KAWASAN Kebon Baru Jalan O, Tebet Jakarta Selatan kembali terendam banjir setengah meter. Di dekat Madrasah Tsaqofah. Kuketuk pintu pedagang keliling peci Palembang dan busana muslim.
“Asalamualaikum….”
“Wa’alaikumsalam..”
Dengan ramah, penghuni pedagang keliling menyambutku.
Hairullah, saya menyebut pedagang peci keliling ditiap majelis taklim yang ada di seantero Jakarta Raya.
“Mas Aji sukanye nyaru…”
Dengan muka merah padam kudesak ia, apà itu “Nyaru?”
Habisnya nýaru itu tidak serupa dengan kata ‘saru’, kata paling jorok dalam konotasi bahasa Jawa.
“Di Betawi, kata dia, pekerjaan ”nyaru’ itu menyamar….” kata Hairul.
Kutatap wajahnya dengan tajam, ya kehidupan telah menempaku khusnudzan dengan segala kejamnya ibu kota. Tapi, bukankah “Khairunnas anfa uhum linnas?” Kita harus berprasangka baik dan sekaligus berperilaku baik dengan sesama manusia. Apalagi kepada Allah, wajib itu.
“O, begitu..kalao begono, ‘nyaru’ di dalam cerita pewayangan bisa jadi samar, nyamar. Dan sosoknya digambarkan menjadi sang Semar. Semar adalah bapak moyangnya Punakawan, sang hyang jagad wenang. Sosoknya dalam pakem pewayangan muncul setelah terjadi “Goro-Goro”.
Kecuali wayang yang keluar dari pakem, ketika Punakawan menjadi Subjek cerita, itu lakon carangan, contohnya Petruk Dadi Ratu, Semar Mbabar Jati Diri dlsb itu kreasi dalang. Sekarang, dalang-dalang sudah banyak meninggal.
Sekalipun bisa bertahan hidup, dunia seni serasa makan tanah dan oli. Ya, bertahan hidup dari jual tanah dan kendaraan besi. Melakukan pekerjaan yang tidak kentara. Umpamanya sambil berdagang, sambil mengintai. Wah, jadinya nggak ada takutnya. Asyikin aja lagi. Jalan gelap di atas pekuburan, sering kutungguin.
“Nih gimane, wong acara maulud, gue masa nungguin di atas kuburan berumput, malem malem lagi. Dari pada membuang sepi, kunyalakan rokok filter berteman sepi. Cerita Entong Gendut, Si Pitung, H Darip, Robin Hood Betawi kala itu, belum aku membuat penasaran. Hilir mudik itu, kubuang jauh bersama pergiliran waktu.
Senjakala pagi yang berubah siang menjadi màlam. Waktu berputar cepat terasa, pagi berubah siang, sore melintas malam dan berubah lagi menjadi pagi.
“Iye. kerja wartawan, berjuang, ikut dagang….kalo jadi wartawan jadi wartawan aja, aye khan nggak enak dikira Hairu nih linknya banyak,” tak kalah joke segar Hairul di pagi buta.
“Belum lagi ada order,” kata dia sambil memasukan kartu majlis taklim yang biasa rutin di sebelah utara istana negara, “Nurus Salam”.
Hampir aku juga curiga lagi, sebuah jaket hitam klas “Sang President” jadi hadiah. Kadang uang pinjaman, nggak usah dikembalikan. Tapi dengan halus, kukembalikan. Gimana, terlanjur basah, kerja profesional, jadi wartawan, bermalam di Tebet dan jadi imam sholat di musala kecil.
Aku termenung di kawasan padat penduduk ini. Masih kuingat, di ujung jalan KH Facrurrazy Ishack dan KH Rhoma Irama bertaklim maulid sepanjang ujung aspal. Aku serasa tak sendirì, di tanah ini seperti di rumah sendiri. Kadang setiap malam minggu keliling, minggu pagi ke Tsaqofah. Baru ke Kwitang. Baru pada malam Senin Pancoran. Entah siapa Hairulloh itu, pedagang keliling, yang ramah, suka membantu. Pejuang keluarga di mana saja.
Dalam karungnya penuh peci dan segepok majalah yang siap di gelar di atas tikar tiap pengajian. “Gimana saya nggak kaget, gile. Seumur-umur kerja jadi sirkulasi dan iklan dari tahun 1997. Benar-benardi Betawi, jadi semakin asyik saja. Ibarat teori perusahan dari hulu sampai ke hilir industri itu paling terdepan di depan lapak,” bisikku dalam hati.
Tsun Zu, seorang panglima perang tentara Cina pernah menyatakan, a general is soldier in front off in the war (Seorang jenderal adalah seorang prajurit yang berada di garis terdepan medan pertempuran).