Aku menutup telingaku dengan bantal. Aku mengerang kesal mendengar nada dering hand phoneku yang terus berbunyi itu. Aku yakin mentaripun belum menampakkan dirinya. Tapi kenapa sudah ada yang mengusik hidupku sepagi ini.
Aku tak tahan lagi. Aku meraih handphoneku kemudian mematikannya tanpa sedikitpun menoleh ke layar smartphoneku itu.
"Mawar bangun, Nak! Udah jam 5.30."
"Mawar! Mawar"
"Tok tok tok tok"
Suara itu terdengar dari depan kamarku. Tentu saja itu pasti suara Ibu.
"Iya, Bu..iya Mawar udah mau bangun." dustaku.
Aku kembali menarik selimut hingga sampai leherku dan kembali terlelap. Hhh...aku yakin Ibu percaya jika aku sudah akan bangun. Buktinya, sudah tak terdengar lagi suara Ibu.
Mimpiku terputus ketika aku merasa sesak dan sulit bernapas. Seingatku aku tak mempunyai riwayat penyakit sesak napas. Aku tersadar dari alam bawah sadarku.
'Plakkk...'
Aku memukul keras sebuah tangan yang menekan hidungku sehingga aku tak bisa bernapas. Masih dengan mata terpejam. Karena rasanya aku masih sangat mengantuk.
Terdengar suara kekehan kecil yang ku kenali ketika aku meronta ingin melepaskan tangan asing di hidungku. Bisma? Pikirku.
Perlahan aku membuka mataku. Dan langsung saya aku menggembungkan pipiku sebelum akhirnya berteriak...
"Lepasin!!!"
Akhirnya dia melepaskan hidungku.
Dia kembali tertawa. Membuatku semakin kesal dibuatnya. Tapi, buat apa dia disini?
Aku bangkit untuk duduk dan menghadapnya. "Ngapain kamu disini?" tanyaku dengan suara khas orang mengantuk.
Dia tersenyum sembari duduk di tepi tempat tidurku.
"Bangunin kamu." jawabnya enteng.
"Kan aku bilang telepon aja! Kalau aku nggak bangun kamu ke kantor duluan aja! Aku bisa ke kampus sendiri." kesalku.
"Dengan cara apa? Nyetir mobil sendiri?" Bisma.
Aku mengangguk. Tentu saja. Aku juga punya mobil meski tak semewah milik orang itu.
"Enggak!" larang Bisma cepat.
Aku mengerutkan alisku. Kenapa? Selama ini aku ke kampus naik mobil sendirian.
"Why?" tanyaku dengan nada protes.
"Sudahlah, lebih baik sekarang kamu mandi! Aku tunggu di ruang makan." Bisma.
Aku melirik jam dinding kamarku.
"Sudah hampir jam tujuh Bis, bukannya kamu ada rapat jam delapan?" tanyaku.
"Makanya cepat bangun dan mandi!" pria menyebalkan itu kini malah menarik tanganku untuk segera berdiri.
"Males, Bisma....aku bolos jam pertama aja deh. Udah sana kamu pergi nanti telat!" aku berontak dari pria itu.
Namun pria itu tak mau kalah dan segera menggendongku dan memasukkanku ke kamar mandi.
"Mau mandi sendiri atau aku mandiin?" Bisma.
Aku menggeleng cepat. "A..aku bisa sendiri. Sana keluar!" usirku.
Bisma segera keluar dan menutup pintu kamar mandiku perlahan.
*
Aku menghela napas, meredam kekesalanku melihat pria yang tengah berbincang dengan kedua orang tuaku di meja makan. Bisma. Aku masih kesal dengan kegilaannya pagi tadi yang mengusik tidur nyenyakku.
"Mawar, buruan kesini! Sudah jam tujuh lebih nanti Nak Bisma telat rapatnya."ujar Ibuku.
"Iya, Ibu." Balasku dan segera mempercepat langkahku.
Aku duduk di samping Bisma. Dia melirikku sekilas kemudian kembali menyantap makanannya.
"Katanya udah mau telat, ayo langsung berangkat aja!" ajakku.
"Makan dulu!" suruh Bisma lembut.
"Nanti kamu telat rapatnya. Aku bisa makan di kampus kok." ujarku.
"Kapan? Paling nanti sampai kampus kamu juga nggak sempat sarapan karena udah masuk. Udahlah, makan dulu aja!" Bisma.
Aku menatapnya kesal kemudian mengambil nasi dan menaruhnya di piring yang ada tepat di hadapanku.
"Nak Bisma niatnya baik, Mawar. Dia bahkan mau nungguin kamu yang leletnya minta ampun. Jadi nurut aja sama dia!" sambung Ayah.
Aku menunduk.
"Iya, Ayah." ucapku patuh.
Aku melirik Bisma. Namun pria itu masih menanggapinya dengan santai. Kenapa hatiku menjadi tak karuan rasanya? Ada sesuatu yang membuatku nyaman melihat pria itu.
Lamunanku dibuyarkan oleh suara serak Bisma.
"Buruan di makan!"
