Eps 9

1996 Words
“Ayok ikut. Memang nggak bosan seminggu nggak keluar rumah?” Bayu menimpali, mengajak anak tirinya itu untuk pergi bersama. Di atas sana Lala terlihat diam, tentu sedang berpikir. Detik kemudian gadis cantik itu mengangguk setuju membuat kedua orang tuanya di bawah sana mengulas senyum. “Aku ganti pake celana panjang dulu,” ucapnya, lalu melanjutkan langkah menuju ke kamarnya. Santai tangan Lala memutar handle pintu, lalu mendorong pintu itu dan melangkah masuk. Langsung memutar kunci, membuat pintu itu terkunci dari dalam. Ia melangkah menuju ke lemari, membukanya, mengambil celana jeans panjang warna biru light. Melemparkan celana itu ke kasur dan langsung memelorotkan celana pendeknya. Begitu celananya terlepas Lala mengambil celana jeans, lalu …. “Aaaa!” teriaknya saat ada sepasang tangan yang langsung melingkar di perutnya. Jantungnya berdetak luar biasa, terlebih saat hidungnya sudah dipenuhi oleh wangi parfum yang sekkarang sangat ia hafal seperti apa baunya. Cepat tangan Lala menggenggam kedua tangan Levine. Memberontak, berusaha melepaskan kedua tangan itu dari tubuhnya. “Lepas, kak! Lepasin!” teriaknya, meminta. Tak melepaskan, tetapi justru Levine membenamkan wajah di cekuk leher Lala yang sudah ia bayangkan beberapa hari ini. “Kak!” teriak Lala, mendorong kepala yang sudah mencumbui lehernya. “Mama! Papa! Tolong! Mama!” Levine terkekeh mendengar teriakan Lala yang meminta pertolongan. Satu tangannya langsung meraba bagian bawah Lala yang hanya tertutup oleh kain tipis itu. “Lo mau coba teriak sampe suara lo habis, nyokap lo yang brengsekk itu nggak bakalan dengar!” Kedua mata Lala langsung memanas dengan tangan yang kini berusaha menarik tangan Levine dari bawah sana. Merapatkan kedua kaki, lalu satu tangannya menjambak rambut panjang Levine. “Aaaww!” teriak Levine saat merasa jika ada helaian rambutnya yang sepertinya tercabut dari kulit kepala. Lala langsung menyingkir, berlari ke arah pintu, tapi tangannya dicekal Levine lebih cepat sepelum tangan Lala memutar kunci di sana. “Lo nggak akan bisa kabur, b***h!” ucap Levine dengan tatapan tajam. Langsung menarik tangan Lala dan mendorong tubuh itu. “Aaaghh!” rintih Lala saat tubuhnya jatuh ke atas tempat tidur. Levine melangkah mendekat, langsung menarik baju lengan panjangnya ke atas; melepaskan dari tubuhnya. Lalu melemparkan baju itu ke sembarang tempat. “Jangan pernah mimpi lo bisa lari dari gue, jalang!” Lala bangun, menarik diri mundur dengan kepala yang menggeleng. Ada bulir yang mengalir di kedua pipi putihnya. “Pliis, kak, aku mohon jangan lakukan lagi. Aku mohon, kak … pliis ….” Pintanya, merengek, memohon. Lala memejam dengan isakan yang terdengar sangat menyakitkan. Tak bisa lari lagi karena punggungnya sudah terpentok pada dinding. Melihat tangis itu, entah kenapa ada sudut hatinya yang seperti di sengat kalajengking; tersentuh. Levine mengepalkan kedua tangan, merasakan bimbang yang tetiba menyerang hati dan pikiran. Menit berlalu, sampai Lala mengusap kedua mata dan menengadah menatap wajah kakak tirinya itu, Levine tetap diam di tempat menatap fokus pada Lala. Keduanya saling diam, saling tatap dengan d**a yang sama-sama berdebar. Lala makin menekuk kedua kaki dan memeluk kakinya erat-erat saat Levine makin mendekati. Air matanya kembali menetas, membasahi kedua pipi. “Ja—” Kata-kata Lala menguar di udara saat tangan Levine mengusap air mata yang mengalir di pipi dengan sangat lembut. Jangkun cowok itu naik turun sesuai dengan rasa yang sekarang memenuhi d**a. Tak ada kata yang terucap, hanya saling tatap dengan tubuh yang sama-sama bergetar. Ddrrt … ddrtt …. Bunyi dering ponsel milik Lala yang ada di atas meja membuat kedua manusia yang saling berpandangan ini sama-sama terlonjak kaget. Levine langsung menarik tangannya, mengalihkan tatapan dan meraih ponsel yang berkedip itu. Ada nama ‘Mama’ di layar sana, yang mengartikan jika telpon itu dari Vera. Levine menyerahkan ponsel itu ke Lala. Membuat kedua mata mereka kembali bertemu. Tatapan yang tak lagi setajam dan senafsu sebelumnya. “Angkat,” suruh Levine dengan suara datar. Lala meneguh ludah lebih dulu, lalu menghapus ingus dan kedua air matanya. Melirik Levine lebih dulu sebelum menggeser tombol berwarna hijau di layar sana. “La, kamu ganti calananya lama banget. Ayok, keburu nanti kue yang coklat habis.” Suara Vera di seberang sana. Lala menatap Levine yang ternyata memerhatikannya. “Di rumah aja, nggak usah pergi.” kembali Levine berucap. Bibir Lala yang terbuka itu menyentak nafas kasar, kembali gadis itu meneguk ludahnya. Menatap layar yang masih menampilkan telponnya dengan sang mama. “Ak—aku … aku … aku nggak jadi pergi, ma.” Entah kenapa, kedua mata bermanik hitam sedikit kecoklatan itu membuatnya luluh. Tatapan teduh dan bisa membuatnya seperti terhipnotis. “Oh, yaudah kalau gitu. Mama pergi sama papa ya. Kamu di rumah sama kak Levine. Bik Puji tadi mama suruh belanja ke pasar.” “Iya, Ma.” Jawab Lala, lalu telpon dimatikan oleh Vera. Lal menunduk, menggenggam ponselnya dengan rasa yang masih berdebar. Untuk beberapa detik mereka berdua saling diam, tak ada yang memulai bicara apa pun. Sampai akhirnya Levine ikut duduk di samping Lala, menyandarkan punggung di dinding yang sama. “Emang … tadi mau pergi kemana?” tanyanya, terdengar garing. Ya, dari dulu kan nggak peduli sama sekali, terus tiba-tiba nanyain hal nggak penting begini. Lucu sih. “Uumm, tadi … tadi diajakin mama sama papa ke … ke toko kue.” Jawab Lala dengan suara bergetar. Dia masih menahan takut. Lalu hening. Tak ada lagi suara apa pun. mereka sama-sama diam dengan pikiran masing-masing. untuk sesaat Levine melirik Lala yang hanya memakai celana dalam saja. Memang, dia sangat menarik. Membuat Levine langsung meneguk ludah. “Kenapa mau pergi ke Lombok?” tanya Levine kemudian. Lala langsung membuang wajah mendengar pertanyaan itu. Jawabannya udah pasti, itu untuk menghindar dari Levine. Tapi untuk menjawab seperti itu, Lala tak memiliki nyali. “Emang kenapa kalau tetap tinggal di sini?” tanya Levine lagi. Pertanyaan yang sangat konyol dan membuat Lala langsung ingin meneriakinya. Di rasa memang ngobrol sama Levine itu tak terlalu penting dan emang nggak ada guna sama sekali. Lala beringsut, bergerak turun dari atas kasur untuk mengambil celananya. Tapi tangan itu ditarik, membuatnya langsung terlentang tidur. Dengan cepat tubuh Levine menindih tubuh kecilnya, mengungkungnya dengan kedua kaki. “Kak,” pekik Lala dengan kedua mata yang melotot. Di kira tadi itu udah berubah, udah nggak akan nyakiti. Tapi …. “Gue ….” Kedua tangan Levine menarik tangan Lala yang menyilang di d**a itu dengan sangat lembut. Lalu menunduk, berhenti saat bibir itu tepat ada di atas bibir Lala. Diam di sana, menatap wajah adiknya yang beberapa hari sudah mengganggu kepalanya. Ada yang berdesir di dalam diri saat deru nafas Lala menyapu wajahnya dengan hangat. Cup! Bibirnya menubruk bibir Lala dengan singkat. Lalu kembali menatap wajah yang terlihat takut dan … ya, hanya ada ketakutan di wajah Lala. Bahkan saat ini Levine bisa mendengar detak jantung Lala yang bunyi detaknya lebih kencang dari detaknya sendiri. Tangannya memegangi dagu Lala dengan pelan, lalu kembali mendaratkan bibirnya di bibir yang sama. Sangat pelan, begitu lembut. Ini berbeda dari yang sebelum-sebelumnya. Melumat bibir bawah Lala begitu hati-hati, bergantian. Sampai di rasa tubuh Lala tak lagi sekaku sebelumnya, Levine mulai memasukkan lidahnya, mencari lidah Lala, lalu menyapa lidah itu di dalam mulut Lala. Tangan Levine bergerak lembut, mengusap leher Lala, lalu turun, meremas pelan satu tonjolan yang sudah beberapa kali ia gerayahi. Lengkuhan kecil dari bibir Lala membuat nafsu yang sempat hilang itu kembali lagi. Dengan sangat sengaja Levine menjatuhkan tubuh, menindih tubuh Lala yang sudah telanjang separuh itu. “Eeggh … eeggh ….” Lala memejam dengan bibir yang melengkuh ketika Levine mulai menciumi leher. Kedua tangan berada di bahu Levine, mencengkeram bahu itu sedikit kencang. “Eeeggh, kak ….” Lirihnya saat Levine menyingkap kaos yang ia pakai ke atas. “La, gue … kangen,” ungkap si cowok tampan itu dengan tatapan yang sudah dipenuhi oleh nafsu. Entah sadar atau tidak, tetapi ungkapan itu membuat kedua mata Lala melebar dengan d**a yang kembali berdebar. Lala menggigit bibir saat bibir Levine sudah mendarat di salah satu dadanya. Ya, memang sentuhan ini sangat lembut, jauh berbeda dari sentuhan Levine sebelum-sebelumnya. “Aahhgg ….” Desah Lala saat sesapan itu membuat sesuatu di dalam dirinya terasa berbeda. Rasa nikmat untuk pertama kali yang sekarang bisa dia rasakan. Membuat kedua matanya seperti meminta untuk menutup, lalu menikmati apa yang sekarang sedang kakak tirinya lakukan. Tapi sebagian diri berusaha mengingatkan jika hal ini salah. Benar-benar salah dan harus dia hindari. Dia keinginan yang sama-sama berperang di dalam kepala. Akhirnya kedua tangan Lala mendorong kuat kedua bahu Levine, membuat bibir Levine terlepas dari bagian tubuhnya yang kenyal itu. “Aku nggak mau kek gini, kak … aku nggak mau. Ini salah! Aku nggak mau!” tolaknya, berusaha untuk menjauh. Levine yang sudah ada di mode nafsu, tentu sangat kecewa melihat Lala yang malah menolak. Dia menarik kain tipis yang masih menutup bagian tubuh bawah Lala, membuat Lala menjerit terkejut. “Kak!” teriak Lala, lalu berusaha makin keras untuk menjauh saat kedua tangan Levine menarik kaki. “Lo nurut, gue nggak akan main kasar.” Ucap Levine, lalu membuka lebar kedua kaki Lala, dia memulai aksi yang sejak awal dia mau. Tak bisa menolak, Lala juga tak memberontak. Dia justri berteriak, mendesak dengan kedua tangan yang mencengkeram erat kedua kaki. Menerima, mencoba menikmati apa yang Levine lakukan, karna memang kakak tirinya itu menyentuhnya begitu lembut. Sangat jauh berbeda dari sebelum-sebelumnya. Tak bisa jika harus menahan untuk tak mendesah, berkali bibir manis itu bersuara. Lalu akan dia ketika bibir Levine membungkam bibirnya. Sampai akhirnya percintaan mereka telah usai, Levine benar-benar menyentuhkan dengan lembut. Lala menatap punggung yang berdiri di depan pintu kamarnya, lalu punggung itu menghilang begitu pintu di tutup. Dia menunduk, menatap d**a dan leher yang ada beberapa cupangan. Kenapa Levine selalu meninggalkan tanda-tanda seperti ini di tubuhnya? Lala mencengkeram erat pinggiran selimut yang menutupi hingga d**a. Dia mengulum bibir, satu tangan menyugar rambut yang sudah berantakan. Kedua mata memejam dalam dengan deru nafas yang begitu kasar. Sungguh, sentuhan lembut itu bisa membuatnya sangat luluh. ** Pukul 5.00pm Tok! Tok! Tok! Ketukan pintu di luar kamar membuat Lala yang sedang mengeringkan rambut itu mengeryit. Kepalanya menebak-nebak siapa yang kini berada di depan pintu itu. Menaruh hairdrayer di atas meja, mengalungkan handuknya di leher hingga cupangan di sana tak terlihat. Dia melangkah menuju pintu dan membuka pintu itu. “Bik,” sapa Lala saat ternyata Bik Puji yang berdiri di depan pintu kamar. “Ada lelaki yang cari non Lala. Yang waktu itu ke sini, Non,” ucap Bik Puji, memberi tahu. Tak salah, pasti itu Algi yang datang. Belum bertemu, hanya mendengar kekasihnya itu berkunjung, hatinya sudah merasa sangat kalut, sedih dan … sakit. “Bilang aja, aku tidur.” Ucapnya, lalu menutup pintu. Bik Puji mendesah melihat anak majikannya seperti ini. Entah dia harus berbohong untuk yang keberapa pada lelaki yang sama. Wanita itu menggeleng samar menatap pintu yang sudah tertutup. “Mbok ya kalau ada masalah itu diselesaikan baik-baik. Bukan malah dihindari. Kasihan mas-nya. Kalau datang pasti hanya dapat berita hoax.” Gumamnya sendirian. Bik Puji berbalik, melangkah menuju ke arah tangga, tapi langkahnya terhenti saat melihat lelaki yang dia bicarakan tadi ada di ambang tangga sana. Dengan langkah pelan Algi mendekat, lalu berhenti tepat di depan si bibik. “Dia baik-baik saja kan, Bik?” tanyanya, menatap wajah pembantu itu. Bibir bik Puji berkedut, terbuka dengan kata yang terasa tercekat di tenggorokan. “Aku tadi liat kok.” Lanjut Algi berucap. Algi menatap pintu di depan sana, pintu yang dia yakin jika itu adalah kamar Lala. Melirik bibik sebentar, lalu melangkah menuju ke pintu kamar Lala. Tangannya terangkat, mengetuk pintu itu. Tok! Tok! Tok! Cukup lama, tetapi tak ada tanggapan dari dalam. Sampai akhirnya Algi mencoba mengetuk lagi, tapi tetap belum dibuka. Karna dia juga tau jika Lala memang di dalam sana, Algi nekat memutar handle dan mendorong pintu itu. Tepat saat pintu dibuka, di dalam sana bisa dengan jelas Algi lihat. Lala yang duduk di depan meja rias dengan tangan yang sibuk mengolesi cream di leher. Lalu dua cupangan di atas d**a itu begitu nyata terlihat karena sekarang Lala hanya memakai tangtop saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD