2- Bukan Mimpi

1350 Words
Delapan tahun kemudian .... Nindy tengah berjalan dari ruang kelas kuliahnya, ia menuju ruang dosen, untuk membahas tentang skripsinya yang hampir selesai. Lagi- lagi bimbingan tentang skripsi yang sudah hampir empat bulan ia garap. Jenuh memang, karena setiap hari harus bolak- balik bimbingan ke kampus dan menunggu dosen. Nah, hal yang paling menyebalkannya yaitu ketika ia harus menunggu dosen pembimbingnya. Kadang ia bisa menunggu sampai berjam- jam. Bahkan pernah dari siang sampai mendekati maghrib. Dosennya dihubungi pun susah, dan sekalinya ia kirimi pesan, hanya dibaca saja, tanpa dibalas sama sekali. Menunggu memang semenyebalkan itu. Maka dari itu, begitu tadi ia mendapatkan pesan bahwa dosen pembimbingnya saat ini ada di ruangannya, cepat-cepat Nindy meninggalkan semua kegiatan yang sedang ia lakukan, dan segera menemui dosen pembimbingnya itu. "Kak Nindy!" Seruan di koridor depan ruang kantor dosen, membuat Nindy terkejut. Ia melihat ada Rena, adik tingkatnya, tengah melambai ke arahnya. Rena adalah orang yang mengabari Nindy bahwa dosen pembimbingnya itu ada di ruangannya. Nindy mempercepat langkahnya, lalu membalas lambaian tangan Rena. Begitu sudah sampai di depan Rena, Nindy segera mengatur deru napasnya. "Pak Gilang masih ada .... di dalam?" tanya Nindy dengan masih berusaha mengatur deru napasnya. Ia tadi berjalan cepat dan menaiki anak tangga dari basemen untuk mencapai lantai dua. Entah mengapa mendadak lift di gedung fakultasnya rusak, sehingga kini sedang diperbaiki. Jadi Nindy tidak punya pilihan lain. Rena mengangguk. Kemudian menunjuk pintu ruangan yang terbuka sedikit. "Tapi masih ada yang lagi bimbingan, Kak. Nunggu aja katanya bentar lagi selesai." Rena mengumbar senyumnya. Nindy mengangguk paham. Kemudian ia duduk di samping Rena, lalu memandang kursi panjang di sebrangnya yang juga terdapat beberapa mahasiswa yang tengah menunggu dosen pembimbingnya. Suasana di lantai dua fakultasnya memang familiar dengan beberapa mahasiswa semester atas, em, semester tua yang tengah sibuk melakukan bimbingan. Jadi bisa dilihat wajah- wajah stres dan frustrasi ketika berpapasan dengan salah satu dari mahasiswa ini. Sebenarnya Rena ini masih semester enam, namun Rena sudah ingin mengajukan proposal skripsinya. Termasuk salah satu mahasiswi yang rajin jika semester enam sudah memikirkan skripsi. Nindy mengenal Rena sejak mereka tergabung di unit kegiatan mahasiswa yang sama. "Lo gimana proposalnya?" tanya Nindy basa- basi. Suasana mendadak senyap. Ia hanya tidak ingin menjadi diam. Rena tampak memandang map berisi tumpukan kertas di dekapannya sebelum menjawab, "Masih ngambang, Kak. Kayaknya gue mau ganti judul aja deh." Nindy tercengang mendengar perkataan Rena. Pasalnya mengganti judul itu sama saja seperti mengganti isi keseluruhan skripsi itu. Kalian harus mengganti materi, teori, teknik pengolahan data dan bahkan tempat penelitian lagi. Sesusah itu. "Beneran ganti?" tanyanya kaget. Rena mengangguk. "Soalnya Pak Gilang suruh ambil data yang gue gak terlalu paham, terus belum lagi pengolahan datanya, jadi mending ganti judul," jelasnya. Ia segera menyambung, "Tapi tempat penelitian masih sama sih." Nindy yang tadinya panik mendengarnya kini baru bisa bernapas lega. "Syukur deh kalau masih di tempat penelitian yang sama. Soalnya ribet kalau mau urus surat observasi dari awal lagi, belum tentu semua instansi mengizinkan 'kan untuk kita teliti?" Nindy terkekeh di akhir kalimatnya. Rena mengangguk. "Iya, Kak. Benar." Mereka kemudian menghentikan percakapan ringan itu ketika melihat pintu di ruang yang tengah mereka tunggu itu terbuka. Seorang mahasiswa keluar dari sana. Kemudian mahasiswa itu melenggang begitu saja tanpa mengatakan apapun. Rena sontak menatap Nindy. Ia tahu sekarang adalah gilirannya untuk bimbingan. "Gue masuk dulu, Kak," pamitnya. Nindy mengangguk. "Iya." Setelahnya, Rena segera masuk ke dalam ruangan itu, membuat Nindy harus menunggu lagi. Tapi tidak masalah, setidaknya sekarang ia sudah pasti akan bimbingan dengan dosen bernama Gilang itu. Dosen yang masih tergolong muda namun sudah memiliki pangkat tinggi di fakultasnya, sebagai asisten Dekan. Dosen yang sangat sibuk karena mengajar sekaligus berbisnis pula. Biasanya Nindy akan menunggu dosen itu tanpa kepastian, namun kali ini keberuntungan mungkin berpihak padanya, ia tidak akan menunggu lama lagi. Nindy mengetuk- ngetukkan hak sepatunya ke lantai sembari menunggu. Lalu ia melirik jam tangannya yang menunjuk pukul sepuluh pagi itu. Kemudian beralih mengotak- atik ponselnya untuk mengurangi jenuh. Sebuah pesan masuk ke ponselnya. Awalnya Nindy mengabaikannya, namun pesan dari pengirim yang sama itu masuk berkali- kali membuat Nindy terpaksa tidak bisaa mengabaikan begitu saja. Ia segera membuka pesan itu. Pesan dari Mamanya. Mama: Nindy, kamu pulang sekarang Mama: Nindy, ini gawat! Perusahaan kamu bangkrut Mama: Lebih baik kamu pulang sekarang. Cepetan! Mama: Nin, cepet pulang! Rumah kita disita! Mata Nindy membelalak lebar melihat deretan pesan dari mamanya itu. Ponselnya hampir terjatuh saking lemasnya ia membaca pesan itu. Bangkrut? Perusahaan Papanya ... bangkrut? Tanpa ada angin atau hujan, mendadak ia mendapat kabar buruk seperti ini. Belum sempat Nindy membalas pesan dari mamanya itu, ponselnya kembali bergetar. Kali ini getarannya lebih kuat dan lama dari sebelumnya. Rupanya panggilan masuk dari mamanya. Nindy tak sanggup mengangkat telepon dari mamanya itu. Ia masih bingung, terdiam seketika. Telinganya mendadak berdengung kencang. Tidak pernah membayangkan hal seperti ini akan terjadi menimpa hidupnya. Nindy hanya dapat berharap jika mamanya saat ini sedang bercanda padanya. Ia kini memberanikan diri menekan tombol berwarna hijau itu, membiarkan sambungan dari mamanya terhubung. Dengan perlahan ia mendekatkan ponselnya ke telinganya. Takut- takut ia mencoba mendengarkan. "Halo?" lirih Nindy menjawab panggilan itu. Ada suara tangis terdengar di seberang sana. Nindy diam- diam menahan tangisnya juga. Ia bahkan tidak sanggup mendengar perkataan yang akan dikatakan mamanya nanti. Berikutnya, berbagai reaksi Nindy keluarkan ketika mendengar perkataan mamanya di sebrang sana. Dan begitu sambungan itu terputus, Nindy dengan cepat berlari meninggalkan koridor itu. Ia segera berlari menuruni tangga yang tidak seberat sebelumnya. Yang Nindy pikirkan hanya ingin segera sampai di rumahnya. Bahkan ia tidak peduli lagi dengan dosen pembimbingnya yang susah ditemui itu, atau seruan dari Rena yang terus memanggil namanya karena meninggalkan koridor begitu saja. °°°° Begitu sampai di depan pagar rumahnya, Nindy melihat beberapa tetangganya tengah menonton di depan rumahnya. Lalu Nindy pun mendengar bisik- bisik tetangga yang mengatakan bahwa keluarganya tampak kasihan. Nindy bergegas memasuki halaman rumahnya dan berlari ke rumahnya. Saat ada di depan pintu rumah, ia melihat ada beberapa orang sedang mengangkuti barang- barang berharga di rumahnya. Orang- orang itu sepertinya adalah orang suruhan bank karena Nindy melihat ada logo bank di seragamnya. Dengan cepat Nindy melewati orang- orang itu dan segera memasuki rumahnya. Ia melihat mamanya tengah menangis dan adiknya tengah menenangkannya. Sedangkan papanya hanya diam di sofa, tampak shock. Ekspresinya menyedihkan. Nindy tidak tahu apa yang sebelumnya terjadi namun ia merasa sekarang semuanya seperti di mimpi. Mimpi buruk. Dan Nindy hanya ingin segera terbangun. "Nindy!" Mamanya berseru melihat Nindy yang berada di depan pintu rumah mereka. Bergegas mamanya itu berlari ke luar rumah dan mendekati Nindy. Ketika sudah ada di depan Nindy, anak gadisnya itu, Ratih segera memeluknya. "Nak, rumah kita dan seluruh aset Papa kamu disita bank," ucap Ratih lagi seraya masih menangis. Ia peluk Nindy erat- erat seolah mengambil tenaga Nindy. "Ini ... cuma mimpi, 'kan Ma?" tanya Nindy terbata. Ia masih belum menerima bahwa semua yang ada di depan matanya adalah kenyataan. Ratih melerai pelukannya. Lalu menatap Nindy dengan tangis yang masih mengalir. Dengan pelan ia sentuh wajah putrinya itu. "Maafin Mama dan Papa kalau ini semua bukanlah mimpi, Sayang." Nindy yang mendengar itu, akhirnya ikut menangis. Ia menangisi semua harta yang akhirnya pergi begitu saja dari keluarganya. Gadis itu melihat televisi, meja, sofa, dan seluruh perabotan di rumahnya diangkut dan dimasukkan ke dalam mobil box milik bank. Bahkan motor miliknya yang biasa ia naiki, juga mobil yang biasanya keluarganya gunakan untuk berlibur, kini ikut dibawa oleh bank. Mereka hanya menyisakan pakaian- pakaian miliknya dan keluarganya saja. Nindy menangisi hidupnya yang kini akan berbanding terbalik 180 derajat. Berubah dalam sekejap menjadi jatuh miskin. Bahkan hanya dalam kedipan matanya. Ia yang selama ini hidup tanpa pernah kekurangan, harus merasakan rasanya hidup serba kurang mulai sekarang. Tidak bisa ia sangka sebelumnya, kehidupan mewahnya akan berubah total sekarang. Bahkan Nindy belum lulus kuliah dan masih harus melunasi biaya wisudanya nanti. Sekarang bagaimana caranya mereka melunasi biaya wisuda di kampus swasta yang terkenal mahal se- Jakarta itu? Apa ia harus terpaksa mengorbankan tabungannya yang bertahun- tahun ia tabung itu untuk pergi ke Korea itu? Rasanya Nindy sekarang ingin berteriak keras- keras pada Tuhan yang telah berhasil membalik kehidupannya dalam sekejap. °°°°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD