Terasa Beda

2038 Words
FASHA masih terngiang-ngiang dengan kejadian tadi sore. Dimana perhatian Adit masih sama padanya. Sejenak, ia melupakan kedekatan Adit dengan Dina. Menilai perlakuan Adit padanya, ia masih yakin kalau harapan itu masih ada. Dan sepertinya ia harus mengucapkan terima kasih pada Adit. Karena lelaki itu telah menolongnya. Sementara Adit malah bengong menatap langit kamar messnya. Barusan si Husein meng-etuk kamarnya. Tapi ia sengaja mematikan lampu kamarnya biar dikira sudah tidur. Dan ternyata itu cukup ampuh mengusir Husein agar ia bisa tidur nyenyak malam ini. Ia hendak mengatur alarm ponselnya ketika masuk sebuah pesan WA. Dari siapa? Siapa lagi yang sering berkirim pesan dengannya selain Dina? Gadis itu baru membalas pesan yang ia kirim kan tadi pagi. Adit bahkan hampir lupa. Begitu pula dengan Dina yang sudah terbiasa jauh dari ponselnya. Gadis itu, seharian ini, diketawai Rain dan Farras. Sepupu sablengnya itu kaget melihat foto yang di-upload Dina di mana gadis itu mengenakan kerudung. Itu loh, foto selfie Dina bersama Mama dan Papa-nya. Kontan saja, foto itu menjadi trending topic di grup keluarga besar-nya. Mengalahkan berita bulan madunya Tiara. Sorry baru bales, Dit maklum lah, cewek kayak gue emang terlalu sibuk cuma untuk balesin WA lo betewe, bokap gue ngasih izin untuk ke Solo lagi. Tapi bareng Farras kayaknya. Mumpung suaminya ngasih izin Balasannya cukup panjang. Adit cukup terhibur membacanya. Lelaki itu terkekeh. Aih, ia ingat kalau ia yang memaksa gadis itu agar sering datang ke Solo. Kalau gitu minggu depan aja lo ke Solo. Kamis atau jumatnya. Nanti sabtunya bareng gue pulang ke Jakarta. Di Jakarta sana, ponsel Dina malah dipegang oleh Rain. Karena sebetulnya WA dari Dina ia telah dikirim sejak satu jam yang lalu tapi si Adit baru mengaktifkan datanya jadi baru masuk. Rain malah heran melihat WA yang datang atas nama Adit. Saking penasarannya, ia sampai membuka profil Adit untuk mengecek fotonya. Ternyata benar kalau itu Adit. Cowok itu memasang foto profil WA dengan foto wisuda S2 nya kemarin. Rain membaca isi WA antara dua orang itu lantas terkikik. Sementara Dina dan Farras sibuk di dapur. Omong-omong Farras ikut menginap di rumahnya karena tadi pagi, si Ando ditugasi ke Singapura. Ia mau ikut tapi dilarang Ando. Kasihan katanya kalau ikut nanti disana bakal dicuekin Ando yang sibuk sama pekerjaannya. “Eh! Kak! Lu sering WA-an sama bang Adit!” Rain muncul sambil mengacungkan ponsel. Dina tampak mengerutkan kening kemudian terbahak. s**u yang sedang ia tuang sampai mengotori meja. “Dia balas WA gue?” Si Rain mengangguk. Gak ada perasaan curiga sama sekali sih. Rain malah biasa-biasa aja. Gak ada rasa gimana gitu. “Bang Adit baik tauuk!” tutur Rain lantas mengangsurkan ponsek itu pada Dina. Dina turut meng-angguk. Sementara Farras masih sibuk dengan nasi gorengnya. Malam ini, rumah ini sepi. Aisha baru saja tidur karena lelah dengan perjalanan tadi pagi. Ia juga langsung ke rumah sakit bukannya istirahat di rumah. Sementara Wira juga langsung ke kantor saat tiba di Jakarta tadi. Hingga kini belum pulang dan langsung meluncur ke Sukabumi bersama Ardan. “Emang baiiik!” tutur Dina. Ia membawa gelas s**u miliknya menuju ruang keluarga. “Tapi gue kasihan,” tutur Rain. Mukanya tampak sedih. “Kenapa?” “Naksirnya sama kakak gue sih.” Dina terkikik. Farras apalagi. Ia sedang memindahkan nasi goreng ke piring besar untuk dimakan bertiga. “Ya bagus dong, kalau naksir kakak lo,” ucap Dina seraya membalas WA Adit. Rain menarik nafas dalam. “Lo gak tahu sih, kak, gimana jahatnya kakak gue ke dia. Gimana kak Fasha terus menghindar. Bang Adit pernah loh, nungguin kak Fasha di depan rumah, hujan-hujanan pula. Tapi kak Fasha milih gak pulang. Gue yang kasihan sama bang Adit.” Dina mengangguk-angguk. Ia menaruh ponselnya di atas meja. Sementara Farras baru nimbrung sambil membawa sepiring besar nasi goreng. “Makanya, gue berharap banget kalau bang Adit bisa nyari cewek lain. Gak yang kayak kakak gue lah. Yang kaku begitu. Masih suka aja diem. Apalagi gak sukanya.” Dina menarik nafas. Tampak berpikir. Sempat sih terbersit untuk mendekatkan Adit dengan Fasha. Tapi sikap Fasha ya begitu. Tak bisa diajak kompromi. Dina malah jadi takut. Kalau nanti Adit berharap tapi Fasha menolak gimana? “Mending juga sama elo, kak,” lanjut Rain yang membuat Dina menganga lantas cekikikan. Duh! Dia? Adit? Hahaha! “Yeee gue serius kali!” sergah Rain. Gadis itu sampai melempar bantal ke mukanya Dina. Namun Dina masih cekikikan. “Itung-itung biar sama-sama move on,” nyinyir Rain kemudian cekikikan saat Dina berbalik membalas perlakuannya. Yeah, move on sih move on. Tapi gak Adit juga, batin Dina. ♡♡♡ “Eh, Dit!” Nara menegurnya ketika hanya ia yang ada di ruangan meeting. Omong-omong, mereka akan meeting lagi untuk melaporkan hasil pemantauan proyek selama dua hari kemarin. “Heum,” Adit hanya berdeham. Ia ngantuk sekali. Gegara Husein gangguan malamnya. Di malam sebelumnya, Husein gagal menganggunya karena kamarnya sudah gelap tapi tidak di malam tadi. Husein muncul dari depan pintu balkonnya yang lupa ia kunci. Terang saja, Adit teriak semalam. Mana ia baru keluar dari kamar mandi, hanya dengan handuk di badan lalu pintu terbuka dan taraaaa.....Husein muncul dengan laptopnya. Mana gelap pula karena tak ada lampu. Yang terlihat adalah sosok hitam di tengah-tengah pintu. Gimana Adit gak teriak? “Gue perhatiin lo, dua hari ini, perhatian banget sama si Fasha,” celotehnya. Gadis centil yang satu ini kan emang kepo. Urusan orang mau tahu aja. Adit hanya menoleh sedikit dengan mata setengah tertutup. Ia ngantuk sekali. Semenjak tinggal di mess, ia jarang tidur. “Lu udah kenal lama sama dia, ya?” Adit mendongak lantas mendengus. Ia lebih memilih menelungkupkan mukanya dibanding meladeni pertanyaan Nara yang tak bermutu itu. Ia tak tahu saja kalau Fasha sudah berdiri di dekat pintu tapi gadis itu tak sadar. Dengan berani, Fasha berdeham kuat. Ia kan emang galak, berani dan gak kenal takut sama orang. Ada yang nyari gara-gara? Sini, maju! Ia sih gak main jambak-jambakan, mainnya taekwondo. Gini-gini ia sabuk hitam. Cowok aja kalau mau macem-macemin dia, kudu pikir panjang. Apalagi kalau cuma cewek centil kayak Nara gini? Mendengar deheman itu, Nara berpindah tempat duduk ke sebelah-nya. Lantas berdecih saat melihat muka tajam Fasha yang enggan menatapnya. Ia salah kalau membicarakan Fasha. Bisa tamat. “Lain kali, kalau mau tanya-tanya tentang gue, langsung ke guenya aja, ya,” sindir Fasha saat sudah duduk di bangkunya. Adit langsung cekikikan. Ia gak kuat menahan tawa. Ini loh yang ia suka dari Fasha. Kalau ada yang nyari masalah duluan, langsung di-tantang. Cewek ini terlampau berani sih. Kadang Adit merasa gak ber-guna karena toh Fasha bisa melindungi dirinya sendiri. Nara mengutuk dalam hati lantas buang muka. Ia sih belum kapok. Ia bakal cari kesalahan-kesalahan Fasha agar bisa mendepaknya jauh-jauh. Ia gak suka ada gadis lain yang berpotensi menjadi saingannya. ♡♡♡ Parah lo. Seharian kagak ada kabar Itu WA dari Adit. Padahal ia menunggu-nunggu balasan WA dari Dina sejak kemarin pagi. Tapi tak ada-ada juga. Baru nongol sesiang ini, saat ia, Husein, Nara dan Teo sedang makan siang di kantin. Terakhir, ia men-dapat kabar Dina yang dua malam lalu. Sementara Dina cekikikan di seberang sana. Ceritanya, seharian kemarin, ia, Farras dan Rain mengunjungi butik Tiara yang ada di Tangerang. Kalau yang punya sih lagi bulan madu. Mereka mengambil jatah baju gratisan dari butiknya Tiara karena Dina mau pakek kerudung. Hahaha. Padahal sih si Rain kagak makek, tapi ikut-ikutan aja. Alibinya ya, biar nanti kalau mau makek kerudung, ia gak perlu beli-beli lagi. Nah, dari butiknya Tiara, Dina and the g**g udah sibuk jalan-jalan mengelilingi mall. Mereka memburu makanan Jepang. Terakhir sih, pada tidur di jalan. Kecapekan. Malamnya, Dina dapat hadiah lagi dari Papanya dan Ardan yang baru pulang dari Sukabumi. Hadiahnya sih kerudung gitu. Kalo Ardan, belinya dengan uang gajinya sendiri, mumpung baru gajian juga. Dina sih girang-nya bukan main. Ternyata gak salah kalau ia menuruti kemauan emaknya yang memaksanya memakai kerudung. Gue capek, Dit. Habis beres-beres kamar. Itu balasannya. Adit melirik ponselnya yang kembali berbunyi. Nara dan Teo yang berada di kiri-kanannya kompak melirik. Tapi tak berhasil karena Adit menutupi layarnya. “Helaah, lu kayak anak SMA yang malu ketahuan pacaran, Dit!” tutur Teo. Adit terkekeh lantas memasukan ponselnya. Nanti saja membalas WA Dina, pikirnya. Sementara Nara sibuk memerhatikan Fasha di meja pojok sana. Tampak sendirian dan serius mengerjakan sesuatu di laptop. Dalam sekali tarikan nafas, Nara tahu kalau itu bukan Fasha. Maksudnya, ponsel Adit yang berbunyi itu bukan karena Fasha. “Cewek lu yang mana sih, Dit, sebenarnya?” tanya Nara. Adit ter-bahak. Ia bahkan nyaris tersedak mendengar pertanyaan itu. Gini-gini ia belum pernah pacaran. Iya lah. Wong sekalinya suka langsung ditolak begitu. Dijauhi pula. Sakit gak tuh? “Tahu lu, Dit. Segala cewek lu perhatiin!” timpal Teo lantas cekikikan saat melihat Adit melotot. Husein terkekeh melihat dua orang ini. Dengan adanya Adit di sini, timnya jadi seru sih. Nara mengangguk-angguk. Menyetujui lantas ikut terkikik saat Adit memakinya. Ia sih emang suka bercanda. “Si Nara kehabisan pulsa, lo pinjemin hape lu,” tutur Teo mengenang kejadian kemarin sore. Adit mendengus. Itu sih wajar. Sementara Nara malah cekikikan. “Kakinya si Fasha kotor, lo kasih boots lu,” tambahnya. Nara menganggukan kepala kuat-kuat. Menyetujui ucapan Teo. “Terus cewek yang berkerudung waktu itu, juga lo deketin. Semuanya lo deketin. Semuanya lo perhatiin!” “Sialaaaaan!” Teo dan Nara kompak terbahak. Husein sih cuma terkekeh aja. Senang banget mengerjai Adit yang jomblo. Weis, biar pun si Husein juga jomblo, Teo dan Nara sih gak berani mengusik. Mereka tahu betapa alimnya si ketua proyek yang satu ini. Hahaha. “Omong-omong, cewek yang berkerudung waktu itu siapa sih, Dit? Penasaran gue.” Helah-helah. Muka Adit langsung masam. Ternyata ada modus terselubung di dalamnya. Bah! Kalau yang ini sih, Adit ogah bagi-bagi! “Kalau mukanya kayak gini, Yo! Pertandanya, yang ini beda sama perempuan yang laen,” simpul Nara lantas cekikikan usai bertoss ria dengan Teo. Adit sih cuma geleng-geleng kepala. Dua orang ini kan emang gak waras. Jadi gak usah diladeni. ♡♡♡ Fasha sedang bengong menunggu taksinya. Ia akan segera kembali ke Jakarta setelah menunda kepulangannya sehari. Seharian kemarin kan, ia ke proyek lagi bersama yang lain. Mengumpulkan data perkembangan pembangunan proyek. Ia akan kembali lagi ke sini entah kapan. Ia juga tak tahu. Tapi maunya sih, ia sering-sering ke sini. Namun ia tak punya alasan yang tepat. Sementara Adit baru saja keluar dari lift. Ia hendak pulang duluan. Mau istirahat lebih cepat. Mumpung si Husein lagi sibuk dengan proyek yang lain. Adit berdeham saat melewatinya. Fasha tergagap lantas berdiri dengan mantap. Padahal pengen banget rasanya disapa duluan oleh Adit. Tapi ketika otaknya terlalu berpikir tentang Adit, apalagi ketika cowok itu akan berjalan ke parkiran, tanpa sadar ia yang memanggil duluan. Hal yang membuat Adit menoleh dengan kerutan di dahi. Apalagi? Matanya seolah bertanya seperti itu. “Eung....,” Fasha kehilangan kata-katanya. Sejujurnya ia tak punya keberanian untuk memanggil lelaki itu. Namun tanpa sadar, bibirnya telah melakukan apa yang hatinya ingin lakukan sejak lama. “Soal kemarin-kemarin, makasih ya, Dit.” Akhirnya ia bisa bicara juga. Adit sih cuma mengangguk. Lantas hendak berjalan lagi tapi Fasha memanggil lagi. Lelaki itu menoleh lagi. “Dit, lo pulang naik apa?” Adit balik badan dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana. “Kenapa?” “Gue boleh nebeng sampai depan. Taksi gue belum datang-datang.” Adit nampak menimbang-nimbang. Tatapan dinginnya yang menatap Fasha membuat Fasha tak mau berharap terlalu banyak. Apalagi dengan koper di sampingnya ini. Ia memang telah check out dari hotel pagi tadi. Kopernya ia bawa ke kantor namun ia titip kan di lobi. “Lo mau kemana?” Adit kasihan. Mungkin taksinya nyasar menilik lokasi kantor yang memang gak strategis. “Mau ke bandara,” tutur Fasha. Matanya menatap penuh harap pada Adit yang kini menghela nafas. “Ya udah, gue anter,” tuturnya yang membuat Fasha tersenyum kecil. Ia segera menarik kopernya, menyusul langkah Adit. Sementara Adit malah sibuk berjalan dengan kosong lantas mengeluarkan ponselnya. Belum ada pesan dari Dina. Kemudian ia memasukan kembali ponselnya. Baru membuka mobil pinjaman. Yeah, ini kan mobil Husein. Ia baru mau membawa mobilnya minggu depan. “Dit,” Fasha memanggilnya lagi. Gadis itu mengetuk jendela mobil. Adit menoleh lantas menurunkan kaca mobil. Ia hanya berdeham sebagai jawaban. “Bagasinya bisa dibuka gak? Gue mau naruh kopernya.” “Koper lu kecil kan?” Adit melempar tanya. Fasha mengangguk ragu-ragu. “Taruh aja di bangku belakang,” timpal Adit. Fasha ber-oh ria lantas segera membuka pintu belakang. Ia meng-angkat kopernya lalu menutup pintunya lagi kemudian duduk di samping Adit. Adit langsung menjalankan mobil tanpa perlu basa basi. Sepanjang perjalanan itu pun, Adit sama sekali tak berniat membuka percakapan. Padahal ia pikir, selama ini, bukankah ini yang ia tunggu? Fasha yang menegur duluan. Fasha yang mengawali pembicaraan? Tapi ternyata. Terasa beda. Ia bahkan tak bersemangat sama sekali mengantar Fasha kali ini. Berbeda dengan terakhir ketika ia menolong gadis itu di tengah kemacetan. ♡♡♡   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD