Bab 11 Rahasia-Rahasia

1641 Words
"Berapa umurmu, Mika?" tanya Baskara ketika mereka sedang berada di perpustakaan. "Tanpa bermaksud menyinggung, aku yakin kau lebih tua dari yang terlihat," sambungnya jenaka. Mika tertawa. "Aku dua puluh satu, Om." "Hm ... masih muda, masih sangat muda," gumam Baskara. Pipa yang terselip di bibirnya bergerak-gerak ketika dia bicara. "Apa yang kau baca itu?" tanyanya lagi, kali ini perhatiannya tertuju pada buku yang tidak terlalu tebal di pangkuan Mika. "Moonwalking with Einstein," jawab Mika menutup buku untuk membaca judulnya, lalu melanjutkan, "Rahasia Memiliki Ingatan Super karya Joshua Foer." "Hm ... ya, ya. Aku membeli itu karena selalu lupa di mana menaruh benda-benda," kekehnya. "Itu buku bagus, kau harus membacanya sampai habis." Mika tersenyum. "Ya, Foer berhasil menuliskan karya jurnalisme sains yang dikemas dengan menarik sehingga sama sekali tidak membosankan." Baskara mengangguk-angguk senang. Dia membiarkan Mika melanjutkan membaca. Dia sendiri asyik melihat ke luar jendela, memikirkan beberapa hal.  Salah satunya adalah rencana yang sedang ia persiapkan. Sepuluh tahun yang lalu, di hari Andini meninggal, ada sebuah rahasia yang terungkap. Rahasia yang disimpan rapat-rapat oleh wanita itu. Baskara tidak pernah mengira, satu-satunya wanita yang paling ia percaya dan cintai mampu menyimpan rahasia kelam darinya selama puluhan tahun rumah tangga mereka. Awalnya Baskara tidak bisa menerima hal tersebut, dia begitu marah. Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa karena saat itu Andini sedang sekarat. Istrinya itu memohon pada Baskara untuk memaafkannya. Melihat penderitaan Andini, Baskara menangis. Rasa takutnya kehilangan sang istri ternyata lebih besar daripada amarahnya pada wanita itu. Dengan tulus, dia memaafkan Andini. Menemani sang istri melewati masa-masa kritisnya sampai embusan napas yang terakhir. Sudut mata Baskara mendadak basah, cepat-cepat dia menghapusnya sebelum ada air mata yang jatuh menimpa pipi keriputnya. Mengenang lagi masa-masa itu selalu membuat pria tua itu sedih. Demi kenangan itulah Baskara menyusun rencana ini. Demi ketenangan Andini, sang istri tercinta. Lima tahun setelah kematian Andini, Kalvin menjalin hubungan dengan Freya. Baskara tidak pernah merisaukan hubungan mereka sampai dia mengetahui latar belakang orangtua Freya. Danur Hardian dan istrinya Rima. Mereka pengusaha licik yang sering memanfaatkan orang lain demi kepentingan mereka sendiri. Dari informannya, Baskara mengetahui rahasia kelam keluarga mereka. Bahwa Freya merupakan anak hubungan gelap antara Danur dan seorang PSK. Karena pengaruh orangtua Rima, berita itu tidak pernah beredar keluar. Orang-orang terdekat mereka hanya tahu Freya anak angkat pasangan itu dan bukannya anak Danur dengan seorang PSK. Sifat dan karakter Freya sangat mirip dengan Danur, licik dan manipulatif. Namun karena dia terlalu mengidolakan sang mama tiri, penampilan dan gayanya justru meniru wanita itu. Freya selalu menuruti apa pun perintah Danur dan Rima, termasuk mengencani pria-pria kaya untuk mendapatkan keuntungan dari mereka. Ya, ketiga orang itu adalah parasit paling berkelas di kalangan mereka. Tidak heran kalau Baskara sangat berhati-hati dengan mereka. Tahun pertama hubungan Kalvin dengan Freya, Baskara masih bersikap santai. Dia berharap itu hanya nafsu sesaat dan akan memudar dengan sendirinya. Namun menginjak tahun kelima, pria tua itu mulai gelisah. Tidak ada tanda-tanda Kalvin akan berpisah dengan Freya, mereka justru terlihat makin intim. Khawatir Kalvin terjebak semakin dalam, Baskara menjalankan siasatnya untuk memisahkan mereka dengan menikahi Freya. "Kau tidak ingin melanjutkan kuliah, Mika?" Baskara memecah keheningan. "Aku tahu kau baru lulus SMK ketika datang ke Jakarta." Mika mengangkat pandangannya dari buku hingga matanya tertuju pada wajah tua di depannya. "Dulu aku sempat memikirkannya. Tapi ternyata itu tidak semudah bayanganku. Waktu berlalu dan aku menyingkirkan mimpiku begitu saja," ujarnya tersenyum kecut. "Mimpi tidak akan mudah disingkirkan, kenapa kau tidak mencoba kuliah lagi saja. Aku akan urus semuanya." Gadis itu menatap Baskara ragu. "Om Baskara serius?" "Tentu saja. Aku tahu kau memiliki potensi. Jurusan apa yang akan kau ambil?" Selanjutnya perbincangan mereka berubah menjadi hal-hal yang bersangkutan dengan urusan perkuliahan. Dimulai dari jurusan apa dan universitas mana yang Mika inginkan. Mika memiliki minat mempelajari ilmu bisnis, dia ingin menjadi pengusaha wanita yang sukses. Ketika dia masih SMP dan sering membantu ibunya berjualan gado-gado, Mika melakukan banyak hal agar warung gado-gado ibunya berkembang, termasuk melakukan pembukuan. Saat itu sang ibu hanya tersenyum dan berkata, "Ini hanya usaha kecil-kecilan, Mika. Tidak perlu pembukuan seperti perusahaan besar." "Tidak apa-apa, Bu. Suatu saat Mika akan punya perusahaan besar, jadi harus berlatih dari sekarang," jawab Mika saat itu. Mendengar jawaban sang putri, ibu Mika tersenyum lebar lalu mengaminkan keinginan buah hatinya. Siapa sangka sekarang dia mendapatkan kesempatan untuk kuliah? ****** Rencana tersebut diumumkan Baskara ketika makan malam. Freya sama sekali tidak tertarik, baginya tidak penting Mika kuliah atau tidak. Satu-satunya hal yang dia pikirkan ketika mendengar berita tersebut adalah, bagaimana cara menyingkirkan gadis itu dari rumah ini. Keberadaannya sangat mengganggu Freya. Berbanding terbalik dengan Freya, Kalvin justru terlihat antusias meski berusaha menyembunyikannya. Masih dengan menunjukkan sikap dingin dan masa bodoh, Kalvin memberikan pandangan tentang beberapa universitas terbaik di Jakarta. "Apa kau bisa membantu Mika menemukan universitas yang dia mau, Kalvin? Ajak dia berdiskusi," saran Baskara. Cuping telinga Freya langsung bergerak. "Aku bisa membantu juga, nanti kutemani Kalvin berdiskusi dengan Mika," ujarnya cepat. Tentu saja dia tidak akan membiarkan Kalvin berdua-duaan dengan gadis itu. "Tidak. Kau menemani aku saja. Ada yang harus kukerjakan di perpustakaan." Freya tidak menyukai perpustakaan, bau buku membuatnya pening. Namun dia tidak membantah. Siapa tahu ini kesempatan untuknya mendekati Baskara. Walau dia harus menanggung risiko dengan melepas Kalvin berduaan bersama Mika, Freya harap itu sepadan. Akan tetapi sepertinya keinginan Freya tidak akan terjadi. Beberapa jam setelah makan malam, wanita itu tampak meringkuk di sofa perpustakaan dengan wajah masam. Baskara yang sibuk membaca sama sekali tidak mengizinkannya keluar. Dia juga tidak bisa merayu pria itu karena setelah beberapa kali usaha, Baskara tetap mengacuhkannya. Sementara itu di rooftop, Kalvin dan Mika tampak duduk bersisian dalam keadaan saling diam. Mau tidak mau Mika harus menuruti permintaan Baskara agar pria itu tidak curiga. Dia tidak menyadari jika Baskara sengaja melakukan hal tersebut untuk mendekatkannya dengan Kalvin. "Jadi kau mau ambil jurusan ekonomi bisnis?" tanya Kalvin memecah keheningan. Mika mengangguk. "Apa yang membuatmu tertarik mengambil jurusan itu?" "Aku tidak tahu, mungkin keinginan masa kecilku." "Keinginan masa kecil?" Mika menceritakan tentang warung gado-gado ibunya dan keinginannya untuk mengembangkan usaha sang ibu. "Itu hanya pemicu, pada dasarnya saya memang tertarik dengan ilmu bisnis," jelas Mika melirik Kalvin, menangkap basah Kalvin yang memandanginya sambil tersenyum. "Ada apa? Kenapa kau senyim-senyum begitu?" "Tidak ada apa-apa, aku hanya merasa lucu," jawab pria itu. "Apanya yang lucu?" "Kau kadang-kadang menyebut dirimu dengan 'aku' kadang 'saya' ketika berbicara denganku, secara psikologis, itu menunjukkan kau sedang mengalami masa transisi. Kau masih ragu antara berusaha akrab denganku atau menjaga jarak." "Sekarang kau seorang psikolog?" ucap Mika sarkastis. "Tapi kau memang mencoba akrab denganku, kan?" Kalvin balas mengejek. Wajah Mika memerah. "Sama sekali tidak," sangkalnya. "Aku hanya berusaha menjalankan peranku dengan baik. Membiasakan diri berpura-pura akrab denganmu agar tidak ada yang curiga kalau kita hanya pura-pura menikah." "Berpura-pura akrab ya?" Suara Kalvin berubah dingin. "Memangnya apa lagi? Aku kan dibayar untuk menutupi perselingkuhan kalian. Sudah menjadi tugasku membuat mereka percaya kalau kita adalah pasangan suami istri." Kalvin menatap Mika dingin. "Kau tahu? Ada hal lain yang bisa kau lakukan untuk membuat mereka percaya pada kita." Mika melirik Kalvin curiga, melihat tatapan memangsa pria itu, dia jadi waspada. Dengan gerakan pelan Mika berdiri dari duduknya. "Mau ke mana?" tanya Kalvin. "Sudah malam, aku harus ke kamar," katanya bersiap pergi. Namun Kalvin mencekal lengannya. "Kau lupa, malam ini dan seterusnya kau harus tidur di kamarku. Papa akan curiga kalau kau masih tidur di kamarmu. Wajah Mika menjadi pucat. Dia lupa akan hal itu. "S-saya bisa tidur di sofa," katanya gugup. "Kenapa kau tidak duduk lagi saja di sini, kita bisa latihan apa yang harus kita lakukan di kamar," seringai Kalvin. Rasanya sekujur tubuh Mika langsung gemetar. Dia menarik tangannya hingga cekalan Kalvin terlepas, lalu buru-buru meninggalkan tempat itu. Mika tidak pernah tahu ketika dia sudah meninggalkan rooftop, Kalvin tertawa terbahak-bahak, merasa geli karena Mika begitu mudah digoda. Tentu saja dia tidak serius dengan ucapannya, dia hanya kesal karena Mika tidak menganggapnya selain sebagai orang yang membayar gadis itu untuk pura-pura menjadi istri. Puas tertawa, Kalvin menatap arah perginya Mika dengan senyum tipis yang terulas di bibir. Hatinya terasa berbunga-bunga. Dia tidak menyangka, berada di dekat gadis itu ternyata semenyenangkan ini. ****** "Aku ingin menunda rencana intiku, Luc. Kehadiran Mika membuatku memikirkan ide baru, dan aku butuh waktu untuk mengatur semuanya." "Tentu saja Anda bisa melakukannya, Pak," jawab Luc hormat. "Gadis itu, dia mengingatkan aku pada Andini," gumam Baskara merenung. "Saya tidak pernah bertemu Bu Andini," kata Luc berbohong. "Tapi dari cerita Bapak, saya bisa merasakan Mika memang mirip dengan beliau. Terutama karaktermya." "Ya, ya. Kau benar." Baskara mengangguk-angguk. "Secara fisik dan wajah mereka memang jauh berbeda, tapi seperti yang kau bilang, karakternya sangat mirip dengan istriku," gumamnya. "Hanya itu yang ingin kuberi tahu padamu sekarang, Luc. Kita harus menunggu. Aku mungkin akan tinggal di sini lebih dari sepuluh hari, tapi setelah itu kita akan mulai rencanaku." "Baik, Pak." Lalu Baskara meninggalkan Luc dengan langkahnya yang tergesa. Pagi masih buta, tapi tidak menutup kemungkinan ada yang melihatnya berkeliaran di pavilun para pekerja. Tidak ada yang boleh tahu dia berbicara dengan Luc pagi ini. Sementara itu Luc menatap kepergian majikannya dengan tatapan nanar. Saat pertama kali datang ke tempat ini, Luc tidak menduga akan terlibat dengan masalah keluarga sedalam ini. Dia baru menyelesaikan S2-nya di Amerika saat berkunjung ke tempat ini. Kedatangannya hanya untuk menemui Baskara, pria yang mempunyai hubungan masa lalu dengannya, dan mungkin untuk menjelaskan siapa dirinya pada pria itu. Namun telah terjadi kesalahpahaman, saat itu Luc mengenakan pakaian biasa dan Karman si kepala tukang kebun mengira Luc orang yang datang untuk melamar menjadi tukang kebun. Dia langsung diterima dan dibawa masuk menemui Baskara sebagai tukang kebun yang baru. Luc tidak mempunyai kesempatan untuk menjelaskan. Namun ketika kesempatan itu datang, ada sesuatu yang menarik perhatian pria itu di tempat ini. Instingnya mengatakan dia harus tetap merahasiakan identitasnya. Jadi dia mengurungkan niatnya dan tetap berpura-pura menjadi tukang kebun sampai sekarang. Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD