Saling Cerita

1786 Words
Ana menyiapkan makan malam yang sudah mereka pesan online setelah Maghrib tadi. Ana lagi ingin makan bakmi dan kebetulan Kana tidak keberatan. di Pim satu ada Bakmi GM, perjalanan paling lima belas menit, tapi rasa malas untuk keluar dari apartemen merongrong Ana. Untung saja sekarang hidup dipermudah dengan aplikasi pesan antar makanan, asal ada uangnya saja. Alasan Ana malas keluar sebenarnya karena khawatir akan kejadian lagi, kalau tadi siang ketemu Dean, nanti ketemu siapa lagi? Meskipun Kana bilang Dean tahu mereka berteman, tapi aneh saja rasanya harus bertemu anak koas di mal disaat dia sedang bersama Kana. Kalau di rumah sakit ya santai lah, dia bisa jalan sama siapa saja, ngobrol sama siapa saja dan ketemu siapa saja karena memang itu area kerjanya, wajar bertemu teman seprofesi. Kalo di area publik yang bukan rumah sakit? Agak canggung jadinya kalau Kana ada disampingnya. "Yuk makan, udah siap nih," yang dimaksud Ana sudah siap hanyalah menyiapkan box yang berisi bakmi dilengkapi dengan Sumpit dan sendok diatasnya, dua mangkok kecil yang berisi air kaldu, bakso juga pangsit rebus, serta seporsi pangsit goreng yang lengkap dengan saus merah asam manis, ini favorit Ana. Mereka duduk berhadapan di meja makan untuk 4 kursi. "Kamu beberapa bulan lagi sudah mau selesai koas, siap - siap ukmppd ya." "Hmm," jawab Kana sambil mengunyah mie yang sudah terlanjur masuk ke mulutnya barusan. Hening sebentar, Kana menyelesaikan dulu kunyahannya. Ini pantangan yayang sebenarnya makan sambil ngobrol, tapi anak sekarang mana bisa makan dengan diam, dari kecil saja makannya sudah berisik karena sambil bernyanyi bahkan bermain. "Semoga aja nggak ada remed," jawab Kana kemudian. "Nggak lah, kamu pintar ... nilai kamu aja di Obgyn bagus banget kok," puji Ana membesarkan hati Kana. "Maksudnya ngasih bocoran nih? " sindir Kana. Ana tersenyum kecil sambil menjepit mienya dengan sumpit. "Nggak usah dibocorin kamu juga pasti sudah tahu hasilnya, memang bagus kok nggak ada rekayasa dari aku," jawab Ana lalu menyuapkan mie tadi ke dalam mulutnya. "Tinggal PD nih ... lulus nggak ya?" Kana mempertanyakan stase Mayor lainnya yaitu Penyakit Dalam di bawah bimbingan dokter Atmo nanti yang akan dijalankannya mulai minggu depan. Itu bagian terakhir yang akan dikerjakannya, kurang lebih satu minggu lagi. "Bisaaa, aku yakin. Nanti aku bantu kalau ada ujian kasus." "Beneran ya.." "Iya ..." jawab Ana lalu melanjutkan makannya lagi. Bakmi spesial ditambah sambal dua sachet kecil tadi memang lumayan memancing selera makan. "Di Obgyn, ada temenku yang remed?" "Ada, dua orang." "Wah nanti langsung remednya pas selesai?" "Iya, begitu sudah menyelesaikan semua stase, kan nilai keluar tuh, dari Obgyn, Mata, THT .. pokoknya semua stase yang sudah kalian lewati, ada yang remed, ada yang seratus persen lulus, ya macam - macam." "Kamu pelit nilai nggak?" "Ngapain juga pelit - pelit,kalau bagus ya aku kasih bagus tapi bukan berarti aku obral. Kalo memang parah nggak ketolong ya remed, ini masalah nyawa orang lho, jadi harus paham apa yang harus dilakukan. Siapa yang mau berobat ke dokter oon?" "Emang ada gitu dokter oon?" "Ya nggak jadi dokter lah! Aku kan cuma kasih pandangan ... dokter itu kan orang yang didatangi pasien sebagai tempat ikhtiar untuk sembuh setelah berdoa ke maha penyembuh pastinya, jadi jangan bercanda dengan gelar dan profesi yang kita punya, di bawah sumpah lho ... kenapa sampai dibuat serius sumpah dokter itu? Ya karena tanggung jawabnya berat. Salah diagnosa, salah kasih obat ... bisa - bisa kita memisahkan orang tua dengan anak - anaknya, atau sebaliknya, bisa juga memisahkan suami dengan istrinya. Semua memang Allah yang atur, tapi doa dan ikhtiar itu harus, kita nggak boleh menyerah bahkan sampai nyawa sudah di leher, kita terlibat dengan ikhtiar orang lain lho, bener nggak?" Kana mengangguk, dia setuju. Ngobrol sama Ana memang selalu menarik dan auranya positif, bukan cuma soal profesi, bahkan soal hobby juga begitu. "Kamu tuh terlihat selalu bersemangat ya An." Ana terkekeh," Aku mantan anak ambis." "Hah? Bisa ya ambisius itu jadi mantan?" tanya Kana heran. "Nih aku bisa." Ana merentangkan tangannya untuk menunjukkan dirinya. "Kok bisa?" "Perjalanan hidup yang panjang, banyak pengalaman yang bisa diambil hikmahnya, itu bisa merubah seseorang," jawab Ana. Dia mengambil satu pangsit goreng lalu dicelupkan ke saus merah sebelum masuk ke mulutnya. Ana terlihat santai sekali, sementara kana memperhatikan sambil mengunyah bakso dimulutnya. "Seambis apa kamu dulu?" Kana mulai penasaran, dia belum banyak tahu Ana di masa lalu. "Aku? Hmmm ... aku selalu merasa bisa melakukan banyak hal, dan aku ingin menjadi terbaik ketika menjalaninya. Kalo aku sampai kalah dari orang lain, ah mungkin bisa nggak tidur aku semalaman menahan kesalnya. Nggak tahu juga ya, apa karena aku anak pertama jadi aku mau menunjukkan juga ke adik - adikku kalo kakaknya ini bisa mereka banggakan, semacam pembuktian diri gitu kali ya." "Nyatanya kamu memang membanggakan keluarga kan?" Ana tersenyum tipis, diraihnya gelas ice lemon tea yang ikut dia pesan tadi, karena memang lemon tea-nya enak rasanya sangat khas di resto itu, diteguknya dua kali. "Dulu, untuk banyak hal aku merasa begitu." Ana menjeda kalimatnya. "Sampai suatu waktu aku bertemu dengan hal yang tidak ada dalam rencanaku sama sekali. Sialnya bukan cuma nggak ada dalam rencana tapi justru menghancurkan seemuuuaa yang sudah aku bangun, itu kayak bom Hiroshima tahu nggak ... Booommm!!" Ana menekankan kata 'semua' untuk menunjukkan bahwa benar - benar sudah tidak ada sisa lagi. Raut wajah Ana biasa, sepertinya dia sudah mati rasa dan melupakan peristiwa itu. "Separah itu?" Kana menautkan alisnya. Dia bertanya lagi takutnya Ana lebay. "Untuk aku yang nggak pernah menemui kegagalan sebelumnya, itu kayak lagi berdiri digerbang antara hidup dan mati, salah melangkah dikit ... kelarrr, nggak akan ada dokter Ariana SpOG hari ini, mungkin ada di pemakaman mana gitu." Mata Kana membola, dia tidak menyangka apa yang sudah dilalui Ana, tapi benar - benar dahsyat sepertinya. "Mukanya santai aja braderrrr, udah lewat." Ana malah terkikik melihat wajah Kana. "Ckkk ...aku lagi serius juga," Kana kesal. "Iya kan udah lewat juga." "Kayak roller coaster banget ya." "Yup, kamu pasti nggak pernah mengalami sesuatu yang benar - benar menghancurkan hati kamu kan?" tebak Ana. Sambil bersandar di sandaran kursi makan, Kana berusaha mengingat. Dia memutar botol air mineral dengan tangan kanannya, "Kayaknya nggak ada ya, kayaknya hidupku santai - santai aja, bahkan menentukan cita - cita aja santai. Ikut tes masuk kedokteran nggak ada target muluk - muluk ... lulus syukur, nggak lulus ya udah, ganti aja cita - cita yang lain. Kayaknya cuma itu yang agak penting dalam hidupku ya ... owh sama menentukan jenis mobil yang mau aku beli, soalnya nggak akan mungkin tiap tahun ganti, walau mampu, mana mau papa beliin," jawab Kana. Benar - benar beda dengan apa yang sudah dilalui Ana. "Bersyukurlah kamu bisa sesantai itu hidupnya. Kamu kenal aku sekarang disaat yang tepat, karena hidupku jauh lebih santai dari pada dulu, kalo dulu ... hmm," Ana tidak melanjutkan kalimatnya. "Itu kapan kejadiannya?" "Waktu aku co-ass, umurku sekitar dua puluh dua menuju dua puluh tiga tahun." "Aku baru masuk smp tuh, kamu malah sudah punya pengalaman buruk." Ana tertawa," Makanya aku bilang, perjalananku sudah panjang, banyak yang sudah aku lewati dan itu memberiku banyak pelajaran. Ariana yang ambisius itu sudah nggak ada lagi." "Adik kamu berapa An?" "Dua, kembar." "O ya, dokter juga?" "Nggak, mereka anak Ekonomi kayak ayah, cuma aku yang sama kayak ibu. Tapi ibu nggak melanjutkan ke spesialis karena nggak ada waktu lagi setelah menikah." "Owh." "Kamu sekeluarga dokter ya? Kata dokter Imel papa kamu dokter juga?" Ana menyebut dokter Imel teman sejawatnya yang Kana kenal juga. "Cuma mama yang bukan dokter, anak Ekonomi. Terbalik kita ya ... tapi nggak ada anaknya yang mengikuti jejaknya, semua jadi dokter." "Owh ... kakak kamu dokter umum atau spesialis?" "Lagi PPDS, ambil anak. " "Papa kamu?" "SpJ." "Kamu pasti jadi dokter yang hebat kayak papa dan kakak kamu. Mau spesialis apa nanti?" "Nggak mau aku selesaikan co-ass ini dulu baru nanya spesialis?" tanya Kana sambil mengangkat satu alisnya. Yang benar saja nanya spesialis disaat dia masih berjibaku dengan co-ass yang masih beberapa bulan lagi, belum internship ...aah masih panjang. "Kan ngayal - ngayal dulu boleh dong." "Aku pengen juga Obgyn, tapi nanti nggak enak sama istriku." Ana tertawa. "Kenapa? Kan profesionalitas." "Nggak lah, mungkin Jantung kayak papa atau bedah kayak eyang." "Eyang kamu juga dokter?" "Iya." "Luar biasa, mendarah daging ya ... profesi lain auto melipir nggak tuh di rumah kamu?" "Di keluarga besarku cuma ada dokter dan pilot, eh ada arsitek, suami aunty Ana." "Aunty Ana? Namanya mirip namaku." "Sama kok kayak kamu, nama panggilan doang. Namanya Tatiana." "Aku juga mau dipanggil aunty Ana sama keponakan - keponakanku nantinya." "Kamu sudah punya keponakan? Aku punya tiga ... mereka triplet." "Serius? Bayi tabung?" "Nggak, proses alami, mas ku aja yang kelewat hebat bisa langsung tiga gitu," jawab Kana sambil terkekeh mengingat mas Azki dan anak - anaknya. Ana juga ikut tertawa mendengar jawaban Kana. "Oowh iya ... keponakanku satu, panggilannya Muimui ... cute kan?Tapi mereka sekarang tinggal di Singapore, karena adik iparku kerjanya di sana. Kalau adikku yang paling kecil baru hamil enam minggu." Ana menceritakan tanpa beban. Kana yang mendengarkan sebenarnya sudah gatal hendak bertanya, kenapa kamu belum nikah? Tapi se akrab-akrabnya mereka, Kana tidak akan menanyakan itu, kalau Ana hendak menceritakannya, itu lain soal. Pelan - pelan mereka saling berbagi soal kehidupan keluarga mereka walaupun tidak detail, hanya garis besarnya saja, tapi itu sudah membuat mereka tahu sedikit - sedikit tentang bestienya itu. *** "Lo nggak jawab wa gue!" begitu ucap Dean ketika baru masuk mobil Kana, Dia nebeng Kana pagi ini dan menunggu di depan kantor Walikota, Kana biasanya lewat Antasari. "Wa yang mana?" tanya Kana tanpa menoleh ke Dean. Dean mendengus. Kana bersandiwara. "Jangan sok lupa atau ngapus wa gue ya." Kana terkekeh. "Apa siih ... penasaran banget." "Jangan bilang lo pacaran sama dokter Ariana." "Ya deh gue nggak bilang." "Ckk ... serius gue." "Kenapa sih lo, kayak mak - mak lagi datang bulan." "Sejak kapan lo jalan sama dokter Ariana?" "Lumayan lah, ada kali beberapa bulan ini gue jalan sama dia, gue tuh berteman aja. Awalnya gara - gara ngomongin konser, trus mau beli tiket barengan dan akhirnya pergi bareng. Trus dia hobby ngegym, ya gue ajak bareng, dia hobby nonton ya sudah bareng lagi ... cuma itu aja kok. Simple." "Beneran?" "Iya bener." "Gue khawatir lo berlanjut." "Apa menurut lo gue akan berlanjut?" "Ya bisa aja Kan ... lo merasa nyaman, trus melihat dokter Ariana itu pintar, enak diajak ngobrol, jatuhnya lo kagum sama dia. Takutnya lo malah baper. Umur kita sama dia jauh banget Kan, apa iya kalian bisa berlanjut ... jangan gila lo!" "Nggak, gue nggak berpikir sejauh itu. Selama ini gue sama dia fine - fine aja berteman. Nggak ada yang aneh atau mengarah ke sana," jawab Kana meyakinkan Dean disaat dia sendiri mulai tidak yakin dengan ucapannya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD