Tak Semestinya Cemburu

1948 Words
DINA heran karena ia dipaksa mengenakan kerudung dalam acara pernikahan Tiara. Padahal janjinya hanya mengenakan seragam gamis. Gak ada kerudung-kerudungan tapi usai didandani, ia dipakaikan kerudung. Hal yang membuat Farras terkekeh karena Dina langsung menolak keras. Dina kan emang gak pakek kerudung. Katanya sih, nanti aja pakek kerudungnya kalau sudah menikah. Sementara Fasha sih anteng-anteng aja dipakaikan kerudung. Ia sih pasrah saja. “Gak apa-apa sih, kak. Biar gak umbar-umbar aurat. Lagian banyak orang juga, yang datang gak cuma perempuan.” Dina mengerucutkan bibir. Sementara Farras cuma geleng-geleng kepala. Apalagi gak dipisah pula, lokasi untuk undangan perempuan dan laki-laki. Farras sudah keluar duluan dari ruang make up. Ia ingin segera tiba di gedung sebelah, dimana acara itu dilaksanakan. Kan sebentar lagi, akad nikah bakal dilaksana-kan. Dina ikut keluar walau dengan bibir manyun. Dari kejauhan, ia sudah melihat Rain yang sibuk dengan kamera-nya bersama Aidan. Aidan lah yang akan membantu Rain mengabadikan momen-momen indahnya pernikahan Tiara hari ini. Sementara Fasha me-nyusul di belakangnya. Berjalan sambil mengangkat bagian bawah gaun-nya yang menurutnya panjang karena biasa-nya ia memakai rok yang pendek-pendek. Beda sama Dina yang biasanya, gak pernah pakai rok tapi selalu pakai celana. Tapi gadis itu berjalan biasa saja walau terkadang tak sengaja menginjak gaunnya sendiri. Dina segera mengambil posisi di sebelah Farras. Menyimak apa yang sedang dilontarkan Ustad Marshall. Ustad legendaris yang satu itu sudah dua kali menjadi saksi pernikahan cucu-cucu Opa Adhi. Kini beliau sedang memberikan wejangan yang dilanjutkan ucapan ijab kabul. Ucapan yang membuat Dina deg-degan setengah mati. Sama halnya dengan Fasha. Dua gadis itu berdiri berdampingan dan tanpa sadar, saling memegang tangan. Sementara Tiara ada di lantai atas. Pengantin perempuan itu baru akan turun setelah ijab kabul dilaksanakan. Farras menahan senyum gugupnya. Ini seperti bernostalgia. Ia pernah merasakan bagaimana gugupnya menunggu ucapan janji ini. Janji di hadapan Allah. Bukan janji yang bisa diucapkan sembarangan. Sementara di seberang sana, Ando menatapnya dengan senyuman. Lelaki itu terharu karena kakaknya akhirnya menikah tapi juga berpikir tentang hal yang sama dengan Farras. Tentang apa yang terjadi dengan-nya setengah tahun lalu. Aah...tak terasa waktu berjalan begitu cepat-nya. Ia tak pernah menyangka akan menikah secepat ini, mendahului kakaknya. Lalu kini, kakaknya akan menikah. Maka terasa tunai lah rasa bahagianya. Sempurna. “Saya terima nikahnya, Tiara Ferisha Adhiyaksa binti Feri Adhiyaksa dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” Suasana sempat hening sesaat sampai para saksi mengucap kata 'sah' lantas disambut ucapan alhamdulillah. Rain saking senangnya sampai memeluk Aidan yang ternganga karena kaget. Cowok itu sedang fokus mengamati kameranya agar merekam semua kejadian itu. Sementara Farras, Dina dan Fasha melompat girang lantas saling memeluk. Gelak tawa, tangis bahagia menyambut. Apalagi saat Tiara turun dengan cantiknya bersama mommy-nya dan ibu mertuanya. Fasha tahu kalau hari ini akan tiba untuk kakak sepupunya yang paling rusuh itu. Dan Dina tahu kalau ia juga akan seperti itu suatu saat nanti. Entah kapan dan dengan siapa. Ia tak pernah tahu. Tapi ia selalu yakin, ia juga akan bahagia saat itu tiba.               ♡♡♡ Usai tangis-menangis bahagia, Dina, Farras dan Fasha langsung dikomandoi oleh Ardan sebagai koordinator untuk segera pergi ke posisi masing-masing. Farras langsung menyusul langkah Ando dan Farrel menuju pintu masuk gedung. Begitu pula dengan Dina yang berjalan sambil menghapus jejak-jejak air matanya dengan tissue. Sementara Fasha berjalan menuju meja makan. Ia yang akan mengawasi makanan mana saja yang akan habis agar segera ditukar dengan stok yang memang telah disediakan. Kemudian mengeluarkan ponsel-nya, mengecek i********:. Muncul Adit. Aaah. Baru juga habis menangis tadi, kini ia sudah tersenyum-senyum. Yang jelas, cowok itu gak mungkin menyapa-nya di i********:. Tapi kebetulan di Snapgram ia muncul. Tampaknya sedang di jalanan, menyetir pula tapi sempat-sempatnya merekam di i********:. Fasha tak tahu saja kalau Adit sudah tiba. Sejujurnya, Adit sempat melihat update-an terbaru Rain yang meng-upload foto suasana haru usai ijab kabul. Foto yang diambil menggunakan kamera ponselnya. Foto-foto perempuan-perempuan cantik dan ada Fasha di sana. Apalagi perempuan-perempuan itu memakai kerudung aih. Bikin tambah cantik. Adit baru saja turun dari mobil lantas mengunci mobilnya. Kemudian berjalan menuju gedung dengan mengikuti petunjuk arah yang telah dipasang yang dikomandoi oleh Ardan. Yeah, emang gak salah si Tiara menunjuk Ardan sebagai koordinator acara secara penuh. Karena ternyata, sampai saat ini, acara masih berjalan dengan aman dan lancar. Hahaha. Dan tentu saja, rambu-rambu berupa anak panah itu dipasang agar para undangan tidak tersesat. Jangan seperti Ardan yang hatinya masih tersesat pada sang mantan gebetan yang telah menikah. Tiba tak jauh dari pintu masuk, Adit sudah cekikikan melihat siapa yang sedang berdiri di sana. Siapa? Dina! Gadis itu berdiri di samping Farras sambil tersenyum dengan muka sembap. Menyalami tamu yang datang tanpa menyadari kalau di kejauhan sana, Adit menertawakannya. Lelaki itu baru berjalan lagi usai mengendalikan tawanya. “Widiiiih,” ia sudah menyeru. Dina melihat ke arahnya lantas memutar bola matanya. Ia tahu kalau Adit pasti akan meledeknya. “Apa kabar, bang?” Farras menyapanya. Ia sih menjawab kalau kabarnya baik tapi masih sambil cekikikan. Usai menyalami Farras, Ando dan Farrel, ia menatap Dina dari atas hingga bawah. Hal yang membuat Dina langsung me-noyor kepalanya. “Tumben lu mau pakek kerudung gini!” tuturnya. Padahal kalau tadi, ia fokus melihat foto yang di-upload oleh Rain, ia akan menemukan sosok Dina yang ada diujung kanan. Tapi ia malah fokus pada Fasha yang ada diujung kiri. Ckckck. Kalau punya hati memang beda ya. “Aah! Masuk lo sana! Gak usah salam-salamin gue kalau ujung-ujungnya mau meledek gue!” sergah Dina. Adit cekikikan. Apalagi melihat tampang bete Dina yang kesal karena tawanya. Duh-duh, ia cuma bercanda kali, Din. “Gitu aja marah,” tutur Adit lantas terkekeh kecil. Ia sudah mengurangi tawanya tapi tak bisa mengurangi kekehannya. Walau begitu, matanya tak lepas dari kerudung yang dikenakan Dina. Ia tahu sih, kalau Dina ini cantik. Iya lah! Kembarannya aja ganteng begitu! Papanya juga ganteng! Hahaha! “Ya udah! Sono masuk!” Suara Dina kayak toa. Hal yang membuat Adit cekikikan lagi. Ia memang selalu dibuat tertawa kalau ketemu gadis yang satu ini. “Tapi lo cantik tauk, pakek kerudung gitu. Lebih cantik malah!” puji-nya dengan tangan terlipat di depan d**a. Kali ini sambil menahan senyum yang membuat Adit jadi manis banget. Bahkan ia menatap tepat di depan Dina yang berupaya menutup muka.  Antara malu dan kesal di-ledek begitu. Muka Dina langsung merah tapi langsung menghindari tatapan Adit. Dari pada jantungnya ikut deg-degan, ia lebih memilih mendorong tubuh Adit hingga masuk ke dalam. Lantas kembali berdiri di samping Farras. Mengabaikan Adit yang masih tertawa-tawa melihatnya. Sementara Fasha baru menoleh saat seseorang datang dan memeluk Ardan, seolah-olah lama sekali tidak bertemu. Padahal ia sempat bertamu ke rumahnya Ardan, saat lebaran, seminggu yang lalu. Fasha langsung kehilangan fokusnya lantas berganti, menatap Adit yang tampak mengobrol akrab dengan Ardan. Ia senang sih, Adit mau datang ke sini setelah susah payah diundang oleh Dina yang rela-rela membujuk Tiara. Rain berdeham-deham saat melewati kakaknya lantas berkata, “kak, fokus, kak. Fokus!” tekannya lantas mengerling ke arah Adit lalu cekikikan sambil kabur membawa kamera. Fasha cuma menahan senyum lantas menggaruk pipinya. Salah tingkah yang kaku. Ya, seperti orang lain lah kalau sedang jatuh cinta. Kemudian fokus lagi mengamati piring-piring yang mulai kosong. Jatuh cintanya mereka yang pendiam, ya memang begini. Melihatnya saja sudah bahagia. Tak perlu ada sapa diantaranya. Karena cinta bagi mereka tak cukup dengan kata tapi dengan rasa. Rasa-rasa yang tak kan pernah tuntas jika dibayar dengan waktu-waktu dengannya, melainkan dengan doa. ♡♡♡ Tadinya, usai makan dan melihat Fasha diam-diam, Adit hendak pamit. Tapi tak jadi karena paksaan Ardan. Walaupun cowok itu banyak kerjaan tapi kini karena melihat semuanya aman, ia bisa duduk tenang. Ditemani Adit yang memang hanya sebagai tamu undangan. Hitung-hitung bisa mendapat waktu lebih untuk memandang Fasha. “Jadi, kapan lo mau lanjut nyari material lagi?” tanya Ardan yang kembali membicarakan soal pembangunan rumah Adit. Rumahnya sih udah ada tapi belum selesai dan ia berencana merenovasi secara total. Karena ia ingin mendesain rumahnya sendiri. “Paling minggu depan lah. Minggu ini, jadwal gue penuh, bro. Mau ke Solo.” Ooh. Ardan mengangguk-angguk. Omong-omong Ardan udah cerita ke Papanya kalau Adit bakal beli material dari mereka. Wira dengan senang hati mengiyakan bahkan berpesan agar diberikan harga yang miring untuk Adit. Hitung-hitung membantu cowok itu agar bisa menabung uangnya. “Ngapain lo ke Solo?” “Biasa lah. Tugas. Lo kayak gak tahu aja.” “Yah, lu enak. Gue mana pernah dikirim bokap gue, tugas ke luar kayak gitu!” Ardan curhat dengan muka 'ngenes'-nya. Adit langsung cekikikan mendengarnya. “Emang kenapa?” “Kerjaan gue di sini aja kagak beres-beres!” Adit tambah cekikikan. Kali ini diiringi gelengan kepala. Ternyata Ardan sadar diri juga. “Berarti lo yang dimasukin sama Om Fadli di perusahaan Om Regan ya? Bos lo, Om Regan kan?” Adit mengangguk. Yah, akhirnya ketahuan juga kalau yang memasukan ia kerja adalah Fadli. Soalnya, di hari pertama masuk lagi setelah cuti lebaran, ia tak sengaja bertemu Ardan yang nongol di kantornya. Ternyata kantor yang ia tempati itu adalah milik omnya Ardan. Ah...harusnya ia gak usah berharap terlalu jauh kalau Fadli bakalan mengirimnya ke perusahaan lain. Tapi Adit berjanji sih, dengan tekad yang kali ini telah bulat, kalau kontraknya telah selesai, ia akan mengundurkan diri. Lebih baik mencari perusahaan lain saja. Untuk saat ini, ia belum gencar mencari, tapi sedang sibuk membidik perusahaan mana yang akan ia lamar selanjutnya dengan bekal pengalaman kerja di perusahaan besar. Iya lah, Manggala Corp, bukan perusahaan kelas menengah ke bawah. Gajinya juga gak main-main. Sayangnya, Adit gak tahu, kalau ia masuk juga bukan tanpa seleksi. Ia masuk karena murni keahliannya kok. Tapi karena Fadli yang membantunya, ia jadi beranggapan kalau ia bisa diterima pun karena Fadli bukan karena keahliannya. Padahal Regan tak pernah memandang, apakah orang itu bagian keluarga besar mereka atau bukan, atau apakah teman dekat dan sebagainya. Para pekerja yang ada di perusahaannya, murni dipilih berdasarkan kemampuan bukan hubungan kekeluargaan apalagi kekuasaan. “Kalau masih suka, samperin kali, kak. Gak usah natap diam-diam begitu. Kagak bakal mengubah kenyataan kok!” nyinyir Rain yang kali ini mampir lagi untuk mengambil jatah makan. “Iya gak, kak?” tanyanya pada Dina yang sedang mengambil lauk pauk. Dina terkekeh lantas menatap Fasha kemudian menoleh ke arah Adit yang masih asyik mengobrol dengan Ardan. “Dia sih gak pernah ngomong sekalipun gue singgung, Sha. Tapi kayaknya, dia masih suka tuh sama lo. Kalo gak, mana mungkin dia bela-belain datang ke sini? Iya gak, Rain?” serunya lantas bertoss ria dengan Rain. Dua gadis itu cekikikan melihat Fasha yang berdeham-deham lantas memalingkan muka ke arah ponsel yang dilanjutkan dengan gaya sok fokus memainkan ponsel. Padahal sih gugup setengah mati! Soalnya kan ia ketahuan kalau masih suka tapi sok gengsian! “Gitu tuh, kak. Kalau disuruh samperin malah diam. Kalau bang Adit udah pergi, nyesel deh diam-diam,” keluh Rain pada Dina sambil mem-bawa jatah makannya menjauh dari Fasha kemudian bergabung dengan Ardan dan Adit. Dina sih terkekeh. Memaklumi karena Fasha gak akan pernah maju duluan. Duh! Sampai kiamat juga hubungannya bakalan begini-begini aja, iya gak? “Adit kayaknya udah gak marah sih sama lo. Barang kali, kalau lo mau merendahkan diri sedikit, datang duluan ke dia, dia bakalan dengan senang hati menerima lo,” nasehat Dina yang dalam banget. Terdengar tajam sih tapi itu lah Dina kalau udah kesal sama si Fasha yang kepala batu. Kemudian, gadis itu turut bergabung dengan Ardan, Adit dan Rain. Hal yang tak terduga berikutnya adalah saat Adit menoyor kepala Dina yang baru saja duduk di sebelahnya. Sebagai aksi balas dendam karena tadi, Dina yang menoel kepalanya dahulu. Tapi siapa sangka, malah membuat kerudung Dina berantakan di bagian dahinya. Hal yang mem-buat Dina langsung mengomel-ngomel. Udah tahu, ia aja susah gegara memakai kerudung ini apalagi memperbaikinya? “Sorry deh sorry,” ujar Adit lantas memperbaiki kerudung Dina dengan santainya. Yang lain sih tak memperhatikan. Tak ada adegan spesial yang terjadi menurut mereka. Tapi gimana dengan Fasha yang sedari tadi menatap Adit? Hatinya langsung panas. Ponselnya yang sedang dipegang serasa remuk. Lalu tatapan yang segera dialihkan. Seharusnya ia tak semesti-nya cemburu. Kan Adit tak bermaksud apa-apa. Juga Dina, yang tak ber-harap sama sekali untuk diperlakukan seperti itu oleh Adit. ♡♡♡
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD