"Kayaknya gue nyerah, Na, gue ngga bisa bikin Wildan lihat gue. Apa emang ini udah waktunya, ya? Bahkan mungkin ini juga yang Wildan tunggu-tunggu dari dulu. Gue pengen gugat cerai Wildan, Na."
Cerai?
Ayna menatap kaget wanita yang duduk tepat dihadapannya. Tunggu, tunggu, apa telinganya salah mendengar? Apa ... telinganya keliru menyimpulkan?
"Lo ngga salah dengar, Na, gue emang capek. Rasanya gue pengen hidup tenang, fokus ngurus Rena. Kalau begini terus lama-lama gue bisa gila. Setelah cerai gue ngga perduli Wildan mau lakuin apa atau deketin lo lagi. Lagipula gue yakin usaha Wildan ngga akan mudah karna Varrel selalu berdiri di depan lo. Kal–"
"Lo gila ya, Kak?" potong Ayna. "Lo ngga mikirin Rena nanti gimana? Kak, bahkan lo sendiri yang akuin kalau usaha Wildan deketin gue akan sia-sia. Lalu kenapa lo nyerah? Itu sama aja lo korbanin masa depan Rena. Rena butuh kalian, butuh kasih sayang utuh. Lo harus mikir panjang sebelum bertindak," sambungnya.
Saat ini jujur saja Ayna syok. Bagaimana tidak, sejak dulu dia sangat tahu bagaimana sifat Allysa yang pantang menyerah apalagi menyangkut Wildan. Tapi hari ini sosok Allysa yang ambisius seakan musnah entah ke mana. Ayna memang mewajari kalau Allysa lelah dengan keadaan, tapi dia tidak menyangka sampai membahas perceraian.
"Terus menurut lo gue harus ngapain, Na? Selama ini gue udah usaha, bahkan sampai Rena udah sekolah."
Sejenak Ayna terdiam. Otak mungilnya seketika bekerja keras memikirkan jawaban yang tepat atas pertanyaan yang Allysa layangkan.
"Bahkan lo sendiri ngga tau mau jawab apa, Na."
"Coba terus yakinin dia, Kak, intinya lo jangan nyerah. Gue akan bantu sebisa mungkin, karna situasi ini juga merugikan gue. Lo bahkan tau sendiri beberapa kali gue berantem sama Varrel karna Wildan. Gue mau masalah ini secepatnya selesai, gue akan cari solusi yang terbaik demi kita semua," jawab Ayna tegas. Kali ini tekadnya sudah bulat, sepertinya memang dia harus turun tangan kembali.
Rania yang berada diantara dua orang dewasa hanya terdiam sambil menikmati roti bakar serta milk shake miliknya. Maklum, otak mungilnya belum mampu mencerna. Maka dari itu dia hanya fokus makan.
"Trust me, kita lewatin ini sama-sama ya? Jangan lagi hindarin gue." Tangan Ayna terulur menyentuh tangan Allysa.
Awalnya Allysa tidak merespon apapun, tetapi pada akhirnya dia mengangguk mengiyakan. "Gue kasih lo kesempatan, Na, begitupun gue. Gue akan kasih Wildan satu kali kesempatan."
Lega.
Perasaan itulah yang Ayna rasakan saat ini. Setidaknya Allysa masih mau memberinya waktu untuk menyelesaikan ini semua. Tinggal bagaimana nanti mengeksekusinya, Ayna fikirkan belakangan.
***
Masak makan siang sudah, menata ke dalam tempat makan juga sudah. Ayna tersenyum, akhirnya pekerjaan yang sejak tadi dia geluti berakhir. Yups, memasak untuk makan siang memang sudah jadi rutinitas Ayna karena dia selalu mengantar makanan itu kepada suaminya. Urusan dapur selesai, Ayna menoleh melihat ke arah ruang televisi.
Tidak ada suara apapun, sedang apa anaknya? Tidak biasanya gadis kecilnya itu anteng menonton televisi. Karena penasaran, setelah mencuci tangan Ayna bergegas ke ruang televisi. Tepat di sofa, tubuh Rania terbaring santai. Televisi memang menyalah, tetapi yang menonton rupanya tertidur. Ayna mendekat, duduk di lantai lalu tangannya terulur mengusap kepala Rania.
"Anak cantiknya Ibu," ujar Ayna pelan. Rasanya kalau melihat sang anak tidur hati Ayna damai. Apalagi Alaska sekolah, tambah-tambah saja rasa damainya.
Niat hati mau mengajak Rania menjemput Alaska lalu ke kantor, tetapi apa daya anaknya tidur. Lagipula ini memang jamnya untuk tidur siang. Perlahan-lahan Ayna mengangkat tubuh mungil Rania. Karena gerakan tangannya tubuh Rania bergeliat. Gadis mungil itu tidak bangun, justru memeluk leher Ayna saat tubuhnya diangkat.
"Bi Ani, aku titip Nia, ya? Dia tidur, aku mau jemput Alaska sambil antar makan siang ke kantor Varrel," ujar Ayna, saat papasam dengan Ani di depan tangga.
"Iya, Mbak, aman." Ani mengacungkan kedua jempolnya.
Tidak langsung beranjak, Ani masih memperhatikan tubuh Ayna yang kini menaiki satu per satu anak tangga. Sejak awal bekerja, sampai majikannya punya dua anak, Ani cukup kagum dengan kedua majikannya. Mereka sama sekali tidak memakai jasa babysitter, semua diurus sendiri walaupun terkadang ada keluhan demi keluhan lelah.
Setelah menaruh Rania di atas kasur tak lupa Ayna menyelimuti tubuhnya. Dirasa sudah cukup wanita itu beranjak mengambil tas serta ponsel di atas meja lalu turun ke bawah. Tepat di depan pintu langkah Ayna terhenti.
"Abang? Kok udah sampai rumah? Ibu belum telat jemput kok." Ayna berjongkok, memegang kedua lengan Alaska. Dengan teliti dia memperhatikan tubuh anak sulungnya. "Kamu sakit, Bang?"
"Engga, Buna, aku memang udah pulang."
"Kamu pulang sama siapa?"
"Aunty Allysa dan Rena."
Refleks Ayna menghembuakan napas leganya. Ketegangannya seketika luntur, Ayna mencium punggung tangan Alaska. "Syukur kalau memang sama Aunty. Sekarang Aunty sama Rena di mana?"
"Udah pulang."
Ayna mengangguk-anggukan kepalanya. "Yaudah kamu ke kamar ya? Ganti baju, bersih-bersih, lalu makan. Ibu mau ke kantor ayah antar makan siang."
"Alaska mau ikut boleh?"
Jika tadi kepalanya mengangguk sekarang Ayna menggeleng. "Kamu udah sampai rumah, jadi di rumah aja sama Bibi. Adiknya juga tidur, ngga ikut. Oke? Ingat apa yang Ibu bilang tadi?"
"Iya, Buna."
"Pintar anaknya Buna." Tangan Ayna mengusap pucuk kepala Alaska.
Setelah menitipkan Alaska kepada Ani Ayna berlari kecil menuju meja makan. Bisa-bisanya dia mau pergi tapi makanannya tidak dibawa.
***
Beberapa sapaan Ayna dapatkan saat dia masuk ke dalam area kantor. Walaupun sudah beberapa tahun berlalu, tetapi kantor ini tidak ada yang berubah. Beberapa orang yang Ayna kenal juga masih ada termasuk Rangga. Pria itu seperti karyawan tetap, sama seperti Karina. Sedangkan Agatha? Wanita itu memutuskan resign setelah menikah.
Pintu lift terbuka, Ayna langsung masuk. Di dalam lift ada beberapa orang, mereka seakan menjaga jarak. Dalam hati Ayna berdecak, padahal tidak harus seperti itu dirinya dispesialkan. Tidak mau mengambil pusing, Ayna membiarkan saja.
Ting!
Saat pintu lift terbuka di lantai tujuan Ayna langsung ke luar. Senyumnya mengembang, buru-buru dia menuju ruangan Varrel. Tiba di ruangan tujuan Ayna langsung masuk tanpa mengetuk pintu.
"Sayang!"
Mendapati yang datang adalah istrinya Varrel tersenyum. Pria itu memberi kode agar mendekat. Ayna yang paham itu dengan senang hati mendekati. Ditaruhnya tentengan yang dia bawa ke atas meja, lalu Ayna memeluk erat tubuh Varrel. Aroma yang menyeruak di hidung membuat Ayna seketika merasa nyaman.
"Kamu ke sini sendiri, Ay?"
"Memang kamu maunya aku sama siapa? Abang-abang tukang gorengan?"
Varrel tertawa. Sambil menuntun sang istri duduk di atas pangkuannya dia menjawab, "bukan gitu, sayang. Aku fikir kamu sama Alaska karna sekalian jemput dia. Emang dia pulang cepat atau gimana?"
"Alaska bareng kak Allysa katanya. Tadi pas aku mau jalan, dia udah sampai duluan. Kalau Rania tidur, kalau engga sih udah pasti ikut," jawab Ayna sambil mengusap-usap pipi Varrel.
Sebetulnya ada untungnya Alaska dan Rania tidak ikut. Walaupun hanya di kantor, setidaknya Ayna bisa berduaan dengan suaminya. Karena kalau di rumah, Varrel sudah dikuasai kedua anaknya. Jangankan bermesraan, deeptalk saja harus menunggu mereka terlelap damai.
"Kenapa?" tanya Varrel menatap Ayna.
"Kangen aja bisa berduaan gini sama kamu. Entah kapan terakhir kali kita bisa begini, kayaknya bisa dihitung jari. Anak-anak kamu tuh rusuh, ngga bisa liat Ibunya senang. Padahal 'kan aku juga mau pelukan, berduaan, manja-manjaan." Ayna cemberut membuat Varrel tertawa.
Apa yang istrinya katakan benar, waktu berdua mereka memang sangat terbatas terlebih saat Rania lahir. Selain karena anak, Varrel juga sadar lebih banyak waktu untuk bekerja.
"Kalau misalnya kita liburan kamu mau ngga? Kita berdua aja. Mungkin seminggu cukup."
"Lalu Alaska sama Rania?"
"Bisa titip ke Bunda, Mama dan Ayah. Mereka pasti ngga akan keberatan kok apalagi Mama."
Tawaran yang Varrel berikan sangat menarik. Bahkan tanpa perlu berfikir Ayna sangat mau jalan-jalan untuk melepas penat. Tapi ... apa bisa dia meninggalkan anaknya? Apa tidak egois?
"Gimana? Kalau mau kita ke Bali aja yang dekat." Lagi, Varrel memberi usul.
"Aku mau, tapi aku fikirin dulu deh. Udah jam makan siang, kamu makan dulu ayo." Ayna turun dari pangkuan Varrel. Diambilnya tas berisi kotak makan, lalu wanita itu berjalan ke arah sofa.
Selagi Ayna menata makanan Varrel membereskan beberapa pekerjaannya. Setelah selesai dia menyusul Ayna duduk di sofa. Menu hari ini Ayna memasak ayam bakar, cumi chrispy, sayur sawi putih, dan juga perkedel jagung. Walaupun terlihat sederhana tetapi memang itu semua Varrel yang request.
Ting!
Ting!
Ayna mengambil ponselnya dari dalam tas untuk melihat siapa yang mengirimnya pesan.
Chat from : Wildan.
Wildan : 'Ayna, kita bisa ketemu?'
Read.
***