Aku mengejapkan mataku berkali-kali sebelum kembali menyantap makanan di hadapanku.
*
Waktu menunjukkan pukul 08.05. Bisma menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang kampusku.
"Nggak usah lari-lari! Minta maaf aja sama dosennya kalau Beliau marah. Baru 5 menit juga." ujar Bisma sembari tersenyum menenangkan. Aku menatap pria itu. Ada rasa bersalah yang hadir di hatiku. Gara-gara aku, dia terlambat meeting.
Dan dia...masih sempat-sempatnya dia menasihatiku seperti itu, dengan ekspresi seperti itu, seakan tak ada hal buruk yang akan terjadi padanya.
"Kenapa?" tanya Bisma.
Aku menggeleng kemudian segera turun dari mobil mewah Bisma.
Baru beberapa langkah aku pergi, aku kembali berbalik dan berlari ke arah mobil Bisma. Bisma menatapku sembari menyeritkan alisnya.
"Ada yang tertinggal?" tanyanya. Aku menggeleng.
"Makasih." ujarku sembari tersenyum
Bisma memlasa senyumanku.
"Jangan lewatkan makan siangmu! Aku akan menjemputmu nanti sore." ujar Bisma.
Aku mengangguk kemudian berlari ke kelas. Tak lama kemudian terdengar suara mobil yang melaju cepat meninggalkan area kampus. Aku yakin itu mobil Bisma.
Hari demi hari berlalu. Hubunganku dan Bisma semakin membaik. Okay. Aku sudah menerimanya sebagai calon tunanganku. Sepertinya, tak akan sulit bagiku untuk mencintainya.
"Bis.." panggilku. Bisma menoleh ke arahku sekilas.
"Aku mau beli buku buat referensi. Kamu mau nemenin nggak?" tanyaku.
Bisma mengangguk sembari tersenyum. "Okey. Aku akan berhenti di toko buku terdekat." Bisma.
Saat ini kami berada di mobil Bisma. Bisma baru saja menjemputku pulang kuliah. Dia selalu datang tepat waktu seolah tak ingin aku menunggu. Lima menit kemudian Bisma memberhentikan mobilnya di depan sebuah toko buku.
Aku segera turun dari mobil, disusul Bisma. Bisma menggandeng tanganku memasuki toko buku. Awalnya aku sempat tersentak dan menatap bingung ke arah tangan Bisma. Namun detik berikutnya aku berusaha bersikap biasa saja.
Sudah hampir 30 menit aku berkeliling. Di tanganku sudah ada satu buku yang akan ku beli. Namun mataku masih menari kesana kemari mencari buku lain yang ku butuhkan.
"Masih lama?" tanya Bisma.
"Entahlah. Mungkin sebentar lagi." balasku.
Bisma mengangguk kemudian kembali mengikutiku. Dia tampak sabar. Tak memprotes sedikitpun meski aku tahu, dia pasti sangat kelelahan.
"Bis..." panggilku setelah beberapa saat.
Bisma menoleh.
"Udah kok. Yuk!" ajakku.
Bisma mengangguk kemudian mengajakku ke kasir.
Setelah membayar buku yang ku beli, kami kembali ke mobil Bisma. Hari mulai petang. Namun aku masih dapat melihat jelas wajah pria di sampingku.
"Ada apa?" tanya Bisma membuyarkan lamunanku.
"Enggak.." dustaku segera mengalihkan pandanganku.
Apa Bisma tau jika aku baru saja memandanginya? Aduh...malu sekali rasanya. Bisma terkekeh kecil. Apanya yang lucu??
"Bis jangan suka ketawa-ketawa gitu deh. Kesannya tu ngejek tau nggak?" kesalku.
"Iya-iya maaf. Kan aku nggak maksud gitu." ujar Bisma.
Tak lama kemudian kami sampai di rumahku.
"Ayo, Bis masuk!" ajakku.
Bisma mengangguk kemudian turun dari mobilnya dan mengekoriku.
"Eh..sudah pulang? Nak Bisma sekalian makan disini saja ya! Udah malam juga nanti telat makannya." ujar Ibu menyambut kami di ruang tamu.
Bisma menatapku seolah meminta persetujuan. Aku mengangguk.
"Iya, Tante." jawab Bisma pada akhirnya. Kami bertiga berjalan ke arah ruang makan.
Mataku menyipit melihat seseorang yang duduk di samping Ayah. Dia......
Aish...aku sangat merindukannya.
"Hay beb!" sapanya dengan senyuman lebar.
Aku berlari ke arahnya dan segera mengalungkan tanganku ke lehernya.
Dia berdiri dan memutar tubuhnya agar dapat membalas pelukanku.
"Pipimu makin tembem aja." ejeknya.
"Nggak usah bikin kesel! Aku lagi kangen." ujarku membuatnya terkekeh.
Dari ujung mataku, aku melihat Bisma yang masih mematung di perbatasan ruang tamu dan ruang makan. Ekspresinya dingin. Menatapku tanpa berkedip.
Aku segera melepaskan pelukanku dan beralih menatap Bisma. Pria yang baru saja ku peluk mengikuti arah pandanganku.
"Siapa dia?" tanyanya dengan nada tak suka.
"Nak Bisma, ayo duduk!" suruh ibu.
Bisma berjalan ke arahku kemudian duduk di bangku sampingku. Akupun ikut duduk dan menatapnya antusias, tak sabar memulai ceritaku.
"Nak Bisma, kenalkan, dia Elang, kakak Mawar yang sejak tiga tahun ini kuliah di Thailand." ucap Ayah memperkenalkan Kak Elang
Aku menatap kesal ke Ayah. Aku bahkan tak sabar memulai ceritaku dan memperkenalkan Kak Elang pada Bisma. Tapi Ayah malah mendahuluiku.
Ibu terkekeh melihat ekspresiku kini.
"Ayah...Ayah tahu kan, Mawar selalu ingin memperkenalkan Elang ke teman-temannya. Kenapa Ayah malah mendahuluinya sih?" canda Ibu. Aku mengangguk setuju.
"Ayah cuma tidak mau Nak Bisma salah sangka." Ayah
"Oh..tidak kok, Om. Tidak apa." Bisma sembari tersenyum.
"Bisma? Calon tunangan Mawar dong?" kaget kak Elang.
Aku menoleh ke arah kak Elang.
"Iya. Dia Bisma Renandi, anak Om Rio dan Tante Kamila, calon tunangan adik kamu." jawab Ayah
Kak Elang menyalami Bisma. Tangan mereka bertemu tepat di depanku.
"Salam kenal. Tolong jaga dia ya! Dia memang sedikit ceroboh dan mengesalkan, aduh..." keluh kak Elang saat aku memukul tangannya dengan keras.
"Aku belum selesai bicara.." protesnya.
"Semua yang kakak bilang tentang aku pasti buruk." kesalku.
Kak Elang terkekeh. Kemudian ia mengacak-acak rambutku gemas.
"Kali ini enggak. Kakak ada di pihak kamu. Ehhmm..meskipun dia sedikit ceroboh dan mengesalkan, tapi dia pantas menjadi orang yang paling di cintai orang-orang di sekelilingnya." lanjut Kak Elang.
Aku menatap kakakku berbinar kemudian memeluk lengannya. Sepertinya Kak Elang mulai risih.
"Hey! Mawar sudahlah! Bahkan kamu belum mandi sore." ujar Kak Elang risih.
Namun aku malah semakin menempel padanya. Aku senang ketika berhasil membuatnya kesal.
"Ssstt...sudahlah cepat makan makanan kalian!" sambung Ayah.
Aku segera menyantap makananku. Sesekali aku mencuri pandang ke arah Bisma. Entahlah. Aku bingung, akhir-akhir ini aku merasa nyaman menatapnya.
*
Aku membanting tubuhku di kasur. Kemudian tanganku meraih handphone di nakas. Aku membuka What'sApp dan membuka beberapa pesan. Tak ada yang penting.
'Tok tok tok'
"Mawar buka dong!!! Kangen nih." teriak kakakku dari balik pintu.
"Masuk aja nggak aku kunci." ujarku kemudian duduk di tepi ranjangku.
Tak lama, sosok Kak Elang muncul dari balik pintu kamarku. Aku menatapnya seakan bertanya 'what?'.
"Tadi itu tunangan kamu? Keren juga ya?" Kak Elang.
Aku menatapnya malas.
"C A L O N." ucapku penuh penekanan.
"Alah...sama aja. Bentar lagi juga resmi." Kak Elang.
"Oh iya, dia konglomerat ya? Gila...setelah ini kamu bakal jadi istri konglomerat dong." lanjutnya.
Aku makin malas menanggapinya. Aku memilih diam.
Bagiku, latar belakang keluarga Bisma tak penting. Jabatannya juga tak penting. Aku hanya melihatnya sebagai sosok yang baik, dan sabar menghadapi sikap kekanak-kanakanku.
"Dek..." panggil kak Elang.
Aku menoleh malas ke arahnya. Dan detik berikutnya, aku merasakan tubuhku menabrak d**a bidangnya.
"I miss you," ujar Kak Elang.
"Iya. Aku juga." balasku.
"Kakak senang kamu akan bertunangan, artinya orang yang akan melindungi dan menyayangimu akan bertambah. Apalagi Bisma, dia sepertinya bisa membahagiakan kamu." Kak Elang semakin erat memelukku.
"Tapi....kamu jangan pernah sungkan sama Kakak. Jika nanti Bisma menyakitimu, Kakak siap jadi orang pertama yang akan menghajarnya. Kamu paham?" Kak Elang.
Aku mengangguk dalam dekapannya. Ya, aku tahu, aku dapat merasakan kasih sayang kakakku untukku. Kami memang sering ribut. Dia sering memancing kekesalanku. Tapi aku tahu, itu ia lakukan agar kami semakin dekat, dan agar aku merasakan keberadaannya sebagai seseorang yang selalu ada di belakangku.
"Thanks ya, my lovely brother." ujarku sembari membalas pelukan kak Elang.