Bab 9 Puluhan Gambar di Galeri

1004 Words
Mika menimang-nimang ponselnya, dia ingin mengirimkan pesan pada Kalvin, meminta izin untuk pergi bersama Luc ke toko perlengkapan berkuda. Namun perasaan ragu menghinggapinya. Dia bukan benar-benar istri Kalvin, jadi belum tentu pria itu mengharapkan Mika meminta izin. Tapi bukankah seorang pegawai harus meminta izin pada atasannya ketika dia hendak pergi di jam kerja? Dan secara teoretis Mika bekerja pada Kalvin, otomatis dia adalah bawahan pria itu. Maka Mika pun mulai menyusun kata-kata. Dia mengetikkan pesan dan membacanya ulang, sekiranya merasa tidak sesuai, dia langsung menghapusnnya. Begitu terus selama beberapa kali. Sampai akhirnya dia menemukan kalimat yang menurutnya pas. Selamat siang, Pak Kalvin Maaf, sekiranya saya mengganggu Bapak. Ada sesuatu yang ingin saya beli di toko perlengkapan berkuda. Bolehkah saya pergi ke sana dengan Luc? Saya akan sangat berterima kasih kalau Pak Kalvin mengizinkan. Sekian dan terima kasih. Salam sejahtera, Mika Naraya. Mika segera mengirimkan pesan tersebut sebelum berubah pikiran. Beberapa detik setelah pesannya terkirim, telepon genggamnya langsung berdering. Nama Kalvin terpampang dengan jelas di layarnya. Mika tidak ingin menjawab panggilan tersebut. Dia mengabaikannya, tapi telepon genggamnya terus berbunyi. Kenapa Kalvin tidak membalas pesan saja, sih? Rutuknya dalam hati. Akhirnya dia menerima panggilan itu dengan enggan. "Apa-apaan kau!" sembur Kalvin dari seberang. "Aku tidak akan pergi kalau Pak Kalvin melarang, tidak usah marah-marah," ucap Mika datar. "Bukan itu! Pesan macam apa yang kau kirim barusan?!" Mika mengerutkan keningnya. "Pesan minta izin," gumamnya ragu. "Seorang istri tidak akan menuliskan pesan seperti itu pada suaminya jika ingin meminta izin!" geram Kalvin. "Bagaimana kalau ada yang membaca pesanmu? Mereka pasti akan langsung tahu kalau kita pura-pura menikah!" "Tapi aku mengirimkan pesan hanya pada Pak Kalvin, tidak mungkin ada yang tahu." "Kau tahu? Ketika rapat, aku meletakkan telepon genggamku di meja. Jika ada pesan masuk, itu akan terpampang di layar, dan orang yang terdekat dengan telepon genggamku akan bisa membaca pesan tersebut, mengerti?" "Pak Kalvin sedang di ruang rapat?" "Ya, tadi. Sekarang aku di toilet." "Bukankah kita bisa mengatur pesan agar tidak terpampang di layar?" "Aku tahu, aku hanya lebih suka seperti itu. Lebih memudahkan. Pokoknya jangan lagi-lagi mengirim pesan seperti itu!" "Baik, Pak. Saya minta maaf." "Okay. Apa yang kau butuhkan?" "Eh?" Mika bingung karena topik pembicaraan tiba-tiba berubah. "Kamu bilang tadi ada yang ingin kamu beli di toko perlengkapan berkuda." "Oh, itu. Ya. Saya berencana membeli sepatu bot dan helm berkuda. Saya boleh pergi ke sana dengan Luc?" "Kau menyukai Luc ya?" Pipi Mika memerah. "Apa maksud Bapak?" "Aku tahu kau sedang berusaha mendekati Luc, kau menyukai dia?" Nada suara Kalvin yang terdengar menuduh membuat Mika kesal. "Dia teman saya," jawabnya dingin. "Terserah. Kau boleh pergi dengan siapa pun, itu bukan urusanku. Hanya saja, tolong jaga sikapmu. Aku tidak ingin mendengar gosip 'istriku' selingkuh dengan pria lain di luar sana," ucap Kalvin menekankan kata istri. "Jangan khawatirkan hal itu." "Satu lagi, jangan panggil aku pak atau bapak." "Saya harus panggil apa kalau begitu? Tuan? Om?" "Panggil nama saja," jawab Kalvin datar. Mengabaikan ucapan sarkas Mika. Mika memutuskan panggilan telepon tanpa berkata apa-apa lagi. ****** Kalvin sedang berada di halaman ketika Mika dan Luc datang. Refleks