bc

Nyaru

book_age16+
0
FOLLOW
1K
READ
spiritual
like
intro-logo
Blurb

KAWASAN Kebon Baru Jalan O, Tebet Jakarta Selatan kembali terendam banjir setengah meter. Di dekat Madrasah Tsaqofah. Kuketuk pintu pedagang keliling peci Palembang dan busana muslim.

“Asalamualaikum….”

“Wa’alaikumsalam..”

Dengan ramah, penghuni pedagang keliling menyambutku.

Hairullah, saya menyebut pedagang peci keliling ditiap majelis taklim yang ada di seantero Jakarta Raya.

“Mas Aji sukanye nyaru…”

Dengan muka merah padam kudesak ia, apà itu “Nyaru?”

Habisnya nýaru itu tidak serupa dengan kata ‘saru’, kata paling jorok dalam konotasi bahasa Jawa.

“Di Betawi, kata dia, pekerjaan ”nyaru’ itu  menyamar….” kata Hairul.

Kutatap wajahnya dengan tajam, ya kehidupan telah menempaku khusnudzan dengan segala kejamnya ibu kota. Tapi, bukankah “Khairunnas anfa uhum linnas?” Kita harus berprasangka baik dan sekaligus berperilaku baik dengan sesama manusia. Apalagi kepada Allah, wajib itu.

“O, begitu..kalao begono, ‘nyaru’ di dalam cerita pewayangan bisa jadi samar, nyamar. Dan sosoknya digambarkan menjadi sang Semar. Semar adalah bapak moyangnya Punakawan, sang hyang jagad wenang. Sosoknya dalam pakem pewayangan muncul setelah terjadi “Goro-Goro”.

Kecuali wayang yang keluar dari pakem, ketika Punakawan menjadi Subjek cerita, itu lakon carangan, contohnya Petruk Dadi Ratu, Semar Mbabar Jati Diri dlsb itu kreasi dalang. Sekarang, dalang-dalang sudah banyak meninggal.

Sekalipun bisa bertahan hidup, dunia seni serasa makan tanah dan oli. Ya, bertahan hidup dari jual tanah dan kendaraan besi. Melakukan pekerjaan yang tidak kentara. Umpamanya sambil berdagang, sambil mengintai. Wah, jadinya nggak ada takutnya. Asyikin aja lagi. Jalan gelap di atas pekuburan, sering kutungguin.

“Nih gimane, wong acara maulud, gue masa nungguin di atas kuburan berumput, malem malem lagi. Dari pada membuang sepi, kunyalakan rokok filter berteman sepi. Cerita Entong Gendut, Si Pitung, H Darip, Robin Hood Betawi kala itu, belum aku membuat penasaran. Hilir mudik itu, kubuang jauh bersama pergiliran waktu.

Senjakala pagi yang berubah siang menjadi màlam. Waktu berputar cepat terasa, pagi berubah siang, sore melintas malam dan berubah lagi menjadi pagi.

“Iye. kerja wartawan, berjuang, ikut dagang….kalo jadi wartawan jadi wartawan aja, aye khan nggak enak dikira Hairu nih linknya banyak,” tak kalah joke segar Hairul di pagi buta.

“Belum lagi ada order,” kata dia sambil memasukan kartu majlis taklim yang biasa rutin di sebelah utara istana negara, “Nurus Salam”.

Hampir aku juga curiga lagi, sebuah jaket hitam klas “Sang President”  jadi hadiah. Kadang uang pinjaman, nggak usah dikembalikan. Tapi dengan halus, kukembalikan. Gimana, terlanjur basah, kerja profesional, jadi wartawan, bermalam di Tebet dan jadi imam sholat di musala kecil.

Aku termenung di kawasan padat penduduk ini. Masih kuingat, di ujung jalan KH Facrurrazy Ishack dan KH Rhoma Irama bertaklim maulid sepanjang ujung aspal. Aku serasa tak sendirì, di tanah ini seperti di rumah sendiri. Kadang setiap malam minggu keliling, minggu pagi ke Tsaqofah. Baru ke Kwitang. Baru pada malam Senin Pancoran. Entah siapa Hairulloh itu, pedagang keliling, yang ramah, suka membantu. Pejuang keluarga di mana saja.

Dalam karungnya penuh peci dan segepok majalah yang siap di gelar di atas tikar tiap pengajian. “Gimana saya nggak kaget, gile. Seumur-umur kerja jadi sirkulasi dan iklan dari tahun 1997. Benar-benardi Betawi, jadi semakin asyik saja. Ibarat teori perusahan dari hulu sampai ke hilir industri itu paling terdepan di depan lapak,” bisikku dalam hati.

Tsun Zu, seorang panglima perang tentara Cina pernah menyatakan, a general is soldier in front off in the war (Seorang jenderal adalah seorang prajurit yang berada di garis terdepan medan pertempuran).

chap-preview
Free preview
Jin Buang Anak
Cerpen "Jin buang Anak" Kawasan Cawang tampak lenggang, Tebet pun begitu, Demikian pula Asembaris. "Rul, kamu tinggal di mana?" Kutatap mikrolet Cilitan arah Cawang nan gelap dinihari malam. "Katanya ini tempat 'Jin buang anak' ," gumanku sambil kulihat deretan kompor dan kerajinan periuk. Jembatan Cawang kalo ke arah barat menuju Mampang lewat Pancoran. Apabila ke selatan terus arah Cililitan dan kalo ke utara arah Kampung Melayu. Kadang pernah ada takut? Masa pulang pengajian jam 00.30 malam dinihari, Jakarta memang tak pernah tidur. Uangku pas saja, bersabar, di atas mikrolet sendiri via Otista. Nyambung lagi lewat Kampung Melayu. Jalan gelap yang kupilih, sepi sunyi sendiri kulalui....cuma dengan sopir angkot warna biru muda. Selepas sampai terminal Kampung Melayu, kuberjalan ke utara di seberang menunggu Angkot jurusan Senin. Nggak kepikiran apa ada jambret , copet atau Suster Ngesot si Manis Jembatan ancol? Antah berantah hantu ibu kota kubusng jauh. Tadi aja nongkrong di atas kuburan , ndak ada ape ape. Malah sudah habis sebatang nungguin Haerul di Jalan Pedati Kebon Nanas, katenye mo liputan maulid, kagak nongol-nongol gue di tinggal di komplek pemakaman, nih gimane? Ku duduk sendiri di area pemakaman berumput di seberang gang kecil, berpagar Besi. Aku dan Haerulloh memang tidak kenal, Jerul seorang agen marketing majalah, penjual peci putih keliling, tinggal di Tebet dekat Tsaqofah.HP jadulnya memamg menjadi denyut radarku untuk bergerak cepat.Soalnya die pasti udah gelar tiker jual aneka dagangan di tiap pengajian. Istrinya, katanya orang Tegal. Baju koko dari Tegal, Jaket Sang Presiden SBY, Peci Putih, Sorban Putih, masih ada. Masih kuinget tarawih keliling, Subuh pagi dengan Tiga Serangkai (Habib Ali Bungur, Habib Ali Assegaf dan KH Abdurrahman Nawi, semua sudah alm) sampai paling pagi di Cipinang Muara saat pilihan Gubernur DKI. Lucu juga, pesan pilgub masuk jadi iklan kampanye di masjid-masjid, habisnya Calonnya dateng. Waktu kuajak ke Sukabumi, Hairul tidak mau. Aku akhirnya jalan sendiri, dianter sampe arah Ciawi, memang lewat jalur Ciawi, nanti Cianjur. Kutatap tetumbuhan padi sepanjang Cianjur sampai Sukabumi.Seumur-umur tinggal di Betawi, baru kulihat tanaman padi menguning di Cianjur. Tiba di Sukabumi, aku langsung pesan hotel di dekat, Gunung Puyuh. Setelah istirahat sebentar jelang Maghrib, aku telusuri jalan malam di Gunung Puyuh. Setelah tanya dengan seorang santri mengantarku ke sebuah makam pejuang Islam dari Sukabumi, KH Ahmad Sanusi, pendiri Persatuan Islam Seluruh Indonesia (Persis). "Kok cuma sebentar?" Tanya santri pengantar di gerbang pesantren. "Iya ,Dik.Bahan tulisannya sudah ada, saya ke sini cuma dokumentasi foto.Salam untuk pak Kyai, ya" kataku basa basi sambil bergegas pamit menuju hotel. Pagi hari aku berencana menuju Cijurai sehabis Sukaraja. Namun perjalananku justru memutar ke barat dan Selatan lalu ke timur lagi lewat Sukaraja.Aku rasa aku telah membuang waktu sekitar 3 jam. Lagu dangdut, mikrolet omprengan, Goyang Dombret" menemani suasana. Hingar bingar dentuman sounsistem mikrolet, membuatku makiin tak konsentrasi. Jalan lurus sepi, kadang naik dan berkelok, membuatku agak terlena, sejenak.Aku ragu sebuah gang kecil Cijurai, kok sepi, tidak ada umbul umbul. Mikrolet masih melaju makin kencang ke arah selatan kadang ke timur, karena aku sedikit mengantuk. Cuaca makin panas , membuatku makin gerah dan tak tenang. Aku lalu minta pada sopir mikrolet merah untuk berhenti di Sukaraja arah Pulo Air. Segera aku naik bus jurusan Sukabumi arah Garut dan turun di Pulo Air. Kembali aku liputan pondok pesantren Al Quran Pulo Air,Sukabumi.Kebetulan aku pernah meliput ke Pulo Air ini di bulan Rajab terakhir.Saat haul pendiri pondok, banyak kyai, habaib bahkan menteri agama juga datang. Sampai siang di Pulo Air, aku kemudian harus segera pulang ke Jakarta. Sampai lagi Kampung Melayu sudah gelap malam. Menuju Salemba sudah jelang dini hari. Kembali kulihat Jembatan Cawang, "Nah ni dia, tempat jin buang anak itu," gumanku sendiri. Malam tengah merayap menuju pagi, Jakarta sudah sangat sepi pada dini hari.Kabut tipis mulai turun, menemani perjalanan panjang yang letih. (***) aji setiawan

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Aku Pewaris Harta Melimpah

read
155.9K
bc

Dendam Istri yang Tersakiti

read
2.8K
bc

Menantu Dewa Naga

read
180.1K
bc

SESAL (Alasan Menghilangnya Istriku)

read
15.4K
bc

Aku Pewaris Keluarga Hartawan

read
147.7K
bc

Di Balik Topeng Pria Miskin

read
865.1K
bc

Suamiku Ternyata Bukan Orang Miskin

read
6.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook