Pengkhianatan

1109 Words
Seorang pria perlente tersenyum puas setelah pesawat yang ditumpangi mendarat sempurna di Bandara I Gusti Ngurah Rai sore itu. Pria berkacamata hitam dan memakai masker tersebut turun. Ia lalu menunggu barangnya diturunkan dari bagasi pesawat sambil memainkan ponsel. Ia duduk sambil mengamati foto seorang wanita cantik bernama Elea Pramudita, artis sekaligus model yang saat ini sedang naik daun. Adalah Brama Zack Adhlino. Pria yang tahun ini genap berusia tiga puluh tahun. Namun, masih betah melajang. Bukan karena tidak laku, melainkan karena menunggu kesiapan sang pujaan hati yang kariernya sedang bagus-bagusnya dan masih terikat kontrak untuk tidak dulu menikah. Hubungan Brama dan Elea memang sudah menjadi konsumsi publik dan berita entertainment. Mereka menjadi idola yang dielu-elukan penggemarnya. Brama tersenyum saat melihat story W* terakhir Elea yang menunjukkan sedang ada di sebuah hotel. Wanita itu sedang ada job pemotretan. Setelah koper di tangan, Brama lekas memesan taksi online dan menuju hotel di mana Elea berada. Tiba di hotel, tidak sulit bagi Brama mendapatkan informasi mengenai nomor kamar dan akses masuk ke kamar kekasihnya. Sebab, pria itu memiliki beberapa persen saham di hotel tersebut. Pegawai di sana juga sudah pasti tunduk dengan titah sang bos. Masih dengan masker yang menempel di mulut dan kacamata hitam bertengger menutupi kedua mata, Brama menuju kamar sang kekasih. Rindu yang membuncah, membuatnya ingin segera bertemu dengan Elea. Pintu kamar dibuka. Brama menurunkan masker, lalu memamerkan senyum yang membuat kaum Hawa meneteskan air liur. Namun, senyum itu langsung memudar saat melihat pemandangan panas di hadapan. Di ranjang king size tersebut, dengan dua mata kepala, Brama menyaksikan Elea begitu agresif tengah bermain permainan dewasa bersama seorang pria berkepala botak. Brama tahu betul, pria itu manager artis yang menaungi Elea. “Terus, Baby!” Suara menjijikkan itu membuat telinga Brama terbakar. Bukan hanya telinga. Hati, otak, dan sekujur tubuhnya ikut membara dengan api amarah. Dua manusia itu belum menyadari kedatangan Brama. Telanjur nikmat. Kaki Brama terpaku di tempat. Ia mengepalkan tangannya yang mencengkeram pegangan koper erat. Ingin rasanya pria itu menghantamkan kopernya pada dua manusia lakn*t di hadapan. Namun, Brama memilih mengambil ponsel dari saku, lantas merekam perz*naan kekasihnya. Sakit hati, pasti. Benci, sudah tentu. Brama menguatkan hati melakukan ini. Entah pada rekaman menit ke berapa, Elea baru menyadari ada seseorang yang berdiri mematung di dekat pintu. Wanita itu menoleh. “B-Brama,” gagap Elea. Lekas wanita itu bangkit dan mengambil selimut untuk menutupi tubuhnya. Video Brama belum diakhiri. “Ka-kapan kamu tiba, Sayang? Ke-kenapa nggak ngasih kabar kalau mau datang?” Elea berjalan mendekati Brama. Sementara pria lawan mainnya memunguti baju, lalu berusaha memakainya. Wajah Brama tanpa ekspresi. Datar. Ia lalu mematikan rekamannya. Ponselnya berusaha diambil Elea, tetapi lekas dimasukkan Brama ke saku. "Kenapa harus mengabarimu? Kalau aku kabari, pasti aku tidak akan melihat film indah tadi." "Bram, aku–" “Katakan sejak kapan pengkhianatan ini terjadi?” tanya Bram dingin. “Sayang, aku bisa–“ “Jangan sentuh aku dengan jarimu yang menjij*kkan itu!” bentak Brama saat Elea berusaha memeluknya. “Be*ebah kamu! Mulai sekarang kuputuskan semua hubunganku denganmu. Kuharamkan kamu menemuiku, menghubungiku, atau bahkan menyebut namaku!” Telunjuk Brama tepat berada di mata kiri Elea. Niat hati memberi kejutan dengan datang tanpa pemberitahuan, Brama justru dikejutkan dengan skandal yang kekasih. “Bram–“ “Sudah kubilang jangan menyebut namaku lagi! Silakan dilanjutkan permainan kalian tadi! Sangat seru.” Elea tersedu-sedu. “A-aku dipaksa sama Reno.” “Oh, dipaksa? J*lang, dengar. Aku ini bukan bocah yang lahir tadi siang yang bisa kamu bohongi. Aku tahu betul mana yang dipaksa, mana yang dilakukan secara suka sama suka. Kamu terlihat menikmati, dan itu kamu bilang dipaksa?” Brama bertepuk tangan. “Setelah hubungan kita, sebentar lagi kariermu yang akan hancur. Kartu as kalian berdua ada di tanganku. Rekaman kalian bisa saja menyebar!" Brama menunjuk Elea dan Reno bergantian. Brama berbalik, hendak membuka pintu. Namun, tubuhnya justru dipeluk dari belakang oleh Elea. “Bram, maaf. Aku terpaksa melakukan ini. Tidak ada pilihan lain. Jangan sebarkan video tadi, kumohon,” bisik Elea disertai isak tangis. Bibir Brama terangkat sebelah. Ia pun kembali membalik badan. “Yakin tidak ada pilihan lain?” Brama tersenyum. Tampan sekali. Elea mengangguk. Ia lalu menurunkan selimut yang dari tadi membungkus tubuhnya. Brama menatap tubuh indah itu. "Bram, dulu mahkotaku sudah kamu petik. Aku sudah menyerahkan semua padamu. Untuk yang sekarang, aku melakukan karena terpaksa. Sumpah." Brama mendekatkan wajah, lalu berbisik. “Tapi sayangnya aku sama sekali nggak tertarik dengan omong kosong dan tangis buayamu itu. Sebelum aku, tubuhmu pun mungkin biasa kamu obral. Kukira dulu tubuhmu ini premium, ternyata hanya sebatas seperti tempat sampah pria menumpahkan cairan haramnya. Kamu itu kotor, menji*ikkan. Hanya pemulung naf*u yang biasa menjamahnya.” "Brama!" Tangan Elea terangkat, hendak menampar Brama. Namun, Brama berhasil mencekalnya. “Tanganmu kotor. Jadi, aku nggak mau tanganmu itu menyentuh diriku.” Brama melepaskan cekalannya kasar. “Ingatlah. Jangan pernah lagi muncul di hadapanku. Pengkhianatan adalah kartu merah untukmu. Aku sangat jij*k dan benci sama kamu.” Pria itu lekas membuka pintu, lalu segera keluar dari sana membawa serta kopernya. Di koridor, ada seorang karyawan hotel yang kebetulan melintas. “Kenapa keluar lagi, Sir? Biar saya bawakan kopernya,” ujar orang itu hendak mengambil alih koper Brama. “Tidak perlu. Saya akan pergi dari sini.” ** Malam harinya, Brama pergi ke sebuah klub setelah pindah hotel. Ia tidak sudi satu hotel dengan wanita yang telah meremuk redamkan kepercayaan dan cintanya. Ia menolak saat anak buahnya menemani ke tempat maksiat itu. Pria tersebut memilih pergi sendiri. Brama tidak akan pernah melupakan apa yang dilihatnya tadi seumur hidup. Selama lima bulan ini, ia berada di Amerika. Di sana, ada bisnis yang tengah diurus. Beberapa hari yang lalu, orang tuanya memintanya pulang karena bisnis di tanah air ada sedikit masalah. Lalu hari ini, ia baru bisa kembali ke tanah air. Tidak langsung menemui orang tuanya, justru mendatangi kekasihnya. Namun, yang didapat justru kekecewaan. Amarah, benci, kecewa, putus asa, berkumpul menjadi satu. Cinta yang dulu menggunung, luluh lantak seketika setelah terjadi erupsi perselingkuhan. “Tambah lagi.” Brama meminta minuman memabukkan lagi pada bartender. Entah sudah berapa banyak minuman memabukkan yang ditenggaknya. Sebelum mabuk berat, Brama memutuskan kembali ke hotel. Begitu tiba di hotel, pria itu berjalan sedikit terseok-seok menuju lift. Saat menunggu lift terbuka, ada seorang wanita cantik berhijab ikut menunggu. Gelagat wanita itu sangat aneh. Pintu lift yang ditunggu akhirnya terbuka. Dua manusia berbeda jenis kelamin tersebut masuk. Hanya mereka berdua yang ada di sana. Saat lift mulai naik, Brama sedikit terhuyung. Wanita yang ada di sampingnya, spontan menangkap tubuhnya. “Hati-hati, Mas.” Bersentuhan dengan wanita asing itu, membuat tubuh Brama mendadak kepanasan. “Cantik, maukah menemani saya malam ini?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD