Malam itu di dalam club
“Al, eeggh ….” Lala mencoba mendorong d**a Algi, meminta untuk menyudahi ciuman mereka.
Namun, Algi yang sedang ada di garis patah hati dan ingin membuktikan jika dia pun bisa menjadi seperti yang Lala mau, tak mau melepaskannya. Satu tangan yang memegangi dagu itu berpindah. Mengelus leher Lala, merambat ke bawah, lalu menyentuh salah satu benda kenyal yang pernah beberapa kali ia bayangkan.
Pelan tangan itu meremas lembut, lalu melepaskan pagutan. Menatap wajah cantik gadisnya yang terengah karena kehabisan napas. Untuk sesaat tatapan mereka saling beradu. Bisa Algi lihat embun yang terpupuk di kedua mata Lala. Lalu bibir kemerahan yang basah itu, terlihat sangat menarik. Hingga dia kembali meraub bibir itu, melumatnya lagi.
“Eeggh ….” Lala mencekal tangan Algi yang mengelus perut. Dia menggelengkan kepala, membuat ciuman mereka kembali terlepas. “Al ….” Rengek Lala, menatap wajah tampan yang sekarang terdapat tatapan nafsu di sana.
Mencekal tangan yang sudah menelusup ke tang topnya, lalu menggeleng. “Enggak, Al.”
“La, aku bisa lebih muasin. Kamu harus coba,” ucap Algi, memaksa menelusupkan tangan ke dalam tang top Lala.
Lala menggeleng lagi, dua bulir menetes bebas melewati kedua pipi. “Enggak.” Tolaknya lagi.
Algi langsung beranjak, menarik tangan Lala. “Kita cari kamar.”
Tak sempat menolak, karena Algi sudah menyeretnya meninggalkan meja itu. Sempat mengeluarkan beberapa lembar uang untuk membayar minumannya yang tadi.
Kamar nomor 15.
Algi mendorong pintu setelah membukanya dengan kunci yang diberi oleh penjaga. Menarik tangan Lala untuk masuk, lalu menghidupkan lampu. Dia menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Melepaskan jaket dan melemparkannya ke lantai begitu saja.
“Kita mulai, La. Kamu wajib tau kalo aku juga bisa bermain dengan baik.” ucapnya, langsung meraub bibir Lala, membawa gadis itu menuju ranjang tanpa melepaskan pagutan.
Kedua tangan Lala mencoba memukul d**a Algi, lalu menarik tangan Algi yang sudah meremas-remas salah satu dadanya. “Al … hiks … Al ….” panggilnya dengan isakan lirih.
“La, kamu harus nikmati permainan kita. Jadi kamu nggak perlu minta ini ke cowok lain. Cukup aku aja.” Algi mendorong tubuh Lala, membuat Lala tertidur di kasur.
Dengan cepat dia menindih Lala, menaikkan tang top tipis itu, membuat dua benda kenyal yang masih terbungkus kain berwarna hitam itu terpampang nyata. Dua cupangan yang tadi Algi lihat, masih terlihat jelas. Bukan hanya dua itu, tapi ternyata di atas perut Lala juga ada. Dan itu semakin membuat sudut hati Algi merasakan luka.
Algi menunduk, diam tepat di depan cupangan itu. Kedua mata berair menatap bekas bibir cowok lain ada di kulit putih kekasihnya. Dengan wajah yang bergetar dia semakin menunduk. Memejamkan kedua mata, lalu mengecup tepat di bekas bibir yang tertinggal di sana.
“Al, aku di perkosa,” lirih Lala berucap, membuat bibir yang hampir mengulum putting itu mematung.
Algi mengangkat wajah, menatap wajah Lala yang sudah basah karena air mata. “La,” serunya, tak percaya.
Isakan Lala semakin terdengar keras. “Aku nggak nyari kepuasan, Al. Tapi aku di perrkosa.”
Melihat tubuh Lala yang jadi bergetar, Algi menutup kembali d**a Lala. Lalu menarik tang top yang tadi ia sibak. Dia menjatuhkan tubuh tepat di samping Lala, menyangga kepala menatap gadisnya yang menangis dengan tubuh yang bergetar.
“Aku kotor, aku nggak pantes buat kamu. Jangan lagi harapin aku. Aku jijik … aku ….”
“Ssttt ….” Algi langsung meraih tubuh itu. Membawanya dalam dekapan, memeluknya erat. Dengan hati yang sekarang terasa aneh.
Untuk beberapa menit, hanya terdengar suara isakan Lala yang memenuhi ruangan. Algi tetap memeluk tubuh Lala yang getarannya sudah sedikit menghilang. Mengecup puncak kepala gadis itu dengan penuh kasih sayang. Ada bulir yang jatuh dari ujung matanya.
“Aku kotor, Al—”
“Jangan katakan itu, La. Seperti apa pun kamu, kamu tetap kesayanganku.” Balas Algi cepat, memotong kalimat yang akan Lala ucapkan lagi.
Lala menggeleng di dalam dekapan. “Aku nggak pantas buat kamu—”
“Aku cinta kamu, La,”
“Aku jijik—”
“Aku sayang kamu,”
“Aku—”
“Aku akan nikahin kamu.”
Kalimat singkat yang Algi katakan membuat bibir Laal terbungkam. Jantungnya seperti berhenti saat ini juga. Lala mendorong sedikit d**a Algi, membuat pelukan Algi mengendur. Lalu mendongak, menatap wajah tampan yang ada di atasnya.
“Al,”
“Kamu punya aku. Kamu nggak sendirian. Kita hadapi ini sama-sama.” Ucap Algi, lirih tapi meyakinkan.
Untuk sesaat Lala mematung, tak berkedip. Sungguh dia terkejut mendengar keputusan Algi. Secinta ini kah dia padanya?
Menit berlalu, Lala kembali mendorong d**a Algi, membuat pelukan Algi terlepas sepenuhnya. “Jangan gila, Al. Aku nggak mau ngerusak masa depanmu.”
“La,”
“Kamu punya masa depan yang panjang. Kamu nggak harus korbankan semuanya hanya karna aku. Mending … mending kamu tinggalin aku. Di luar sana kamu masih bisa dapat cewek lain yang lebih baik dari aku.”
Algi menggeser tubuh, melingkarkan tangan ke perut Lala. “Aku Cuma mau kamu. Aku nggak mau sama yang lainnya. La,” panggilnya lalu menarik wajah Lala, memaksa gadis itu untuk menatapnya. Mereka saling tatap untuk beberapa detik. “Kamu cinta aku, kan, La?”
Lala hampir menunduk kalau tangan Algi tak meraih dagunya. Gadis itu terlihat meneguk ludah, lalu mendesah pelan, sampai deru nafas dari bibir basah itu menyapu wajah Algi. “Tapi aku udah—”
“Ssstt ….” Algi menaruh telunjuk di bibir itu, lalu mengecup bibir Lala sebentar. Tangannya menggenggam tangan Lala, erat. “Aku cinta sama kamu tanpa ada tapi, tanpa syarat apa pun. Kalau kamu juga cinta sama aku, kita seberangi lautan yang dalam ini. Jika pun ada gurita raksasa, kita hadapi berdua. Aku akan menjadi penopangmu, sandaranmu. Agar kamu tetap tegak dan bisa sampai di seberang sana.”
Mendengar ketulusan Algi, kedua mata Lala berair. Lalu bulir menetes begitu saja, mengalir melalui ujung mata. bibirnya menipis, menahan isakannya. “Algi,”
Cowok itu mengulas senyum, lalu meraih tubuh Lala. Memeluk gadis itu lagi. “Aku Cuma mau kamu, La. Aku udah bilang, aku akan nunggu kamu siap untuk cerita. Aku nggak akan marah kalau kamu nggak bohong. Aku beneran sayang banget sama kamu.”
Lala membalas pelukan Algi, menumpahkan tangisnya di d**a cowok yang sangat ia cintai ini. “Aku juga cinta kamu, Al ….”
Algi memejamkan mata, membiarkan air mata mengalir di ujung mata. Bibirnya mengulas senyum dengan helaan nafas penuh kelegaan. Rasa sakit hati yang tadi sudah sedikit hilang mendengarkan pernyataan cinta dari Lala.
**
Pukul satu dini hari.
Tak ada yang terjadi dalam kamar sewaan itu. Algi bukan lelaki b******k yang lebih mementingkan nafsunya dari pada mental Lala yang sudah rusak. Bisa ia lihat dan rasakan dengan sangat nyata jika tubuh Lala bergetar hebat saat dia menyentuhnya. Jadi, dia percaya kalau Lala memang menjadi korban pemerkosaan, bukan karena mencari kepuasan di belakangnya.
“La, siapa yang lakuin?” tanya Algi setelah Lala sudah tak menangis lagi.
Sekarang mereka berdua sedang duduk menyandar di papan ranjang. Di dalam kamar sewaan.
Algi tetap menggenggam tangan Lala, sekali-kali dia mencium punggung tangan itu dengan begitu lembut. Lalu melirik Lala yang menyandarkan kepala di bahunya.
Lala mendesah panjang. “Kak Levine.”
Mendengar nama itu, kedua mata Algi melotot, tangan yang memainkan jemari Lala pun terhenti. Levine? Lelaki yang tinggal serumah dengan Lala. Lelaki yang setiap saat akan bertemu dengan Lala. “La,” pekiknya.
Lala menggeleng, lalu bulir kembali keluar dari kedua mata. “Aku benci dia ….” Ungkapnya dengan isakan.
“Sejak kapan, La?” tanya Algi pelan-pelan.
Lala sedikit menunduk, menggenggam tangan Algi. “Dua minggu yang lalu.”
Algi meneguk ludah, ada yang ingin meledak dari dalam dadanya. “Kenapa kamu nggak cerita ke aku?”
Lala menggeleng, membiarkan bulir-bulir itu menetes membasahi kaos di bagian pundak Algi. “Dia ancam aku. Aku nggak berani.”
Algi memejamkan kedua mata dalam, mencoba untuk menahan emosi dan amarah yang terasa memenuhi dadanya. “Mama sama papamu, tau?”
Lala menggeleng lemah. “Enggak ada orang yang tau. Kamu orang pertama yang tau.”
Algi melepaskan genggaman tangan, menelusupkan tangan ke pungung Lala. Lalu memeluk tubuh gadis yang kembali menangis itu dengan sangat erat. “Jangan takut. Ada aku. Aku akan selalu nemenin kamu dalam keadaan apa pun.”
Ada yang sedikit terasa hangat mendengar kalimat panjang Algi. Ya, memang seharusnya dia menceritakan ini dari awal. Namun, Lala benar-benar butuh keberanian untuk mengatakan semuanya. Tangannya bergerak, balas memeluk Algi. Memejamkan mata, mencari kenyamanan di dalam dekapan lelaki yang sangat ia cintai ini.
Pukul tiga pagi, Algi membawa Lala pulang ke rumahnya. Rasanya tak rela membiarkan Lala kembali ke rumah yang ada Levine di dalamnya. Dia sendiri malah merasa takut kalau gadisnya akan kembali diicipi oleh lelaki itu.
“Al,” seru Lala, menatap rumah besar Algi yang tentu sepi. “Aku … aku takut nanti kamu malah di marahin sama kak Melati.”
Algi mengulas senyum tipis, turun dari motor dan langsung menyambar tangan Lala. Menggandengnya melangkah menuju ke pintu samping rumah. Mengajak Lala untuk duduk di sana.
“Nggak usah tidur ya. Bentar lagi juga matahari udah muncul. Pasti Melodi bangun, kak Melati juga bangun. Kamu udah kabari mamamu, kan?”
Lala mengangguk, berkali menatap ke kiri kanan. Dia benar-benar takut kalau akan menimbulkan masalah baru.
“Kamu nanti tidur di sini aja. Tidur di kamar Melodi.” Usul Algi, yang beneran nggak ijinin Lala untuk pulang.
Lala sedikit mendongak, menatap wajah ganteng cowok yang sekarang kembali berstatus menjadi pacarnya. “Tapi, Al,”
“La,” ucap Algi, balas menatap Lala dengan serius. “Setelah tau kalau cowok b******k itu serumah sama kamu. Aku nggak rela biarin kamu pulang ke rumah itu.”
Mendengar itu, Lala mendesah, lalu menunduk. Iya benar, dia pun sebenarnya ingin banget meninggalkan rumah itu. Tapi bagaimana pun, tempat tinggalnya ada di sana.
“Sebenernya … aku berencana untuk pergi ke Lombok.” Curhat Lala yang langsung membuat Algi melotot. “Aku mau menetap di sana, di rumah nenekku.” Lalu menengadah, menatap wajah yang terlihat kurang setuju.
Genggaman tangan Algi melemah. Cowok itu mendesah, menatap ke lain arah. Sementara Lala mengeratkan genggaman, menatap Algi mencari persetujuan atas keputusan yang dia buat.
“Al, aku beberapa hari ini selalu dalam ketakutan yang luar biasa. Aku … aku nggak ada cara lain.” Ucap Lala, menjelaskan keadaan hati beberapa hari ini.
Algi melirik gadisnya, membalas genggaman tangan Lala. “Aku akan coba bicara sama papa.”
Mendengar itu, kening Lala berllipat, nggak paham. “Mau bicarain apa?”
“Buat nikahin kamu.”
“Al, kamu masih harus kuliah.” Sela Lala cepat, yang nggak setuju sama keputusan Algi.
“Dengan nikah sama aku, kamu bisa keluar dari rumah itu, La. Kamu bisa tinggal sama aku di sini. Di sini akan aman.”
“Tapi, Al—”
Algi mengecup bibir yang akan kembali bicara itu, hanya singkat. Lalu mengusap bibir Lala yang sedikit basah. “Percaya sama aku, ya,” pintanya, berbicara tepat di depan bibir Lala.
Tak menjawab, Lala langsung melingkarkan kedua tangan ke tubuh Algi, masuk ke dalam d**a itu. Diam, menghirup aroma tubuh Algi yang sangat ia sukai. Wangi parfum yang begitu membuatnya merasa tenang.
Keesokan harinya Melati menyambut Lala dengan sangat ramah, seperti biasanya. Dengan senang hati dia mengijinkan Lala untuk numpang istirahat di kamar anaknya. Satu jam berlalu, Lala tak bisa memejamkan mata sejenak. Pikirannya dipenuhi oleh Algi yang akan ia hancurkan masa depannya. Akhirnya dia memutuskan untuk tetap pada rencana awal. memilih memesan tiket melalui aplikasi untuk penerbangan hari ini.
Begitu mendapatkan tiketnya, Lala segera berkemas. Membersihkan diri sebentar di kamar mandi yang ada di dalam kamar. Lalu keluar dan berpamitan dengan Melati. Dengan menaiki ojol, Lala berangkat ke bandara.
Duduk sendirian menunggu jam terbang. Beruntung tadi sempat sarapan di rumah Algi, jadi perutnya tak kelaparan. Tepat saat panggilan keberangkatan, Lala memutuskan untuk berpamitan pada mamanya. Karna doa seorang ibu adalah yang utama mengiringi setiap langkahnya.
“Aku udah mau berangkat, Ma. Mama tenang aja, aku baik-baik aja.” jawabnya, berusaha menenangkan mamanya yang sudah khawatir di rumah sana.
“La, tapi kenapa tiba-tiba? Kamu ada masalah sama Algi?” tanya Vera yang masih tak rela jika anaknya ini pergi dari rumah.
Lala tersenyum sendiri. “Enggak ada, Ma. Aku memang mau pergi. Udah dulu ya, Ma. Aku udah mau masuk.”
Tanpa menunggu jawaban mamanya lebih dulu, Lala mematikan telpon. Dia beranjak, melangkah untuk pergi menuju ke penerbangan tujuannya. Begitu duduk di kursi yang sudah ia pesan, Lala kembali mengusap ponsel. Menatap chatroomnya dengan Algi. Sangat jelas di layar atas sana jika kekasihnya itu terakhir kali online pukul enam pagi tadi. Mungkin sekarang Algi masih pulas tertidur.
[Al, aku pergi. Aku ke Lombok. Kamu nggak perlu nikahi aku untuk membuatku aman. Kamu punya masa depan yang masih panjang. Aku sayang kamu, aku nggak mau kuliahmu terhambat karna aku. I miss you, Algifari restu Januar. Aku selalu sayang kamu.] send Algi.
Lala menghapus embun yang hampir menetes, lalu memasukkan ponsel ke dalam tas kecilnya. Memejamkan mata, menyandarkan kepala ke sandaran belakang. Beberapa menit kemudian, pesawat mulai berjalan pelan, lalu dia sudah pergi meninggalkan tanah jawa.
Di bawah sana, tepatnya di luar bandara. Levine menghentikan mobil dengan begitu sembarangan. Kasar cowok itu membuka pintu, menatap pesawat yang baru saja naik. Lalu berlari menghampiri satpam.
“Pak, penerbangan ke Lombok jam berapa?” tanyanya, mirip sekali dengan orang bodoh.
“Itu.” Si bapak menuding ke arah pesawat yang terbang. “Itu yang ke Lombok, mas.”
Levine menengadah, tatapannya mengikuti arah tangan si bapak. Entah kenapa ada bagian dari dirinya yang terasa menghilang. Kedua bahu langsung melemah, dia menggeleng membayangkan Lala yang benar-benar pergi meninggalkan kota Jakarta ini. Tak peduli lagi dengan satpam itu, Levine segera berlari masuk ke area bandara.
Dia celikukan menatap pada setiap orang yang di berada di sana. Lalu menjambak rambut kencang dengan wajah frustasi. Mendudukkan p****t di kursi tunggu, dia memejamkan mata dalam merasakan dadanya yang terasa tak baik-baik saja.
‘Kenapa dia pergi?’
‘Kenapa?’ bisiknya dalam hati.
Tangannya bergerak, memukul kepalanya sendiri dari samping. Berkali membuang napas dengan kasar, mencoba menenangkan hati yang terasa sangat aneh.
Ponsel di saku celana bergetar, beberapa kali. Menandakan jika itu adalah panggilan telpon, bukan lagi chat yang masuk.
“Hall—”
“Vin, kamu sebenernya niat mau nikahin aku, nggak sih?!” terdengar suara marah Sabina di seberang sana, memotong kata yang akan dia ucapkan.
Levine langsung menyugar rambut, membuang nafas kasar lagi. Dia segera beranjak, melangkah keluar dari bandara. Entah kenapa, mendengar Lala yang kan pergi, dia bisa melupakan janjinya pada Sabina.
“Maaf, Bi, aku—”
“Aku nungguin kamu udah dua jam. Dan ponsel kamu mati, nggak bisa dihubungi. Pernikahan kita udah di depan, Vin. Tapi aku beneran nggak tau sebenarnya kamu serius mau nikahin aku apa enggak.”
“Bi, jangan gitu. Aku serius. Aku tadi malah ketiduran lagi.” Levine berusaha menjelaskan. Dia sedikit berlari untuk cepat sampai ke mobil yang tadi dia hentikan sembarangan di luar sana.
“Udah lah, Vin. Aku capek. Mending kita batalin aja pernikahan ini.”
“Bi, maafin aku. Kamu jangan asal bicara gitu.”
“Vin, aku sadar. Cuma aku yang sibuk mikirin pernikahan ini. Kamu enggak.”
“Aku jalan ke situ sekarang.”
“Udah, nggak perlu. Aku nggak mau nikah lagi.”
“Bi, Sabi! Sabi!” Levine menarik ponsel dari telinga, menatap layar yang sudah menghitam. Telponnya sudah dimatikan.