Part 4 Terlena

1354 Words
Beberapa bulan berlalu, kadang mereka jalan bareng berempat, terkecuali ada di antara mereka yang sedang tugas ke luar kantor. Ana menyadari perasaan yang dulu sempat dilupakannya, kembali hadir. Seringnya bertemu Arya membuat bibit-bibit cinta itu bertunas semakin subur. Tapi entah mengapa sampai sekarang pun Arya tidak menyadari sinyal-sinyal yang diberikannya. Hari ini Ana pulang kantor lebih malam daripada biasanya. Rasanya capek sekali, apalagi dia sedang haid, entah kenapa tambah terasa capek. Hanya tinggal beberapa orang tersisa di kubikel mereka. Setelah berpamitan, Ana segera menuju lobi. Sambil memegang ponselnya untuk memesan taksi online, Ana menuju lift. Masih ada kantor lain yang masih aktif. Saat menunggu lift, Ana mendengar suara yang familier di telinganya. Dari pintu lift Ana dapat melihat sepasang manusia yang tampak mesra. Si perempuan tampak memeluk pinggang laki-laki di sebelahnya dengan posesif. Seperti takut akan direbut perempuan lain, karena ada beberapa orang lagi yang sedang menunggu lift. Ana menarik nafas, dan tetap menunduk sambil pura-pura sibuk dengan ponselnya. Berharap laki-laki itu tak menyadari kehadirannya. De javu. Hal seperti ini dulu sering terjadi, dia berasyik masyuk dengan perempuan lain dan aku harus menyaksikan kemesraan mereka. Periih. Sakit sekali dadaku.  Ana seketika merasa nyeri di dadanya. Dulu, dia sering merasa seperti ini. Saat pintu lift terbuka, Ana segera masuk dan mengambil posisi di pojok. Untunglah ada beberapa orang yang ikut di lift itu. Tapi saat di lift hanya tinggal mereka bertiga, Arya menyadari kehadiran Ana. "Loh, An... baru pulang jam segini?" Tegur Arya, mencoba berbasa-basi. Sial, aku lupa kalau kantor Ana juga di gedung ini. Lagian udah malam gini kenapa Ana baru pulang? Ana pura-pura terkejut, dan melihat ke arah sumber suara. Duh harusnya aku bisa ikut nominasi Piala Citra kalau kaya gini. "Loh, kamu kok bisa ada di sini, Ar?" "Iya, ini ada janji sama Tisa. Eh, kenalin Sa, ini Ana, temanku satu kampung. Gak cuma sekampung sih, satu sekolah dan tetangga juga." Gadis cantik itu mengulurkan tangannya, "Hai... wah kalau gitu tahu history-nya Arya dong karena sekampung. Kapan-kapan cerita ya ke aku." Ana hanya tersenyum dan mengangguk. "Kamu bawa mobil, An?" "Mmm kamu kan tahu uangku gak sebanyak itu, Ar. Lagi nabung dulu buat tambahan lanjut kuliah." "Sudah malam gini, kamu pulang sama siapa?" Tanya Arya, terselip kekhawatiran. "Pakai taksi online aja, Ar. Lagi nunggu respon sih. Sudah pesan dari tadi kok." Muka Arya terlihat bingung. Tapi pintu lift sudah terbuka di lantai dasar. Mau tak mau, Ana keluar dulu. "Duluan ya... " Ana melambaikan tangannya. Arya seperti akan berkata sesuatu, tapi sentuhan di tangannya membuatnya urung berkata. Di lobi pun, Ana masih terlihat setia berdiri menunggu respon taksi online. Arya tak tega melihatnya. "Sa..., maaf ya sepertinya acara malam ini ketunda. Aku gak tega lihat Ana sendirian. Dia ikut kita ya? Aku janji akan secepatnya gantiin malam ini." Pinta Arya ke gadis cantik yang duduk di sebelahnya. Tampak heran dengan perhatian Arya ke gadis yang tadi dikenalkan padanya di lift. Mengangguk walau tak rela, Tisa berkata manja,"Baiklah. Tapi di apartemenmu ya, Ar? Lebih privat." Saat Arya akan menepikan mobil untuk Ana, mobil di depannya berhenti. Ana terlihat bercakap sebentar dengan laki-laki yang membawa mobil itu, sebelum akhirnya membuka pintu mobil dan pergi dengan mobil itu. Arya kesal, entah kenapa, melihat Ana pergi begitu saja dengan laki-laki lain. Acara Arya bersama Tisa jadi tertunda. Arya sama sekali tak bisa mengalihkan pikirannya dari Ana. Setelah berjanji akan mengganti janji kencan mereka lain waktu, Arya berpamitan pulang. Dia segera melajukan mobilnya ke kost-an Ana. Sayangnya sudah malam. Sudah jam sepuluh malam. Sudah dilarang bertamu di kost-an Ana. Penasaran, Arya mencoba menelpon Ana berkali-kali yang hanya terdengar suara cantik pemilik mailbox. Tak hilang akal, Arya mengirim w******p, mencoba face time, mencoba menghubungi Ana. Sayangnya tak ada respon. Arya tak tahu, Ana sudah tertidur, merasa capek fisik dan hatinya, membuatnya lelap tertidur bahkan lupa makan malam. Pagi hari, Ana bangun dengan perut terasa perih. Aah baru ingat kalau dia telat makan. Sakit maagnya kambuh lagi. Berjalan tertatih sambil memegang perut yang terasa melilit, Ana mencari obat maag andalannya. Keluar dari gerbang kost, Ana kaget melihat mobil Arya yang sudah terparkir di depan pos satpam. Arya segera keluar dari mobilnya dan menuju ke arah Ana, melihat muka pucat gadis itu dan tangannya yang memegang perut, serta posisi berdiri yang tidak tegak, membuat Arya yakin sakit maag Ana sedang kambuh. Dibimbingnya langkah Ana ke mobilnya. "Sakit maagmu kambuh lagi? Pasti semalam kamu melewatkan makan malammu lagi kan? Makanlah ini, sudah kubelikan bubur ayam dan crackers." Ana makan dalam diam, meringis menahan perih di perutnya, dan mengabaikan beribu pertanyaan kenapa Arya bisa ada pagi-pagi di depan kostnya. "Kita ke dokter ya, An? Ijin telat sebentar gak papa kan?" Ana menggeleng,"Aku gak papa, udah biasa juga kaya gini kan?" Akhirnya Ana tertidur di mobil Arya, dan terbangun saat merasakan guncangan di tubuhnya. "An, bangun, heii bangun.. sudah sampai kantormu." Ana membuka matanya, seketika indra penciumannya membaui aroma parfum maskulin. Ternyata harum parfum yang menguar dari sweater yang diselimutkan Arya ke tubuhnya. Pantas saja tadi tubuhku terasa hangat. "Terima kasih sudah diantar, Ar." "Tunggu..." Gerakan Ana membuka pintu mobil terhenti, saat mendengar Arya berkata tunggu. "Pulang nanti kujemput, jangan pulang dengan orang lain apalagi laki-laki. Jangan lupa makan teratur. Kalau masih sakit sepulang kantor kuantar ke dokter." Lanjut Arya. Ana meringis, "Semalam itu Mas Didan, teman sekantor, yang mengantar pulang. Kebetulan kami searah. Jadi ya diantar deh." ~|~ Malam ini mereka berempat janjian nonton dan makan malam sepulang kantor. Biasanya setelah itu Ana akan menginap di kost Givi untuk melanjutkan cerita. Sayangnya malam ini saat makan pecel ayam ternyata Givi ada janji dengan dokter sedangkan Shano harus kembali ke kantor karena ada keperluan mendadak. Tinggalah Arya dan Ana yang melanjutkan makan berdua, tak jauh dari apartemen Arya. Ana berpamitan untuk pulang ketika mendadak hujan turun dengan derasnya. Membuat kemeja kerja keduanya basah kuyup. Berhubung saat itu Ana sedang memakai kemeja putih, Arya segera memberikan jaketnya untuk menutupi tubuh Ana. Selain untuk lebih hangat, juga agar bra hitam Ana tak tercetak jelas, apalagi saat ini dia memakai kemeja warna putih yang melekat erat di tubuh Ana. Dengan bodi Ana sekarang yang lebih padat berisi tentu saja membuat mata lelaki nakal langsung melirik, tak terkecuali Arya tentunya. Sayangnya Ana sudah kedinginan, karena basah kuyup akibat hujan yang deras, sehingga Arya memutuskan untuk membawanya ke apartemennya. "Mandi dulu saja, An. Di kamar mandi dalam. Aku yang di luar saja. Nanti kusiapkan bajuku yang paling kecil untuk kamu pakai. Sekalian aku siapkan coklat hangat." Kata Arya sambil memberikan handuk ke Ana yang bibirnya sudah agak membiru dan bergetar karena kedinginan. Ana mengangguk, segera menuju ke arah kamar yang ditunjuk Arya. Segera mandi dengan air hangat dari shower. Ana sengaja keramas, jadi mandinya agak lebih lama. Selesai mandi, Ana memindai kamar Arya. Kamar dengan nuansa maskulin yang kentara sekali, minimalis dan cukup rapih untuk ukuran laki-laki. Ana tersenyum melihat sudah tersedia kemeja di atas kasur. Segera dipakainya kemeja itu. Dan untuk bawahan ternyata belum ada. Bingung, Ana untuk sementara hanya memakai handuk yang dililitkan di pinggangnya saja. Saat sedang asyik memindai kamar, si empunya kamar masuk dengan tiba-tiba. "An, ini ada rok punya Mbak Tyas bisa kamu pakai. Sama coklat hangat ready to drink." Seketika Arya tertegun melihat Ana yang tampak sungguh menggoda. Hanya memakai kemeja putih miliknya yang kebesaran di tubuh Ana, dan handuk yang melilit di pinggangnya. Glegh... ternyata Ana seksi juga sekarang. Tubuhnya montok berisi, sial kenapa aku jadi turn on gini? Padahal Ana sudah pakai kemejaku. Tidak.. jangan… Sadar Arya! Dia Ana, sahabatmu! Otak Arya memperingatkannya agar menjauhi pikiran kotor yang terlintas. Tapi Arya, lelaki normal dengan libido tinggi, sudah lupa akan segalanya. Tanpa sadar, mereka sudah berhadapan, tangan kokoh Arya sudah memegang tengkuk Ana. Dilumatnya bibir penuh itu perlahan, tangan kirinya menahan tengkuk Ana, sementara tangan kanannya mulai gerilya, meraba tubuh Ana perlahan. Membuat Ana mendesah, pertama kali merasakan sensasi itu. Arya semakin aktif meraba, bahkan dia sudah merobek kemejanya yang dipakai Ana. Aktivitas itu membuat keduanya lupa, bergumul menikmati cumbuan, memanaskan malam yang dingin karena hujan. Ana yang baru pertama kali hanya bisa pasrah saat Arya akhirnya membawanya ke ranjang. Pasrah!  | | | Jakarta, 5 Mei 2019
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD