SEPULUH

1291 Words
CLARISSA   Sudah jadi kebiasaan sekarang kalau pulang aku tidak menemani Bhagas sampai ia dijemput. Aku hanya menemaninya selama 5 menit lalu pulang. Karena tidak mau bertemu dengan Marco. Dan sudah 3 hari ini aku cuti. Jujur aku takut. Banyak rasa takut yang ku alami.   Marco calling...   Lagi-lagi ia menelfonku. Sudah puluhan telefon yang kuabaikan dan ratusan pesan singkatnya kubiarkan tak terbaca. Aku sedang dalam perjalanan menuju rumah, setelah tadi mampir dari rumah Cimanggu. Sedikit bebersih agar tidak banyak debu. Saat aku turun dari mobil dan mau membuka pagar rumah, seseorang menarik tanganku. Marco! Sialan. Dari mana dia tau rumahku? “Aku butuh ngomong sama kamu. Please jangan ngehindar!” “Apasih! Gak ada yang harus diomongin!” “Aga sakit! DBD dari kemaren dia dirawat. Dia nanyain kamu terus!” kata Marco. Aku melihat matanya, matanya terlihat letih. “Dirawat di mana?” Tanyaku. “BMC. Kamu mau jenguk gak?” Aku mengangguk lalu ingin masuk ke mobil lagi. “Simpen mobil kamu di dalem. Kita naik mobil aku aja!” kata Marco menunjuk Range Rover putih miliknya yang terparkir di seberang rumahku. “Gak usah, aku bisa nyetir sendiri!” kataku. “Please, sekali ini aja!” pintanya dengan nada letih. Aku menyerah. Aku mengangguk lalu memasukan mobilku di samping mobil Mama. “Aku pamit dulu ke mama.” kataku. Aku melihat Marco mengangguk. Aku masuk ke rumah dan melihat mama sedang membuat kue. “Ma, kakak keluar yaa. Jenguk murid ada yang sakit.” kataku. “Lah? Bukannya tadi dari luar? Kenapa gak sekalian?” “Baru tahu dadakan. Kakak gak bawa mobil ya ma.” kataku. “Oke sayaang! Hati-hati!” Aku keluar rumah, menutup pagar dan melihat Marco berdiri di pinggir mobilnya. Kuhampiri ia, dan tanpa banyak kata langsung masuk ke kursi penumpang, kami berdua sama-sama diam selama beberapa menit. “Clar?” “Mar!” kata kami berbarengan. “Kamu duluan!” katanya. “Kamu tau rumahku dari mana?” Tanyaku. “Nanya ke Madam Patricia.” jawabnya. Aku hanya mengangguk. Yaa Madam Patricia pasti punya data pribadiku. “Kamu hamil gak?” Tanya Marco. Aku langsung menoleh ke arahnya. Ia menatap lurus ke depan jalan. “Enggak kok. Tenang aja. Kamu gak usah repot-repot tanggung jawab!” kataku. “Kok kamu ngomongnya gitu?” “Terus emangnya harus ngomong apa?” Kataku, sedikit menelan ludah karena tak menyangka malam pertamaku berlalu tanpa aku bahkan bisa mengingatnya seperti apa. “Ya gak ngarep kamu ngomong gitu aja.” Aku diam. “Kenapa kamu ngehindar dari aku?” Tanya Marco. “Cuma lagi pengen sendiri aja.” jawabku. Kali ini Marco yang diam. Kami berdua diam sampai kami tiba di Rumah Sakit. Aku berjalan di belakang Marco. Mengikutinya menuju ruang inap Bhagas. Marco menahan pintu ruang inap Bhagas, menungguku masuk. Ini ruangan VIP. Hanya Bhagas yang di rawat di ruangan ini. Di dalam ruangan ada Bi Minah, ART kepercayaan Marco. Aku melihat Bhagas berbaring di atas bangkarnya. Ia sedang tertidur sekarang. Marco berjalan menuju Bhagas berusaha membangunkannya. “Jangan. Biarin tidur aja!” kataku. “Tapi dia mau ketemu kamu!” kata Marco. “Aku tunggu sini aja sampai dia bangun.” kataku. Marco tersenyum. Lalu mempersilahkan aku duduk di sofa. “Terima kasih udah mau ke sini.” Katanya formal. “Anytime, Mar.” kataku. “You stole my word, again.” Katanya. Aku hanya tersenyum. Kami berdua diam beberapa lama, mungkin sekitar satu jam sampai akhirnya Bhagas bangun. Marco segera bangkit menghampiri Bhagas, aku pun mengikutinya. “Aga, ada Miss Clarissa, jengukin kamu!” kata Marco. Lalu aku berdiri di samping Marco, menatap Bhagas yang terbaring lemah.   Aku menemani Bhagas sampai pukul 8 malam. Satu jam sebelumya aku menyuapi Bhagas yang nafsu makannya menurun drastis. Butuh waktu lama membujuknya untuk mau membuka mulutnya. “Terima kasih ya, Clar!” kata Marco saat kita berdua jalan menuju parkiran. “Anytime, Mar!” jawabku. “Kamu gak usah anter aku, aku naik ojol aja. Kamu temenin Bhagas aja!” kataku. “Aku jemput kamu, aku juga lah yang harus anter kamu sampai rumah!” katanya. Kami berdebat sekitar 5 menit sampai akhirnya aku mengalah, membiarkannya mengantarkan aku.   Seperti tadi, kami diam selama perjalanan. Marco menyetir dengan kecepatan standar, dan ternyata aku pulang bersamaan dengan Papa. Mobilnya baru akan masuk saat mobil Marco berhenti di depan rumah. “Eh, Sa. Sama siapa?” Tanya papaku saat aku turun dari mobil Marco. “Sama temen, Pa!” kataku. “Suruh masuk lah temennya!” kata Papaku. Aku menengok ke belakang dan menemukan Marco sudah keluar dari mobilnya. Apa-apaan dia?! Papa sudah memarkirkan mobilnya, lalu menghampiriku dan Marco. “Ini temennya, Sa?” Tanya Papa. Aku mengangguk. Marco berjalan menghampiri Papa lalu mencium tangan Papa. “Siapa namanya?” Tanya Papa. “Marco, om.” sahutnya. “Masuk ayok, mampir dulu!” kata Papa. s**t. Papa apa-apaan sih? Segala disuruh mampir. Marco hanya mengangguk dan berjalan di belakang Papa. Aku mengekor mereka berdua. “Duduk dulu, Marco. Om mau ke dalem dulu yaaa. Sa, kamu ambilin minum buat temennya!” kata Papa. “Tunggu sini!” kataku pada Marco, ia tersenyum manis lalu duduk di sofa ruang tamuku. Aku menuju dapur, ada Papa dan Mama di sana.   “Sasa, Ma. Sama cowok!” kata Papa mulai bergosip. “Eh yang benar?” Tanya Mama. “Jangan ngegosip!” kataku saat tiba di dekat mereka. “Ganteng gak Pa?” Tanya Mama. “Ganteng lah, tapi gantengan Papa ke mana-mana.” Aku tak menghiraukan kedua orangtuaku ini. Aku mengambil orange juice dari kulkas lalu menuangnya ke gelas. “Mama sama Papa kalo keluar nimbrung awas loh!” ancamku sebelum kembali ke ruang tamu. “Gak mempan Kak, kamu ngancem mama.” seru mama. Sial, sial, sial. Kenapa sih Marco pake keluar mobil segala? Salim sama Papa juga. Mau aja disuruh mampir. Dasar cowok aneeeh!! Aku kembali ke ruang tamu, lalu meletakkan orange juice untuk Marco di meja. “Nih Mar!” kataku. “Thanks Clar!” sahutnya. Ia satu-satunya orang yang memanggilku Clar. Bisanya orang Sasa atau Clariss. Aku tersenyum. Lalu diam. Memandangnya yang sedang menyesap orange juice. “Eh ada temennya Sasa yaaa?” aku menoleh dan melihat mama. Membawa senampan kue yang dibuatnya tadi sore. “Eh Tante!” Marco langsung berdiri dan mencium tangan Mama. “Ini, tadi sore tante bikin cupcakes, dicoba yaa!” kata mama sambil meletakkan kue di atas meja. “Jangan dimakan, Mar. Gak enak!” kataku. “Kamu nih!” kata Mama sambil menjitakku “Mama kan tiap bikin kue tampilannya doang yang bagus. Adonannya sih gak enak.” kataku membela diri. Kulihat Marco tersenyum karena perdebatan aku dan Mama. Lalu mama malah menyuruh aku geser dan duduk di sampingku. For Merlin's beard. Mama ngapain coba?! “Ma!! Ngapain sihh?!!” Seruku. “Yee emang gak boleh Mama kenalan sama temen kamu?” “Ada-ada aja deh!” kataku. “Gak apa-apa kali, Clar!” kata Marco. “Tuh, kata temen kamu juga gak apa-apa! Siapa namanya?” Tanya Mama. “Marco, Tante.” “Ohh, guru juga kaya Sasa?” “Engga, Tante. Bukan guru. Saya gak sesabar itu buat jadi guru SD, hehehe.” Jawabnya santai, dan satu hal tiba-tiba membuatku merasa menghargainya. Ia tidak menyebutkan profesinya untuk membuatnya terlihat lebih tinggi. Dia gak sombong. Padahal biasanya cowok kan gengsinya gede. “Ohh gitu, yaudah tante tinggal yaa!” Mama bangkit dari kursi lalu pergi. “Sorry, yaa Mama emang kaya gitu. Doyan nanya. Malu-maluin!” kataku. “Santai aja, Clar.” kata Marco sambil tersenyum. Aku membalas senyumannya dan diam. Demi Tuhan, sejak kenal orang ini aku jadi doyan senyum. “Mama kamu asik kayaknya orangnya.” “Rame emang. Tapi kadang nyebelin!” kataku. “Yaudah aku pamit yaaa. Salam buat orang tua kamu!” “Oke, terima kasih yaa udah nganter!” “Aku yang terima kasih,” Lalu aku mengatar Marco sampai mobilnya. “Bye!” katanya. “Bye!” Aku masuk ke rumah saat mobil Marco sudah tidak terlihat. Mama dan Papa menungguku di ruang keluarga.   “Sini kamu!” kata Mama. “Apaan sih ma?” Kataku menghampiri kedua orang tuaku itu. “Pacar baru kamu itu Sa?” Tanya Papa. “Bukan Paaaa!” jawabku. “Baru deket?” Tanya Mama. “Susah Ma dijelasinnya!” gak mungkin kan aku membeberkan rahasianya sekarang. “Jelasin ahh!” pinta Mama. “Iyaa deket sama dia.” “Sama dia yang kamu sering keluar-keluar itu? Dinner dan lain lain?” Tanya Papa. “Iyaa, Pa!” kataku. “Kok gak dikenalin? Kalo tadi Papa gak ada gak bakal ketahuan kamu punya pacar!” kata Papa. “Bukan pacar, Pa!” kataku. “Yeah someone like that, right?” Kata Papa. Aku mengangguk. “Mama setuju kalo kamu sama dia. Kayaknya orangnya baik. Ganteng lagi. Kaya Michael Fassabender.” “Fassbender, Ma!” kataku. “Iyaaa!! Cuma kelebihan huruf A!” sahut Mama. “Tapi benar loh mama. Dari tadi papa mikir mukanya ko kaya yang kenal. Eh ternyata mirip Magneto muda.” kata Papa. “Emang Papa sahabatan sama Magneto? Ampe bilang kenal gitu!” kataku. “Kamu tuh yaaa. Gak bisa liat orang seneng!” kata papa. “Eh, dia bukan guru terus kerjaannya apaan?” tanya Mama. “Dokter bedah dia, Ma.” “Widiw, bisa operasi plastik dong ya? Boleh dong, mama pengin mancung.” “Bedah jantung Ma.” “Ohhh, gak jadi, jantung Mama baek-baek aja Kak, ehheheh!” “Udah ah kakak mau ke kamar dulu.” Lalu aku masuk ke kamar. Mencuci muka dan sikat gigi. Lalu naik ke kasur. Aku lelah sekali hari ini. Saat akan terlelap ponselku berdering   Marco Calling... **** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD