Keputusan yang akan membuat Naila semakin sibuk nantinya dengan modal informasi dan juga hasil kesehatan mereka berdua membuat Naila harus membuat menu yang cocok untuk mereka, hanya saja tidak semudah yang terlihat di mana Naila harus menggabungkan antara nilai gizi yang masuk dan keluar nantinya di tambah Rafa yang tidak menyukai sayur yang semakin membuat Naila harus berpikir. Ada satu yang masih dalam benak Naila adalah perkataan Rafa yang mengatakan jika dirinya tahu mengenai dirinya, sedangkan Naila sendiri baru mengenal dan bertemu Rafa lantas bagaimana bisa tahu tentang Rafa.
“Lelah,” keluh Bagas yang datang ke ruangan Naila dan mengambil duduk di depannya “ada apa tante cari?,”
Naila mengangkat bahu “mas itu kesayangan mama papa dan berapa lama gak ke rumah?.”
“Kamu tahu aku sibuk banget belum jadwal operasi bahkan ketemu istri dan anak aja susah minta ampun,” ucap Bagas sambil menyandarkan tubuhnya “untung mbakmu itu pengertian coba kalau gak.”
“Terima kasih sana sama mama dan papa yang bisa buat Mbak Dona bisa seperti sekarang,” goda Naila.
Bagas menggelengkan kepala “Om Fajar suka lebay jadi males kalau aku sampai begitu,” seketika kami tertawa bersama “kamu jadi pegang atlet itu?.”
Naila menatap curiga “tahu dari mana?.”
“Biasa siapa lagi orang lebay di keluarga kita yaitu bokap lo,” ucap Bagas sambil tertawa membuat Naila cemberut “aku ngerasa pernah tahu Rafa, tapi di mana ya?.”
Naila menatap Bagas dengan bingung karena dirinya sendiri tidak ingat sama sekali mengenai Rafa, perkataan Rafa yang tadi saja masih penuh dengan tanda tanya di kepalanya hanya saja Naila ragu untuk bercerita dengan orang lain. Dalam benak Naila adalah Rafa orang yang pernah ada di masa lalunya yang tidak diingatnya sama sekali.
“Mas pernah tahu Rafa?,” tanya Naila langsung.
“Mungkin hanya perasaan saja secara mana mungkin atlet terkenal sama aku dokter bedah jantung kecuali keluarga Rafa pernah aku tangani, memang kenapa tanya begitu?,” Bagas menatap curiga.
“Lah tadi bukannya mas bilang kalau pernah tahu Rafa jadi aku tanya balik,” alibi Naila menutupi sesuatu.
Bagas mengangkat bahu yang langsung berdiri meninggalkan ruangan Naila setelah berjanji akan ke rumah jika sedikit luang waktunya. Selepas kepergian Bagas banyak hal yang Naila pikirkan terutama mengenai perkataan Rafa yang tidak Naila paham maksud dari perkataannya tersebut.
“Masih ada jam?,” tanya Vivian yang merupakan dokter anak sekaligus sahabat Naila “berita tentang kamu jadi ahli gizi atlet langsung tersebar cepat dan pasti tahu kan siapa pelakunya.”
Naila tahu siapa pelaku dari semua itu jelas tersangka utama adalah Bagas yang merupakan kakak sepupunya yang juga kesayangan kedua orang tuanya. Sebenarnya Naila ingin marah tapi rasanya akan menghabiskan waktu melawan Bagas karena pasti memiliki sejumlah alasan yang sangat tidak masuk akal dan membuat semuanya menjadi sia – sia.
“Kamu gak pulang?,” Naila menatap Vivian yang sibuk dengan ponselnya.
“Buat menu untuk anak autis dong,” Vivian menatap Naila dengan tatapan memohon.
“Kalau pasien kamu harus sesuai prosedur rumah sakit karena aku gak bisa sembarangan,” tolak Naila membuat Vivian mengangguk “kamu mau jadwal kapan? kalau memang ya kasih aku berkas kesehatan pasien biar aku pelajari.”
“Siap, besok sudah ada di meja,” Naila mengangguk “Benny apa kabar?.”
“Baik,” jawab Naila singkat “sibuk dia dengan pekerjaannya sebagai notaris.”
Vivian mengangguk paham “sama kaya Wima karena mereka sepasang sahabat dan kita juga pacaran sama mereka.”
“Persiapan kalian menikah sampai mana?,” tanya Naila mengalihkan pembicaraan Vivian.
“Tinggal duduk manis di pelaminan dan kalian berdua wajib datang sebagai pendamping kita berdua,” Vivian menatap Naila tajam yang hanya diangguki.
Naila memutuskan pulang ke rumah setelah pembicaraan dengan Vivian dan berkeliling mall bersama, Vivian memiliki kebiasaan keliling mall tanpa ada tujuan sedangkan Naila lebih suka menghabiskan waktu dalam rumah bersama kedua orang tuanya, memeluk sang papa tercinta atau mengganggu Yudo sang kakak. Naila jarang memiliki waktu bermanja dengan mereka semua jadi apabila ada kesempatan pasti digunakan untuk bermanja pada mereka di rumah.
“Nay,” suara seseorang menghentikan langkah Naila “mau pulang?.”
Naila mengangguk “kenapa gak bilang kalau ke sini?,” menatap Benny yang berada di depannya “mau bicara di mana?.”
“Tempat biasa saja dan mana kunci mobil kamu,” mengulurkan tangan untuk meminta kunci “aku bareng sama Wima dan langsung ikuti kamu dari belakang.”
Naila mengangguk sambil memberikan kunci “mereka udah pulang?,” Benny mengangguk “terus kenapa tadi gak ikut ke dalam?.”
“Biar kamu jadi obat nyamuk,” perkataan Benny membuat Naila cemberut “ayo kita pulang dan aku udah kangen sama mama.”
“Awas dihajar sama papa kamu,” goda Naila yang membuat mereka tertawa bersama.
Dalam perjalanan banyak yang mereka bicarakan seolah tidak terjadi masalah di antara mereka berdua, bahkan mungkin orang tidak menyadari hubungan mereka berdua sudah berakhir karena pada dasarnya mereka berdua mengakhiri karena keadaan. Naila mengikuti sikap Indira selama ini kepada para mantan yang bisa menjadi teman baik meskipun tidak bisa bersama, tapi tetap dengan batasan – batasan tertentu dalam bersikap. Naila sendiri sudah mulai membatasi diri dengan Benny agar nantinya jika Benny menemukan wanita lain tidak membuat wanita tersebut berpikir negatif pada dirinya.
“Bagaimana dengan kerjaan kamu hari ini?,” Naila menatap Benny yang fokus mengemudi.
“Notaris ya begitu tapi kalau udah dapat uang lumayan lah,” jawab Benny tanpa menatap Naila “Nay, apa kamu tidak mau berjuang bersama lagi?.”
Naila menghembuskan nafas panjang “aku gak mau orang tua kamu terpaksa menerima aku dan apa kamu tidak memikirkan keadaan mereka jika kita tetap bersama, aku bukan gak mau berjuang hanya saja kamu sudah tahu alasan sebenarnya.”
Naila dapat mendengar helaan nafas panjang Benny tanda bahwa dirinya sangat frustasi atas apa jawaban Naila, sebenarnya ini bukan pertama kali Naila menjawab pertanyaan tersebut dan Benny selalu tahu jawaban yang sebenarnya. Benny tidak pernah menyerah untuk mendapatkan Naila kembali pada kehidupannya, selama ini mereka berjuang bersama dari masa kuliah meskipun berbeda jurusan. Benny dan Naila bertemu pada saat acara kampus dan itu karena Vivian dan Wima, sampai akhirnya mereka memutuskan untuk menjalin hubungan dan terhenti ketika perjalanan ini akan dibawa Wima serius.
“Sudah sampai,” perkataan Benny membuyarkan lamunan Naila “jika permintaan aku memberatkanmu jangan dipikirkan,” sambil menepuk pucuk kepala Naila pelan “aku akan melepaskan kamu jika sudah mendapatkan orang yang sesuai dan bisa melebihi aku dalam menyayangimu.”
“Ben, kamu gak harus melakukan itu karena bagaimana pun kamu juga harus bahagia,” ucap Naila menatap Benny “aku gak bisa tenang kalau kamu belum bahagia hanya karena menunggu aku bahagia, jika kamu sudah menemukan orang tepat dan kedua orang tua setuju langsung jalani dan jangan menungguku.”