Sudah lima menit berlalu, hal yang Varrel lakukan hanya memperhatikan gerak-gerik istrinya yang baru ke luar dari kamar mandi. Hari memang masih siang, tetapi mereka terpaksa mandi serta keramas. Sambil memperhatikan Ayna senyum pria itu tidak luntur sama sekali.
"Kenapa kamu senyum-senyum?" tegur Ayna, menatap pantulan suaminya dari cermin.
"Emang salah kalau aku perhatiin istri sendiri?"
Dengan polosnya Ayna menggelengkan kepala. Ya memang tidak ada yang salah, tidak ada yang salah juga sama pertanyaannya. Tidak mau memusingkan, Ayna kembali fokus mengeringkan rambut sebelum nanti mencatoknya. Tanpa perlu penjelasan Ayna juga sudah tahu apa isi otak suaminya.
"Mumpung anak-anak belum pulang, mau ngga kita lunch di luar? Kita ngelewatin jam makan siang loh ini."
"Ya itu gara-gara kamu!"
"Pahala, Ay."
Ayna mencibir mendengar jawaban Varrel. Memang ya pria itu selalu saja ada jawabannya. Setelah mengeringkan rambut kini Ayna mulai mencatok rambut menjadi bergelombang. Sambil mencatok sesekali Ayna menatap Varrel yang masih duduk di tepi kasur.
"Kamu mau makan apa, Ay? Tolong kali ini jangan jawab terserah," ujar Varrel. Pasalnya sejak dulu setiap istrinya ditanya pasti jawabannya terserah. Mungkin tidak masalah kalau wanita itu langsung setuju sama keputusannya. Tapi ada satu waktu dia menolak yang membuat Varrel bingung bukan main.
Masih sambil dengan aktivitasnya Ayna berfikir. Cukup lama wanita itu berfikir sampai pada akhirnya dia menjawab, "aku mau makan seafood. Jadi yang harus kita lakukan ya ke restoran seafood. Ini seriusan anak-anak ngga mau dijemput dulu?"
Varrel bangkit dari duduknya, berjalan menghampiri Ayna."biarin ajalah mereka di sana dulu. Daritadi mama sama ayah ngga ada yang telepon, itu artinya aman. Biarin mereka main di sana, bosan juga pasti mereka di rumah terus."
"Mereka yang bosan atau kamu yang ngga mau diganggu?" Ayna mencubit pelan perut Varrel.
Cubitan kecil Ayna membuat Varrel meringis. Walaupun sakit, pria itu tetap terkekeh. Tangannya terulur, menepuk-nepuk pucuk kepala Ayna. "Selain hiburan buat mereka, ini juga hiburan buat kita. Kapan lagi kita bisa berduaan tanpa gangguan? Aku kangen moment-moment kita dulu. Ngga kerasa ya udah delapan tahun berlalu."
Benar juga. Waktu memang berjalan sangat cepat. Rasanya baru kemarin mereka saling kenal, saling mengobati, dan kini mereka sudah dikaruniai dua orang anak. Keduanya juga bersyukur sampai detik ini masih bisa menjaga keharmonisan rumah tangga. Ya walaupun ada perdebatan kecil, itu tidak berlangsung lama.
Setelah selesai mencatok rambut Ayna memeluk tubuh Varrel yang bersandar di meja rias. Sungguh, Ayna tidak tahu mau mendeskripsikannya seperti apa. Yang jelas dia sangat beruntung dipertemukan dan disatukan oleh Varrel.
"Makasih ya kamu udah jadi suami terbaik. Bukan cuma suami, tapi Ayah yang luar biasa. Maaf kalau aku suka emosian, kurang peka atau lainnya. Intinya i love you somuch!"
"I love you too, Buna sayang," balas Varrel, mengusap punggung Ayna yang terbalut dress berwarna cokelat.
***
Sesuai dengan keinginan sang istri, kini mobil yang Varrel kendarai sudah sampai di salah satu restoran seafood. Sebetulnya ini bukan tempat pertama, bahkan selama diperjalanan Ayna terus mencari rekomendasi restoran. Setelah dapat yang reviewnya lumayan bagus, mereka pun langsung menuju ke tempatnya.
Sebelum turun Ayna kembali merapihkan penampilannya. Varrel yang hendak turun sampai mengurungkan niat. Tangan pria itu terulur, menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah cantik Ayna. Walaupun sudah melahirkan dua orang anak Ayna sama sekali tidak berubah. Bukannya berubah wanita itu justru semakin cantik di mata Varrel.
"Udah? Kamu itu udah cantik, dan selalu cantik, Sayang. Trust me, kamu udah cantik. Kita turun sekarang ya?"
"Dasar gombal!" Wajah Ayna seketika terasa panas. Demi menutupi kesalah tingkahannya buru-buru dia turun meninggalkan suaminya. Di luar Ayna sebisa mungkin menormalkan kembali mimik wajahnya.
Varrel terkekeh. Dia pun turun menyusul istrinya yang sudah lebih dulu jalan masuk ke dalam restoran. Setelah masuk ke dalam restoran Ayna menatap sekitar. Situasi tidak terlalu ramai, mungkin karena sudah lewat jam makan siang. Justru situasi ini yang Ayna harapkan. Langkah kaki Ayna terhenti, tubuhnya berputar ke belakang. Sesuai dengan feeling, tepat di belakangnya Varrel berdiri.
"Kita mau duduk di mana?" tanya Ayna.
"Di mana aja asal jangan di lantai."
Senyum Ayna hilang. Ditanya serius jawabannya bercanda. Karena tidak mendapat jawaban yang sesuai maka dari itu Ayna memilih meja di deretan depan. Ayna berjalan sendiri, meninggalkan suaminya di belakang. Mungkin orang mengira mereka sedang bertengkar.
"Selamat siang, Nyonya, Tuan. Mau pesan sekarang?" tanya sang pelayan yang langsung menghampiri.
Ayna mengangguk, dia langsung membuka buku menu. "Saya mau ikan gurame bakar, cumi asam pedas, kepiting saus padang, jamur chrispy. Ah, apa ada kerang?"
"Ada."
"Sip, saya juga mau itu. Sama kangkung ya, Mbak, tumis toge juga boleh. Minumnya air mineral sama es teh manis aja. Suami saya samakan aja."
"Baik, mohon ditunggu. Saya permisi, kalau ada tambahan bisa langsung panggil ya."
Buku menu yang Varrel buka dia tutup kembali. Istrinya benar-benar tidak memberi kesempatan untuk memesan sendiri. Yang lebih mengejutkan, pesanan Ayna sangat banyak.
"Kamu yakin habis, Ay?"
"Kenapa harus ngga yakin? Aku capek, energiku habis jadi butuh asupan. Selain itu ada kamu yang bantuin." Ayna menjulurkan lidahnya.
Jawaban yang sudah bisa diduga. Varrel tidak menyahut, dia hanya memperhatikan Ayna yang kini asik sama ponselnya. Bukan berbalas pesan atau menerima telepon, tetapi wanita itu asik selfie. Melihat tingkah Ayna membuat Varrel merasa bawa anak daripada istri. Ayna berdiri, mendekati Varrel.
"Ayo foto, aku mau pamer ke anak-anak," kata Ayna sambil memposisikan ponselnya.
Tidak punya alasan menolak, Varrel pun menuruti selagi pesanan belum datang. Beberapa foto Ayna ambil, lalu dia duduk kembali dengan senyum lebarnya.
"Send!"
Tidak berselang lama ponsel Ayna berdering. Melihat nama yang tertera wanita itu seketika tertawa. Iya, yang menelepon adalah Salwa. Bisa dipastikan itu suruhan anak-anaknya. Sebelum mengangkat Ayna pindah duduk di samping Varrel.
"Siapa, Ay?"
"Mama. Pasti anakmu yang minta video call."
Baru panggilan itu Ayna angkat, dan benar saja wajah kedua anaknya langsung menghiasi layar.
'Buna!'
"Hallo, Abang. Abang lagi apa? Adik di mana?"
'Adik? Adik lagi minum. Buna kapan ke sini?'
"Kapan ya? Kapan-kapan aja kali ya? Kamu sama adik happy di rumah nenek?"
'Happy! Tadi aku sama adik banyak jajan. Beli gulali, permen, sama ice cream. Oh, ya, cokelat!'
Senyum Ayna seketika hilang, kedua mata sipitnya melotot mendengar kata demi kata yang anak sulungnya ucapkan. Astaga, anaknya sangat bebas makan manis, sedangkan di rumah Ayna sangat menbatasi.
'Buna, aku mau makan ice cream sama adik. Dadahh!'
Tut!
"HEH?!" Ayna memekik saat panggilan video call itu terputus.
Untuk urusan ini Varrel tidak mau ikut campur. Selama ini Ayna memang sangat protektif kepada anak-anaknya. Dia sangat membatasi gula, benar-benar membatasi. Tapi kalau anaknya sudah dibawa nenek dan kakek, Ayna tidak bisa mengontrol walaupun sudah diwanti-wanti.
Tidak lama pesanan keduanya datang. Melihat sajian super menarik di depan mata Ayna seketika lupa soal anak-anaknya yang lagi pesta makanan manis.
"Gapapa, sesekali. Habis ini kita ke rumah mama ya? Sebelum itu kita nikmati quality time ini," kata Varrel.
***