Hujan turun cukup deras sore ini. Aku melihatnya dari jendela kelasku. Karena memang aku cukup senang duduk di dekat jendela.
"Yah hujannya makin gede aja." keluh Fany di sampingku.
"Terus kenapa? Lo juga di kelas nggak kehujanan." Balasku.
"Eh Mawar, lo nanti di jemput tunangan lo ya? Ih..gue iri." Fany.
"Katanya sih gitu." balasku.
"Btw, betah ya dia jadi tunangan lo yang kadang suka beku tiba-tiba gini." Fany.
Aku mengalihkan pandanganku menatap Fany. Dengan tatapan kesal, dan malas berdebat dengannya. Sepertinya dia langsung mengerti.
"Bercanda doang kalik. Hehe..." ujarnya.
Waktu menunjukkan pukul 15.07. Dan kelas baru saja di bubarkan. Aku dan Fany berjalan bersama menuju gerbang. Hari ini Fany tak membawa mobil karena mobilnya sedang di servis. Dia bilang, supirnya akan menjemputnya.
"Nah itu supir gue." Fany menunjuk sebuah mobil berwarna silver tak jauh dari kami berdiri. Aku mengikuti arah pandangan Fany, kemudian mengangguk.
"Tunangan lo mana? Mau gue tungguin sampe dia dateng? Apa lo mau bareng gue aja? Gue anter sampe rumah kok." Fany.
Astaga...kenapa aku bisa bersahabat dengan orang se-bawel dia sih?
"Nggak usah. Bentar lagi juga dia dateng." tolakku. Fany mengangguk kemudian berpamitan denganku.
Aku mondar-mandir di gerbang sekolahku. Aku memeluk tubuhku sendiri karena rasa dingin yang mulai menjalar akibat terkena percikan air hujan. Aku melirik jam tanganku. 15.40. Cih..dia terlambat empat puluh menit. Aku merogoh tasku dan mengambil ponselku. Aku berusaha menghubungi Bisma, tapi tak ada jawaban.
Sekitar sepuluh menit kemudian, sebuah mobil Nissan Juke warna putih berhenti tepat di hadapanku. Aku menyerit bingung hingga sang pengemudi turun dan menghampiriku.
"Alan? Ngapain lo disini?" bingungku.
"Habis dari mini market. Lo ngapain masih disini?" Alan.
Alan adalah teman sekelasku sejak semester satu. Bahkan sejak SMA.
"Nunggu jemputan."balasku.
"Gue anter aja, gimana? Daripada lama-lama disini lo malah sakit. Hujannya makin deres loh. Bentar lagi UTS." Alan.
Aku berpikir. Benar juga yang dia katakan. Jika aku tetap disini pasti aku akan sakit. Bahkan sekarangpun aku sudah merasa seperti akan terkena flu.
"Boleh deh." jawabku pada akhirnya.
Alan memayungiku untuk masuk mobilnya. Namun baru saja pintu mobil terbuka...
"Mawar!"
Aku menoleh. Aku menatap sosok yang memanggilku itu dengan kesal. Bisma. Dia masih berdiri tenang dengan ekspresi yang tak menunjukkan sedikitpun rasa bersalah.
"Ayo pulang!" ujarnya. Aku masih terdiam. Enggan menjawab ajakan Bisma.
"Yaudah kalo lo mau pulang bareng dia, ayo gue payungin masuk ke mobil dia." Alan.
Aku mendongak menatap Alan.
"Nggak perlu. Gue bawa payung."
Aku terpenjat melihat Bisma sudah berada di sampingku. Dia menarik tanganku dengan tangan kirinya. Membuatku ikut berteduh di bawah payung yang ia pegang dengan tangan kanannya.
"Oh okey. Yaudah, Kak kalau gitu gue pamit dulu." pamit Alan. pada Bisma
'Kak'?
Di dalam mobil Bisma....
"Mawar!" panggil Bisma.
"Hmm." jawabku tanpa menoleh sedikitpun ke arahnya.
Dari ekor mataku aku melihat Bisma menoleh sejenak ke arahku. Kemudian tatapannya kembali fokus pada jalanan.
"Tadi itu siapa?" tanya Bisma.
"Alan." balasku.
"Siapa kamu? Temen?" Bisma.
"Hmm..." jawabku malas.
Bisma terdiam cukup lama. Namun beberapa saat kemudian aku kembali mendengar suaranya.
"Kamu kenapa sih?"
"Kenapa? Aku nggak ada apa-apa." Aku.
Terdengar Bisma menghela napas panjang.
"Bukan maksud mau batasin hidup kamu, tapi kamu juga harus paham status kamu sekarang. Kamu sudah punya tunangan." ujar Bisma tiba-tiba.
Aku mengalihkan tatapanku pada Bisma. Tatapan kami bertemu. Namun baru beberapa detik, aku segera memutuskannya. Aku menatap ke luar jendela sembari menggosok telapak tanganku. Dingin.
Mobil Bisma berhenti di lampu merah. Bisma tampak memperhatikanku, tapi tak lama kemudian handphonenya berdering. Diapun segera mengangkat telepon yang masuk.
Hh...dari pembicaraan mereka, tampaknya itu adalah telepon dari kolega Bisma. Kini perhatiannya terfokus pada perbincangan via telepon itu. Dan setelah lampu hijau menyala, ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang, masih dengan berbincang dengan koleganya itu.
*
Kini aku dan keluargaku tengah menikmati makan malam di ruang makan kami. Sesekali Kak Elang menjahiliku, membuatku kesal.
"Oh iya, Mawar, handphone kamu dimana?" tanya Ibu tiba-tiba.
Aku mengalihkan pandanganku ke arah Ibu. Ibu tampak menunggu jawabanku.
"Di kamar. Memangnya kenapa, Bu?" aku.
"Kata Nak Bisma, dia tadi menelponmu beberapa kali, tapi kamu tidak mengangkatnya. Pesan darinya juga tak kamu balas. Kenapa? Kalian ada masalah?" Ibu. Aku mendengus kesal. Dasar tukang ngadu.
"Kamu ada masalah sama Bisma, Dek? Dia apain kamu?" sambung kak Elang.
"Enggak. Mawar cuma lagi mau fokus belajar aja. Besok ada kuis." dustaku.
"Sejak kapan kamu suka belajar? Cuma demi kuis lagi. Biasanya UAS aja kamu males buka buku." kak Elang.
Aku menatap kak Elang dengan tatapan protes. Rasanya ingin sekali aku melempar garpu di tanganku ke arah kepalanya. Namun dia hanya terkekeh geli melihat ekspresiku.
"Elang, jangan mengganggu Mawar terus!" tegur Ayah dingin, membuat Kak Elang menggaruk tengkuknya kikuk.
Aku tersenyum menang melihat reaksi kakakku itu.
Setelah makan, aku berjalan menaiki tangga untuk menuju kamarku. Baru saja aku membuka pintu, Ayah memanggilku.
"Mawar.." Akupun segera menoleh. Menanti ucapan Ayah selanjutnya.
"Ke ruang kerja Ayah sekarang!" titah Beliau.
Aku menghela napas kemudian mengikuti langkah Ayah memasuki ruang kerjanya.
"Ada apa dengan hubunganmu dan Bisma?" tanya Ayah.
"Apanya Ayah?" bingungku.
"Apa kamu membuat masalah dengan Bisma?" tanya Ayah lagi.
Aku mengerutkan bibirku kesal.
"Sudah Ayah bilang kan, jangan buat masalah! Perjodohan ini amanah Kakek kamu, jadi jangan membuatnya berantakan!" lanjut Ayah dengan nada dingin.
"Mawar nggak ngerasa bikin salah ke Bisma kok, Yah. Ya nggak tahu kalau Bismanya merasa bermasalah sama Mawar." Protesku.
"Mawar!" geram Ayah mendengar ucapanku.
Aku menghentakkan kakiku kesal. Namun aku tak dapat kembali membantah. Aku takut Ayah marah.
"Ayah nggak mau dengar ada masalah diantara kalian. Segera hubungi Bisma dan minta maaf padanya!" titah Ayah kemudian melanglah meninggalkan aku sendiri di ruang kerjanya.
Bahkan Ayah tidak tau apa yang terjadi pada kami. Dan Beliau memintaku minta maaf? Aku tak akan melakukannya.
*
Mata kuliah terakhir baru saja usai. Aku dan Fany berjalan bersama ke arah parkiran. Rencananya, hari ini kami akan mengerjakan tugas kelompok di rumah Fany.
"Lo udah bilang ke Kak Bisma?" tanya Fany.
"Bilang apa?" bingungku.
Fany menepuk dahinya. Langkah kakinya terhenti. Membuatku semakin menyeritkan alisku.
"Ya bilang kalau lo mau ke rumah gue lah, Mawar. Nanti dia keburu jemput. Buruan kabarin!" Fany.
Aku mengangguk mengerti kemudian merogoh tasku dan mengambil handphoneku untuk menghubungi Bisma.
"Hallo"
"Ada apa? Aku lagi di jalan."
"Em...aku mau ke rumah Fany. Ngerjain tugas. Jadi kamu balik lagi aja ke kantor!"
"Kok baru bilang? Aku udah mau sampai."
"Ya tapi aku mau ke tempat Fany. Udah kamu balik aja! Nanti nggak usah dijemput biar di jemput Kak Elang."
Tut...
Aku memutuskan sambungan kemudian menyusul Fany yang sudah memasuki mobilnya.
*
Waktu menunjukkan pukul 18.40. Aku dan teman-temanku baru saja menyelesaikan tugas kami. Aku mengecek What's App dan terdapat sebuah pesan baru dari kak Elang.
'Sorry, Dek. Kakak nggak bisa jemput. Kakak lagi reunian sama temen SMA. Dadakan banget, mereka tiba-tiba datang terus ngajak makan.'
Aku menghela napas kesal. Tanganku bergerak lincah mencari kontak taksi langgananku dulu. Namun sebuah suara menghentikan aktivitasku.
"Mawar, kamu pulang sama siapa? Mau aku antar?"
Pemilik suara itu adalah Alan. Aku menoleh ke arahnya yang tengah melemparkan senyum ramah ke arahku. Aku pun membalas senyumannya.
"Emm...aku lagi ngehubungin taksi langgananku dulu nih. Nggak usah deh, Lan." tolakku.
"Loh kenapa nggak bareng Alan aja sih? Kan searah juga." sambung Fany.
"Iya. Nggak papa bareng aku aja, Mawar." Alan.
'Bukan maksud mau batasin hidup kamu, tapi kamu juga harus paham status kamu sekarang. Kamu sudah punya tunangan.'
Kata-kata itu kembali terngiang di telingaku. Tapi...melihat Fany dan Alan yang menatapku penuh harap membuatku tak tega menolak tawaran Alan. Baiklah. Aku rasa Bisma juga tak akan tau.
"Kamu mau kan? Em...aku cuma mau bantu aja kok nggak ada maksud lain." Alan.
"Iya deh." balasku. Fany dan Alan tersenyum.
"Gitu dong...gue lebih tenang kalo lo pulang bareng Alan daripada naik taksi." Fany.
Aku mengangguk. Beberapa saat kemudian aku dan Alan berpamitan dengan Fany.
*
Tak ada pembicaraan berarti antara aku dan Alan. Hanya beberapa topik ringan untuk memecah keheningan. Bahkan topik pembicaraan kami tak pernah lepas dari perkuliahan.
Ya....Alan ini termasuk anak yang rajin di kelas. Dia terlihat begitu menikmati masa-masa kuliahnya. Jadi tak heran, dia betah membicarakan topik perkuliahan.
"Thanks ya, Lan. Sorry jadi ngerepotin." ujarku ketika kami sampai di halaman rumahku.
"Iya, sama-sama. Nggak repot juga kalik. Ya udah aku langsung pulang aja ya?" pamit Alan.
"Loh..nggak mampir dulu?" tawarku. Alan menggeleng.
"Yaudah. Hati-hati di jalan! Jangan meleng!" ujarku sedikit bercanda.
Alan menunjukkan jempolnya sembari tersenyum. Beberapa saat kemudian mobilnya melesat meninggalkan pekarangan rumahku.
Aku menghela napas lega. Bersyukur telah sampai rumah dengan selamat. Aku membalikkan badanku dan berjalan menuju pintu utama rumahku. Namun, langkahku terhenti melihat sosok lelaki yang menatapku tajam. Aku menelan salivaku kasar. Lelaki itu berjalan ke arahku, dan berhenti tepat beberapa cm di hadapanku.
"Dia temanmu yang kemarin, kan?" tanyanya. Aku mendelik mendengar nada suaranya yang...dingin. Aku mengangguk kecil. Masih dengan terus menatapnya.
"Apa kamu lupa ucapanku kemarin saat di mobil?" tanyanya masih dengan nada yang sama. Aku menyeritkan alisku bingung. Ucapan yang mana?
Dia menghela napas panjang sebelum melanjutkan ucapannya.
"Kamu sudah punya tunangan." lanjutnya.
Aku mengangguk mengerti. Tapi ternyata, responku itu malah membuatnya terlihat semakin kacau. Dia memijat pelipisnya dan terdengar beberapa kali menghela napas.
"Ada apa?" tanyaku berusaha se-santai mungkin.
Dia kembali menatapku.
"Kalau kamu sudah punya tunangan, sebaiknya kamu tidak terlalu dekat dengan pria lain!" jawabnya dengan nada lebih tinggi dari sebelumnya.
Aku menatap tak percaya ke arahnya. Dia marah? Kali ini aku menatapnya tajam. Sama seperti tatapan yang ia lemparkan padaku.
"Memang kenapa? Apa itu salah ketika dia menawarkan tumpangan saat aku pulang larut dan rumah kami searah? Dia hanya berniatan baik. Apa aku harus menolaknya hanya karena alasan itu?" teriakku penuh emosi.
Dia semakin tajam menatapku. Namun aku tak mundur sedikitpun. Aku membalas tatapannya dengan tatapan yang sama.
"Salah. Karena kamu sudah punya tunangan."ucapnya penuh penekanan.
Aku melemparkan tatapan protesku padanya.
"Baik. Anggap saja aku salah. Tapi apa cuma aku yang punya kesalahan disini?" tantangku.
"Tentu. Kau bahkan tidak menghubungiku dan memintaku menjemputmu." Bisma.
"Lalu bagaimana dengan sikapmu dua hari ini? Kamu mendiamkanku dan asyik dengan bisnismu. Kamu selalu mengacuhkanku dan dingin padaku, semalam setelah pesta pertunangan kita. Apa menurutmu itu bukan kesalahan?" tanyaku penuh emosi.
"Dek..."
Suara itu membuatku menolehkan kepalaku sebentar. Terlihat Kak Elang menatap bingung ke arahku.
Kemudian tatapanku kembali beralih ke Bisma yang nampak sibuk mengatur napasnya. Sepertinya emosinya juga mulai terpancing.
"Itu karena aku sedang sibuk. Kamu hanyalah anak kecil yang tidak akan bisa mengerti jika aku menjelaskannya." bantah Bisma.
Aku menyipitkan mataku.
"Anak kecil? Kamu menganggapku anak kecil? Usiaku 19 tahun dan aku bukan lagi anak kecil," kesalku.
"Dan aku anggap ucapanmu tadi hanya sebagai alasan untuk menyembunyikan kebusukkanmu." lanjutku kemudian berjalan cepat masuk ke dalam rumah.
Kak Elang menatapku dengan tatapan yang sulit ku artikan. Namun aku dapat merasakan. Dia berlari kecil mengejarku.
Sampainya di pintu kamar, Kak Elang menahan lenganku, membuatku menoleh ke arahnya. Kak Elang sepertinya baru saja pulang dari acara reuninya. Terlihat dari pakaian formal yang masih ia kenakan.
"Ada apa sih sebenernya?" tanya Kak Elang.
Aku menggeleng.
"Ada masalah apa antara kamu sama Bisma? Dia menyakitimu?" Kak Elang.
"Cukup dengan Kak Elang merahasiakan perdebatanku dan Bisma malam ini dari Ibu dan Ayah, dan tolong biarkan aku sendiri, maka aku akan sangat berterima kasih." ujarku membuat Kak Elang melepaskan tanganku.
Waktu menunjukkan pukul 20.15. Sejak perdebatan dengan Bisma tadi, aku masih mengurung diri di kamar. Aku tak ingin bertemu siapapun. Aku kesal dengan semua orang. Khususnya orang-orang yang membuatku berikatan dengan Bisma.
"Dek, ayolah buka pintunya! Jangan bikin Kakak khawatir dong!" suara itu memaksaku bangkit dari tempat tidurku.
Aku berjalan lesu ke arah pintu kemudian membukanya. Menatap kakakku dengan tatapan lelah.
"Aku lagi males ngapa-ngapain, Kak. Mau langsung tidur aja.” ujarku
"Em...boleh kakak masuk?" tanya Kak Elang.
Tumben sekali dia bersikap manis padaku? Aku mengangguk kecil dan membiarkannya mengikuti langkahku masuk ke dalam kamar.
"Apa sekarang kamu sudah siap cerita sama Kakak?" tanya Kak Elang. Aku terdiam. Aku tau ke arah mana pembicaraan ini akan di bawa.
"Kakak ini kakak kamu, Mawar. Kakak selalu ada di pihak kamu kok. Jadi please, terbuka sama kakak." desak Kak Elang sembari membelai rambutku.
Ah...aku jadi teringat masa kecil kami. Saat Kak Elang selalu dapat menenangkanku ketika aku di marahi ayah. Ketika Kak Elang melindungiku dari teman-temanku yang nakal di sekolah. Aku merindukan masa-masa itu. Tapi aku tahu, meskipun selama ini Kak Elang menyebalkan, perasaan sayangnya padaku tak pernah berubah. Aku dapat merasakannya.
"Aku...em aku...aku cuma kesel aja sama Bisma. Sejak pertunangan itu, Bisma berubah. Bisma jadi cuek padahal sebelumnya dia sangat baik." ujarku. Kak Elang tersenyum tipis padaku.
"Mungkin dia punya alasan tersendiri. Entah kenapa, kakak rasa dia pria yang baik." Kak Elang.
Aku mendengus kesal. Menatap kak Elang dengan tatapan protes.
"Katanya Kak Elang akan selalu di pihak Mawar?" kesalku.
Kak Elang terkekeh.
"Justru karena Kakak ada di pihak kamu makanya Kakak bilang gitu. Kamu harus kasih dia kesempatan buat bicara Mawar! Jujur, Kakak nggak suka denger dia bentak kamu tadi. Tapi, itu dia lakukan agar kamu mau mendengarkannya, dan agar kamu mau belajar mengerti." Kak Elang
"Kakak..." rengekku.
"Kakak selalu sayang kamu, Mawar. Kakak ada di pihak kamu kok. Kamu harus selalu percaya sama Kakak." tubuhku terasa hangat saat Kak Elang menarikku dalam dekapannya. Membuatku nyaman dengan kehangatan yang dia berikan.
*
Aku menuruni tangga rumahku dengan malas. Terlihat Bibi tengah menyiapkan sarapan untuk keluargaku.
"Eh, Non Mawar sudah mau berangkat? Sarapan dulu, Non!" Bibi
Aku tersenyum tipis pada wanita paruh baya yang sudah bekerja di rumahku selama lebih dari sepuluh tahun itu.
"Makasih Bi, nanti aja di kampus. Mawar buru-buru." Balasku.
"Ibu, Ayah sama Kak Elang belum pada bangun?" tanyaku
"Nyonya sama Tuan kan sedang di Bali,Non. Baru kemarin siang berangkat. Kalau Den Elang, kurang tahu Non, tapi belum kelihatan pagi ini." Bibi.
Aku mengangguk paham.
"Ya udah Bi, Mawar berangkat dulu ya! Nanti kalau Kak Elang nanyain, bilang aja kalau Mawar bawa mobil sendiri." ujarku.
"Eh..em tapi, Non kalau Den Bisma datang..." ucap bibi terpotong olehku.
"Dia nggak berhak ngatur-ngatur aku, Bi. Kalau dia ngomelin Bibi, bilang aja sama aku!"
Aku berlari kecil ke arah garasi. Sudah lama sekali rasanya aku tidak mengendarai mobilku. Aku segera masuk dan menyalakan mesinnya.