Tidak ada beda siang dan malam bagi Alena, setiap detiknya ia hanya bisa melihat kegelapan yang tiada akhir. Alena berpikir sejenak, dia tidak tahu sekarang pukul berapa. Tetapi sudah cukup lama waktu berlalu sejak Bagas pergi. Entah kenapa Alena merasa bersalah, tetapi apa yang dia katakan tidak ada yang salah.
Orang asing? Ya belum genap 1 bulan mereka bertemu dan saling berbagi cerita, Alena menganggap sosok Bagas hanyalah seseorang yang melihatnya dengan raut wajah kasihan. Siapa yang tidak kasihan dengan Alena? Semua juga tahu jika dia hanya tinggal sendiri dengan penglihatan yang sudah rusak.
Alena tidak berharap apa-apa pada Bagas, dia sadar diri karena begitu banyak kekurangan yang ada pada dirinya. Sejak awal Alena hanya ingin menikmati kehidupan pasca kecelakaan, meskipun terasa amat berat dan juga sulit. Alena tidak menyangkal jika kehadiran Bagas mampu membuat warna dalam hidupnya. Ingin egois dengan tidak sadar diri, merasa bisa untuk dekat dengan Bagas. Perasaan itu menjadi bumerang sendiri untuk Alena.
"Sore Alena," sapa Dokter Zafran yang baru masuk.
"Sore juga dokter." Alena tersenyum sedikit. Ternyata sudah sore, Alena cukup terkejut karena hari yang ia kira akan berjalan dengan lebih lambat malah sebaliknya.
"Bagaimana keadaan Alena?"
"Seperti biasa dok."
"Besok pagi Alena sudah bisa pulang."
"Saya ingin pulang ke rumah Dok.'
Alena mengurungkan niatnya untuk tinggal sementara di rumah dokter Zafran. Dia tidak ingin menjadi beban untuk orang lain.
"Kenapa begitu?" tanya dokter Zafran. Padahal kemaren Alena sudah setuju untuk tinggal sementara di kediamannya.
"Tidak apa-apa Dok, saya hanya ingin tinggal di rumah" Alasan yang sama sekali tidak bisa diterima oleh dokter Zafran.
"Apa kamu takut tinggal di rumah saya, Alena?"
Alena terdiam sejenak, dia sama sekali tidak takut. Apa yang orang lain inginkan dari dirinya? Hanya bisa menjadi beban saja.
"Jika alasan kamu masuk akal, maka saya tidak akan memaksa," ucap dokter Zafran lagi.
"Saya hanya ingin tinggal dirumah Dok."
Dokter Zafran hanya bisa menghela nafas panjang. Jawabannya tidak jauh berbeda dengan jawaban pertama. Jika dalam keadaan normal, ya jika penglihatan Alena tidak bermasalah maka dokter Zafran tidak akan menawarkan Alena untuk tinggal dirumahnya sementara waktu. Tentu saja akan terjadi fitnah yang cukup besar nantinya.
"Alena, ini bukan soal keinginan tetapi tentang keadaan yang tengah kamu alami sekarang."
Alena sadar, ia sangat sadar jika sekarang ruang geraknya mengalami keterbatasan.
"Saya tahu Dok, saya sangat tahu keadaan saya sekarang."
"Saya tinggal bersama orang tua, jadi kamu tidak perlu takut apapun."
Alena tertawa sedikit. "Apa yang harus saya takutkan Dok?"
"Alena jangan seperti ini, jika saya melepaskan kamu tinggal sendiri maka saya akan merasa gagal menjadi dokter"
"Dokter tidak memiliki kewajiban untuk menjaga atau bahkan merawat saya, jadi jangan khawatirkan tentang hidup saya."
Alena tidak bisa berkata banyak, orang yang bahkan memiliki ikatan darah dengannya saja menghilang bagai ditelan bumi. Lantas kenapa Zafran harus bersusah-susah untuk masuk dalam kehidupannya. Alena tidak ingin itu terjadi, dia sadar jika dokter Zafran adalah dokter yang baik, lembut dan ramah. Tidak ada yang menentang hal tersebut, tetapi Alena cukup sadar diri untuk tidak memanfaatkan kebaikan orang lain.
Dokter Zafran berdiri, cahaya matahari sudah hampir tenggelam.
"Saya tidak keberatan Alena, jadi ayo tinggal dirumah saya," ucap dokter Zafran sambil menggeser gorden jendela agar bisa tertutup dengan baik. Jendela hanya dibuka sampai siang hari saja, itupun atas permintaan Alena.
"Kenapa saya harus tinggal di sana? Apa saya terlalu menyedihkan?"
Dokter Zafran melambatkan langkahnya. "Tidak begitu Alena, bukankah manusia makhluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya. Nanti jika kamu bisa hidup sendiri maka saya tidak akan melarang."
Alena mencengkram selimutnya. "Saya bisa hidup sendiri Dok."
Perkataan Alena terkesan sombong seakan-akan hidupnya masih normal, nyatanya hidup tidak sesederhana itu. Dokter Zafran kembali duduk di kursi yang tersedia di samping ranjang.
"Saya tahu kamu sudah bisa ke kamar mandi sendiri, saya juga tahu kamu bisa berjalan sendiri di kamar ini. Bukankah kamu butuh waktu untuk menyesuaikan semuanya sehingga terbiasa?"
"Ya memang benar jika saya butuh waktu untuk menyesuaikan diri pada lingkungan baru, tetapi saya tinggal dirumah saya sudah bertahun-tahun lamanya. Jadi saya tidak butuh waktu yang lama untuk menyesuaikan diri."
Alena tidak berkata jujur, dia baru tinggal dirumah sekarang selama 1 tahun lamanya. Dia bahkan tidak mengenal tetangga dan juga tidak tahu lingkungan sekitar. Menjadi anak rumahan yang sibuk dengan belajar dan juga membantu keluarganya di toko roti membuatnya tidak tahu tentang orang dan lingkungan sekitarnya.
"Bagaimana nanti kalau kamu berniat mengakhiri hidup?"
Alena membuang muka dari arah sumber suara. Bunuh diri? Apakah di otak kecilnya masih terbesit rasa ingin mengakhiri hidup? Entahlah. Alena sadar jika mengakhiri hidup adalah jalan yang salah. Allah tidak menyukai perbuatan itu, dia juga tidak bisa bertemu dengan keluarganya nanti di akhirat. Bukankah itu lebih menyakitkan daripada sekarang.
"Dokter tidak perlu khawatir soal itu, saya tidak akan melakukannya lagi. Sudah cukup hidup saya kacau di dunia ini dan saya tidak ingin menderita di akhirat kelak. Saya minta maaf selama berada di rumah sakit karena menyebabkan kekacauan."
Notif ponsel dokter Zafran terdengar, ia langsung mengambil ponsel dari saku. Jika ada dering notif ataupun dering panggilan, dokter Zafran akan dengan cepat mengambil ponselnya. Dia harus siaga, bagaimana jika notif itu berasal dari perawat ataupun dokter yang lain yang mengatakan ada pasien yang harus segera ditangani. Hidup dokter adalah untuk pasiennya, bahkan mereka rela meninggalkan anak dan istri di rumah.
Ternyata notif dari email dan juga dari e banking. Dokter Zafran mengerutkan keningnya tanda kebingungan, bahkan kerutan itu berjumlah 3. Isi notifikasi itu adalah tentang ada nominal uang yang masuk ke dalam tabungannya. Awalnya dokter Zafran mengira itu adalah penipuan yang sering terjadi dikalangan masyarakat. Apalagi nominal uangnya tidak sedikit yaitu dua ratus juta rupiah.
"Dokter tidak bekerja?" tanya Alena untuk memecahkan keheningan yang terjadi beberapa menit.
"Saya shift pagi jadi sekarang sudah pulang."
"Kenapa dokter tidak pulang?" tanya Alena penasaran. Untuk apa menghabiskan waktu bersama dirinya, itu hanya buang-buang waktu saja.
Siapapun tahu jika dokter Zafran sudah melakukan pekerjaan yang cukup sibuk beberapa hari ke belakang karena ada pasien yang harus ia tangani. Meskipun begitu sibuk, dokter Zafran selalu menyempatkan waktu untuk melihat Alena di luar jam kerjanya. Kisah Alena yang begitu memilukan pertama kali diketahui oleh dokter Zafran. Desi yang menceritakan semuanya dan tidak ada yang terlewat sedikitpun.
"Saya hanya ingin menemani kamu sebentar." Dokter Zafran selalu berkata jujur.
Alena tersenyum dan mengucapkan terima kasih.
"Jika ingin berterima kasih maka terima tawaran saya." Dokter Zafran kembali membahas sesuatu yang ternyata belum jelas dan selesai.
"Pantas saja banyak orang yang kagum dan menyukai dokter," kekeh Alena. Tangannya bergerak untuk mencari tempat minum. Dokter Zafran hanya melihat tanpa membantu, namun dia juga berjaga-jaga agar Alena baik-baik saja. Alena meraba-raba nakas dengan pelan, ia tidak tergesa-gesa karena takut akan membuat sesuatu yang buruk. Contohnya, bisa saja jika sentuhannya salah akan membuat cangkir plastik terjatuh ke lantai dan membuat air bertumpahan.
Dokter Zafran tersenyum seakan bangga dengan apa yang baru saja Alena lakukan. Alena dapat mengambil cangkir plastik tersebut. Mungkin tenggorokannya kering sehingga butuh asupan air untuk melepaskan dahaga.
"Siapa yang kagum?" Dokter Zafran seakan pura-pura tidak tahu. Padahal tatapan orang-orang yang bekerja di rumah sakit, pasien dan juga keluarga pasien sangat berbinar-binar. Suster Erin sering kali mengoceh tentang dokter Zafran yang masih sendiri sampai sekarang.
"Dokter tidak usah berpura-pura tidak tahu, bahkan banyak perempuan yang ingin menikah dengan dokter."
"Kamu ingin menikah dengan saya?"
Alena terdiam, apa maksud pertanyaan itu. Dia hanya bisa tertawa seakan-akan dokter Zafran baru saja melontarkan candaan. Dokter Zafran juga ikut tertawa.
"Mereka hanya melihat saya dari luar saja, mereka tidak tahu begitu banyak kekurangan-kekurangan saya," jelas dokter Zafran. Ia melihat isi laci nakas, ternyata begitu banyak makanan dan juga buah-buahan.
"Kamu mau Apel Alena?" tawar Zafran.
"Boleh." Alena mengulurkan tangannya meminta Apel tersebut.
Dokter Zafran tidak langsung memberikannya, dia berjalan ke kamar mandi sebentar untuk mencuci buah apel tersebut agar lebih higienis.
"Tidak usah dipotong dok, saya ingin memakannya secara langsung."
Dokter Zafran tidak melarang, ia memberikan satu apel pada tangan Alena.
"Kenapa dokter belum menikah? Banyak orang yang penasaran." Alena mulai menggigit Apel dengan perlahan. Rasanya benar-benar manis.
"Tidak usah bahas itu." Dokter Zafran mengira itu bukan hal yang penting.
"Saya ingin membahasnya, bisa saja nanti saya menjual informasi itu kepada orang-orang yang ingin tahu."
Dokter Zafran mengelus pucuk kepala Alena yang tertutup hijab.
"Tidak boleh menyentuh perempuan yang bukan mahram Dok, apalagi dokter sedang tidak bekerja."
Dokter Zafran tersenyum. Dia langsung menyingkirkan tangannya dari kepala Alena dan tidak lupa meminta maaf. Zaman sekarang masih ada perempuan yang menjaga dirinya dengan sangat baik.
"Banyak makanan di laci, siapa yang ngasih?"
"Mas Bagas, tadi pagi dia baru datang ke sini."
"Mas Bagas?" beo dokter Zafran. Alena mengangguk karena sepertinya dokter Zafran memerlukan kepastian lagi.
"Saya tidak pernah bertemu dengan dirinya, kamu selalu berbicara soal Bagas. Siapa itu?"
Ketika dokter Zafran memiliki waktu luang, maka Bagas tidak berkunjung begitupun sebaliknya. Jadi wajar sampai sekarang Zafran dan Bagas tidak pernah bertemu.
"Saya tidak mengenalnya dengan dalam, saya hanya tahu dia sosok baik yang selalu menemani saya bercerita."
"Suster Erin tahu?"
Alena kembali mengangguk.
"Jangan terlalu percaya dengan orang yang baru kamu kenal."
Alena mengerutkan keningnya. "Untuk apa orang lain menjahati saya dok, tidak ada guna dan buang-buang waktu."
"Bukan begitu Alena, saya hanya tidak ingin orang lain melakukan hal buruk kepada kamu."
Alena berterima kasih atas segala kekhawatiran dan juga perhatian sang dokter. Mereka berbincang-bincang kembali. Sesekali dokter Zafran juga melontarkan candaan yang mampu membuat Alena tertawa. Adzan maghrib berkumandang, dokter Zafran memberi ruang kepada Alena untuk bersiap-siap shalat. Dia juga pergi menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim.
Alena mulai menggeser selimutnya, dia perlahan-lahan menginjakkan kaki ke lantai. Alena sudah bisa berjalan dengan baik, dia langsung melangkahkan kaki untuk menuju kamar mandi sambil meraba-raba. Alena dapat merasakan beberapa benda yang cukup familiar, sesekali kakinya juga hampir tersandung. Untuk bisa seperti sekarang, Alena sudah berlatih ratusan kali. Kadang ia terjatuh, kadang salah langkah dan juga salah-salah lainnya.
***
"Kenapa Pak?" tanya Vero baru saja masuk ke dalam ruangan kerja Bagas.
"Tidak usah panggil Pak!"
Vero tertawa. Padahal umur mereka sama, tetapi dalam dunia pekerjaan harus profesional.
"Mana?" Bagas mengulurkan tangan untuk meminta sesuatu.
"Memang nggak bisa lama," gerutu Vero sendiri. Dia menyerahkan map yang berisi dokumen. Bagas langsung membuka map tersebut, dia melihat identitas dari dokter Zafran. Ternyata tidak terlalu buruk karena merupakan lulusan dari universitas yang cukup terkenal di korea selatan. Keluarganya juga lumayan kaya meskipun tidak sekaya Bagas.
"Jangan ganggu orang, kebiasaan!" omel Vero. Terkadang Bagas melakukan tindakan yang sama sekali tidak perlu. Bahkan hanya karena seseorang yang menyinggungnya di sosial media dia langsung memberikan pelajaran meski bukan dengan tangannya sendiri.
Bagas tidak menghiraukan tersebut. "Sudah kirim uang ke rekeningnya?"
"Sudah, emang dia siapa?"
Bagas tidak menjawab. Dia kembali membaca kata demi kata yang tertera pada kertas tersebut.
Vero benar-benar tidak mengerti jalan pikiran atasannya sekaligus temannya itu. "Lo nggak ke rumah sakit?" Bahasa yang Vero gunakan mulai tidak formal karena bukan jam kerja lagi.
"Dia anggap gue orang asing," curhat Bagas.
"Ya apa salahnya, siapa juga yang bakal percaya sama orang yang baru kenal beberapa minggu. Mimpi lo kejauhan."
"Jangan bilang lo beneran jatuh hati sama dia!" sindir Vero dengan senyum meremehkan.
Bagas sontak menajamkan matanya, wajahnya makin suram seakan tidak suka dengan perkataan yang keluar dari mulut Vero.
Vero mengangkat kedua tangannya seakan meminta pengampunan kalau dia berbuat salah.
"Kalau lo nggak jatuh hati ya nggak usah baper dibilang orang asing doang."
Plak
Vero teriak karena ada sesuatu yang menyapa kepalanya. Siapa lagi yang berani melakukan itu kecuali Bagas. Bagas seperti tidak punya hati sehingga melempar Vero dengan menggunakan map yang baru saja selesai dia baca. Vero hanya mampu untuk mengusap-usap bekas yang terkena lemparan tersebut.
Seperti biasa, setelah melakukan tindakan yang bisa membuat kepala bocor. Bagas akan bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Dia malah mengepalkan tangannya seperti ingin menghancurkan sesuatu.
"Sikap lo yang buruk gini hanya gue yang tahu," oceh Vero. Pokoknya Bagas seperti orang yang bermuka dua. Bagas berdiri, dia melonggarkan dasi yang masih terpasang rapi.
"Lo kalau nggak ada kerjaan lebih baik keluar!"
Vero memijat pangkal hidungnya, dia tidak hanya ingin keluar dari ruangan ini tetapi juga ingin pulang. Jika bukan karena permintaan Bagas yang ingin segera mendapat informasi lengkap mengenai Zafran maka dia tidak akan ada disini sekarang. Lebih baik Vero pulang untuk bermain PS dari pada di perusahaan. Vero tidak mengeluarkan segala macam sumpah serapah yang sudah sampai ke ujung lidahnya. Dia memilih untuk keluar dari ruangan sang atasan. Vero tidak pulang, dia akan menunggu Bagas untuk pulang lebih dulu. Kenapa begitu? Vero tidak akan mau untuk kembali ke perusahaan jika sudah sampai di rumah. Kadang Bagas menyuruhnya untuk masuk ke dalam ruangan untuk membahas hal penting. Pokoknya Bagas itu tidak bisa ditebak, tingkahnya berubah-rubah seperti bunglon.