Sahabat dan Kisah Cintaku

Sahabat dan Kisah Cintaku

book_age16+
0
FOLLOW
1K
READ
drama
tragedy
sweet
first love
secrets
like
intro-logo
Blurb

Terlalu kejam jika aku bilang takdir hidupku tidak beruntung. Mungkin yang tepat untuk menyiratkannya adalah takdirku kurang beruntung seperti kalian.

Kenalkan aku adalah Sintia, anak semata wayang yang dulunya di adopsi sebagai anak kandung secara legalitas.

Selama 35 tahun hidupku penuh liku, bisa di bilang aku seorang  yang terbentuk dari keluarga yang brochen home, pelarianku dengan mengejar hobi dan mencari sahabat sebanyak-banyaknya.

Aku lebih nyaman bercerita dan membagi kisah hidup dengan teman laki-laki. Inilah yang menjadikan mereka semua sebagai Teman Tapi Mesra dalam hidupku.  Alasannya sih simplle, karena teman laki-laki pintar memegang rahasia dan pandai memberikan nasehat yang  positif.

Kisah hidupku terus berliku, bagaikan obak pantai. Baik masalah keluarga, masalah teman kecil yang sering membulying, masalah percintaan, pekerjaan, rumah tangga  maupun lainnya. Aku terus berusaha mencari jalan keluar yang baik dan aku berusaha untuk kuat dan bertahan dalam segala cobaan hidup. Bagaimana untuk jangan menjali gila atau bunuh diri karena itu semua.

"True Story"

ic_default
chap-preview
Free preview
Bab 1
Bagian 1 (Kisah Masa Lalu) Hari Kelahiranku Namaku Sintia, aku terlahir di Bandung tanggal 23 September 1985, di seorang Bidan desa teman ibuku. Aku dilahirkan dari ibunda yang bernama Eni suryani dan ayah yang bernama Wito. Bagi mereka lahir itu anugerah, tetapi bagiku itu awal kepergianku, ya aku akan di adopsi. Kakak dari papa kandungku tidak punya keturunan dan sangat menginginkan keberadaan anak dalam rumah tangganya. Hal itu berawal saat ibu kandungku yang sedang mengandungku tiga bulan bingung mendapatkan kenyataan bahwa ia akan memiliki seorang anak kembali, Sedangkan beliau sudah memiliki empat orang anak yang masih kecil - kecil. Akhirnya mereka berniat membantu kakaknya agar memiliki anak, ahli waris dan teman saat tua nanti. “Wito ke mana En, masih ke kantorkah?” “Iya Teh, Wito lagi ke kantor, mungkin hanya sebentar kok, kan ini hari Sabtu tunggu saja.” “Iya, kita santai kok, biasa mau istirahat dulu, baru deh nanti pergi ke Bandung cari bahan kaos pesanan konveksi.” “Iya En, santai saja jangan repot.” Iya, teteh sama Aa santai dulu ya, sambil minum teh dan kue seadanya nih.” “En, kamu marut nanas muda untuk apa? “Ini A Jun, Eni telat halangan, kemarin Eni ke bidan dan di tes tampaknya hamil lagi.” “Terus” “Tadinya sih, ingin coba Eni gugurkan, pakai nanas muda atau jamu peluntur mumpung masih telat beberapa hari saja.” “Aduh En, macam-macam saja kamu ini, kamu tidak takut pendarahan apa? Wito sudah tahu?” “Ya bagaimana dong Teh, Aa, Eni bingung. Anak sudah empat masih kecil-kecil, Tino saja masih belum bisa jalan usianya baru enam bulan, Wito sudah tahu tapi apa salahnya mencoba di gugurkan.” “ Simpanlah nanas itu ke dapur, En kamu tahu aku dan Sofia belum punya keturunan, dari pada kamu keguguran, bagaimana kalau bayinya untuk kita, nanti kami ambil dan jadikan anak kandung deh? Biar kami yang akan mengurusnya.” “Iya, aku sangat inginkan anak En, Sofia bagaimana? Kamu setuju?” “ Ya kalau papa dan Eni sudah setuju dan diskusi, tidak apa-apa, aku sih ikut saja keputusannya.” “Ya sudah kalian istirahat dulu, aku tidak jadi minum jamu dan nanas ini sementara, kita tunggu Wito pulang dulu ya, nanti kita bicarakan lagi.” Tibalah saat itu, ibu aku melahirkan aku. Mama Sofia dan Papa Juniar aku girang tak bertepi, inilah waktu yang mereka harapkan dan impikan, menjemput aku ketika telah lahir di Bandung, ya seorang bayi mungil tanpa dosa yang kemudian di beri nama Sintia. “Teh kumaha kabarna damang?” “Alhamdulillah To, kabar Teteh damang.” “Anaknya sudah lahir, kemarin Jumat tanggal 23, pas banget saat azan Shalat Jumat.” “Alhamdulillah, tadi kami dengar dari abah dan emak cerita saat kami tiba.” “En mana Sintia? Ambil.” “Sintia akan di ambil, Ya Allah bagaimana ini? Aku sudah sangat sayang kepada Sintia.” Keluh Eni dalam hatinya. “Ya Allah, jika aku batal kasih bayi ini, bagaimana dengan janjiku? Kasihan Teh Sofia dan A Jun yang telah mengharapkannya.” Begitulah ibuku bercerita padaku. “Sofia, ini Sintia coba lihat, cantik, mungil, putih dan lucu kan?” “Kami sementara kasih nama Sintia saat lahir, Sintia Nur Wijaya sesuai dengan nama keluarga kita, kalian jika mau rubahnya tidak apa-apa nanti. Jun ayo! Kita ke kantor catatan sipil, mumpung belum tutup, kita urus surat-surat kelahiran Sintia.” Saat aku di jemput, jiwa ibuku terguncang, di lihatnya putri kecil, imut dan cantik. "Bagaimana dengan janjiku Ya Allah." Pekik ibuku dalam hati. Jika bayi ini tidak aku berikan, bagaimana dengan perasaan kakak dan iparku. Dengan bercucuran air mata, ibuku memberikan aku kepada mama baruku, di lepaskan bayinya dalam genggaman, di pandangnya bayi itu pergi meninggalkan halaman rumah. Akhirnya aku pergi naik bus antar kota dengan papa dan mama baruku, bukan waktu yang sebentar perjalanan kami, jarak Bandung - Lampung saat itu hampir 24 jam perjalanan darat. Seketika pecah tangis ibuku di pelukan ayahku, bayi kecilnya pergi demi kebahagiaan kakak tercintanya. Di dekap oleh ibuku baju bayiku yang masih tersisa kan bau ompolku, di peluk oleh ibuku bantal bayiku yang jatuh tertinggal. Sintia, jerit ibuku memanggil, semakin pilu di temani dingin dan sepinya malam. Begitu pun dengan ke empat kakakku yang belum tahu apa yang terjadi terhadap adik bayinya. Mereka mencariku, ibu di mana Sintia?...adik mana ayah....? Dan hari pun berganti, bulan pun kian berganti, mereka mulai terbiasa hidup tanpa aku. Ibu dan ayahku kembali dengan rutinitas kantor dan bisnis katering mereka. Menjalani hari bersama ke empat kakakku yang lain di Bandung, di kota kelahiranku yang aku tinggalkan itu sejak usia 7 hari itu. Akan tetapi, hampir setiap bulan aku pulang ke Bandung ke rumah nenek, kami datang tidak hanya berlibur saja, tetapi sekalian mama dan papaku belanja keperluan konveksi, seperti bahan baju, kerah, benang, alat-alat mesin jahit serta semua kebutuhan lainnya. Aku sering bertemu ibu dan ayahku, tapi aku menyebut mereka dengan panggilan om dan tante. Begitulah aku dengar kisah tentang aku kecil, yang di jelaskan oleh ibuku saat aku dewasa. Tepat satu minggu aku lahir, sesuai dengan janji para orang tuaku mama dan papa adopsiku pun menjemputku ke Bandung. Ya papa Juniar dan mama Sofiaku, mereka sangat menyayangiku dan memberikan nama yang indah untuk aku "Sintia Budiyanti" , kami pun mulai hidup di Lampung, kami dari keluarga yang berkecukupan. Tapi bagaimanakah keseharian mereka sebelum aku bergabungnya?, pastilah mereka hanya berteman dengan sepi. Sudah genap empat tahun papa dan mamaku menikah, sejak tahun 1982 tetapi mereka belum juga di karuniai putra atau putri yang di idamkan selama ini. Mama dan papaku mantan atlet, latar belakang pendidikan mereka SMOA Bandung atau setara SMK bagian olah raga, papa memiliki hobi lari gawang dan menjadi atlet PON 8, sedangkan mama memiliki hobi sepak bola putri. Ya tahun 1980an olah raga itu sempat terkenal di beberapa kota di Indonesia. Klub sepak bola mamaku bernama Priangan. Nah itulah yang menjadi cikal bakal nama bisnis konveksi mamaku sampai kini, dengan alasan agar terus terkenang. Ya mereka menikah di umur yang sudah cukup matang, papaku berumur 31 tahun dan mamaku berumur 30 tahun saat itu. Mungkin itu salah satu penyebab mama dan papaku tidak di karuniai keturunan. Nenek dan kakekku baik dari pihak mama, atau pun dari pihak papa bekerja sebagai pensiunan Abri, Dulu sebelum kemerdekaan Indonesia Cimahi jadi basis militer, ya pasti dong kakek dan buyut kami semua wajib ikut berjuang merintis kemerdekaan. Kakekku, kakaknya, sepupunya hampir semua bekerja sebagai seorang Abri. Ya mereka memiliki watak yang keras, tegas, teratur, menjaga adat istiadat, agama, sopan santun dan tata krama. Segalanya bagi mereka nomor satu dan wajib diterapkan dalam hidup. Yang secara tidak langsung semua itu di ikuti oleh anak dan cucunya termasuk aku. Kakekku memiliki hobi bercerita, beliau suka bercerita kepadaku kisah-kisah perang dan perjuangan bangsa khususnya area Bandung dan Jawa barat, hampir setiap siang hari sambil duduk di pangkuan kakekku, aku dengarkan semua ceritanya, aku yang masih di bawah lima tahun, bagiku semua cerita kakek keren, sampai-sampai aku tertidur karena lelah mendengarnya. Hampir semua kisah -kisah pendirian batalion Siliwangi Cimahi Bandung, kakek orangnya tegas dan dia punya sapu rotan yang biasa di pukulkan ke cucunya yang tidak nunut dan bandel pastinya. Sedangkan nenekku banyak yang pintar bahasa Belanda dan Jepang tiap hari yang diajarkan adalah sebuah nyanyian untukku yang berbahasa Belanda atau Jepang, tapi sekarang aku telah lupa bait dan nada-nadanya. Lucu, gembira dan terhibur sekali aku melihatnya. Nenek sering bernyanyi di dapur, sambil masak untuk makan malam kami. Mungkin cerita ini akan selalu di kenang kelak. Yang pasti sudah sangat jarang kita temui di zaman milenium seperti sekarang. Sangat seru sekali saat kecil, nenek dan kakek sering tinggal sementara di Lampung bersama kami, jadi rumah tidak terasa kosong dan sepi saat mama dan papa pergi ke kantor.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
214.0K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
171.1K
bc

My husband (Ex) bad boy (BAHASA INDONESIA)

read
294.6K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
152.4K
bc

Papa, Tolong Bawa Mama Pulang ke Rumah!

read
4.5K
bc

Ketika Istriku Berubah Dingin

read
3.5K
bc

TERNODA

read
192.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook