Adam dan Hana menatap ruangan serbaguna yang baru saja selesai direnovasi oleh tukang. Sebenarnya di lantai dua cafe Adam itu terbilang cukup luas. Dulu restoran papanya hanya membangun sebuah mushala dan ruang kerja, sisanya berupa halaman belakang yang belum dimanfaatkan. Adam memang sudah lama menginginkan bagian itu dibangun ruangan serbaguna. Namun, karena keterbatasan dana yang ia punya, niatnya itu belum terealisasi. Sebenarnya Adam bisa saja meminjam modal kepada papanya. Tetapi, ia memutuskan untuk menunggu uangnya terkumpul saja. Papanya sudah cukup banyak membantunya. Sekarang, setelah ia lulus, ia ingin menjadi mandiri.
Ruangan itu ditutupi pintu geser dari kaca dan dicat dengan warna hijau teduh. Kusen alumuniumnya dicat cokelat tua. Siapa pun yang masuk ke ruangan ini pasti langsung merasa teduh. Adam dan Hana memang sengaja memilih warna hijau agar terkesan sejuk. Ruangan serbaguna inni bisa di lengkapi dua buah pendingin ruangan.
“Gimana menurut lo, Han? Tanya Adam sambil membuka jendela agar sinar matahari bisa masuk ke dalam ruangan itu.
“Alhamdulillah, ini sesuai ekspetasi kita kan, Dam,” ucap Hana dengan menampilkan senyum berseri.
“Syukur kalo lo suka dan puas.”
Sekarang Adam dan Hana tinggal memilih furniture yang akan mereka beli untuk mengisi ruangan serbaguna ini. Usai memeriksa ruangan yang baru jadi, mereka kembali lagi ke ruangan Adam yang terletak di sebelahnya. Adam membuka file di laptopnya yang berisi anggaran untuk membeli furniture sedangkan Hana membuat daftar semua barang yang diperlukan untuk mempercantik ruangan serbaguna. Mulai dari kursi, meja, beberapa tanaman hias, karpet, dan lainnnya. Setelah itu mereka berdua mencari barang-barang tersebut secara on line, sesuai dengan budget yang telah ditentukan. Mereka berdua dengan semangat mendiskusikan hal itu meski sempat beberapa kali berdebat karena berbeda pendapat.
“Mas Bos!” Adam dan Hana langsung menoleh ke arah pintu masuk. Ternyata Sita yang memanggilnya.
“Ada apa, Sit?”
“Ini loh, Sita bawain minuman buat Mas Bos dan Mbak Hawa,” ucapnya sambil menunjukkan nampan berisi dua gelas milkshake cokelat di atasnya. Sita segera menghampiri Adam dan meletakkan minuman itu di atas meja kerja Adam.
“Mas Bos sama Mbak Hana lagi ngapain sih? Serius amat?” tanya Sita penasaran.
“Ini, kita lagi milih furniture yang mau dibeli buat ngisi ruangan yang baru,” ucap Hana.
“Ooh, boleh lah Sita ikut bantuin, boleh kan?”
“Kerjaan lo di bawah udah beres belum?” tanya Adam tegas. Ia tidak suka jika karyawannya meninggalkan pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya dengan semena-mena. Jika berinteraksi biasa, Adam memang menganggap para karyawannya sebagai teman, tetapi jika menyangkut pekerjaan, Adam akan sangat tegas jika itu menyangkut pekerjaan dan nama baik cafenya.
“Udah dong Mas Bos, tenang aja!”
Sita pun membantu Adam dan Hana untu memilih furniture yang sesuai dengan budget. Sita merasa geli sendiri ketika melihat dua atasannya itu berdebat masalah kursi dan meja.
“Mendingan yang ini aja, Han,” ucap Adam kukuh.
“Yang itu bahannya kurang bagus, Dam. Mendingan yang ini, bagus dana harganya pun murah.”
“Aduh, kalian ini kayak pasutri yang lagi milih perabotan buat rumahnya tahu,” celetuk Sita tiba-tiba.
Adam dan Hana refleks sling pandang satu sama lain, menatap tidak percaya. Hana yang tersadar terlebih dulu langsung mengalihkan pandangannya dengan wajah memerah.
“Dih, dih Mbak Hana salting nih, ya?” goda Sita.
“Apaan sih kamu, Sita? Jangan ngomong sembarangan, pasutri, pasutri. Nanti kalo ada ceweknya Adam di sini dia bisa marah loh.”
“Ah, emang si Mas Bos punya cewek?” tanya Sita dengan nada meledek. “Emang kemarin jadian Bos sama si Diva itu?”
“Nggak, nggak jadi. Tapi gue udah nemu yang lain,” ucap Adama sambil menampilkan evil smirknya. Bertepatan dengan itu, slaah satu karyawannya yang bernama Robi tiba-tiba muncul memanggil Adam.
“Mas Bos!”
“Oi, kenapa?”
“Ada yang nyariin tuh di bawah, katanya temen Bos. Namanya Desi,” ucap Robi.
“Nah ini dia, pucuk dicinta ulam pun tiba. Baru aja diomongin, orangnya udah dateng.”
“Jadi lo udah punya gebetan baru, Dam?” tanya Hana tidak percaya. Hana kira temannya ini akan tobat dan mengikuti sarannya untuk serius dengan satu orang perempuan. Hah, tapi Adam malah mencari gebetan baru.
“Ih Mbak Hana cemburu ya sama Mas Bos?” goda Sita lagi.
“Sita!” Hana menatap Sita dengan tatapan tajam bahkan seakan-akan bola mata Hana ingin keluar dari tempatnya. Sita ppun bergidik ngeri melihat tatapan Hana karena Hana biasanya hanya akan menampilkan wajah ramahnya di cafe ini.
“Eh iya, Mbak. Ampun, ampun! Gak lagi deh godain Mbak Hana. Sita ke bawah dulu ya.” Sita langsung melesat pergi meninggalkan ruangan Adam. Kini hanya tinggal Adam dan Hana yang berdua dalam ruangan.
“Gue kira lo mau tobat, Dam. Eh malah cari gebetan baru.”
“Iya dong, gue kan harus gerak cepet, Han. Suruh tunggu sebentar ya, Rob. Bentar lagi gue ke bawah,” ucap Adam.
“Oke, Bos!”
Hana hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah Adam. Sudahlah, Hana tidak mua mencampuri kehidupan pribadi Adam. Toh Hana juga menasihatinya. Adam mau melakukannya atau tidak itu terserah dia. Menurut Hana, Adam sudah dewasa untuk menentukan pilihan yang terbaik bagi hidupnya.
“Terus lo mau pergi sama gebetan lo?”
“Iyalah, dia udah nyamperin ke sini masa gue cuekin.”
“Terus urusan kita tentang furniture cafe gimana, Dam. Ini belum beres, lho.” Hana memperingati Adam agar menyelesaikan dulu urusan pekerjaannya dibandiing mengurusi gebetan barunya.
“Gampang itu, lo searching-searching aja lagi. Gue perginya gak akan lama kok, janji deh. Cuma sebentar, paling satu jam.”
“Ya udah lah, terserah lo,” ucap Hana pasrah. Hana mempercayai Adam dengan mudahnya karena memang Adam selalu menepati ucapannya. Meskipun seorang playboy, jika sudah berurusan dengan pekerjaannya, Adam akan selalu komitmen dengan janji yang telah dibuatnya.
Hana pun kembali berselancar di dunia maya sedangkan Adam segera meninggalkan ruangannya untuk menemui Desi di lantai bawah.
===
“Mbak Hana, ada mamanya Mas Bos sama Mbak Hawa di bawah,” ucap Sita pada Hana yang sedang berada di pantry. Hana sedang mencoba untuk membuat resep baru yang nantinya akan dijadikan menu baru di cafe Milks Heaven ini.
“Oh ya? Kok tumben ke sini gak ngasih tahu dulu ya?”
Sita menggelengkan kepala tanda ia tidak tahu. Hana segera membuka celemeknya, mencuci tangan dan merapikan jilbabnya. Setelah memastikan penampilannnya rapi, ia segera menemui mama dan kakaknya Adam.
“Assalamu’alaikum, Bu Malik, Mbak Hawa.”
“Wa’alaikumussalam, Hana.” Mereka bersalaman dan Hana langsung duduk di sebelah Bu Malik.
Hana pun meminta pegawai membawakan minuman untuk keluarga Adam ini.
“Bu Malik sama Mbak Hawa mau ketemu sama Adam?” tanya Hana menatap Bu Malik dan Hawa bergantian.
“Hmm ... nggak kok, kita sengaja aja pengen ke sini, sekalian lihat bagian yang sudah direnovasi,” jawab Bu Malik.
“Oh gitu. Ya sudah nanti saya antar ke atas.” Tak lama pegawai membawakan dua gelas minuman untuk Bu Malik dan Hawa.
“Adamnya kemana, Han?” tanya Hawa.
“Lagi keluar sebentar, Mbak.” Hana tidak memberitahukan bahwa Adam pergi ke luar bersama perempuan gebetannya. Hana tidak mau ikut campur masalah pribadi Adam dan keluarganya. Hana juga harus tahu diri. Posisinya di sini hanya sebagai rekan bisnis, tidak lebih. Toh sebagai teman dan sesama muslim Hana juga sudah menasihati Adam. Namun, dasarnya Adam yang keras kepala susah untuk dinasihati.
“Pergi keluar? Sama Diva?” tanya Bu Malik.
“Hmm ... Hana kurang tahu. Izinnya sih pergi sebentar, Bu. Sepertinya sebentar lagi juga pulang.”
“Iya Ma, mungkin sama si Diva itu,” ucap Hawa.
“Huh, dasar anak itu susah sekali dibilangin ya,” ucap Bu Malik mengeluh.
“Sudah lah, Ma. Nanti juga dia sadar sendiri,” hibur Hawa pada mamanya.
Mereka berganti topik tidak ingin membahas Adam lagi. Mereka mengobrol banyak hal, mulai dari panti asuhan hingga masalah pribadi perempuan. Hana sangat menyukai dan menikmati keakrabannya dengan Bu Malik dan Hawa. Bu Malik dan Hawa sendiri memang sudah menganggap Hana seperti keluarga.
“Oh ya, Bu Malik sama Mbak Hawa mau Hana antar ke atas atau mau nunggu Adam?”
“Sama kamu aja, Han. Adam gak jelas kan pulangnya kapan?”
Hana melirik jam dinding yang menggantung di dinding cafe. Seharusnya jika melihat dari waktu keberangkatan Adam, lelaki itu harusnya sudah tiba di cafe ini. Ah, sudahlah. Mungkin Adam terlalu senang menikmati waktu kencannya dengan Desi hingga lupa waktu, batin Hana.
“Mari Bu, Mbak, Hana antar ke atas.” Mereka bertiga beranjak dari duduknya dan menuju tangga yang menghubungkan lantai satu dan lantai dua. Tepat saat mereka akan menaiki tangga Adam memasuki cafe.
“Loh, Ma, Mbak Hawa?”
Hana, Hawa dan Bu Malik langsung menoleh ke arah pintu masuk. Adam telah kembali, lelaki itu telah menepati janjinya. Adam pun menyalami mamanya.
“Kamu dari mana, Dam? Tanya Bu Malik.
“Biasa Ma, abis pedekate,” jawab Adam santai.
“Sama Diva, Dam?” tanya Hawa penasaran.
“Ih, nggak, bukan. Sama yang baru dong, namanya Desi,’ ucap Adam santai.
“Ganti lagi?” ucap Hawa dan Bu Malik bersamaan. Ibu dan anak itu saling bertatapan dan menggelengkan kepala. Adam hanya terkekeh melihat ekspresi mama dan kakaknya itu. Hana jadi merasa tidak enak berada di tengah-tengah mereka. Hana pun pamit ke pantry, toh sudah ada Adam yang menemani mama dan kakaknya. Hana memberikan ruang bagi mereka untuk mengobrol agar lebih leluasa, mengingat Hana hanya orang lain di sini.
“Bu Malik, Mbak Hawa, saya pamit ke pantry dulu ya, kan sudah ada Adam yang menemani.”
“Loh kenapa?”
“Saya sedang bereksperimen resep baru di pantry tadi.”
“Oh, lo lagi coba resep baru, Han?” tanya Adam penasaran.
“Iya, Dam.”
“Ya udah, ballik lagi aja ke pantry. Biar kakak sama nyokap gue, gue yang urus.”
“Saya tinggal ya, Bu, Mbak,” pamit Hana dengan sopan.
“Iya, makasih ya udah nemenin kita tadi, Hana.”
“Sama-sama.”
Hana pun undur diri dari hadapan mereka, sedangkan Adam lanjut menemani mama dan kakaknya untuk melihat ruangan di lantai dua.
===
Beberapa hari kemudian, furniture yang Hana pesan dikirim ke cafe. Beberapa orang terlihat mengangkut barang ke lantau dua. Hana dan Adam mengawasi sambil memeriksa dan memastikan bahwa furniture yang mereka beli sudah diantar semua ke cafenya. Setelah selesai, Adam dan Hana mengucapkan terima kasih pada petugas yang telah mengangkut barangnya.
Adam, Hana dibantu oleh Sita dan Robi mulai menata furniture di ruangan serbaguna itu. Mereka menyimpan bangku dan meja juga di sana. Ketika tidak sedang di sewa secara khusus, ruangan itu bisa ditempati oleh pengunjung biasa. Ruangan itu didesain unik sehingga bisa digunakan untuk konsep acara indoor ataupun outdoor. Pintu dan jendelanya di desain khusus agar mudah di setting ketika penyewa menginginkan acara outdoor.
Adam dan Robi menata barang-barang yang berat seperti meja dan kursi, sedangkan Hana dan Sita membantu membersihkan meja dan kursi dengan mengelapnya serta memberi hiasan berupa taplak dan vas bunga. Mereka juga membeli beberapa tanaman hias dan lukisan dinding untuk mempecantik ruangan baru itu.
Setelah dua jam lebih, akhirnya mereka berempat selesai menata ruangan di lantai dua iitu. Mereka tersenyum puas dengan tampilannya yang rapi dan cantik.
“Huh, akhirnya beres juga,” ucap Adam sambil menyeka peluh di dahinya.
“Iya, alhamdulillah,” ucap Hana sambil bersender di salah satu kursi.
“Traktir es krim dong Mas Bos,” rengek Robi.”
“Iya nih, es krim. Capek nih Mas Bos.”
“Ya sudah sana, ambil es kriim buat upah kalian.”
“Asyik.”
Mereka berempat pun menuju ke lantai satu untuk menikmati es krim. Hana sangat terkejut mendapati lelaki yang sangat ia kenal sedang duduk bersama pasangannya di salah satu meja. Malangnya, lelaki itu pun menatap ke arah Hana.
“Lutfi?”
“Hana?”