidak hanya nenek Marta dan paman Frans saja yang berubah, semua orang sudah berubah.” Anie menunjukkan video dari kabar terbaru di ponselnya. “Lalu, apa yang harus kita lakukan? Apa itu? Mengapa mereka ingin memakanku tadi?” John terlihat shock. Wajahnya pucat basi dan bibirnya kering, sudah begitu, perutnya keroncongan. Anie menghela napas panjang, mengambil minuman kotak dari kardus persediaannya dan memberikannya pada John. “Minumlah, kamu mungkin akan mati karena dehidrasi, bukan digigit zombie,” ujar Anie. John mengerutkan kening, “Zombie?” Anie mengangguk, “kamu tidak pernah membaca buku atau menonton film? Sejak dulu, film dan cerita tentang zombie, sangat banyak dan terkenal di dunia. Aku tidak menyangka, kita akan mengalaminya secara nyata. Padahal, dulu, aku menganggap hal itu sangat konyol.” Dia terkekeh mengejek. “Dunia memang semakin tua saja kan? Kiamat sepertinya akan segera datang, tetapi melihat internet masih berjalan, kota belum sepenuhnya dikuasai atau belum.” Anie beropini. “Apa yang harus kita lakukan?” John bertanya lagi, bingung dan takut, otaknya tidak bisa berpikir jernih. Anie menggeleng pelan, “Aku tidak tahu. Namun, satu hal yang pasti, kita tidak bisa di sini.” “Kenapa? Di luar sedang tidak aman,” sanggah John tidak setuju. “Zombie akan datang dan menyerang. Kamu akan mati jika terus di sini. Satu-satunya pilihan, kita harus terus bergerak, John. Berhentilah merengek, kamu lelaki bukan?” John terdiam. Dia memang seorang lelaki, tetapi tidak membuatnya tidak boleh takut, terlebih di situasi mengerikan seperti sekarang ini. “Ada pengumuman dari presiden.” Anie menunjukkan video siaran langsung dari ponselnya. “Bagi warga yang belum terinfeksi, silakan tinggalkan kota Terius dan pergi ke kota Fier. Dalam waktu sebulan, jika serangan zombie belum bisa dikendalikan, kota Terius dan sekitarnya, akan dihancurkan paksa.” Niel Wrong mengakhiri siarannya bersamaan dengan internet yang terputus, sepertinya sumber listrik di kota telah rusak. Sebentar lagi, sumber lainnya akan terputus, seperti air keran dan lainnya. “Kita harus pergi, John.” Anie membulatkan tekad. Dia segera berdiri, mendekati lemari, mengganti pakaiannya dan bersiap-siap untuk pergi, seolah tidak perlu menunggu jawaban dari John lebih dulu. “Apa yang harus dibawa?” John bertanya. “Beberapa bahan makanan yang awet, seperti makanan kaleng dan air minum. Jangan membawa pakaian, John. Gunakan pakaian yang akan kamu gunakan selamanya, kita tidak akan ada waktu untuk mandi dan berganti baju seperti sebelumnya. Juga, bawalah senjata yang bisa menebas kepala Zombie dalam sekejap.” Anie memberikan saran. “Senjata?” John kebingungan. “Bukankah kamu memilikinya?” “Samurai?” Anie mengangguk. “Kita akan mencari pistol atau senjata canggih lainnya di luar nanti, sekarang ambil apapun yang bisa kamu gunakan untuk membunuh Zombie. Pilihan kita hanya dua sekarang, dibunuh atau membunuh.” Anie terlihat sangat serius. John menelan ludah, tangannya masih agak gemetar, tetapi keberaniannya sedikit muncul karena Anie terlihat tenang dan bisa menguasai situasi. “John, pergilah ke kamarmu dan bersiap-siaplah. Kita akan pergi sebentar lagi,” suruh Anie. John hanya mengangguk, tetapi tidak beranjak. Anie mengerti, dia membawa busur dan panahnya, membuka pintu kamarnya dan memeriksa keadaan sekitarnya. “Aman, pergilah. Kembalilah dalam lima menit ke sini. Kita akan mengatur strategi dan mencari jalan yang aman untuk pergi.” John terlihat masih takut. Anie mendekati kakaknya. “John,” panggilnya pelan. John mendongak menatap Anie yang terlihat serius dan lembut dalam waktu bersamaan, “Kita akan bertahan hidup. Aku janji.” John mengepalkan tangan, merasa tidak berguna karena dalam situasi berbahaya, justru adik perempuannya, yang melindunginya, bukan sebaliknya. “Aku tahu,” katanya lalu pergi ke kamarnya, bersiap untuk pergi. Mereka akan meninggalkan rumah yang bertahun-tahun mereka tempati. Tidak akan ada lagi rumah bagi mereka mulai saat ini. Pertarungan hidup dan mati, baru saja dimulai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD