Pengirim 200 juta

1548 Words
"Pagi Alena, berhubung dokter Zafran mengajukan cuti dan sudah menyetujui kepulangan kamu hari ini maka untuk pemeriksaan terakhir akan dilakukan dokter Yaya. Apa ada keluhan?" tanya perawat yang masuk shift pagi. Dia datang bersama dokter Yaya dan beberapa rekan perawat yang lain. "Tidak dokter, saya merasa baik-baik saja." "Bagus kalau begitu, sebentar saya periksa terlebih dahulu." Dokter Yaya mulai melakukan pemeriksaan dasar untuk mengcek tekanan darah, tengsi dan juga beberapa luka yang Alena dapati pasca kecelakaan. "Sudah baik ya, semua aman terkendali," ucap Dokter Yaya lagi. Alena mengangguk. Beberapa perawat dan dokter Yaya pamit untuk keluar karena akan menemui pasien yang lain. Alena tidak tahu kenapa dokter Zafran sampai mengajukan cuti? Apa ada masalah serius? Mungkin saja. Barang-barang Alena sudah dirapikan dan dimasukkan ke dalam tas besar oleh suster Erin. Sekarang sudah pukul tujuh pagi. Alena membuka selimut dan menginjakkan kakinya ke lantai. Seperti biasa, dia jalan dengan cara meraba-raba menggunakan tangan agar bisa mendeteksi sesuatu yang ada di depannya. Alena sudah begitu hafal dimana letak handuk dan keperluannya untuk mandi. Sebelum itu dia membawa pakaian ganti ke dalam kamar mandi. Memang tidak mudah, terkadang Alena juga kesusahan mencari pakaian sehingga memerlukan bantuan orang lain. Alena sadar dia belum bisa hidup sendiri, dia masih butuh orang untuk mengarahkannya. Namun menjadi benalu dalam hidup orang lain sangat-sangat tidak adil untuk orang lain tersebut. Kesalahan apa yang mereka miliki sampai harus merawat dan menjaga Alena. Alene mendengar suara pintu kamar terbuka, sepertinya ada yang datang. Namun suara percikan air dari kamar mandi sudah menandakan dimana Alena berada. Alena cukup kesulitan untuk mengganti pakaian, bahkan ia kehilangan pakaian dalamnya. Apa yang harus Alena lakukan. Sepertinya Alena lupa membawa pakaian dalam bagian atas. Bodohnya Alena. Tubuhnya masih terbalut handuk, Alena memegangnya dengan begitu erat. “Siapa yang datang?” teriak Alena cukup kuat. “….” Tidak ada yang menjawab. Mungkin Alena salah mendengar, sepertinya tidak yang datang ke sini. Mau tidak mau Alena memilih keluar dengan memakai handuk. Ia juga membawa pakaian yang belum terpasang. Alena berjalan sangat pelan sekali untuk mencapai lemari kecil yang berada di sudut ruangan. Alena sudah hafal tempatnya dimana sehingga tidak terlalu susah mencarinya. Di dalam lemari hanya tinggal satu pakaian lengkap yang akan dia pakai hari ini sebelum pulang, pakaian yang lain sisanya sudah masuk ke dalam tas. Pakaian dalam bagian atasnya memang tertinggal, Alena langsung mengambil dan memakainya. Namun ada suara langkah kaki. “Siapa itu?“ ujar Alena langsung. Ia makin ketakutan sehingga memeluk pakaian yang belum terpasang dengan begitu erat. “Dokter Zafran?” tebak Alena. “Bukan!” Suara bariton yang sangat Alena kenal. Ya dia adalah Bagas. Entah ada angin darimana sehingga ia bisa datang sepagi ini. Bahkan untuk datang ke perusahaannya saja dia tidak pernah sepagi ini. Oke mungkin Bagas sedang dalam mode rajin sehingga bisa meluangkan waktu sepagi ini. Tentu saja sebelum masuk ke dalam kamar rawat Alena, dia sudah meminta izin terlebih dahulu. Perawat tidak melarang karena identitas Bagas sudah terkonfirmasi dan Alena tidak menolak kehadiran Bagas selama ini. Niatnya hanya ingin melihat Alena sebentar saja, tetapi ternyata ia tidak mendapati Alena di ruangan. Suara gemercik air menjadi jawaban dimana Alena berada. Bagas tahu Alena sedang membersihkan diri, tetapi kakinya tidak ingin pergi. Saat Alena keluar kamar mandi hanya dengan menggunakan handuk barulah Bagas kewalahan sendiri. Ia bahkan meneguk air ludahnya dengan susah payah. Hanya melihat sekilas saja karena Bagas sudah memutar tubuhnya ke arah lain. “Ke-kenapa bisa a-da di sini?” tanya Alena dengan suara terbata-bata. “Jangan lihat!!!” ujar Alena lagi. Sejak tadi Bagas sudah membelakangi Alena sehingga tidak bisa melihat Alena yang belum menggunakan pakaian dengan sempurna. “Saya keluar,” ujar Bagas dengan langkah kaki cepat. Alena dapat bernafas lega meskipun sejak tadi detak jantungnya tidak karuan. Alena langsung berdiri dan mencari dimana posisi pintu berada. Dia memang salah karena tidak mengkunci pintu terlebih dahulu. Tidak butuh waktu lama, Alena dapat menemukannya. Dia mengkunci pintu tersebut sampai pakaiannya benar-benar terpasang dengan sempurna. Setelah selesai mengganti pakaian, Alena membuka pintu kamar. Dia tidak berharap banyak apakah Bagas masih menunggu dirinya atau sudah pergi. “Jadi kamu pulang hari ini?” tanya Bagas secara tiba-tiba. Debar jantung Alena makin menjadi-jadi. Apa yang sedang rasakan? Alena tidak menyukai perasaan ini karena rasa ini tidak pantas untuk orang seperti dirinya. Bagas belum pergi, dia menunggu Alena di luar sampai pintu terbuka. “Maaf,” ujar Bagas lagi sebelum Alena angkat bicara. Apa yang Bagas lakukan sangat tidak sopan sehingg meminta maaf adalah pilihan yang baik. “Minta maaf untuk?” “Karena melihat apa yang seharusnya tidak saya lihat,” jelas Bagas. Pipi Alena bersemu merah, ia sangat-sangat malu sekali karena bisa seteledor itu. “Kenapa ke sini?” “Apa tidak boleh saya melihat kamu?” Bukannya menjawab, Bagas malah membalas dengan pertanyaan. Alena tidak menjawab. Bagas memilih untuk duduk pada kursi yang terletak di dinding. “Jam berapa keluar dari rumah sakit?” “Sebentar lagi, tunggu dokter Zafran jemput terlebih dahulu.” Zafran sengaja mengambil cuti untuk bisa mengantar Alena pulang ke rumah. Ia juga akan membantu Alena membeli kebutuhan pribadi. “Jadi kamu memang tinggal di rumahnya?” Nada ketus itu keluar dengan sendirinya. Alena tidak menjawab. Bagas tidak bisa melakukan banyak hal karena hubungan mereka memang tidak sedekat itu. “Mas nggak kerja?” “Itu bukan hal penting, kenapa kamu ingin tinggal dirumah dokter itu?” “….” Bagas tertawa dengan tidak niat. “Oke, saya pamit. Semoga kamu betah untuk tinggal di rumah dia.” Bagas memilih untuk keluar, ia terlalu malas melihat drama antara Zafran dan Alena yang hanya membuat sakit mata saja. “Tunggu,” ujar Alena. Langkah kaki Bagas terhenti. “Terima kasih untuk semua yang Mas lakukan selama ini. Terima kasih sudah membuat aku menjadi sosok yang kuat. Terima kasih menjadi pendengar yang baik. Jaga kesehatan dan semoga bertemu dengan orang-orang baik.” Bagas tidak memberikan respon apapun, dia menarik gagang pintu. Kebetulan ada juga yang mendorong gagang pintu dari luar. Baru kali ini Bagas dan Zafran bertemu secara langsung. Mereka saling tatap tetapi sangat sulit diartikan tatapan apa yang mereka berikan. Bagas memutuskan kontak mata pada Zafran, dia memilih untuk pergi dan tidak ingin berbas-basi. “Luar biasa, Pak Bagas baik sekali sampai mengirim saya uang 200 juta,” ujar Zafran yang menutup pintu ruang rawat Alena dari luar. Dia tidak jadi masuk dan malah berbalik menghadap Bagas. “Anda berbicara kepada siapa?“ “Kepada anda Bapak Bagas. Jangan pikir saya tidak tahu tindakan Anda.” Ada nada tidak suka yang keluar dari mulut Zafran. Untung saja Zafran memiliki kenalan yang bekerja di bank dan juga memiliki jabatan yang tinggi. Mencari informasi siapa yang mengiriminya uang bukan hal sulit. Memang bukan atas nama Bagas, tetapi atas nama Vero Rardian. Zafran mencari identitas Vero dah ternyata dia adalah sekretaris Bagas. Zafran tidak kenal dengan sosok Vero, jadi kenapa dia mudah mengirim uang? Setelah Zafran melakukan pengumpulan data dan menganalisa maka dia menemukan sebuah informasi yang cukup mengejutkan. Bagas berbalik badan, dia tidak jadi melangkah pergi dan malah meladeni Zafran. “Saya tidak mengerti maksud Anda dokter Zafran!” Bagas seakan-akan menjadi sosok yang polos yang tidak mengerti tentang apapun. Zafran tersenyum penuh arti. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. “Tidak usah berpura-pura Bapak Bagas, kenapa Anda sampai mengirim saya uang 200 ratus juta? Saya masih punya uang jadi tidak butuh uang dari Anda!” “Oh!” “Oh?” beo Zafran. “Anggap saja saya sedang buang-buang uang,” ujar Bagas lagi. “Saya tidak menerimanya Bapak Bagas, Anda kira saya mau memiliki uang yang bukan hak saya. Zafran tidak akan menerima uang tersebut. Bagas sedikit tertawa. “Anda benar-benar luar biasa Bapak Bagas, saya tidak mengenal Anda dan juga tidak ingin mengenal Anda. Rasanya mengirim uang seperti ini merendahkan harga diri saya.” “Uang itu adalah nominal yang harus saya bayar bukan untuk segala pengobatan yang Alena lakukan selama di rumah sakit, saya hanya mengganti uang Anda. Jika kurang saya bisa mengirim kembali, tetapi jika berlebih maka Anda bisa membuangnya ke dalam tempat sampah,” ujar Bagas penuh penekanan. Zafran benar-benar dibuat kebingungan, apa hubungan Bagas dengan Alena sampai mengganti uang yang sudah dia bayarkan kepada pihak rumah sakit. “Sebaiknya Anda jangan membuat masalah, saya pamit,” ujar Bagas lagi sambil berbalik. Zafran tidak membiarkan hal itu terjadi, dia menarik tangan Bagas agar tidak pergi. “Ada hubungan apa Anda dengan Alena?” Bagas tidak suka jika ada orang lain yang menyentuh tangannya, apalagi seseorang yang bahkan tidak dia kenal dengan baik. Bagas langsung menghempaskan tangan Zafran dengan begitu kuat. Kemudian Bagas mengambil sapu tangan yang tersimpan dibalik jas dan membersihkan tangannya seakan-akan bekas pegangan Zafran meninggalkan kuman memantikan. “Jangan pernah menyentuh saya, bisa saja saya membuat tangan Anda tidak akan bisa mengobati orang lain lagi.” Zafran tidak memperdulikan hal tersebut. “Ada hubungan apa Anda dengan Alena?” tanya Zafran lagi. “Anda bukan siapa-siapa Alena dan saya juga tidak mengenal Anda, jadi saya tidak punya kewajiban untuk menjawab pertanyaan Anda.” Bagas membuang sapu tangan ke dalam tempat sampah, dia tidak ingin menggunakannya lagi. “Tidak usah meciptakan bara api, saya tidak akan mengganggu dokter jika dokter tidak mengganggu ketenangan saya,” ucap Bagas sebelum benar-benar pergi melangkah menjauhi Zafran.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD