Jane termenung dalam keheningan, dia tebaring menikmati waktu istirahatnya di ranjang kesayangannya.
Perkataan Kloe dan Kiki beberapa hari yang lalu cukup mengusik dirinya, Kloe benar, Jane tidak tahu apa-apa tentang Zicola. Itu memang benar. Dan Kiki bena, orang seperti Zicola adalah sesuatu yang semu untuk orang biasa seperti Jane, mungkin karena alasan itu pula, selama sebelas tahun ini Zicola tidak pernah memandangnya. Zicola terbiasa, karena yang mengejarnya bukan hanya Jane saja.
“Aku tidak tahu harus melakukan apa” bisik Jane dalam lamunan. “Aku juga tidak tahu apa-apa tentangmu meski begitu lama aku mengejarmu.”
Jane terlalu takut untuk bertanya, Zicola selalu menutup diri dari segala hal yang berhubungan dengan keluarga dan kehidupan pribadinya. Pria itu selalu sendirian, hanya ada Thomas dan Julian yang dia miliki, selebihnya hanya orang-orang asing.
Jane bergerak ke bibir ranjang, sekali lagi Jane termenung dan menatap kosong melihat ke arah rumah Zicola yang tenang tanpa pesta, Jane cukup senang setidaknya dia tidak akan melihat Zicola berc*nta dan bermain gila dengan beberapa wanita malam ini.
Sudah cukup lama Jane memperhatikannya, namun lampu bagian kamar Zicol tidak kunjung menyala. Itu menandakan Zicola belum pulang.
“Kemana dia?, apakah ke luar negeri lagi.”
Jane bergerak cepat menurunkan kedua kakinya ke lantai, dia berlari ke mendekati jendela dan melihat kebawah. Jane duduk bersimpuh sambil menopang dagunya melihat ke jalanan menunggu kedatangan mobil Zicola yang tidak kunjung datang.
Namun tidak berapa lama…
Sebuah limusin dan beberapa mobil di belakangnya berhenti di depan rumah Zicola, tidak berapa lama Thomas keluar. Pria tua berambut putih dengan setelan baju resmi yang mencerminkan wibawanya. Dia masuk ke dalam rumah Zicola, sementara beberapa pengawalnya berdiri menunggu.
Jane kembali menuju ranjangnya dan tidur, dia butuh stamina yang cukup untuk hari esok karena malam sudah sangat larut.
“Thomas aku mohon!, biarkan aku bertemu dengannya!” Teriakan Zicola mengusik tidur Jane yang tidak cukup lama.
Jane terdiam dan membuka matanya menatap nyalang langit-langit kamar, suara teriakan Zicola kembali terdengar. Dengan terpaksa Jane kembali bergerak turun dari ranjang dengan rasa penasarannya, dia berdiri di depan jendela dan mengintip. Jane menutup mulutnya seketika.
Melihat seorang Zicola bersujud di bawah kaki Thomas dengan ke tidak berdayaannya, bahu kokohnya terlihat rapuh penuh beban.
“Kau tidak bisa, ini belum saatnya” Thomas membungkuk dan meremas bahu Zicola.
“Aku mohon Thomas” Zicola merintih tersiksa.
“Tidak bisa. Kau akan melanggar undang-undang. Dengarkan aku, tunggu satu bulan lagi, aku berjanji akan membawanya.”
“Dia terluka Thomas!, aku mohon biarkan kami bertemu.” Air mata terjatuh di pelupuk mata Zicola, pria itu terlihat sangat terluka dan tidak berdaya. “Aku ingin bertemu dengannya, aku tidak bisa tenang sebelum di pertemukan dengannya. Dia terluka parah.. bagaiamana bisa aku menunggu.”
Hati Jane ikut merasakan sakit melihatnya. Pria yang di lihatnya sungguh bukan Zicola yang Jane kenal. Ingin rasanya Jane berlari dan memeluk pria itu, mengatakan kepadanya jika semuanya baik-baik saja. Meski dirinya tidak tahu, masalah apa yang sedang Zicola hadapi.
Thomas kembali berdiri dan merapikan jassnya, “Dia tidak ingin bertemu denganmu. Itulah alasannya, jadi bersabarlah” Thomas berbalik dan segera memasuki limusin. Meningggalkan Zicola yang masih bersimpuh di jalan tanpa tersentuh apalagi menunjukan sedikit belas kasihan apapun pada Zicola yang sudah bersujud dan memohon kepadanya.
Jane menggeleng kuat, menahan diri untuk tidak ikut campur. Zicola akan sangat marah bila Jane melihat ketidak berdayaannya.
“Aku tidak bisa” Jane mengerang frustasi, dia tidak bisa membiarkan Zicola terluka sendirian. Dengan segala risiko yang tidak bisa di tebak, Jane berlari keluar kamarnya dan pergi untuk menemui Zicola. Jane tidak peduli dengan apapun yang akan Zicola lakukan kepadanya.
Zicola sudah duduk di kursi ketika Jane berada di luar, pria itu menatap langit dalam kegelapan malam, seakan dirinya tengah melihat sesuatu yang berharga disana.
Angin malam terasa sangat dingin menyengat, gelapnya langit malam semendung hati dan segelap matanya yang tidak mempu menyembunyikan penderitaan dan rasa sakitnya.
“Kau baik-baik saja?” Jane mendekat hati-hati, mengukur reaksi Zicola agar tidak mendorongnya untuk menjauh pergi, atau memaki dan mengusirnya.
“Seperti yang kau lihat” jawabnya dingin seperti biasa.
Jane ikut duduk di ujung kursi lainnya, “Aku pikir kau terluka.”
Zicola menurunkan kepalanya dan menatap tajam wanita itu, “Itu bukan urusanmu. Jadi enyahlah.”
“Aku hanya mengkhawatirkanmu” jawab Jane gugup, dia sudah membuat Zicola marah sekarang. “Aku kemari karena aku pikir.. kau butuh teman bicara.”
Zicola kembali diam membisu, membiarkan Jane tetap duduk di sebelahnya. Namun tidak ada pembicaraan apapun yang Zicola buat, pria itu hanya diam seperti patung dan sibuk sendirian dengan pikirannya sendiri.
Jane melihat Zicola sekilas, sudah hampir setengah jam mereka duduk dan saling diam, Zicola masih betah membungkam dan diam. “Kau bisa menceritakan masalahmu jika kau.”
“Cukup!” Zicola memotong perkataan Jane dengan cepat, “Berhenti menggangguku. Dan pergi urusi saja urusanmu sendiri!” Bentaknya degan keras. Zicola beranjak dari duduknya dan pergi.
Jane menahan diri untuk tidak menangis. Zicola selalu salah paham dengan niat baiknya, Jane datang hanya untuk menghibur, tapi kedatangannya seperti mengusik Zicola. Segala sesuatu yang dia perbuat, segala kebaikan dan ketulusan yang berasal dari lubuk hatnya selalu di anggap kebohongan dan kejahatan di mata Zicola.
“Kenapa kau selalu seperti ini padaku?!” Teriak Jane dengan keras, “Aku bukan satu-satunya wanita yang tergila-gila padamu. Tapi kenapa, kenapa kau hanya membenciku?. Aku tahu kau benci di cintai, namun apa kesalahan yang aku perbuat hingga kau sangat begitu membenciku?!.”
Langkah Zicola terhenti, dia kembali membalikan tubuhnya dan melihat Jane yang mulai menangis terisak di kejauhan. “Aku tidak baik untukmu.”
Jane menghapus air matanya dengan kasar, jawaban Zicola terlalu munafik baginya. “Kau bohong!. Aku muak dengan alasanmu.”
Zicola terdiam..
“Katakan padaku. kenapa kau membenciku.”
“Itu tidak penting.”
“Tapi penting untukku!.”
“Karena aku benci wanita!, mereka menjijikan di mataku!, kau puas!” Teriak Zicola dengan segala amarah yang di pendamnya.
Air mata Jane kembali terjatuh, melihat kemarahan sekaligus luka yang terpancar di mata pria itu. Jane tidak tahu alasan mengapa Zicola membenci wanita, tapi itu tidak benar. Tidak semua wanita sama seperti yang Zicola katakan.
“Kalau begitu beri aku kesempatan. Agar kau tahu, tidak semua wanita itu tidak seburuk dan menjijikan seperti apa yang kau pikirkan. Kau harus tahu, apa yang kau katakan itu salah.” Ucap Jane dengan segala keberanian yang entah dari mana munculnya.
Zicola mendengus jijik, Zicola memasukan tangannya ke saku celana. “Kau ingin menunjukannya seperti apa?.”
“Biarkan aku di sampingmu. Aku..” suara Jane menghilang, napasnya tertahan di tenggorokan. “Aku ingin jadi bagian dari hidupmu” bisiknya hati-hati.
“Baiklah.”
To Be Continue...