dia menyelinap ke balik pohon, menyembunyikan dirinya. Dari kejauhan dia melihat Mika berbincang dengan Luc, di tangannya tertenteng dua kantung plastik berlogo kepala kuda. Mereka pasti baru pulang dari toko perlengkapan berkuda. Mika terlihat senang, wajahnya cerah dan senyum lebar tidak pernah lepas dari bibirnya. Sorot matanya hanya tertuju pada Luc yang sedang berkata sesuatu. Entah kenapa itu membuat Kalvin kesal. Mereka berhenti di depan rumah, masih berbincang selama beberapa saat. Kemudian Luc pergi meninggalkan Mika setelah sebelumnya mereka saling melambaikan tangan. Dari tempatnya, Kalvin memperhatikan Mika sampai gadis itu menghilang dari pandangan. "Mereka terlihat serasi." Kalvin tersentak dan langsung menoleh. Tanpa dia sadari Freya sudah berdiri di sampingnya entah sejak kapan, ikut mengawasi kepergian Mika. "Sejak kapan kau di sini?" tanya Kalvin gusar. "Sejak kau menyelinap menyembunyikan diri melihat kedatangan mereka. Kenapa kau bersembunyi?" "Aku tidak sembunyi." Freya menelengkan kepala. "Jelas sekali kau tadi bersembunyi dari mereka." "Kau salah sangka," gumam Kalvin beranjak pergi. Namun sebelum dia benar-benar jauh dari Freya, wanita itu menghalanginya. "Kau tidak ingin manfaatkan kesempatan yang kita miliki, Sayang?" bisiknya mengedipkan mata penuh arti. "Kau kan tahu kita bebas melakukan apa saja selama ayahmu tidak ada di sini." "Jangan gegabah. Kita tidak sendirian di sini, Fre. Siapa saja bisa melihat dan melaporkan kita pada Papa," desis Kalvin menatap berkeliling. Freya merengut. "Kemarin-kemarin kau tidak sewaspada ini. Kita masih bisa bercinta di mana saja walau ada ayahmu. Kenapa ketika dia tidak ada di rumah, kau justru menjadi lebih hati-hati?" "Entahlah, Fre. Aku hanya tidak enak, ada sesuatu yang menggangguku. Aku merasa ada yang selalu mengawasi kita." "Pasti gadis itu!" seru Freya tiba-tiba. "Perhatianmu sekarang selalu tertuju pada Mika, karena itu kau merasa terganggu dengan kehadiranku." Freya berkata emosi. "Kenapa kau selalu kembali ke sana, aku sudah bilang, tidak ada apa-apa antara aku dan Mika," ucap Kalvin gusar. "Kalau kau terlalu cemburu dengan Mika, kenapa kau menyuruhku menikahinya?" "Aku tidak tahu dia akan menarik perhatianmu!" "Aku tidak tertarik padanya!" sangkal Kalvin emosi. "Oya? Buktikan kalau begitu" Freya memandang Kalvin sinis, bibirnya tersenyum mengejek. Melihat tatapan Freya, Kalvin merasa tertantang. Dia menarik tangan Freya hingga wanita itu berada di dekapannya. Tanpa memberi aba-aba, pria itu langsung melumat bibir Freya kasar. "Ini kan yang kau mau, Fre?" desisnya parau. Freya langsung terbakar, gairahnya memuncak. Dikalungkannya tangannya pada leher Kalvin dan membalas ciuman kekasihnya itu tanpa jeda. Dia memekik kecil ketika dengan gerakan kasar Kalvin mengangkat roknya dan menyelusupkan tangan ke balik celana dalamnya. "Seperti ini kan, Fre. Kau mau jari-jariku merobek milikmu." "Ughhh," lenguh Freya. Kalvin mendesak Freya ke arah pohon, membalik tubuh wanita itu hingga membelakanginya dan memasukinya dengan kasar. Kembali Freya mengerang, dia menyukai sikap brutal Kalvin, dan dia menyukai percintaan panas mereka di tempat terbuka seperti ini. Terasa menantang hingga membuat adrenalinnya naik berkali-kali lipat. Kedua insan itu sibuk melepas hasrat sehingga tidak menyadari ada sosok lain bersama mereka. Sosok yang sedang mengabadikan percintaan panas mereka menjadi puluhan gambar dan disimpan di galeri telepon genggam orang tersebut. Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD